Monday, December 29, 2014

Disaat Terdesak, Kita Semakin Kuat!

“Ingat ini, Rein. Disaat terdesak, kita semakin kuat. Kamu percaya, kan, kalau ujian itu hakikatnya meningkatkan kemampuan kita? Kalau kamu bingung, coba saja ingat-ingat kebiasaanmu dulu. Setiap mau ujian tinggal terhitung hari, kekuatanmu dengan mudahnya jadi berpuluh kali lipat bukan? Padahal biasanya kamu dicap paling pemalas. Tapi kalau H-2 ujian, kamu lantas menjelma jadi manusia paling rajin seantero jagad raya. Tidak begitu baik, memang. Tapi paling tidak, itu memudahkanmu untuk membuat analogi sederhana. Disaat terdesak, kita semakin kuat. Jadi kalau saat ini kamu merasa terdesak, merasa kesulitan, sebenarnya Tuhan membersamai begitu banyak kemudahan dalam dirimu pada saat yang sama. Ini bukan soal percaya pada aku sebagai mas-mu. Tapi percaya pada konsep ini termasuk bagian dari percaya pada Gusti Allah, Tuhan kita.”

Salah satu hujanan kata Mas Rean yang kuhapal di luar kepala. Baiklah, aku percaya itu, Mas. Disaat terdesak, kita semakin kuat. J

Jogjakarta, 2014
Adikmu, Reina.




Tuesday, December 23, 2014

Tanpa Diajarkan, Ternyata Ruru Hafal Surat Asy-Syams

Dua hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah kakak perempuan saya yang tengah mengandung empat bulan. Bukan untuk bertemu si empunya rumah, melainkan menemani adik sepupu saya yang datang berkunjung ke Bogor. Kakak saya dan suaminya justru sedang tidak ada di rumah. Mereka pergi ke Sukabumi karena ada suatu urusan.

Berhubung kakak saya ini tengah mengandung, maka tidak heran kalau rumahnya diisi dengan segala atribut pengetahuan tentang kandungan dan masa kehamilan. Mulai dari tabel ideal berat badan ibu hamil, sampai buku pengetahuan seputar kandungan. Tapi yang membuat saya tertarik adalah sebuah majalah yang tergeletak di atas meja. Majalah Tarbawi dengan judul tertulis pada sampulnya "Lima Perempuan itu Perdengarkan Al Qur'an untuk Anak Mereka Sejak dalam Kandungan" keluaran Februari 2010. Hampir lima tahun yang lalu. Meski edisi lama, saya tahu kenapa majalah tersebut bisa ada di rumah kakak saya. Tentu saja karena berhuungan dengan kandungan.

Tanpa pikir panjang, saya mulai membuka lembar demi lembar dan membacanya dengan seksama. Ada kisah tentang ibu yang kekuatannya lebih kuat dari seribu laki-laki, kisah keluarga pecinta Al Qur'an,hingga cerita Farih Abdurrahman: anak ajaib yang kesulitan berbicara namun lancar menghapal ayat Al Qur'an. MasyaAllah. Hingga saya sampai pada sebuah artikel bertajuk begini: "Dewi Kusmayanti, Dokter, Ibu 4 Orang Anak. Tanpa Diajarkan, Ternyata Nurul Hafal Surat Asy-Syams"

Sebenarnya saya mulai tidak konsentrasi membaca karena artikel tersebut berada pada pertengahan majalah. Tapi sampai pada halaman kedua, mata saya dipaksa melihat lebih jeli memastikan informasi yang saya dapat. Pasalnya, disana tertulis nama yang benar-benar tidak asing bagi saya. Nama anak kamar saya semasa duduk di masa Aliyah: Nurul Iffat Wirusanti. Saya biasa memanggilnya Ruru. Sontak saya membalik halaman lagi dan memerhatikan foto dengan sesama. Benar. Itu wajah kawan saya, mungkin sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Ditambah informasi profesi ibunya yang dokter, dan nama adik Ruru yang juga disbeutkan disini: Muhammad Luthfi Rusdinur. Juga yang paling saya ingat dari cerita Ruru, bahwa ibunya tidak membolehkan ada TV di rumahnya.

Begini cuplikan artikel tersebut.

Interaksi Dewi dengan Al Qur'an terus berlanjut hingga dirinya menikah dan memiliki anak. Upayanya mengenalkan Al Qur'an kepada anaknya pun muncul. Saat itu Dewi menemani anaknya bermain dengan membiarkannya asyik mengutak-atik mainannya. Memang, Dewi sendiri sengaja tidak membeli TV sebagai hiburan keluarga, karena menurutnya sangat sediikit manfaat yang bisa diambil dari acara-acara TV. Sehingga dia sangat mengusahakan agar anaknya selalu bermain dengan ibunya. Ketika anaknya asyik bermain, Dewi mengulang-ulang hapalan juz 30 nya. Terus menerus dia ulang-ulang di hadapan anaknya yang  asyik bermain. Bahkan setelah membacakan buku cerita menjelang tidur, Dewi pun juga mengulang hapalannya. Begitu terus setiap hari.

Sampai suatu hari, Dewi datang untuk mengikuti pengajian ibu-ibu. Karena tidak ada yang menjaga di rumah, Dewi membawa anak pertamanya yang bernama Nurul Iffat Wirusanti ini ke pengajian tersebut. Saat penceramah sedang mempersiapkan materi ceramah, tiba-tiba Nurul melantukan surat Asy-Syams. Seluruh jamaah begitu terkejut, sekaligus kagum, "Saya baru tahu, meskipun dia asyik dengan mainannya, ternyata dia juga mendengarkan," ujar perempuan berusia 42 tahun ini. Dalam usia dua tahun, anak pertamanya sudah bisa menghapal separuh juz 30. Hingga kini, paling tidak sudah 3 juz yang dihapal Nurul. Agar anak pertamanya ini bisa lebih rajin dan semangat menghapal, Dewi sekeluarga bergabung pada sebuah lembaga bimbingan Al Qur'an di Condet, Jakarta Timur. "Sejak tiga tahun terakhir, saya dan keluarga berangkat ke sana setiap hari Sabtu," tambahnya.

**
Tanpa Diajarkan, Ternyata Nurul Hafal Surat Asy-Syams

Tarbawi Edisi 222 Rabiul Awal 1431 H.

Sehari setelahnya, saya mendapat telepon dari Solo: kawan kamar saya yang lain, namanya Ucit. Sudah lama tidak berkomunikasi membuat kami saling bertukar kabar. Kemudian saya menceritakan temuan saya ini kepada Ucit. "Ya ampun Ririis, ternyata banyak yang kita gak tauu," begitu ucapnya. Saya jadi ingat kawab kamar kami yang lain; Ocha. Ocha juga pernah bercerita tentang Abi-Umminya yang masuk majalah dalam tajuk keluarga sakinah (atau apa ya, saya agak lupa, :D). MasyaAllah, ada saja caranya Allah untuk me-recall ingatan hamba-Nya. Semoga kita termasuk dalam generasi cinta Al Qur'an yaa. Aamiin Allahumma Aamiin. :')

Ruruuu titip salam buat ibunya. Bilang makasih sudah menginspirasi. :D 

Wednesday, December 17, 2014

Potret Pantai

Malam, semesta. Apa kabarnya kalian? Bintang-gemintang, rembulan, cahaya malam? Seharian ini kuhabiskan waktu menikmati debur ombak di pantai. Selagi kalian beserta bumi pijakanku saling mencari, hingga langit mempertemukan kita malam ini. Pagi tadi, seorang kawan mengambil gambarku. Di tepi pantai. Yang hadir hanyalah siluet, bayangan hitam tergambar dalam kamera. Temanku tertawa kecil mendapati jepretannya terlihat jauh lebih baik, begitu katanya. Dia bilang, foto itu melankolis sekali. Hha, dasar. Bahkan aku tidak betul-betul yakin apakah ia sungguhan mengerti arti dari melankolis itu sendiri. Tapi aku jadi tergelitik mendapati perkataannya. “Hei, bikin kata-kata buat foto ini dong. Ini melankolis bangeet.” Kali itu aku tertawa. Aku jadi berfikir, mengapa banyak yang mengidentikkan pantai, hujan, rembulan, cahaya bintang, malam, atau segala macam hal yang sebenarnya menjadi favoritku itu sebagai sesuatu yang entah apakah sedih, mellow, atau bahkan yang paling tidak kusukai, galau; sebuah kosakata yang jadi beken di kalangan anak muda pada beberapa waktu belakangan. Apa kalian tahu? Padahal, aku sungguh-sungguh menikmati tiap berjumpa dengan kalian, hei bintang, rembulan, ombak, malam, hujan. Melihat rembulan membuatku takjub menyebut asma-Nya. Selalu ada hal indah yang patut kita syukuri. Adapun hujan, seringkali didekat-dekatkan dengan kebimbangan, atau rintiknya yang dikatakan mengaburkan air mata. Padahal, tiap hujan turun, kutengadahkan wajah kepada langit sambil tersenyum lebar. Berbisik pelan, terimakasih Tuhan, atas kado rahmat hujannya hari ini. Kemudian tentang pantai. Memandang laut dari tepinya selalu saja membuatku terperanjat. Betapa beruntungnya aku, menjadi satu dari sekian banyak manusia yang bersapa dengan alam. Seperti debur ombak pagi tadi. Kenapa juga mereka bilang itu suatu hal yang melambai-melankolis-atau semacamnya? Padahal memandang ombak selalu saja menyenangkan –dan menenangkan. Memang, tidak banyak yang tahu bahwa aku pun tersenyum saat itu. Memamerkan gigi ketika mendapati sapaan pasir pantai yang memberi salam pada satuan partikel hidup para jemari.

Biar kutebak.
Kalaupun tidak kuberitahu, kalian pun menganggap ini semacam foto 'kebimbangan', bukan? :)


Tapi baiklah, kurasa aku punya caption yang cocok untuk potret yang satu ini.

"Kau boleh merasa jadi seorang penikmat alam sendirian. Memberi senyum pada satuan pasir tepi pantai sendirian. Tapi pada waktu yang sama, pada pijakan bumi dan dibawah naungan langit yang sama, ada seorang, dua orang, -atau bahkan lebih- yang juga menyuarakan senyum serupa. Jadi dengarkan aku. Kau tidak pernah benar-benar sendirian."


(Foto diperoleh dari seorang kawan, pada 1436 H)

Monday, December 15, 2014

Konsep Diri

Hari ini adalah kuliah terakhir Psikologi Perkembangan Anak sebelum akhirnya kami harus menghadapi UAS. Bicara tentang diri sendiri, tentang self, tentang konsep diri. Sepanjang dosen menjelaskan, tidak sedikit dari kami yang mengangguk-angguk tanda setuju: merasa mendapati fenomena demikian dalam dirinya. Dan salah stau yang akrab dengan masa remaja saya adalah tentang konsep diri. Bu Mely, nama dosen kami, mengatakan bahwa manusia pada akhirnya memang tidak mampu memahami dirinya secara utuh dengan mandiri. Dalam artian, ada hal-hal bawah sadar yang pemahamannya seringkali butuh batuan dari pihak luar. Saya rasa hal tersebut ada benarnya. Saya mengalami hal semacam itu, ketika bahkan saya sendiri tidak memahami akan diri sendiri. Dan itu rasanya rumit sekali.

Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal tuhannya. Ialah kalimat penuh makna itu yang menjadi motivasi, bahwa saya harus mengenal diri saya. Titik. Mungkin ini terdengar aneh, tapi saya mengalami kebingungan tentang diri saya sendiri, terutama ketika duduk di bangku Tsanawiyah (setingkat SLTA/SMP). Saya tidak mengerti apakah saya ini tergolong anak yang seperti apa. Sampai saya menemukan sebuah titik puncak ketika saya memutuskan untuk mengakhiri kebingungan saya dengan mengambil kesimpulan: saya punya sifat gado-gado. :D Daripada dipusingkan dengan penggolongan-penggolongan, lebih baik menjadi diri sendiri saja dengan orientasi yang lebih baik.

Pelajaran hari ini membuat saya menarik kembali segala macam memori masa lalu, dan mencoba melakukan semacam analisis sederhana. Dikatakan bahwa usia SD adalah masa-masa penilaian terhadap diri sendiri dan segala sesuatu secara berlebihan dibanding masa lainnya. Saya jadi ingat betapa berlebihannya saya dan kakak, ketika kami berdua menangisi pohon ceri kami yang ditebang, seharian. (meski kalau ingat pun saya maklum. Itu pohon ceri panjatan favorit kami yang ada di belakang rumah). Juga bagaimana kami berada pada kesedihan mendalam ketika tidak punya dede bayi, ketika kelinci peliharaan kami mati dimakan kucing, dan saat pohon mangga pun menyusul untuk ditebang. Baiklah. Jika bahagianya anak kecil adalah sederhana, mungkin sedihnya pun demikian, ya. Sederhana juga. :)

Saya tarik maju pada masa depan. Pada akhirnya pandangan dan penilaian kita terhadap diri sendiri sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Keluarga? Tentu saja. Dari keluarga-lah nilai-nilai kehidupan itu ditanamkan. Dasar-dasar pemahaman diajarkan. Dari mama, saya belajar untuk menghargai, terlebih menyayangi mereka yang hadir dalam setiap episode kehidupan. Jadi kalau saya katakan bahwa saya sayang kalian, sungguh itu bukan gombal. Kemudian dari ayah, saya belajar tentang detail, kreativitas, dan bagaimana mengambil sikap pada setiap persoalan. Sayang, saya terkendala mewarisi kinerja detail beliau. Ayah saya super sekali dalam urusan rapi, tertata, juga terjadwal. Dan saya tengah belajar akan hal itu. Kemudian terangkum dari keduanya, adalah agar senantiasa menyertakan Allah dalam setiap kesempatan. Saya sungguh belajar akan hal itu dari ayah-mama berdua.

Kemudian adalah dari teman. Bukankah Rasulullah Muhammad SAW pun berpesan kepada kita akan pertemanan? Teman dalam artian luas. Saudara, sepupu, kawan di sekolah, bahkan mereka yang bertemu kita pada kesempatan-kesempatan lain. Semuanya. Hanya catatannya disini, ialah agar kita pandai-pandai mencari teman untuk diajak berbagi kisah, hikmah, lagi dimintai pendapat. Simpelnya, teman berbagi cerita. Disadari atau tidak, relasi kita akan berpengaruh besar tentang bagaimana cara kita melakukan penilaian. Terhadap lingkungan, terlebih kepada diri kita sendiri. Dan saya merasakan langsung efek teman ini. Bertemanlah, dan jadikan ia sebagai sarana simbosis mutualisme. Saling menguntungkan. Tentu bukan (saja) dalam hal ekonomi, melainkan terletak pada urusan kualitas diri. Lebih istimewa lagi, kedekatan pada Ilahi Rabbi.

Menurut saya, ini menarik sekali. Tentang persepsi, tentang konsep diri, tentang sejarah pola fikir manusia. Saya rasa setiap orang yang saya jumpai pada masa kini, telah melewati serangkaian kisah menakjubkan yang membentuknya menjadi pribadi seperti saat ini. Dengan mengetahui, kita jadi mengerti. Tidak menjuri apalagi menghakimi. Kadang saya berfikir, mungkin tidak ada yang bisa disalahkan atas sebuah pilihan manusia. Kita hanya membutuhkan proses. Masing-masing kita berproses menuju lebih baik. Dengan catatan, hanya jika hati kita menerima dan terbuka terhadap perbaikan itu sendiri.

Pada akhirnya, kadang kita harus dengan bijak menghapus segala macam definisi kaku lagi penggolongan-penggolongan tertentu. Sebuah psikologi kesempurnaan. Menjadi seorang extrovert yang introvert, introvert yang extrovert, melankolis yang koleris, plagmatis yang sanguinis, dan segala macam kolaborasi lainnya. Menjadi pendiam yang banyak bicara, pemikir yang banyak kerja. Menempatkan segala sesuatu sesuai pada bagiannya. Diam pada waktunya. Angkat bicara pada masanya. Marah pada kondisinya. Lemah-lembut pada bagiannya. Akhirnya, kita sungguh adalah kita, yang spesial adanya. Dengan masing-masing perspektif dan jalan cerita, Masing-masing ujian. Juga masing-masing nikmat dari Yang Kuasa. Ajaibnya, kita tidak pernah dibiarkan hidup sendiri-sendiri. Ada keterkaitan antara masing-masing kita. Bisa jadi, konsep diri kita pun demikian: saling berhubungan dan kemudian membentuk satu keutuhan kisah.

Kemudian tentang konsep diri, adalah tentang bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Pada bagian ini saya teringat, bahwa sungguh, Allah beserta prasangka hamba-Nya. Teori afirmasi sebenarnya hanya nama lain dari teorinya seorang muslim: berprasangka baik pada Allah, bahwa Dia selalu memberikan kita yang terbaik. Termasuk dalam urusan memberi karunia kebermanfaatan dan kualitas diri kepada kita. Dan Allah akan membersamai kita dalam prasangka baik tersebut. In syaAllah. :) 


Menyapa Saudara

Suatu saat, kita akan bertemu, kan? Mendapat informasi tentang kalian melalui berbagai kesempatan, membuatku semakin rindu. Rindu berjumpa dengan saudara-saudara seperjuangan dari berbagai belahan bumi. Suatu saat, kita akan bertemu, kan? Aku rasa kita sama-sama terhibur ketika saling mengetahui keberadaan masing-masing. Mengetahui perjuangan masing-masing. Kita sama sekali tidak sendiri. Semangat itu tersebar dari segala penjuru. Dari berbagai macam ranah yang menghampar pada permukaan tanahNya. Terimakasih karena kehadiran kalian menyadarkanku, bahwa perjuangan sungguh-sungguh tidak boleh berhenti sampai disini.

Meski kini aku hanya menatap kalian melalui layar, meski kita belum saling mengenal. Mengetahui bahwa kita adalah saudara, rasanya sudah lebih dari cukup untuk saling merindu. Suatu saat, kita akan bertemu, kan? Jika pun tak di bumi cintaNya, semoga di syurga kelak pertemuan itu ada. Aamiin.

Aku percaya kita terhubung melalui suatu sistem MahaAgung.
Tidak ada jarak yang terlalu jauh bagi sebuah do'a, bukan?


Klik untuk melihat sumber gambar.

Monday, December 8, 2014

Ialah itu Cinta

Jika ada keindahan yang perlu dikoreksi
Ialah itu cinta.

Kabarkan padaku tentang cinta
Predikat yang tiada mampu dilukiskan oleh tinta
Kata yang jutaan kalimat pun tiada sanggup mendefinisikannya

Karena cinta,
Bukan hanya sekadar kata
Melainkan kekaguman penuh pada semesta
Yang syahdu terasa dalam hening malam sepertiga
Yang lembut disentuh untaian thayyibah saat mengudara

Cinta
Maka saksikanlah cintaku yang sederhana
Yang dicaci hanya sebatas lisan belaka
Yang ditanya keberadaannya oleh berjuta logika

Inilah, cinta.
Kehadirannya menggugah jiwa
Menjadi alasan bagaimana seekor ulat bermetamorfosa
Menjadi jawab sebab keteguhan azzam satuan tanah Palestina

Inilah, milikku yang sederhana
Yang mendamba cinta tiada dua
Yang diam-diam menaruh cemburu pada banyak cinta
Karena sungguh,
Cinta macam apa yang dimiliki oleh sahabat Khalid bin walid?
Cinta yang bahkan mampu membuat belaian pedang jadi manis terasa
Cinta macam apakah yang terpatri dalam hati ibunda Asma?
Bahkan kondisi mengandung tak jadikan ia lemah menapaki gurun sahara

Sementara cintaku tiada sebanding dengan mereka
Tapi bukankah ini cinta?
Meski miskin cintaku dirasa
Meski sederhana
Meski kadang aku alpa, lantas mendua
Hei, bukankah ini tetap cinta?

Maka izinkan aku mencinta
Maka biarkan aku menyelami lautan cinta-Nya
Dalam definisi yang sederhana
Dalam kekagumanku pada Sang Pemilik Semesta

Karena jika ada keindahan yang perlu dikoreksi
Ialah itu, cinta.


 Posting ulang, dibuat pada 1435 H
 Wordspic bisa didapatkan disini

Saturday, December 6, 2014

Jeda

Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin,

menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata.


-Bung Karno


Ini adalah kali pertama saya berdiam diri di kamar kosan. Sendirian. Menyengaja. Mengabsenkan diri dari kegiatan-kegiatan weekend. “Banyak istirahat, banyakin minum, jangan kemana-mana, di kosan aja. Minum obat, beli buah, jangan sayang-sayang.” Demikian bunyi suara wanita setengah abad yang amat saya cintai itu mengudara tadi malam. Maka hari ini saya tidak kemana-mana. Diam-diam menyesalkan diri yang kadang lupa akan pesan sederhananya: jaga kesehatan.

Sebenarnya pada satu sisi, saya merasa kerdil sekali, absen dari kegiatan hanya karena soal tubuh yang sebenarnya tidak seberapa ini. Bagaimana dahulu para pejuang, orang-orang tangguh itu mampu terus melaju bahkan ketika tubuhnya terhempas pedang? Adalah saya, sama sekali bukan apa-apa. Tapi saya pahami betul pesan beliau di atas. Ibunda saya, yang mengasuh dan mendidik saya sejak sekian tahun ini. Tidak apa mundur sedikit, untuk kemudian maju melesat. Seperti anak panah. Anak panah ditarik mundur, kemudian melesat tajam menuju sasaran. Bukan begitu?

Sudah berjalan satu minggu lebih, dan pemulihan tubuh saya berjalan lambat sekali. Saya sampai makan jeruk satu setengah kilo dengan motivasi supaya suaranya tidak hilang seperti yang sudah-sudah terjadi. Dan saya rasa jurus itu berhasil. I hope there is no #hiddenvoice anymore. Suara saya masih aman untuk berbicara meski sedikit terdengar sengau. Tapi yang agaknya sulit dikompromi adalah soal sakit kepala, ditambah gusi di mulut sebelah kanan saya juga sempat bengkak. Seiring bengkaknya hilang, berganti mata kanan saya yang mengaku-ngaku sakit. Tapi sebenarnya tidak serumit yang mungkin pembaca fikirkan. Karena semuanya berjalan biasa saja. Bukan sebuah persoalan berat, toh saya tetap masuk kuliah dan tertawa seperti biasanya.

Dan pagi ini saya sungguh-sungguh di kamar. Tidak kemana-mana. Mengamati tiap sudut kamar saya dengan lebih detail. Mengamati ekspresi pagi penghuni kosan dengan lebih rinci. Tiba-tiba saya tersadar, bahwa tempat ini belum sungguh-sungguh saya warnai dengan jiwa. Saya seperti penumpang gelap yang tahu-tahu hadir di kosan hanya untuk menumpang tidur atau sekadar menjemur pakaian. Jiwa saya masih ada dimana-mana. Dan pagi ini untuk pertama kalinya setelah hampir satu semester, saya mengucap pagi pada tetangga. Menawari roti panggang. Mengetuk pintu mereka. Kemudian sarapan bersama. Satu hal yang saya rindukan dari kehidupan berasrama.

Bukan hanya itu, saya merasa Allah tengah memberi saya kesempatan untuk istirahat dan mengevaluasi ulang tentang apa-apa saja yang telah dan akan saya lakukan. Bagian mana yang harus saya revisi, yang harus diperbaiki, dan bagian apa yang perlu saya rancang dan segera lakukan. Pagi ini, saya belajar tentang kehidupan dengan cara yang sederhana sekali. Yang kadang luput dari perhatian saya. Kita belajar melalui bangku kuliah, melalui seminar, melalui cerita seorang kawan, melalui nasihat guru, melalui organisasi. Tapi hari ini, Allah mengajakan saya untuk belajar melalui hal sederhana: sebuah pagi.

Lalu kenapa saya meletakkan quote Bung Karno tersebut di atas? “Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata.” Karena pagi ini saya merasakan hal tersebut. Ternyata, ada saatnya dalam episode kehidupan kita, dimana kita membutuhkan jeda. Seperti sebuah buku, ada jeda antar subjudul di dalamnya. Seperti paragraf, ada jeda yang membuatnya indah beraturan. Seperti kalimat, terdapat jeda antar kata yang menjadikan ia bermakna. 

Lalu tentang air mata? 

Saya menuliskan ini selepas menafkahi persendian dengan shalat sunnah dhuha. Selepas tumpah air mata saya atas haru, betapa Allah sungguh Maha Penyayang pada segenap makhluk-Nya. 

Berikut adalah salah satu tulisan yang saya buat ketika duduk di masa Aliyah: 

Percayalah,
kalau hidup ini adalah Dia,
maka semua sempurna indah

Ada dialog-dialog
yang maknanya tak semudah bertutur
Dia yang tahu
meski tak diberitakan
Yang paling baik
Yang paling pengertian
Yang paling mengetahui

Peduli apa pandangan mereka
yang penting Dia tahu kau
Karena semua sempurna indah
ketika hidup ini adalah Dia

Entah meski mungkin tidak begitu relevan, tapi menuliskan ini membuat saya tiba-tiba teringat akan kumpulan kalimat yang saya tuliskan beberapa tahun lalu tersebut. Kadang manusia dibuat repot dengan penilaian orang lain. Adalah hal yang jauh lebih penting, yakni tentang bagaimana nilai kita di hadapan sang Mahacipta Allah Subhanahu Ta'ala.

Ada jeda, yang menjadikan ia bermakna.
Bogor, 13 Shafar 1436 H pada 11.41 WIB

Monday, December 1, 2014

Bahari

Adalah bangga yang kami rasa.
Adalah takjub kepada Sang Esa.
Siapa pula tiada bahagia?
Jika lahir dari  tanahmu yang kabarnya subur mendunia.
Jika meneguk dari airmu yang katanya tiada dua.

Namun entah siapa yang menaruh pinta.
Lantas bangga hanya jadi sejarah belaka.
Terkikis seiring berganti masa, bergulir waktu secepat cahaya.
Memudar, terlupa. Menghilang, nestapa.
Duhai, kemanakah bakti para penghuninya?

Maka, wahai  Ibunda…
Mohon izinkan kami mengudara.
Melintasi cakrawala samudra.
Terbang mengangkasa di lautan raya.
Menyelami sukmamu yang menggugah jiwa.
Menyapamu dengan aksara cinta.

Karena meski kami tiada merindu bangga,
kami rindu hamparan airmu yang jadi permata.


Koleksi pribadi, diambil di pantai Sawarna, Banten pada 2012.

“Kau takkan pernah mampu menghindari ombak. 
Gunakan papan selancarmu, dan menarilah bersamanya.”

Bogor, 17 September 2014

Sunday, November 30, 2014

Kemarau. Kering. Gersang.

Kemarau. Kering. Gersang. Dedaunan terbang terhempas angin. Berlarian. Sesekali menyapa pelipismu. Sesekali menubruk kepalamu. Sesekali berputaran di sekitar kakimu.

Kemarau. Kering. Gersang. Gerak udara tega menamparmu. Memakimu lembut. Menghantarkan partikel debu mengunjungi tubuhmu. Pakaianmu. Matamu.

Kemarau. Kering. Gersang. Segersang hatimu. Sekering jiwamu. Kemarau melandamu. Tidak apa-apa, setiap orang pernah atau kelak akan pernah mengalaminya. Kehausan.

Kemarau. Kering. Gersang. Kau kehausan. Sayang, sekadar iklan minuman penyejuk takkan mampu membantumu. Imajinasi takkan pernah mampu menghapus kemaraumu. Sampai kapanpun iklan hanyalah iklan. Sejenak, kemudian pergi meninggalkan haus yang sama.

Kemarau. Kering. Gersang. Kau iba pada diri sendiri. Merasa kasihan. Mungkin tak lama lagi kau akan mati, begitu fikirmu. Kau merindukan air. Merindukan kerongkonganmu dihibur kesejukannya. Mendambakan hujan yang mengguyur habis tumpukan debu permukaan tubuhmu.

Kemarau. Kering. Gersang. Dedaunan terbang terhempas angin. Berlarian. Kau bertanya, kapankah hujan turun? Tidakkah ia lelah di atas sana? Atau paling tidak, tidakkah ia bosan melihatmu sibuk kesana-kemari. Mondar-mandir mencari mata air. Kehausan.

Kemarau. Kering. Gersang. Kau iba pada hatimu. Bahkan airmata pun enggan hadir meski setetes. Menangis tanpa suara. Tanpa air mata. Dirimu bahkan terlihat menyedihkan sekali. Kering hingga pada akarnya. Hingga pada bagian terdalamnya.

Kemarau. Kering. Gersang. Kau rasakan haus itu semakin menyiksa. Betapa kemarau melahap habis dan membuatmu jadi kering kerontang.  Tapi kumohon dengarkan aku. Amati tiap partikel debu yang menyapamu. Nikmati tiap kegersangan yang melandamu. Hayati setiap kering yang kau alami.

Kemarau. Kering. Gersang. Tidak apa-apa, kau bukan satu-satunya di dunia. Maka camkan perkataanku. Kau harus tahu. Hujan selalu datang tepat waktu. Tuhan takkan pernah alpa menjagamu. Hujan akan datang sesuai titah Tuhanmu.


Gambar diambil dari google.com


Tuesday, November 25, 2014

Ilmu Keluarga dan Konsumen

 I ever read a quote ‘sounds’ like this:

Semua do'a direkam,
dikabulkan kapan-kapan.
(Irfan Amalee)

Every du'a is recorded, and in the right moment, it will be granted.

You have a dream, you have to make du'a. You have a dream, you have to protect your du'a. You have a dream, you have to know -to realize, there's no one except Allah who answers your du'a.

No matter how big your dream is, Allah's more than enough to make it real. Don't you remember that He is the owner of every existing creature? the owner of every big thing included your big dream. Blessed is He in whose hand is dominion, and He is over all things competent (Al-Mulk: 1). No matter how simple your dream is, how deep your dream-whisper is, Allah knows. He knows exactly what is in every heart. And conceal your speech or publicize it; indeed, He is knowing of that within the breasts (Al-Mulk: 13).

Well, Allah knows. But you have to underline this: if you don't put your trust in Him and you don't neither support it by your prayer, then you get nothing. Remember this meaningful quote: Allah itu Maha Kaya, tapi jika kita tidak pernah meminta, takkan pernah sampai kekayaan-Nya kepada kita (Bu Ida, 2012).

By this chance, I want to share my personal story about how did I find –or maybe found by- my college major now: Family and Consumer Science a.k.a. IKK (Ilmu Keluarga dan Konsumen) in Bogor Agricultural University  a.k.a. IPB (Institut Pertanian Bogor). It’s a big honor for me to be in this college which I never ever imagined before, this kind of major is does exist in Indonesia. (Hyperbola? Yes you may say so. Hhe :))

About two years ago, I was in a big deal of deciding, what kind of major and what college will I attend.  In another day I asked my dearest mother about her opinion. I told her about my confuseness. Then, she asked me about my dream and I said confidently that I want to be a teacher. But when she asked me what kind of teacher do I want to be, poorly I have no answer. Math? Chem? Biology? Physic? English? History? I have no idea. I just love to coach, to hear other’s story, to share about the lesson of life itself. I’m interested in how human build their interests. And this part is an amazing of a mother, she asked me to do istikharah prayer. Shalat istikharah dari sekarang, De. Minta sama Allah dikasih petunjuk dari sekarang, jangan nanti-nanti. (Mama, 2012).

I found IKK when I was in the 3rd year of Senior High School. I was sitting in CSA (Central Student Activity); the place where all student is allowed to use their own laptop (in my boarding school, laptop is forbidden to exist in dormitory) when someone added me on Facebook. A student college named Intan Islamia Mavirlian. Honestly i didn’t pay much attention to her at that time. Several weeks after, as I opened my Facebook account in regular time (regular time is a moment when student allowed to go out from my boarding school, once per two weeks), I tried to talk to her. She gave me such informations about college life and IPB condition (I started interest to be a Biology teacher so I asked Kak Intan about Biology department in IPB). Well, as you guessed, Kak Intan is an IKK student.

This part takes too much story to tell, so I will make it shorter. Well finally I am in this college, and i’m really amazed how Allah guided me beautifully. As the time passed, I just know that Kak Intan added me on Facebook because she found out my name written as the author on a children storybook at Labschool (Labschool is an education institute controlled by IKK department). Forget about my name, because i don’t even know what kind of book it is. You may freely assumed it was just an accident that Kak Intan found my name. It just simply, eyes illusion (?). How can I became the author when I didn’t even make any children story to be published? Well I don’t really care with the book and my name which was written as an author as Kak Intan told me. But my main point is, I think (and I feel it!) it was the way Allah guided me. He guided me with the unpredictable story, unpredictable scenario. But yeah, maybe someday I’ll check out which one the book is. Is it really ‘Rizky Sahla Tasqiya’ or another name on it.

And here I am now, studying at Ilmu Keluarga dan Konsumen. Exploring about family, education, character, children, interest, psychology, human, agriculture, ecology, nutrition, and many more. As this major is considered as new major in my campus, and also the only one in Indonesia (IKK is established on 2005), so many people still don’t know about IKK and how important the science of family and consumer is to be studied. When I was in senior high school, I highly believed that our nation’s main problem is strongly centered on human character. Because of that, I want to be a teacher. As my study, observation, and my wider perception nowadays, I just realized that the point of character education is not the teacher, but the family. Isn’t it? Karena dari keluarga-lah semuanya bermula. (Rizky Sahla Tasqiya, 2014)

It’s my second year in IKK and I’m really grateful of that. Thanks, Allah :) Ah ya, just for your information, Kak Intan is continuing her master study program in Taiwan. We don’t meet up yet as she went there in my first year of college. I hope I can meet her someday and say her bigthanks. About IKK, you may check this site for more information.

Every du'a is recorded, and in the right moment, it will be granted. I didn’t mention ‘IKK’ in my –every-  prayer. It was simply because I didn’t really know which college and specific major did I want to attend. I didn’t even know what is the name of my dreams and how should I define them using words. There was only this simple thing on my mind --> I want to be useful for the others in my own way. And poorly, I don’t know which one is the best one for me, which one will bring me to the right usefulness. So i have to ask Allah who knows everything and also the owner of everything. I have to ask Him, to show and guide my way to the best one. He knows best, and I do believe it.

You have a dream, you have to make du'a. You have a dream, you have to protect your du'a. You have a dream, you have to know -to realize, there's no one except Allah who answers your du'a. So when it is hard to explain your dream in words, when you feel blank which step you will choose, or when you feel so complicated and find no way to reach your dream, keep it on your du’a. The one who answers your du’a is knowing everything, so don’t worry. He knows you have a big-positive dream, then believe. When you ask Him, He will answer no matter who you are. When My servants ask thee concerning Me, I am indeed close (to them): I listen to the prayer of every suppliant when he calleth on Me: Let them also, with a will, listen to My call, and believe in Me: That they may walk in the right way (Al-Baqarah: 186).

Whatever your dreams are, Allah knows. And whatever do you want, Allah knows best. :)

Rain City, November 25th 2014 at 4.04 pm

Tuesday, November 18, 2014

Ayah-Bunda Insan Cendekia

Kali ini biarkan saya menulis edisi #haltekehidupan, terdedikasi untuk ayah-bunda luar biasa di tanah berjuta kisah, Insan Cendekia. Malam ini saya baru saja menyaksikan cuplikan-cuplikan performa adik-adik di salah satu stasiun televisi; mengikuti sebuah ajang olimpiade. Ini memang kali pertama saya berhasil streaming setelah minggu-minggu sebelumnya gagal. Alhamdulillah. Seperti alumni kebanyakan, saya pun jadi ikut-ikutan melambung pada beberapa bulan lalu. Pada dua-tiga tahun lalu, ketika kaki-kaki saya masih intens menapaki tanahnya. Ketika langkah saya masih secara rutin terekam pada setiap pagi-sore-petang ranahnya. Ketika tatap saya masih kerap menyapa langitnya. Nostalgia. Dan salah satu cara terbaik mengekspresikan nostalgia adalah melalui tulisan.

Beberapa waktu belakangan saya tengah dalam masa jenuh. Merindukan sense of jihad, merindukan ustadz-ustadzah pembakar semangat, merindukan keajaiban kawan-kawan seperjuangan, merindukan civitas luar biasa yang saling menbar senyum-salam sapa. Dan akhir-akhir ini pula, rekaman dalam memori saya me-rewind masa putih abu-abu saya. Masa tiga tahun yang jika mereka bilang masa paling indah adalah masa SMA, maka saya fikir statement itu tidak terlalu keliru.

Satu tahun lebih setelah berlabel alumni, dan tanpa saya sadari sebelumnya, diam-diam saya merindukan suasana pagi Insan Cendekia. Merindukan sapaan hangat pak Suhali tiap pagi tentang es krim kulit semangka atau janji beliau yang hendak memberi saya nilai tambah di rapor lantaran saya ikut-ikutan mengecat tepi jalanan. Merindukan senyum Emak di kantin tiap saya mengucap salam untuk disendoki makanan. Saya juga merindukan Teh Euis, Teh Ratna. Saya masih ingat betul bagaimana untuk pertama kalinya saya pergi reguler dibonceng Teh Ratna, lalu kami makan es krim bersama.

Hei, tiba-tiba informasi yang terpanggil begitu banyak dan saya jadi bingung menuliskan darimana. Tahu-tahu setiap sudut tanah itu tergambar jelas di kepala.

Salah satu yang sungguh membekas dalam kepala saya adalah tentang guru-guru, tentang ustadz-ustadzah, tentang para pendidik yang kaya dan mengkayakan. Kaya semangat, kaya motivasi, kaya akan inspirasi. Saya ingat Bu Dini. Masa-masa di Pekan Ta’aruf Siswa, beliau mengatakan pada kami di Audio Visual Room, “Allah itu dekat, Nak.” Lalu kami diminta menepuk-nepuk posisi jantung. Melafadzkan asma-Nya. Air mata kami tumpah. Dan jujur saja, sampai saat ini saya sering melakukan hal itu. Ketika saya di ambang lupa, bahwa Allah itu sungguh dekat.

Ada perkataan dari seorang guru Biologi, Bu Etty namanya, yang sampai kini saya ingat dan saya bawa kemana-mana: “Kalian ada disini, bukannya kebetulan. Tangan Allah yang langsung menempatkan kalian disini. Bukan karena kalian pintar atau apa,” mungkin ini adalah bagian dari awal saya memiliki keyakinan penuh bahwa kausalitas itu nyata. Bahwa Allah selalu memiliki cara spesial untuk masing-masing hamba-Nya.

Tiba-tiba saya jadi ingat percakapan saya dengan Asma (anak perempuan syaikh). Percakapan yang tidak jelas arahnya, karena bahasa ibu kami berbeda. Tapi namanya anak kecil, ia akan menganggap saya mengerti sepenuhnya apa yang ia katakan. Sore itu saya tengah duduk di depan asrama guru, lalu bocah kecil itu datang dan tahu-tahu duduk di samping saya. Dia mengatakan beberapa hal –dengan bahasa arab, tentu saja- yang kira-kira begini:

“Lihat langitnya!” matanya berbinar, lantas menunjuk langit

“Ya?”

“Aku suka langitnya, cantiik sekali. Ya kan?”

Lalu saya speechless. Rasanya ingin bilang banyak hal, tapi miris memang, anak ini tidak mengerti bahasa Indonesia. Dan saya tidak tahu bagaimana mengungkapkan isi kepala saya dengan Bahasa Arab.

"Iya, aku juga. Kenapa Asma suka langitnya?" Jawab saya sambil nyengir mengingat Bahasa Arab saya yang acak-acakan. Namun Asma terlihat tidak terlalu peduli dengan saya yang tidak banyak bicara. Kemudian dia meneruskan kata-katanya, banyak. Berkalimat-kalimat, dan sesungguhnya saya tidak mengerti. Tapi saya rasa dia membicarakan hal yang menyenangkan. Matanya berbinar. :)

Memandang langit di ranah ini memang selalu saja mengasyikkan. Apalagi jika subuh pagi bulan masih bertengger di singgasananya. Jarak bangunan yang berjauhan, jalanan lebar, menjadi fasilitas pendukung bagi siapa-siapa yang mau menikmati jamuan langit di Insan Cendekia.

Langit sore itu juga, yang menjadi salah satu penghibur kami. Di koridor depan ruang guru. Masa-masa remedial yang mungkin saat itu rasanya agak menyedihkan, memang. Tapi masa-masa itulah yang mengajarkan saya tentang makna berjuang. Tentang esensi kejujuran. Yang juga saya rindukan adalah ujian di Insan Cendekia. Didikan ustadz-ustadzah, agar kami memahami esensi pengawasan. Bahwa yang Maha Mengawasi adalah Allah. Maka tidak heran, jika masa ujian cukuplah para insan itu duduk manis, mengerjakan dengan baik. Hening. Ketika mendapati ujian yang sulit, diam-diam saling menerka dalam hati, “Ini cuma saya doang yang merasa susah, apa emang susah beneran?” dan barulah ramai itu pecah ketika waktu ujian usai. Barulah saling tanya-menanya perihal jawaban. Tanpa ada pengawas ujian. Toh meski kadang kita lupa kehadiran mereka, pengawas kanan-kiri selalu siap sedia mencatat setiap amal kebaikan dan pelanggaran yang dilakukan. Bukan begitu?

Kalau ditanya apa cita-cita saya, saya akan menjawab ingin menjadi seorang guru, seorang pendidik. Tidak bisa dipungkiri, lingkungan menjadi salah satu motivasi saya. Sejak kecil saya biasa berhadapan dengan para guru; sebut saja kedua orangtua saya (yang membicarakan keduanya bukan perihal mudah sebab teramat istimewa..). Inspirator-inspirator ulung yang sedikit-banyak mempengaruhi pola fikir saya pun adalah guru. Meski secara luas, semua orang adalah guru, alam raya adalah sekolahnya (Semua orang itu guru, alam raya sekolahku –Pontoh- tertulis di koridor lantai dua gedung pendidikan Insan Cendekia).  Sayang, rasanya menyebutkan satu per satu ustadz-ustadzah, guru-guru terbaik saya, tidak mudah diungkapkan dalam satu waktu. Karena begitu menyebutkan satu nama, maka bukan hanya nama yang akan saya kabarkan, melainkan bagaimana kesan saya, kisah saya, persepsi saya terhadap beliau. Dan itu membutuhkan halaman yang (sangat) panjang.

Adalah salah seorang ustadzah saya, Bu Evi namanya. Sebagai guru asuh, Bu Evi suatu ketika memanggil saya pada tahun pertama. Kami berbincang-bincang. Dan bagian ini selalu saya ingat. Bahkan tidak dapat dipungkiri, mengambil peranan besar dalam perjalanan hidup saya hingga kini. Pemahaman akan esensi kesuksesan. Bahwa menjadi bagian dari kesuksesan sesseorang meski presentasenya hanya nol koma sekian persen, adalah sebuah kebahagiaan dan kesuksesan tersendiri. Beliau mengajarkan saya tentang makna keihkhlasan dan pentingnya berbuat baik sekecil apapun. Bahkan untuk sekadar mendengarkan cerita orang lain. Karena kita tidak pernah tahu perbuatan apa yang akan menjadi tiket kita menuju syurga. In syaAllah.

Lagi, saya ingat perkataan Bunda Iffat, ketika kami studi banding ke Bandung dan mengunjungi ITB pada tahun kedua. Saat itu kami berkeliaran dengan bebas. Maklum, anak asrama yang kesehariannya berada di penjara yang membebaskan. Saat itu beliau membawa beberapa barang bawaan, saya sempat menawari bantuan. Lantas beliau berkata, “Gak usah, seneng-senenglah kalian. Ibu mah senang lihat kalian senang begini.” Beliau melanjutkan, “Ya namanya guru senang kan kalau liat murid-muridnya senang.” Mungkin redaksinya berbeda, tapi kurang lebih maknanya demikian.

Ustadz Away Baidhowy pernah membicarakan tentang halte. Halte-halte kehidupan, dan Insan Cendekia adalah salah satunya. Hebatnya, bapak-ibu guru kami, ustadz-ustadzah kami, tetap disana. Tetap melakukan pengabdian. Jika kami pernah mengaku bosan menjalani rutinitas yang ‘begitu-begitu’ saja, apakah beliau-beliau merasakan demikian, menghadapi para peserta didiknya? Lantas adakah yang lebih mulia dari pengabdian di jalan kebaikan yang telah menjadi rutinitas?

Ah, ingin sekali mengungkapkan banyak terimakasih. Kepada ayah-bunda yang tidak bisa ananda sebutkan satu persatu. Terimakasih karena telah mengajarkan kami tentang nilai-nilai kehidupan. Mengajarkan pada kami tentang kreativitas, tentang makna seyuman, tentang kehangatan. Terimakasih telah mengajarkan kami bahwa ketegasan dan kejujuran adalah salah satu ekspresi cinta.

Mohon doa agar ilmu yang telah terbagikan ini mampu menjadi pemberat amal, mampu bermanfaaat bagi sesama dan semesta. Semoga ayah-bunda, ustadz-ustadzah, diberikan kemudahan, selalu dalam dekap hangat Allah Subhanahu Ta'ala. Aamiin. Salam sejuta sayang dan rindu dari kami, anak didikmu. 

Ditulis di Kota Hujan, pada 27 Muharram 1436H





Sunday, November 16, 2014

Menafkahi Hati Kita dengan Prasangka Baik

Dalam hidup, kita aka senantiasa dihadapkan oleh pilihan-pilihan. Mulai dari urusan makan hingga urusan pendidikan. Mulai dari lini keluarga hingga lingkup negara. Hidup menjadi manusia model apapun, kita akna tetap dipaksa memilih. Jadi jangan tanya kenapa deciding masuk ke dalam bahan ajar perkuliahan.

Sejalan dengan prinsip ekonomi, kita akan berusaha untuk mengambil keputusan-keputusan dalam hidup yang mendukung untuk efektivitas dan efisiensi. Hidup yang saya bicarakan disini tentu saja bicara tentang hidup seorang muslim: bicara tentang hidup seorang hamba. Standar efektif dan efisien tentu sangat tergantung dari bagaimana kita memaknai kehidupan itu sendiri.

Kalau guru Tsanawiyah saya pernah mengatakan bahwa hidup adalah pilihan, sebenarnya diam-diam saya tidak terlalu setuju. Karena bagaimana bisa dikatakan demikian, sementara saya tidak pernah memilih untuk hidup dan dilahirkan? Jika ada kesempatan memilih, mungkin dihadirkan di dunia sebagai sebatang kayu saja akan jadi lebih mudah. Namun diluar itu, saya setuju bahwa konteks hidup adalah kumpulan pilihan-pilihan. Kumpulan respons hamba terhadap instruksi, terhadap perkataan penciptanya.

Kita hidup pada waktu yang sama. Pada zaman yang sama. Pada atmosfer bumi yang juga sama. Tempat tinggal kita tidak berjauhan. Makanan sehari-hari kita serupa. Kegiatan kita pun seringkali bersamaan. Pagi kita saling menyapa, petang kita melambai tangan sambil mengucap salam. Lantas, apakah yang menjadi pembeda anatara kita? Bagaimana bisa muncul prasangka-prasangka dalam benak kita? Bukankah lelah kita sama? Lantas kenapa intensitas kehadiran kita pada waktu-waktu itu jadi berbeda? Mengapa pada satu waktu aku datang, kau tidak ada? Sebaliknya, kau datang, dan aku tidak? Asumsikan saja semua keseharian kita sama. Semua kewajiban kita sama.

Kita hidup dalam keberagaman fikir yang menancap pada otak. Hidup dalam kumpulan persepsi yang telah terkonklusi dan boleh jadi memiliki kesan berbeda di masing-masing kepala. Kalau pun diikatakan kita serupa dan homogen, sejarah hidup kita berkata lain. Jalan hidup kita, cerita kita, pengalaman-pengalaman kita, keputusan-keputusan terdahulu kita, adalah unik adanya. Masing-masing kita tentu memiliki dialog panjang dengan Tuhan yang pada akhirnya melahirkan pemikiran, menghadirkan mindset, memunculkan keputusan-prioritas yang berbeda.

Mengingat akan hal ini, tentu tidak heran jika permasalahan bisa muncul meski diri sama-sama mengaku bergerak dengan kendali mesin yang sama. Tentu tidak heran jika persepsi, penilaian, kepentingan, hingga pengambilan keputusan yang kita lakukan berbeda meski alasan yang kita ungkap sama. Contoh saja yang saat ini sedang relevan dan sederhana, bagaimana penguasa negeri kita sibuk berseteru dengan alasan yang sama: (katanya) untuk kepentingan rakyat. Lantas? Harusnya kita tidak perlu sibuk dengan perbedaan semacam ini. Kebaikan akan berjumpa di titik temunya, bukan? Meski orang bilang kebaikan itu subjektif dan kebenaran itu pasti, namun saya rasa hukum relativitas berlaku untuk keduanya. Pada akhirnya, yang baik akan berkumpul bersama yang baik.

Maka dari itu, saya rasa kita perlu menjadi seorang profesional yang menilai dengan bijak. Yang menjuri tanpa mengingkari. Yang menasihati tanpa menghakimi. Yang menyampaikan tanpa memaksa keinginan. Namun, bukan berarti kita tidak mengupayakan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang kita yakini. Hanya saja kita perlu mengemas dengan cantik penyampaiannya. Hanya saja kita perlu mengambil pelajaran, karena boleh jadi (fikiran) kita yang keliru. Bukan serta-merta mengklaim bahwa konsep diri kita-lah yang mutlak benar. Bukan serta-merta menjurikan ‘salah’ untuk pihak di luar kita. Rasulullah, teladan kita itu, tidak pernah mengajarkan umatnya bertindak angkuh dan sombong. Beliau juga tidak mengajarkan kita untuk menaruh prasangka-prasangka buruk, terlebih pada suadara seiman. Bukan begitu?

Mungkin saat ini lingkungan kita sama. Kewajiban kita sama. Masa-masa kita lalui boleh jadi juga bersama. Tapi itu saat ini. Sementara jauh sebelum masa ini datang, kita telah memperoleh jalan panjang. Pembentukan-pembentukan fikir yang mungkin tidak kita sadari. Sebagai pribadi, saya kerap berusaha menerapkan ini. Melihat sisi tidak terlihat dari pihak di luar diri. Misalkan saja, saya sama sekali tidak suka dengan keluhan yang kontinu. Gerutu akan hal-hal sederhana semisal hari panas atau persoalan banyak tugas. Perjalanan saya mengatakan bahwa keluhan semacam itu hanya akan mempersulit diri sendiri. Saya dididik untuk berfikir demikian. Lantas ketika suatu saat saya berjumpa dengan orang yang berlaku demikian, yang disibukkan dengan gerutu-gerutu, apakah pantas saya merasa lebih baik? Saya rasa tidak. Kita tidak pernah tahu sejarah macam apa, perjalan macam apa yang telah menemaninya selama ini. Bisa jadi ia belum mengetahui bahwa keluhan akan membuat diri semakin susah. Atau boleh jadi, baginya keluhan semacam itu adalah hal sepele yang tidak berdampak penting pada psikologisnya. See beyond the eyes can see. Jika menemukan hal-hal yang di luar pemahaman kita, upayakan cari tahu. Bukan untuk mengikuti, hanya simpel saja, untuk mencoba memahami karakter manusia. Untuk menyampaikan nilai-nilai yang kita yakini kebaikannya. Untuk mengecek ulang pemahaman kita, atau bahkan menguatkannya. Suatu saat kita akan tahu betapa berharganya kemampuan ini.

Begitu juga tentang prioritas dan bagaimana kita menentukan pilihan. Disadari atau tidak, banyak faktor yang berperan. Disadari atau tidak, kita banyak belajar dari kondisi dan situasi yang pernah kita jumpai. Bukan hanya kita, tentu saja, tapi juga orang lain. Maka jangan heran jika prioritas masing-masing kita berbeda. Bagaimanapun, hidup kita dihadapkan pada pilihan-pilihan. Setiap orang mengalami proses pembelajaran yang unik. Kriteria prioritas antar insan boleh jadi berbeda. Catatan pentingnya, jadilah profesional yang bijak. Yang tidak menjuri seenaknya.

Jika dalam suatu kesempatan kegiatan yang menurut kita sangat penting, namun di saat yang bersamaan orang lain memilih mundur dan melakukan aktivitas yang lain, ada baiknya kita bertanya tentang apa dan mengapa. Ia pasti memiliki alasan. Entah negatif atau positif, itu tidak penting –setidaknya bagi kita- karena perihal niat adalah hak masing-masing individu. Tapi pertanyaan apa dan mengapa, keyakinan bahwa ia memiliki alasan atau pun latar belakang, akan membantu kita mengolah fikiran. Bukan malah seenaknya menghakimi tanpa kejelasan. Bukan malah serta-merta menganggap ia tidak solid atau bahkan menilainya miskin kontribusi. Mungkin bagi sebagian orang,  hal semacam ini sulit dipahami. Tapi percayalah, cara ini efektif untuk menjaga diri dari prasangka-prasangka negatif: seizin Allah Subhanahu wa Ta'ala.
.

Ini bukan hanya tentang berprasangka baik kepada orang lain,
Tapi lebih tentang menafkahi hati kita dengan prasangka-prasangka baik.

Wallahu a'lam.


Ditulis di Jakarta-Bogor, 16 November 2014
Ketika langit sedang melagukan gemuruhnya.


Friday, November 14, 2014

Eksistensi

Kamu pernah, berfikir tentang esistensi manusia? dalam beberapa hal, ketika aku memposisikan diriku sebagai seorang tokoh dalam kehidupan, aku melihat bahwa hidup ini hanya antara aku dengan Tuhan. Orang-orang di sekelilingku hanya fatamorgana. Semesta alam hanya semacam hologram; aksesori, untuk menguji pertahanan. Dalam level yang lebih abstrak, aku memandang diriku sebagai seorang pemeran utama yang tengah berdialog dengan Tuhan. Hanya berdua. Dialog-dialog yang terwujud dengan hadirnya insan-insan di kehidupanku. Dialog-dialog yang mekar karena ada sebuah sistem yang sedemikian teratur; hasil cipta Tuhan. Sementara aku jadi tokoh tunggal yang diuji. Yang tengah berada di arena tanding. Semua jadi seperti ilusi. Inikah yang disebut-sebut bahwa dunia hanya fatamorgana belaka? entah. Namun pada kesempatan yang lain, aku merasa bahwa Tuhan menciptakanku bukan untuk menjadi tokoh utama. Aku adalah tokoh penggembira, yang hadir dalam kehidupan masing-masing orang. Menjadi figuran. Jalan kisahku adalah kisah orang lain. Cita-citaku adalah agar cita orang lain terwujud. Sebenarnya agak rumit untuk menjelaskan ini. Sungguh.

Sebuah prolog coret-coretan di binder kuliah,
Bogor, 4 Maret 2014 pukul 19.09 WIB



Friday, October 24, 2014

#thinkagain

Adalah seorang pemuda yang suatu ketika bertanya pada Tuhan. 

Tuhan,  dimanakah kau tempatkan aku pada ranah perjuangan? Sementara kawan-kawanku perlahan telah menemukan jalan juangnya masing-masing. Lantas bagaimana dengan urusan aku? Apa sungguh aku Engkau ciptakan untuk ‘sekadar’ menjadi penggembira pada kisah-kisah hidup orang lain?

Bahkan urusan sederhana seperti ini saja aku tidak becus, Tuhan. Bagaimana aku mendapat kesempatan meraih cita, jikalau kesempatan untuk aku berjuang saja Engkau ‘tiadakan’?

Hening sejenak.

Kemudian pemuda itu tersentak.

Ini adalah keadaan terhimpit. Keadaan dimana peluang dirasa sangat sedikit bahkan hanpir tidak mungkin. Bukankah justru keadaan seperti inilah saat yang tepat untuk berjuang? Inilah kesempatan emas itu. Memperjuangkan peluang sekecil apapun. Bukankah Tuhan sedang mengajaknya berbincang? Memberinya kesempatan untuk berjuang; untuk berlelah-lelah.

Dan benar saja, peluang kecil itu lunas terbayarkan menjadi satu. Bertubi-tubi, dalam durasi tidak lebih dari sekali putaran rotasi bumi.

Sungguh, terdapat petunjuk bagi orang-orang yang berfikir.

#thinkagain

Pada penghujung tahun 1435 H,




Friday, October 10, 2014

Air Mail #5



Aku.
Mencarimu di antara rindang pepohonan,
Mengamati tanda kedatanganmu dalam sayup-sayup bisikan pasir pantai,
Mengharapkan kehadiranmu di sela-sela barisan semut pagi hari

                Aster, kau masih ingat Tuan Erdas? paman yang kerap membekali kita sekeranjang stroberi setiap hari Rabu  itu kini telah tiada.



 AIR MAIL

                      
“Razen, kau itu terlalu sentimentil.Bisa tidak, lebih melogika sedikit? Bukankah kamu laki-laki?” Itu adalah deretan kalimat pembunuh nomor satu bagi seorang anak laki-laki.  Kau harus tahu akan hal itu, Aster.

“Sentimentil?”

“Iya,” ujarmu pelan.Matamu masih sembab. Kau baru saja menangis terisak sambil mengetuk-ngetuk pintu panti. Mencari kawan-kawanmu. Mencari aku, mungkin saja. Dan entah apakah itu keberuntungan atau sebuah kesialan, hanya ada aku dan para petugas di panti.

“Jangan bilang aku sentimentil. Kau yang baru saja menangis, Aster cengeng.”Aku beranjak meninggalkanmu dari lapangan bola. Bergegas hendak masuk ke dalam panti. Bukan jahat, hanya berharap agar kau meneriakiku seperti biasa, menyumpahiku sesukamu, lalu kau kembali normal. Tapi jujur saja, deret kalimatmu soal sentimentil sungguh membunuhku. Aku sedang demam tinggi, Aster. Bagaimana bisa kau tidak menyadari? Bagaimana bisa logikaku dinyalakan seratus persen, sementara pandangan mataku begitu buram, bahkan  untuk sekadar melihat sosokmu.

“Kenapa ditinggal?” tanyamu pelan. Masih terisak. Berusaha melempariku dengan rumput lapangan bola. Tindakan bodohmu yang baru saja aku jumpai. Hei, kau ini kenapa, Aster?

“Peduli apa? Aku sudah minta maaf, kenapa justru kau bilang aku sentimentil?” aku membelakangimu, berjalan terus masuk ke dalam panti. Kepalaku berat sekali. Diam-diam masih mengharap balasan ocehanmu. Tapi ternyata kau tidak berkata apa-apa lagi. Kau diam. Membiarkan aku pergi meninggalkanmu sendiri di lapangan bola.

**

“Assalamu’alaik. Permisi, Nyonya. Apa Tuan Erdas masih tinggal disini?”

“Erdas El-Ghuraba?”

“Ya, benar.Beliau masih disini?”

“Sayang sekali anak muda, satu bulan lalu anaknya menjemput beliau untuk pulang. Tubuhnya sakit-sakitan.”

“Pulang kemana, boleh saya tahu?”

“Ke pusat kota utama.Maafkan kami, tapi baru saja dua hari lalu ada kabar bahwa beliau telah tiada.”

“Tiada? Maksudnya beliau wafat?”

“Ya, sekarang kebun stroberinya dikelola oleh anak beliau.”

“Astaghfirullah. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun”


Aster, apa mungkin ini sungguh rencana Tuhan untuk memudahkanku dalam melupakanmu?
Atau, Tuhan hendak mengajariku untuk berdamai dengan masa lalu?

**

“Jangan minta maaf. Kau bahkan tidak tahu kenapa aku menangis, kan? Harusnya tidak perlu minta maaf. Itu yang membuatmu terlalu sentimentil. Berhentilah menjadi pahlawan, Razen.”

Kalau kau tanya apa deret kalimat pembunuh nomor dua, maka tuisanmu dalam memo itu, adalah jawabnya.

Aster, aku tahu kau yang teramat keras kepala. Tapi tidakkah kau menyadari satu hal mendasar? Rasanya sederet kalimat itu lebih cocok jika disematkan padamu, bukan padaku. Atau jangan-jangan kita memiliki kemiripan dalam hal ini? Pahlawan.

“Ayahku meninggal, Razen.”

“Apa katamu?”

“Kemarin aku menangis, ayahku meninggal.” Kau tertunduk pilu. Aku sungguh tertegun. Tidak tahu harus berkata apa.

“Maaf.  Aku sama sekali tidak tahu...”

“Tidak apa. Aku juga tidak tahu kau sedang demam tinggi. Maaf.” Kemudian kau memamerkan gigi. Nyengir. Sama sekali tidak indah, Aster. Kau menangis sambil tertawa. Pilu sekali. Diam-diam aku memaki diriku sendiri yang kemarin mengataimu cengeng. Sungguh, maafkan aku. Aku sama sekali tidak tahu.

Aku sama sekali tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang yang amat kita sayangi. Mungkin kalimatku lebih membunuh daripada milikmu, Aster cengeng…

**

Aster, kita hidup dalam kausalitas hidup yang idak berkesudahan. Sambung-menyambung. Suatu saat kita menjadi sebab, dan pada kesempatan yang lain kita akan menjadi akibat. Mungkin mengenalmu membuatku jadi begitu sentimentil. Maka saat itu kau menjadi sebab. Mungkin, perpisahan denganmu adalah jawab Tuhan atas doa sederhanaku yang meminta agar Dia menjadikanku seorang yang bergerak dinamis menjadi lebih baik setiap harinya. Dan saat itu, kau jadi bagian dari akibat. Namun memang, semuanya tidak sesederhana ini. Ada jejaring kausalitas yang saling menghubungkan kisah antar manusia. Ada rumusan rahasia yang membuat garis-garis kehidupan kita saling bersinggungan.

Tuan Erdas telah tiada. Padahal aku tengah dalam antusiasme tinggi untuk menyapanya. Padahal aku tengah begitu bersemangat untuk mengatakan, bahwa aku pun telah memiliki perkebunan juga seperti beliau. Padahal aku sungguh ingin mencium takzim tangan beliau, dan berterimakasih betapa ia telah mengajariku banyak hal, menjadi bagian dari sepotong masa kecilku yang indah. Mungkin kau benar, Aster, bahwa aku terlalu sentimentil.

Kau masih ingat, tumpukan surat yang kau simpan dalam kotak kayu berbunga? Aku terhenyak dengan kata-katamu pada salah satu surat yang kau tujukan untukku. 

Razen, setap kita adalah tokoh utama pada kehidupan kita sendiri. Bukan begitu? Apakah kau merasakan hal yang sama sepertiku, bahwa hidup ini seperti kumpulan perbincangan-perbincangan antara kita sebagai individu dengan Tuhan? Aku bersyukur untuk mengenalmu, Razen. Aku sungguh berterimakasih. Bukan kepadamu, melainkan berterimakasih kepada Tuhan.

Bahwa hidup ini seperti kumpulan perbincangan-perbincangan antara kita sebagai individu, dengan Tuhan. Kau benar, Aster. Ada skenario besar di balik semua ini. Lahir sebagai yatim-piatu, bertemu dengan kawan-kawan di panti, mengenalmu, menyapa ibundamu, kehilangan ayahmu, kehilangan kau, kehilangan Tuan Erdas, merasa sendiri, bertindak tidak rasional dengan mencari bunga aster di tanah yang kerap kita sebut-sebut sebagai tanah cinta. 

Aku baru memahami hakikat sederhana itu. Bahwa kita hidup di dunia adalah sementara. Mungkin inilah maksud dari pesan tentang dunia yang sungguh hanyalah fatamorgana belaka. Karena isinya semata-mata hanya sandiwara. Hanya ada percakapan antara kita sebagai individu, dengan Tuhan. Hanya ada ujian-ujian keimanan demi memasuki pintu abadi yang kabanya kekal. Mungkin kau hanyalah ilusi belaka, Aster. Begitupun surat udara ini. Kurasa ini adalah salah satu episode perbincanganku dengan Tuhan, yang sungguh menakjubkan.

Melepaskan dan dilepaskan. Meninggalkan dan ditinggalkan. Mengikhlaskan dan diikhlaskan.

Aku tidak pernah tahu rasanya kehilangan orang yang teramat kita sayangi, hingga pada satu titik ketika kehilanganmu mengajarkanku akan hal itu. Hingga mendapati Tuan Erdas  pergi, memberikan aku ruang untuk mengevaluasi diri. Mengikhlaskan dan diikhlaskan. Kalau aku seorang penuntut, mungkin aku akan menuntut Tuhan atas pilihannya membawa pulang Tuan Erdas tepat dua hari sebelum aku tiba di kampung halaman kita. Mungkin beberapa tahun lalu aku akan menuntut mengapa Tuhan mengajakmu pulang tanpa ada kalimat selamat tinggal yang lebih indah di antara kita. Terimakasih, karena aku telah diajari akan pemahaman baik itu. Pemahaman bahwa hidup ini semata-mata adalah tentang aku dengan-Nya. Tentang kita -sebagai indvidu- dengan Tuhan.

Aster, aku tidak hendak berterimakasih kepadamu,  atau kepada Tuan Erdas. Melainkan aku berterima kasih kepada Tuhan. Lantas jika dunia hanyalah fatamorgana, kepada siapa kita hendak melangkahkan kaki?

Aku.
Mencarimu di antara rindang pepohonan,
Mengamati tanda kedatanganmu dalam sayup-sayup bisikan pasir pantai,
Mengharapkan kehadiranmu di sela-sela barisan semut pagi hari

Kau.
Yang sejatinya tiada perlu kucari-cari
Selalu disini, begitu Kau berjanji.


Bukankah begitu, Tuhan?



 **

Ah, Aster. Mungkin kau benar.Mungkin aku yang terlalu sentimentil.
Jika berharap padamu pernah membuat aku terbunuh,
maka aku memilih berharap pada Tuhan.
Kalaupun aku terbunuh, bukankah kepada-Nya pula aku akan kembali?


Dzulhijjah 1435H, 
ketika gerhana baru saja menyapa sang bumi cinta.