Monday, June 25, 2018

Air Mail #11


Aster, kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari ditinggalkan? ya, meninggalkan. Dan akan semakin sakit ketika alasan di balik meninggalkan itu adalah memenuhi permintaan untuk tak muncul di hadapan lagi. Jadi sungguh maafkan aku, Aster. Aku pilih untuk melepas dibandingkan harus pergi.

**

“Lalu kalian tidak pernah bertemu lagi?” Nyonya Val mengangkat kedua alisnya. Aku mengangguk sambil berdehem pelan.

“He em,” kuseruput cokelat panas yang baru saja ia suguhi.

“Kenapa dia, hmm.. siapa namanya?” Nyonya Val berhenti sejenak mengingat namamu, “oh Aster! ya, Aster itu, kenapa dia menyuruhmu pergi?” kali ini aku angkat bahu.

“Saat itu aku tidak benar-benar mengerti apa alasannya, Nyonya,” jelasku.

“Sampai saat ini?” agaknya perempuan berkacamata itu benar-benar tertarik mendengar cerita tentang kita, Aster.

“Belakangan, kudengar ia sakit.”

“Hanya itu?” tanyanya lagi.

“Mungkin karena dia seorang perempuan,” mendengar jawaban itu, Nyonya Val mengernyitkan dahi sambil menatapku lekat dari balik kacamatanya.

“Apa salahnya menjadi seorang perempuan?” wanita itu geleng kepala sambil mengangkat bahu. Alisnya mengerut. Aku tertawa.

**

Saat itu aku tidak habis pikir apa yang ada di dalam kepalamu ketika memintaku untuk pergi—jangan muncul di hadapanmu lagi. Aku juga tidak punya ide mengapa ayah dan ibumu tidak melarang untuk melakukan hal itu. Aku hancur, Aster. Seperti ditelan ombak seketika. Aku hancur seperti ditenggelamkan oleh samudra.

**

Mendengar pertanyaan retoris Nyonya Val, aku tertawa.

“Hei anak muda, kenapa kamu tertawa?”

“Hm, tidak apa-apa. Perempuan mungkin memang dicipta untuk membela perempuan lainnya,” ujarku sambil tersenyum. Kembali menyeruput cokelat panas.

“Yah terserah kau lah. Tapi dirimu terlihat lebih muda hari ini!” Nyonya Val tersenyum lebar. Aku tahu, ia selalu saja mengapresiasi tiap aku tertawa. Sebab menurutnya, aku adalah anak muda yang menampilkan ekspresi terlalu serius hingga terlihat sedemikian tua.

“Nyonya,” kataku seraya meletakkan cangkir di atas meja, “aku baru saja belajar bahwa melepaskan  mungkin lebih lebih mudah daripada pergi,” mataku menatap pasangan sepatu yang melekat di kedua kakiku.

“Syukurlah, anak muda!” wanita itu menyilangkan kedua tangannya, “kamu benar. Meski, dalam banyak hal, mencintai atau membenci seseorang jauh lebih mudah daripada menjadikannya bukan apa-apa.”

“Maksudnya?” aku membetulkan posisi duduk.

“Butuh kekuatan besar ketika kamu hendak menjadikan seseorang yang hidupnya pernah bersinggungan erat denganmu supaya berada di tengah—pada titik seimbang, bukan?” aku masih mencerna kata-kata Nyonya Val hingga ia melanjutkan, “kamu akan lebih mudah untuk tetap mencintai, atau pilihan kedua adalah membenci. Hanya sedikit orang yang berhasil menjadikannya bukan apa-apa, menjadikannya bukan siapa-siapa, Nak.” mendengar itu, aku mengangguk.

“Benar, Nyonya. Lalu apakah keputusanku untuk melepaskan adalah tepat?”

“Tentu. Melepaskan adalah salah satu wujud kedewasaan laki-laki,” Nyonya Val melempar senyum. Aku tertawa lagi.

“Melepaskan berarti mencintai dengan kesadaran utuh. Yah, bagiku itu adalah salah satu cara membijaksanakan cinta, Nak,” ia membetulkan posisi kacamata yang kerap turun. Menunjukkan garis-garis keriput pada wajahnya, tanda usia yang tak lagi muda.

**

Melepaskan barangkali membutuhkan energi lebih sedikit daripada pergi. Aku memutuskan untuk melepaskan saja, Aster. Bagiku, setidaknya itu lebih menghadirkan kelapangan hati. Dan agaknya ia juga lebih membuat bahagia, kan?

**

“Nyonya, apakah melepaskan juga salah satu wujud kedewasaan perempuan?” tanyaku lagi.

“Menurutmu, anak muda?”

“Melihat reaksi Nyonya, sepertinya iya,” kami kemudian tertawa.

Sudah lama sekali aku tidak berbicara santai dengan orang lain, Aster.

Syawwal 1439 H

***

Sumber