Tuesday, February 16, 2016

Pulang

"Mas akan pulang. Tidak lama lagi," katanya di ujung pembicaraan kami. Aku menelan ludah. Mas Rean selalu bilang begitu tanpa benar-benar pulang. Padahal Mbak Umi, iparku, istri Mas-ku itu sudah ingin sekali mengunjungi Indonesia. Kutanya apakah itu soal biaya? katanya bukan. Lantas apa, hei, Mas?

Mas Rean, kakakku satu-satunya. Tega sekali bertahun-tahun membiarkan adiknya tersiksa rindu begini. Kalau tidak melalui telepon, kadang aku mengiriminya surat. Memang sebenarnya bisa saling berkirim e-mail. Tapi kalau sedang kangen, obat sekali melihat tulisannya sekaligus mendapat kiriman daun dari tanah sakura.

Dari kecil, kalau ditanya apa mimpiku, aku akan dengan lantang menjawab "Mas Rean." ya, mimpiku tidak lebih tinggi dari kembali bertemu dengan Mas-ku yang satu itu. Melihat kakak ipar dan keponakan saja hanya lewat foto. Kasihan sekali ya, Reina ini. Mas-ku memang menyebalkan. Membuat adiknya rindu tak karuan.

Orangtua kami sudah lama tiada. Mas Rean-lah yang banyak mengajariku berbagai macam hal. Mulai dari sejarah Yogyakarta sampai cara masak Gudeg khas kota kami pun, Mas Rean jagoannya. Mas-ku itu religius. Tidak seperti adiknya yang keras kepala. Ya, tidak seperti aku yang berkali-kali disuruh pakai jilbab tapi belum mau juga.

Mas Rean adalah inspirasi. Bagiku, ia adalah perpanjangan tangan Bapak dan Ibu. Adalah perpanjangan tangan Tuhan untuk menjagaku di dunia.

Percaya padaku. Kamu harus bertemu dengannya kapan-kapan.
Nanti ya, kalau ia pulang.


*Cerpen Reina dan Mas Rean "Kata-kata Laut" bisa dibaca disini

Namaku Multazam


Namaku Multazam. Entah inspirasi darimana Amak dan Abah menamaiku demikian. Tapi kata orang-orang, namaku itu keren. Sebab adalah nama salah satu tempat dimana doa-doa kepada Tuhan diijabah. Dimana? aku juga tidak tahu. Lagipula aku tidak terlalu peduli.

Namaku Multazam. Hari ini aku berdiri di jembatan jalan ibu kota. Bukan, aku bukan tengah mencari kerja seperti orang-orang perantauan lainnya. Lagipula aku bisa dapat kerja apa? paling-paling hanya jadi tukang serabutan, atau pemulung jalanan. Wong sarjana saja susah, apalagi cuma bekal ijazah SMA.

Namaku Multazam. Aku manusia biasa, bahkan cenderung tidak berguna. Aku juga tidak mengerti apa sisi baik dari diriku. Mungkin nyaris tidak ada. Di kampung hidup susah, di kota makin tak berdaya. Heran, kenapa ya kira-kira Tuhan tega menjadikanku ada?

Namaku Multazam. Hari ini aku berdiri di jembatan ibu kota. Bukan mencari pekerjaan, aku hendak mengakhiri peradaban. Ya, tepat sekali. Bunuh diri. Kupastikan semuanya aman. Mulai dari kartu identitas sampai seperangkat barang bekas. Tidak ada yang aku bawa. Biar saja nanti jasadku tidak ada yang mengenal. Paling-paling hanya masuk berita TV sebentar. Atau bahkan cuma numpang lewat di koran ibu kota.

Hei, tapi... Tapi namaku Multazam.

Katanya identik dengan tempat berdoa yang diijabah Tuhan.
Masa iya seorang Multazam tidak percaya doa dan hendak mengakhiri kehidupan?

Ya, tapi..
Tapi namaku Multazam.

Namaku Multazam.

Namaku Multazam.

Namaku Multazam.

Dan detik ini aku berkecamuk tak karuan.


** Multazam adalah bagian dinding Kabah antara hajar aswad dan pintu Kabah.


Saturday, February 13, 2016

KEPADA JODOH SAJA

Topik tentang jodoh selalu menjadi pembicaraan hangat di kalangan mereka yang memasuki usia 20an. Bukan lagi bicara tentang jatuh cinta ala ala ABG atau semacamnya, melainkan mereka yang berada di kisaran usia tersebut mulai memikirkan tentang komitmen dan masa depan. Wajar. Dan bahkan selayaknya demikian.

Tapi tahukah Anda, di tengah pemahaman yang semakin membaik tersebut (bahwa membicarakan pasangan bukan lagi bicara sebatas cinta, melainkan sampai pada keselarasan visi misi dalam menatap dunia), musuh bebuyutan kita selalu saja menemukan celah untuk merayakan penggodaannya.

Tidak sedikit dari kawula muda yang katanya paham agama, namun terjebak dalam prinsip keindahan frase yang katanya 'jatuh cinta karena Allah'. Padahal sebagai seorang hamba, selayaknya jatuh cinta pada manusia hanyalah buah dari jatuh kepada sang Khalik. Jadi jika ada rasa yang hadir sebelum akad tiba, curigalah bahwa syaithan tengah meniup-niup si relung hati. Jatuh cinta karena Allah, maknanya adalah begini: Orang itu telah resmi menjadi pasangan halal Anda. Maka Anda jatuh cinta kepadanya, sebagaimana Allah mensyariatkan demikian untuk mencintai pasangan.

Meskipun terlepas dari itu semua, segala hal yang terjadi adalah atas seizin Allah, tentu saja.

Kepada jodoh saja.

Ada tips ampuh bagi Anda yang tengah memasuki periode tersebut. Adalah wajar jika Anda mulai memikirkan pendamping hidup. Terlebih di berbagai penjuru mulai bertebaran kabar sejawat yang melepas masa lajangnya. Alih-alih mulai melirik sana-sini dan menebak-nebak siapa kira-kira jodoh Anda tanpa kejelasan, lebih baik memantapkan hati dulu untuk jatuh cinta kepada jodoh Anda.

Loh, kan jodohnya juga belum tau siapa? Gimana jatuh cinta?

Nah. Itulah poinnya. Anda tidak mau ambil risiko untuk kecewa karena berharap, bukan? Maka jatuh cintalah pada jodoh Anda saja. Artinya, siapapun yang hadir hari ini di hadapan Anda, siapapun yang melintasi fikiran Anda, ingat bahwa Anda sudah jatuh cinta. Selama akad belum terucap, artinya siapapun itu, ia bukan jodoh Anda. Dan Anda tidak sedang jatuh cinta padanya. Anda telah jatuh cinta kepada jodoh. Jodoh adalah seseorang yang telah mengikrarkan diri untuk membersamai Anda melalui akad.

Kepada jodoh saja.

Prinsip ini akan memudahkan Anda untuk menjalani setiap proses agar selalu mengembalikan sesuatu pada Allah. Jika akhirnya menikah, berarti jodoh. Jika tidak, berarti bukan jodoh. Sederhana. Jadi tidak perlu ada kisah haru biru antara Anda dengan seseorang yang bukan jodoh Anda. Tidak ada kamus gagal move on bagi Anda yang memahami dan menerapkan prinsip ini. Percayalah.

Kepada jodoh saja.

Mereka yang telah melalui proses khitbah pun nyatanya belum tentu jodoh. Khitbah atau lamaran sama sekali tidak memberikan ikatan apapun pada keduanya. Apalagi dengan yang belum melalui proses khitbah. Artinya, Anda harus pandai-pandai mengatur hati. Syaithan lembut sekali godaannya. Kalaupun Anda hendak menyebut namanya dalam doa, tidak salah. Itu bukan hal yang buruk, in syaAllah. Tapi bawalah namanya dalam doa Anda secara netral. Sebagai saudara seiman (bukan sebagai calon (?) jodoh. Ingat, jodoh itu rahasia Allah). Bukan apa-apa, ini hanya upaya untuk menjaga hati Anda. Kalau Allah, tidak disebut namanya pun, Dia pasti tahu.

Oh iya, jika Anda bisa mendoakan orang lain, jangan lupa untuk mendoakan jodoh Anda tentunya. Meskipun Anda belum tahu siapa ia, tenang saja. Karena tujuan doa adalah Allah. Dan Allah, jangankan jodoh. Anak-anak Anda kelak pun, Allah sudah tahu. Kalau perlu titip salam melalui Allah untuk menyampaikan pesan pada sang jodoh, betapa Anda mencintainya. Sah-sah saja. :)

Kepada jodoh saja.

Jodoh adalah sesuatu yang perlu diikhtiarkan. Itu jelas. Tapi ingat bahwa bentuk ikhtiar menemukannya bukan dengan jatuh cinta. Jatuh cinta adalah ikhtiar membersamainya kelak untuk mendapat ridha-Nya. Ikhtiarkan ia dengan logika dan munajat cinta pada Yang Maha Pencipta. Sesiapa yang dikira jika bekerjasama dengannya dapat mendekatkan diri Anda dengan Allah, sesiapa yang diduga dengannya surga terasa lebih dekat, ikhtiarkan. Namun ingat, cukup Anda jatuh cinta pada jodoh saja.

Kepada jodoh saja.

Menyematkan cinta kepada jodoh saja, adalah hal yang lebih dalam maknanya dari sebatas penjagaan diri. Ialah pembuktian cinta Anda pada Sang Khalik. Karena sejatinya, seorang hamba hanya patut jatuh cinta pada Rabb-nya. Adapun cinta-cinta lain yang bermunculan hanyalah hasil bias dari cinta yang hakiki tersebut. Jika pun akhirnya Anda bertemu dengan seseorang yang telah membersamai Anda melalui akad, ingat bahwa cinta yang Anda miliki sama sekali tidak berhak untuk berlabuh kepadanya. Pelabuhan cinta Anda hanya kepada Allah semata. Sama, pasangan Anda juga demikian. Tidak perlu khawatir akan rasa yang jadi hambar. Karena kecintaan padaNya akan dengan indah melahirkan sakinah mawaddah warahmah secara otomatis pada Anda berdua.

Kepada jodoh saja.

Jadi kalau saat ini Anda 'terlanjur' mengakui bahwa Anda tengah jatuh cinta pada seseorang yang tidak jelas adakah ia jodoh Anda atau bukan, lebih baik benahi sekarang juga. Jatuh cintalah pada jodoh Anda saja- terlepas apakah Anda dengannya akan berjumpa di dunia atau di akhirat kelak.

Terakhir, jatuh cinta pada jodoh akan memacu Anda untuk lebih produktif dan berkarya. Ada begitu banyak ilmu yang belum Anda pelajari, ada begitu banyak ranah yang bisa Anda tebari manfaat. Daripada meluangkan waktu untuk jatuh cinta pada orang lain yang belum tentu Allah ridha akannya, lebih baik memantapkan hati dan mengoptimalkan potensi untuk semesta, kan?

Maka kepada jodoh Anda,

selamat jatuh cinta! :D

*Kepada semua, mohon doa untuk sahabat saya Nida Khansa Nazihah yang in syaAllah beberapa hari lagi akan melangsungkan akad pernikahannya. Hatur nuhun.. silahkan kunjungi tulisannya tentang jodoh disini :)

Thursday, February 11, 2016

Mbah Mukhtar: LGBT

Edisi Mbah Mukhtar: LGBT


"Mbah, kalau yang LGBT, kriteria jodohnya gimana?" aku garuk-garuk kepala. Isu tentang LGBT kian santer, sementara belum lama Mbah ku ini bilang kalau cari jodoh harus yang cantik dan sadar bahwa dirinya cantik. Dan untuk demikian, aku pun harus jadi tampan dan sadar bahwa diriku tampan. Lah kalau sukanya sesama jenis, jodohnya piye?

"Le, Le, ya sama aja toh kriterianya. LGBT itu kan penyakit. Kalo jodoh mah urusan gusti Allah. Tuhanmu itu ndak pernah toh jodohin laki-laki sama laki-laki?" Mbah Mukhtar mengerutkan alisnya.

"Perempuan sama perempuan juga nggak pernah, Mbah, hehe..." kali ini aku yang terkekeh. Biasanya Mbah Mukhtar yang melakukannya di sela-sela perbincangan kami. Lelaki peradaban itu lantas menyeruput kopi di hadapannya.

"Kamu ndak LGBT kan, Le?" Mbah Mukhtar menatapku dengan mata tajamnya. Aku tertawa lagi.

"Maaf ya Mbah, cucumu ini LGBT. Laki-laki Gagah Banyak Tilawah. Hha"

"Hahahaha ada-ada saja kamu ini to, Lee! kalau yang itu ndak bisa ditolak," lalu Mbah Mukhtar ikut tertawa. Menyapu udara. Aku mengangkat alis sambil memamerkan gigi.

Untuk urusan apapun termasuk ini,
jangan sampai lisan kita lebih banyak mencaci daripada mendoakan untuk kebaikan.
Jangan sampai, jangan sampai, berupaya menumpas kemungkaran sambil mengundang murka untuk diri kita sendiri.

Mari angkat senjata (baca: doa). #LGBT