Monday, November 18, 2019

Buku dan Ketepatan Waktu


Ahad lalu ketika melihat-lihat isi rak buku, mata saya tertuju pada sebuah buku karya Dr. Ibrahim Elfiky. Melihat buku itu, bukannya membuat saya teringat akan isinya, melainkan pada hal lain. Salah satu penyesalan saya atas waktu, sebab terlalu mengundur-undur mengirimkan buku tersebut pada salah seorang kawan yang kini telah berpulang.

Kami sekelas pada tingkat satu perkuliahan, tahun 2013. Dia jurusan Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, sementara saya jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen. Beberapa kali kami terlibat dalam satu kelompok mata kuliah. Pernah juga satu kelompok asistensi Pendidikan Agama Islam. Interaksi lainnya ya di kelas perkuliahan saja, kalau tidak salah dia rajin duduk di barisan depan. Yah, sebenarnya kami tidak dekat-dekat amat. Bahkan seingat saya kami pernah terlibat konflik, alhamdulillah hanya sedikit. Begitu masuk tingkat dua, kami tidak sekelas lagi. Tidak ada interaksi yang berarti. Agaknya hanya terkoneksi oleh media sosial saja, seadanya.

Pada akhir tahun 2016, ia tiba-tiba mengirimkan saya pesan singkat (SMS). Saya sudah lupa isinya, dan mungkin tidak saya balas. Sampai ia menghubungi saya via direct message Instagram. Sebut saja namanya Eka.

“Ada apa Ka? Waktu itu Eka SMS Riris juga bukan?”

“Gak ada apa-apa Riz, kepingin curhat aja, minta saran... iya SMS.”

Begitu pembuka obrolan kami di DM instagram.

Obrolan kami kemudan berlanjut di WA. Eka adalah mahasiswi yang tekun, rajin, dan—tentu saja—tepat waktu. Ia ikut dalam program akselerasi supaya bisa menuntaskan perkuliahan strata 1 hanya dalam waktu 3,5 tahun. Hari itu Eka menyampaikan kegelisahannya pada saya, sebab sudah satu tahun belakangan ia bolak-balik rumah sakit, dan dikatakan oleh dokter dirinya mengidap lupus. Padahal, ia sudah harus memulai penelitiannya supaya sesuai dengan target yang diberikan. Berita itu sedikit-banyak membuat mental Eka jatuh. Apalagi pencarian aktifnya di internet berujung pada ketakutan luar biasa. Ia cemas.

Payahnya, saya sungguh tidak bisa membantu banyak. Saya benar-benar tidak fokus membantu Eka, bahkan untuk sekadar jadi pendengar yang baik. Beberapa kali respons saya terbilang lama, dan tidak aktif menanyakan kabar beserta hal-hal lain yang boleh jadi sedang Eka butuhkan; support. Saya juga tidak mengerti mengapa Eka tidak menceritakan ini pada teman-teman satu jurusannya, pada teman-teman terdekat bahkan kawan sekosannya. Saat itu Eka meminta saya untuk tidak menceritakan pada siapa-siapa. Hal itu juga yang membuat saya tidak bisa mengabarkan pada beberapa kawan yang terbilang cukup dekat dengan kami berdua ketika dulu sekelas di tahun pertama. Yang bisa saya lakukan adalah memberi saran, supaya setidaknya ada teman sekelas yang tahu mengenai kondisinya. Saya katakana bahwa ia tidak boleh terlalu capek.

Tahun 2017 adalah salah satu masa terberat saya, jujur saja. Ada banyak persoalan yang harus saya hadapi sembari mengerjakan tugas akhir di perkuliahan S-1 yang sudah dikejar-kejar deadline sebab saya pun mengikuti program fasttrack. Ditambah ada hal lain yang juga menguras pikiran, dan kelelahan fisik keliling Tangerang Selatan serta bolak-balik Jakarta-Bogor. Kehidupan saya rasanya habis di jalan saat itu. Sungguh saya tidak aktif berkomunikasi dengan Eka. Dia yang justru lebih banyak menghubungi saya untuk bercerita, yang sayangnya, tidak saya tanggapi secara optimal.

Hebatnya, di tengah ujian yang luar biasa, ia berhasil lulus tepat waktu dan wisuda dua bulan lebih cepat dari saya, dan agaknya sudah terlihat baik-baik saja. Bahkan saya yang saat itu tengah asyik tenggelam dalam problematika pribadi sungguh tak ingat, apakah saya mengucapkan selamat padanya atau tidak. Betapa payahnya.

Suatu ketika kami kembali terlibat perbincangan.

“Riz, Eka butuh baca buku-buku motivasi deh supaya semangat. Riris ada nggak?” kurang lebih, begitu ucapnya (saya sudah lupa sebab chat history kami raib bersamaan dengan rusaknya HP saya Januari 2018 lalu).

“Adaa, Ka. Motivasi kayak apa?”

“Iya buku motivasi apa aja tentang kehidupan.”

Usai membaca permintaannya, saya serta-merta mengecek rak buku di kamar, barangkali ada buku yang cocok untuk dibaca Eka. Saya kemudian menemukan buku karya Dr. Ibrahim Elfiky berjudul “Excellent Life”. Saya foto buku tersebut, lantas mengirimkannya pada Eka.

“Ini bagus deh, Ka. Bacaannya ringan tapi memotivasi.”



Kemudian diam-diam saya bertekad hendak mengirimkan buku itu. Namun mengingat tampilannya yang sudah tak ciamik, ingin rasanya membelikan Eka satu buku yang masih baru.

Qadarullah menjelang akhir tahun 2017, Eka turut menjadi pembaca buku saya yang berjudul TEMU. Ia menghubungi saya, memesan satu buku, dan mengirimkan alamat tempat ia tinggal saat itu di Kawasan Tangerang. Bisa dibilang tidak begitu jauh dari tempat saya tinggal.

**

Saya mendapatkan alamat Eka tanpa memintanya. Tentu saja karena ia turut membeli buku TEMU melalui form online yang tersebar. Saya mendapatkan alamatnya secara cuma-cuma. Harusnya bukan hal yang sulit bagi saya untuk sekadar mengirimkan sebuah buku yang sudah saya punya. Bermodalkan membungkus buku tersebut, menuliskan alamat, dan cukup berjalan beberapa langkah ke ekspedisi terdekat dari rumah. Ya, harusnya sesederhana itu.

Tapi keinginan saya yang terlalu muluk—mencari buku baru yang lebih baik tampilannya—menjadikan hal yang tadinya sederhana jadi lebih rumit. Saya kerap menunda-nunda, hingga akhirnya lupa dan justru tidak terlaksana.



Pada tahun 2018, beberapa kali kami masih terlibat perbincangan. Karena saya merasa sangat minim dalam membantu Eka, saya mencoba mencari info pada beberapa kerabat yang mungkin saja dapat memberi saran terkait lupus dan bagaimana bisa meng-encourage mereka. Saya bahkan sampai melemparkan pertanyaan ke grup angkatan Aliyah, mengingat tidak sedikit kawan saya yang kuliah di jurusan kedokteran. Saya juga menanyakan pada sahabat saya yang salah satu keluarganya juga merupakan seorang odapus (pasien lupus).

Alhamdulillah saya memperoleh pencerahan. Lantas mengabarkan pada Eka beberapa kontak yang mungkin bisa membantunya, menghubungkan Eka dengan sahabat saya, serta mengenalkan Eka pada salah satu ketua komunitas peduli lupus. Kata seseorang, yang terpenting untuk odapus adalah bahwa mereka memiliki teman untuk saling berbagi, bahwa dirinya sungguh-sungguh tidak sendirian.

**

Beberapa bulan kemudian, tanpa ada kabar apa-apa, tanpa ada intro yang saya terima, tahu-tahu saya mendapat berita dari salah seorang kawan sejurusan, bahwa Eka telah tiada pada 22 Oktober 2018. Ketika mendapat informasi tersebut, segera saya memastikan kebenarannya melalui beberapa kawan. Betapa payahnya saya, sebab ternyata meninggalnya Eka tidak serta-merta. Ia telah dirawat di rumah sakit dalam waktu yang cukup lama—dan saya tidak tahu apa-apa.

Saya sempat menyesali diri sendiri hingga enggan mencari tahu lebih lanjut. Merasa menyesal sebab tidak pernah saya bertukar kabar dengannya usai saya berikan beberapa kontak. Saya kembali asyik tenggelam dalam rutinitas diri yang kembali disibukkan menyelesaikan tugas akhir (lagi, kali ini S-2). Saya melewatkan banyak hal, pada masa-masa itu. Dan salah satu yang paling menyedihkan bagi saya adalah tentang Eka. Betapa tidak, bahkan dari awal hingga akhir, saya tidak pernah menyempatkan diri bertatap langsung dengannya. Sejak awal tahun 2016 ia menceritakan tentang dirinya pada saya, sampai tiba saatnya ia berpulang pada 2018 lalu, kami tidak pernah bertatap muka sekali pun. Padahal jarak kami sungguh tidak sejauh itu. Kami masih di kota yang sama, atau paling tidak saya hanya perlu nyebrang ke kota sebelah.

Maaf, Ka. Buku itu pada akhirnya benar-benar tidak terkirim.



**

Sudah lama sekali ingin menceritakan ini, entah pada siapa. Bagi saya, pengalaman ini sungguh memberi saya pelajaran bahwa kadang kita tak perlu menunggu segala sesuatunya untuk tepat nan sempurna. Dalam banyak hal, ketepatan waktu perlu dicipta meski dalam kondisi tidak optimal seutuhnya. Tidak apa-apa. Kalau kita hanya punya satu kaki, bukankah lebih baik terus melangkah meski pincang, daripada tidak melangkah sama sekali?

Saya yakin seutuhnya, bahwa Allah tidak pernah salah alamat dalam mengirimkan seseorang untuk hadir dalam kehidupan setiap manusia. Tak terkecuali hadirnya Eka dalam kehidupan saya. Allah-lah yang menggerakkan Eka untuk menghubungi saya, meski antara saya dengannya tidak ada hubungan yang benar-benar dekat, hanya sebatas teman sekelas biasa yang beberapa kali berada di satu kelompok belajar yang sama. Allah-lah yang mengarahkan Eka untuk menyampaikan keinginnanya membaca buku tentang motivasi kehidupan pada saya, Allah juga yang menggerakkan Eka membeli buku TEMU, meski pada akhirnya kami tak juga mencipta temu. Pasti ada pelajaran yang hendak Allah sampaikan pada saya untuk dipetik hikmahnya dan menjadi bekal untuk pelajaran selanjutnya.

Ketepatan waktu itu dicipta, bukan ditunggu. Beberapa kali saya mengatakan ini pada orang lain—terlebih pada diri sendiri.

Terima kasih, Eka. Maafin Riris.

**

Ditulis di Kota Hujan Bogor,
Diselesaikan pada Hari Jum’at, 15 November 2019

Saturday, November 9, 2019

Avenoir




Catatan itu saya buat tepat setelah saya menuntaskan buku "Avenoir", sebuah kumpulan cerita karya kakak tingkat saya semasa duduk di bangku Aliyah; Kak Urfa Qurrota ‘Ainy.



Judul: Avenoir
Penulis: Urfa Qurrota ‘Ainy
Penerbit: CV. Halaman Indonesia
Editor: Sabaruddin Firdaus
Ilustrasi Sampul: Dani Nugraha
Jumlah Halaman: 191+viii halaman


Usai membaca Avenoir, ada semacam perasaan lega yang ikut menyeruak. Bukan, bukan karena akhir cerita bahagia atau semacamnya. Lagipula Avenoir berisikan kumpulan cerita dengan judul berbeda, meski satu sama lain saling berkaitan. Agak sulit sebenarnya menggambarkan dengan kata-kata. Perasaan lega yang saya rasakan boleh dikatakan semacam healing. Seperti ikut berdamai dengan diri sendiri seiring dengan berdamainya Ayu dan Hanafi; salah dua tokoh di Avenoir.

Hal yang paling saya sukai dari buku ini adalah cerita fiksinya yang terasa sangat nyata—dan jujur saja, di luar ekspektasi. Awal-awal membaca pengantar tentang Avenoir dari Kak Urfa di media sosial, saya kira buku ini berisikan semacam fiksi yang benar-benar fiksi (katakanlah, imajinatif). Bahkan membaca pembukanya, tokoh "Da" yang merupakan pendengar cerita menjelma menjadi seekor kucing atau semacamnya di kepala saya. (Entah, saya juga tidak tahu mengapa bisa berpikir demikian, hhe).

Ya, di luar ekspektasi. Avenoir ternyata adalah fiksi yang sangat riil. Da ternyata adalah seorang manusia—perempuan—biasa, yang pekerjaannya mendengarkan cerita para pencerita. Judul pada setiap bab utama dalam buku ini diambil dari nama tokoh yang bermain peran. Selain itu, Avenoir juga diperkaya dengan sajak-sajak penuh makna (yang kalau mau benar-benar memahaminya mungkin tak cukup dibaca satu kali). Ssst… ada bonus foto-fotonya juga :D



Saya tidak hiperbola ketika menulis catatan bahwa Avenoir bisa membuat merinding, menangis, juga senyum-senyum sendiri. Saya merinding membaca kisah Rangga. Benar-benar sindiran keras yang dibalut dalam kisah manis setengah sendu. Saya menangis membaca kisah Nyonya Wulan dan Kinara-nya. Entah, mungkin karena Avenoir ditulis oleh seorang ibu, rasanya pesan dalam bab ini terasa sangat menyentuh. Saya dibuat senyum-senyum sendiri pada bab terakhir—tentu saja. Bukan karena romantisme nya, tapi karena Kak Urfa apik sekali menuliskan ending yang manis. Seolah memberi rambu bahwa usai membaca buku ini ada kenyataan yang harus dijalani. Cerita sungguhannya seakan baru saja dimulai.


"It’s okay not to be okay."

Yang saya sukai lagi dari buku ini, tentu saja bahwa ada pesan penting yang penulisnya hendak sampaikan. Ini bukan kisah indah tanpa masalah, atau kisah penuh masalah yang berakhir bahagia. Sama sekali bukan. Bagi saya, buku ini mengajarkan sebuah proses penerimaan, sebuah perjalanan menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan. Bahwa setiap orang boleh jadi punya persoalannya masing-masing, dan sangat mungkin diuji dengan hal yang (harusnya) paling ia kuasai.


Barangkali karena tema dalam buku ini sangat dekat dengan bidang yang memang sedang saya tekuni, saya jadi sangat mudah jatuh hati. Entah bagaimana, saya menerka mungkin saja di luar sana ada Ayu, ada Hanafi, ada Utami, juga ada Havi-Havi yang lain.

Terakhir, buku ini menggelitik jiwa, dan sangat sayang jika dibaca dengan teknik skimming. Sebab seringkali hikmahnya hadir usai satu-dua kalimat yang sangat mungkin terlewat jika dibaca dengan buru-buru.

Salam hormat saya sampaikan kepada para guru, pendidik, konselor, psikolog, dan siapapun yang menjadi pendengar cerita. Sungguh, kalian istimewa! ^_^


Jakarta, 9 November 2019
12 Rabi’ul Awal 1441 H

Wednesday, November 6, 2019

Dokter yang Dirindukan


Halo, sudah lama tidak berbagi cerita ya, kita. Kali ini aku ingin menceritakan padamu tentang buku yang beberapa bulan lalu aku baca. Sebetulnya, tak pernah ada rencana untuk membaca buku ini sebelumnya. Pertemuan kami pun agaknya bisa dibilang tak disengaja. Beberapa bulan lalu, penerbit Republika tengah bagi-bagi hadiah; menjual buku-buku best seller dengan harga super murah (16.000 untuk setiap buku terpilih). Tentu saja aku antusias. Yah, meski tidak benar-benar berharap juga. Tapi melihat buku biografi Pak Habibie dan Buya Hamka juga tersedia, rasanya jadi sungguh-sungguh ingin ikutan (harganya anjlok dari ratus ribuan jadi 16k saja. Hehe). Pembelian buku dimulai dini hari dan harus melalui laman resmi.

Singat cerita, alhamdulillah aku berhasil memasukkan buku biografi Pak Habibie yang berjudul “Mr. Crack dari Parepare” ke dalam keranjang belanjaan. Niat hati ingin membeli buku biografi Buya Hamka juga, qodarullah sudah habis stoknya. Belakangan aku memang sedang baca-baca tentang Buya Hamka, usai menemukan kembali novel lama pemberian ayah; “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk” di lemari buku rumah kami. Tapi sayang, kehabisan. Ku lihat daftar buku yang masih tersedia untuk bisa diadopsi. Hanya ada dua, dan satu di antaranya adalah ini: “Dokter yang Dirindukan” karya Asma Nadia, dkk.




Judul: Dokter yang Dirindukan
Penulis: Asma Nadia, dr. Anwar Fazal, dkk.
Penerbit: Republika
Penerjemah: Nabieh Rahmat, dr. Elfina Rachmi
Editor: Indriani Grantika
Jumlah Halaman: 300 halaman

Aku tidak ingat kapan terakhir kali membaca buku dengan perasaan yang sedemikian emosional, sampai aku menemukan buku ini. Di luar dugaan, cerita-cerita di dalamnya menguras emosi. Campur aduk; deg-degan, haru, sedih, bahagia. Tapi hingga hari ini, buku ini menjadi salah satu buku pemecah rekor yang paling banyak menguras air mata. Mungkin selain karena memang ceritanya yang menggugah, label “nonfiksi” sedikit banyak juga memengaruhi. “Hei, beneran ini kejadian di dunia nyata?”

Salah satu cerita yang menjadi favoritku adalah tulisan karya dr. Beni yang berjudul “Meet dr. Roy”. Cerita itu ku baca ketika di dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bogor. Yang menjadikannya spesial adalah ceritanya yang mengangkat hubungan antara seorang ayah dengan anak laki-lakinya. Dua orang dokter—senior dan junior—yang terjebak dalam sebuah keadaan genting. Tidak hanya genting secara profesional, tapi juga genting secara emosional. Perseteruan terjadi mempertaruhkan bukan hanya profesi keduanya, tapi juga hubungan antara ayah dan anak. Two thumbs up. Pokoknya ini bagus sekali menurutku. Iya, aku sesenggukan di jalan. Untung pakai masker.


Cerita lainnya tidak kalah menguras emosi dan mengaduk-aduk perasaan. Tentang bakti anak pada ibundanya, sampai ia berjuang mati-matian untuk mengejar profesi impiannya meski dalam keadaan gegar otak. Tentang seorang ibu yang sakit, yang merindukan kasih sayang dari anak-anaknya. Juga cerita mengenai sepasang suami-istri yang berprofesi sama; dokter. Mereka mendambakan buah hati, namun ternyata cita itu kandas oleh sebab gugurnya janin manakala sang istri membantu persalinan orang lain yang terjebak di dalam lift. Hmm… pokoknya bagian ini benar-benar membuatku tarik napas panjang. Ternyata setiap orang memang diuji sesuai dengan kapasitasnya.

Selain cerita-cerita yang mengaduk perasaan, sebenarnya ada juga cerita yang agak horor dan juga menyisakan pertanyaan. Aku sampai mengirimkan pesan ke penulisnya segera setelah selesai membaca, berharap mendapat penjelasan tentang salah satu cerita. Tapi sayangnya belum berbalas.

Kamu tahu? Aku sempat berpikir, jangan-jangan memang akunya saja yang lebay, berlebihan reaksinya ketika membaca buku ini. Sampai-sampai aku katakan bahwa buku ini mengandung bawang (iya, karena bikin nangis). Tapi ternyata bukan aku saja, toh beberapa orang juga merasakan hal yang sama. Tak heran buku ini menyandang peghargaan sebagai Buku Terbaik MPH 2014-2015 kategori Nonfiksi.

Aku merekomendasikan buku ini untuk siapa saja yang ingin belajar tentang kehidupan, yang ingin melihat dengan perspektif lebih luas. Kalau kamu sedang merindukan kebersyukuran atas hidup yang sedang dijalani, kamu boleh baca buku ini. Kalau kamu sedang merasa bahwa hidupmu berantakan, banyak pencapaian yang dirasa tak kunjung diraih, kamu boleh baca buku ini. Kalau kamu mahasiswa kedokteran yang sedang lelah, boleh banget baca buku ini. Supaya kamu tahu bahwa apa yang kamu perjuangkan jauh lebih berharga dari kelelahanmu. Juga supaya kamu tahu, bahwa kamu tidak lelah sendirian. You are not alone! 😊

PS: Aku juga jadi lebih banyak belajar tentang istilah-istilah di dunia medis melalui buku ini.

Ini ya spoiler daftar isinya.



Well, selamat membaca, Netz!

Bogor, 6 November 2019
9 Rabi'ul Awal 1441

Wednesday, October 9, 2019

Tulisan tentang Eyang


Hampir satu bulan Indonesia berduka atas berpulangnya sosok yang seolah tak pernah menua, yang pada dirinya laksana hidup semangat pemuda belas-dua puluh tahunan meski usia fisiknya terbilang sudah delapan puluhan.

Mengingat-ingat saat itu, barangkali adalah salah satu pekan tersendu sebab untuk pertama kalinya merasai kehilangan “public figure” masa kini yang bahkan belum pernah sekalipun bersua. Kemudian ketika membuka catatan, saya menemukan beberapa tulisan tentang beliau; Eyang Habibie.

***
September 13, 2019, 8:11 AM

"Kak," sebut saja Halya, salah satu murid yang kuajar petang itu, memohon izin memotong pembicaraanku di depan kelas.
"Ya?" aku mempersilakan. Suasana kelas masih agak ramai. Kami baru saja masuk lagi usai istirahat shalat.
"Pak Habibie meninggal," lanjutnya.

**

Kabar itu mau tidak mau cukup mendistraksi kelas kami. Masing-masing mulai membuka gawai, memeriksa informasi yang beredar. Terkecuali aku. Memang, kiranya baru saja kemarin kulihat banyak akun-akun di media sosial seolah berlomba mendoakan beliau (setidaknya itu yang tampak pada postingan-postingan mereka). Aku tahu bapak yang aku kagumi itu, yang pernah teramat ingin aku jumpai itu, tengah sakit dan dirawat beberapa waktu belakangan.

"Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun. Beneran?" aku masih belum percaya. Tak kusempatkan membuka gawai. Lebih memilih bertanya pada kelas.

"Beneran apa hoaks?" sahut yang lain.

"Beneran." Jawab Halya mantap.

**

Kenangan-kenangan tentang sesosok inspiratif itu tak bisa dicegah untuk tidak berputar di kepala. Petang itu, kami bersama-sama melangitkan doa untuk Pak Habibie. Kemudian di tengah pikiran yang mulai berlarian kesana-kemari, aku mencoba kembali mengondusifkan kelas—mengondusifkan pikiranku sendiri lebih tepatnya. Tapi yang keluar ternyata malah kalimat seperti ini.

"Kakak jadi sedih,” aku menarik napas sambil berusaha tersenyum tipis, “Bukan apa-apa sih, kakak merasa ada hubungan emosional dengan Pak Habibie," ujarku, tanpa menskenariokan untuk mengeluarkan deret kata semacam itu. Hubungan emosional? hei, siapa kamu? Mereka mendengarkan. Mungkin agak menerka, hubungan emosional seperti apa yang aku maksud.

**

Aku tahu. Jika diperhitungkan, tentu aku bukan apa-apa. Jika mengagumi seseorang adalah sebuah persaingan, barangkali aku ada di barisan nyaris paling belakang di arena tanding. Jangankan menang, barangkali aku tak masuk bahkan jadi cadangan. Maksudku, aku mungkin tak terbaca, tak dikenal, belum pula mampu mengikuti jejak-jejak beliau yang luar biasa. Tapi entah bagaimana aku merasa ada hubungan emosional dengan Pak Habibie. Dan oleh sebab kebermanfaatan beliau yang menjangkau penjuru bumi, aku yakin bukan hanya aku yang sekehilangan ini.

Yah, barangkali salah satu alasan terkuatnya adalah karena Insan Cendekia. Sebab sekolah yang teramat bersejarah dalam hidupku itu tidak lain digagas oleh beliau. Tak jarang pula kami mendengar perkataan yang kurang lebih seperti ini, "Berjuanglah! sebab kalian adalah anak ideologisnya Pak Habibie".

**

Aku tahu. Ada begitu banyak anak bangsa yang mengaku sebagai anak atau cucu ideologis beliau. Memang demikian lah laki-laki yang tak pernah menua jiwanya itu membahasakan kami, anak-anak bangsanya. Beliau mewariskan apa yang disebut-sebut sebagai amal tiada putus: ilmu. Ketulusannya dalam menyampai ilmu, barangkali menjadi alasan terkuat mengapa demikian banyak orang yang merasa punya hubungan emosional dengan beliau.

Aku pernah pada fase begitu ingin menjumpai beliau. Ingin kuucap terima kasih sampai-sampai tak tahu bagaimana cara mengucapkannya. Kucari-cari alamatnya, bermodalkan internet di ruang lab komputer sekolah. Kutanya-tanya kabarnya, pada beberapa guru yang saat itu kuterka barangkali tahu atau barangkali bisa membantu.

Hingga pada suatu hari, aku mendapati diriku menjumpai sosoknya di lantai dua MAN Insan Cendekia Serpong; sekolah yang dicetuskan olehnya 23 tahun lalu, sekaligus sekolah tempatku banyak mempelajari hidup. Ia mengenakan baju safari, tengah istirahat sejenak di ruang bimbingan konsultasi Bu Rini. Ramah sekali. Hanya itu yang aku ingat, sebab yah, sayangnya, aku menjumpai sosoknya hanya dalam mimpi.


 September 13, 2019, 8:18 AM

Rasanya seperti kehilangan satu cita-cita. Rasanya seperti dipaksa memangkas satu harap. Rasanya ingin memrotes diri sendiri, "Mengapa kamu tak berjuang lebih keras hari kemarin?" sebab belum pernah sampai kata itu keluar, bahkan meski hanya lewat tulisan. Belum tercapai cita sederhana mengucapkan terima kasih pada beliau. Belum juga berhasil mempersembahkan apapun bahkan dalam bentuk paling sederhana sekalipun. Sampai pada akhirnya kubaca deret kalimat yang kabarnya merupakan perkataan beliau pada sebuah kesempatan:

“Kalau saya ditanya, Habibie siapa, insinyur, muslim, ataukah Indonesia. Saya jawab bahwa Habibie adalah muslim. Mengapa? Karena kalau saya mati, saya tidak lagi berwarganegara. Kalau saya sampai ke akhirat, yang ditanya bukan kedudukan apalagi kewarganegaraan. Karena itu, saya jawab: saya muslim. Itu bukan emosional, melainkan rasional.”

“Saya percaya pada hari akhir. Saya tidak akan ditanya soal paspor. Jadi, kalau saya jawab demikian, jangan bilang Habibie tidak nasionalis. No..”

Perkataan beliau itulah yang kemudian membuatku sadar bahwa.. hei!, tentu saja masih bisa kulantun doa, masih bisa kuucap terima kasih, melalui-Nya.

**

Terima kasih, Eyang. Maafkan kami yang belum sampai berterima kasih padamu. Bahkan di tengah kesedihan kami, untai nasihatmu juga yang menjadi jalan pembuka harap.

Barangkali mendoakan adalah sebaik-baik cara berterima kasih. Terima kasih, Eyang. Allah, mudahkanlah hisab beliau. Ampuni dosa-dosanya. Berilah ia tempat terbaik di sisi-Mu. Sungguh aku bersaksi insyaaAllah beliau adalah orang baik, dengan kebermanfaatan yang meluas lagi semerbak. Yang tidak hanya mengajarkan tentang bagaimana berilmu, tapi juga, atas izin-Mu, menjadi jalan banyak orang—salah satunya aku—"menemukan" Engkau. Terima kasih Eyang Habibie. Terima kasih atas Insan Cendekia-mu; tanah berjuta kisah yang berikan banyak sekali pelajaran untuk kami.


15 September 2019

Hari ini ketika melewati salah satu jalan di Kota Bogor, ada yang sedikit berbeda. Jejeran tiang bendera pada kanan-kiri jalan yang biasanya kosong atau paling tidak berisikan bendera-bendera negara, hari itu terisi penuh dengan bendera tanah air Indonesia. Namun ada yang berbeda. Tak sampai pada ujung tiang bendera-bendera itu berkibar, melainkan hanya setengah tiang saja.
Oh ya, rupanya masih berkabung bangsa kita.


19 September 2019

Satu pekan sudah, Pak Habibie berpulang. Dalam masa-masa kemarin, aku begitu merasa kehilangan atas kepulangan beliau. Tidak berlebihan menurutku, jika dikata bahwa kepergian sosok yang menyebut dirinya sebagai Eyang itu menyisakan banyak kehilangan pada hati-hati sesiapa yang mengenalnya. Bukan hanya mereka yang pernah bertatap, tapi bahkan yang belum pernah bersua pun—aku salah satunya—juga merasakan kehilangan.


23 September 2019

Begitulah orang baik. Bahkan kepergiannya mampu mengantarkan banyak orang pada kebaikan-kebaikan. Aku percaya bahwa ketulusan berbicara lebih banyak dari kata-kata. Bahwa ketulusan bersuara lebih lantang dan lebih nyaring dibandingkan suara itu sendiri. InsyaAllah Eyang adalah orang yang tulus berbuat baik. Purna sudah kiprah Eyang di panggung sandiwara dunia ini.
Terima kasih, Eyang. Maafkan kami.

***

Sumber

Kabarnya, generasi terdahulu banyak menerima nasihat semacam ini, “Rajin-rajinlah belajar, supaya pintar seperti Pak Habibie!”. Agaknya kearifan dari beliau di masa tuanya juga bisa menjadi inspirasi dari nasihat hebat, “Jangan pernah berhenti belajar, supaya kalau tua nanti tidak mudah lupa dan tetap bisa berkarya, seperti Pak Habibie!”

Bogor, 9 Oktober 2019
Ketika hujan yang dirindu
tiba kembali sambil merayu.

Tuesday, July 30, 2019

Dari Lembah Cita-Cita



Judul: Dari Lembah Cita-Cita
Penulis: Prof. Dr. Hamka
Penerbit: Gema Insani
Jumlah Halaman: 102 halaman

***

Beberapa bulan lalu, saya baru saja kembali mengecek ulang isi rak buku. Kemudian saya menemukan sebuah novel lama pemberian ayah berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Buya Hamka. Membuka kembali novel itu setelah sekian tahun berlalu meninggalkan kesan baru bagi saya. Ada banyak hal yang membuat saya bertanya-tanya mengenai sosok Buya Hamka. Agaknya menulis sebuah roman boleh dikata nyaris tabu bagi seseorang yang masyhur dikenal sebagai ulama kondang.

Dari sanalah saya mulai membaca lebih jauh tentang seorang Buya Hamka. Hingga pada suatu kesempatan, saya menemukan buku ini pada salah satu etalase toko buku. Ukurannya tidak begitu besar, halamannya pun tidak tebal. Tapi soal gizi, saya berani katakan bahwa buku ini benar-benar bergizi. Ada beberapa hal yang saya catat baik-baik usai menuntaskan buku ini.

Sampul Depan

Sampul Belakang


Buya membuka "Dari Lembah Cita-Cita" dengan bab yang menurut saya menyenangkan dan menarik untuk ditelusuri. Tak bisa dipungkiri, bab pertama ini sukses membuat saya jatuh hati tanpa perlu waktu yang lebih lama. “Dua Orang Pemuda Bertanya”. Buya mengisahkan bahwa ada dua orang pemuda yang mendatanginya,  meminta Buya untuk nengupas soal sumbangsih seperti apa yang dapat dilakukan oleh pemuda seperti mereka dalam rangka membangun bangsa dan tanah air.

Dalam tulisannya, Buya menuturkan betapa dua orang pemuda itu membuat ia mengingat berbagai kisah pemuda-pemuda yang telah tercatat dalam sejarah. Mulai dari para pemuda sekolah militer di Turki yang berjuang menumpas kepemimpinan Mustafa Kemal (seorang sultan yang menerapkan kehidupan sekuler pada rakyatnya), pemuda Ghandi yang meninggalkan segala kenyamanan hidup demi membela bangsa India-nya yang kerap dianggap hina oleh bangsa lain, pemuda Sun Yat Sen, anak petani yang tergerak hatinya memperjuangkan kemerdekaan bangsa, sampai pemuda Indonesia; Hatta yang pada usia 25 tahun telah mendirikan Perhimpunan Indonesia dan pada 26 tahun telah memimpin Kongres Liga melawan imperialisme, juga Soekarno yang pada usia 28 tahun telah membaca pleidoinya demi membela Indonesia ketika perkara di Landraad, Bandung.

Buya tak berhenti sampai di sana. Tersebut pula para pemuda di masa Rasulullah (salallahu 'alaihi wasallam). Adalah itu Ali bin Abi Thalib yang masih berusia 12 tahun, Bilal bin Rabbah, Ammar bin Yasir, juga Abu Dzar Al Ghifari.

“Ia adalah Ali. Mulai beriman pada usia 12 tahun. Saat di dalam suatu majelis, Nabi ﷺ bertanya kepada orang-orang tua Quraisy, siapa yang menolongnya menyerukan seruan Allah. Tidak seorang pun menjawab, hanya Ali yang masih anak-anak itu yang menyatakan bersedia untuk hidup bersama-sama dan mati bersama-sama.”

“Ia adalah Bilal, hamba sahaya yang masih muda, dibujur di panas matahari yang amat terik di padang pasir karena mengikuti ajaran Nabi ﷺ, tetapi ia masih tetap mengucapkan “Allah سبحانه وتعالى satu”"

“Ia adalah Ammar bin Yasir, yang dipukul dan didera; ia adalah Abu Dzar Al Ghifari, yang dikeroyok oleh pemuda-pemuda Quraisy, semuanya karena telah mengikuti pendirian Nabi ﷺ.”

Tapi jurus pamungkas yang membuat saya jatuh hati bukan terletak pada uraian sejarah pemuda-pemuda tersebut di atas. Sebab mungkin ini bukan kali pertama saya mendapat gagasan bahwa pemuda memiliki semacam energi besar yang dapat memberi sumbangsih hebat dalam sebuah peradaban. Kalimat pamungkas itu justru hadir setelah penuturan Buya tentang sirah pemuda-pemuda.

“Saya lebih senang benar kepada mereka berdua yang datang, saya lebih senang berhadapan dengan mereka, sebagaimana senangnya Socrates dengan murid-muridnya, daripada jika saya berhadapan, bertabligh di surau yang bening sepi membicarakan surge dan neraka. Kepada orang tua, saya ajarkan bahwa kita pasti mati.

“Namun, pemuda berkata, ‘Sebelum mati bukankah hidup? Mengapa kita mesti mengingati mati saja, padahal kita yakin bahwa sekarang kita hidup? Bukankah sebelum melalui pintu mati, kita mesti menjalani hidup?”

Daftar Isi "Dari Lembah Cita-Cita"
         
Demikian lah Buya membuka buku ini, dengan kearifan yang membangkitkan rasa ingin tahu untuk menuntaskannya sampai habis. “…Pertanyaanmu, dua-duanya akan saya jawab sekadar tenagaku, hai Pemuda! Moga-moga Allah akan memberikan kemuliaan dan kejayaan kepada tanah air kita berkat paduan semangatmu semua. Dengarkanlah!”

***

Sesuai judulnya, “Dari Lembah Cita-Cita” mengantarkan saya pada pemahaman tentang bercita-cita.

“Supaya pemuda beroleh kemenangan di dalam mencapai segala cita-citanya, hendaklah ia mempunyai dada yang lebar, pahaman yang luas, dan memandang dunia jangan dari segi buruknya saja (pesimis-tasyaum), hendaklah dipandangnya juga dari segi baiknya (optimis-tafaul),” begitu tulis Buya pada salah satu pembukaan bab dalam buku ini.

Ada banyaak sekali hikmah, pelajaran yang dapat dipetik. Saya merekomendasikan buku ini terkhusus untuk pemuda-pemudi muslim yang barangkali tengah menghadapi kerancuan dalam bercita-cita, dalam menentukan porsi keduniaan nan akhirat, yang tengah dihadapkan pada kebingungan arah, boleh juga dikatakan untuk mereka yang sedang mengalami quarter life crisis. Ahlan!

Terima kasih kepada Buya, semoga apa yang Buya tulis menjadi amal jariyah. Aamiin...


Ditulis pada 20 Dzulqo'dah 1440 H
di pinggiran Kota Jakarta,

Rizky Sahla Tasqiya

Tuesday, May 14, 2019

Karena Pak Guru Baru


Saya masih ingat. Malam itu, ketika Ayah sudah mulai terlelap, Mama keluar dari kamarnya dan menghampiri saya yang masih asyik terjaga. Belakangan ada banyak hal yang memang sering kami perbincangkan bersama. Malam itu pula, tanpa diminta, beliau mulai bercerita.

“Ade, di sekolah mama ada guru baru…” begitu Mama membuka kisahnya.

**

Mama adalah seorang guru. Berjodoh dengan ayah yang juga seorang guru. Keduanya telah menjalani profesi sebagai guru lebih dari separuh hidup. Ayah baru saja purna tugas satu setengah bulan yang lalu. Adapun Mama, baru dua tahun ditempatkan di sekolah yang baru, tak jauh dari rumah tempat kami tinggal.

Malam itu, berceritalah Mama kepada saya mengenai seorang guru baru. Ia datang ke sekolah dengan pakaian rapi, dengan tutur kata yang santun. Masih terbilang muda, usianya barangkali menginjak 30-an. Awalnya, laki-laki itu dikira sales oleh Mama dan para rekan kerja. Bukan tanpa alasan, sebab memang tak jarang ada sales mampir untuk jualan ke sekolah.

“Kepala sekolahnya lagi gak ada tapi Pak,” ujar salah seorang rekan kerja Mama sesama guru. Tak ada yang berani menerima sales, sebab biasanya berkaitan dengan jualan buku atau hal-hal seputar alat bantu untuk kegiatan belajar-mengajar. Wewenang semacam itu, di sekolah tempat Mama mengajar, ada pada kepala sekolah.

“Oh begitu, Bu… ini, sebetulnya saya ingin lapor diri,” yang dikira sales lantas menyampaikan niatnya. Ternyata dirinya bukan seorang sales, melainkan seorang guru yang baru saja mendapat tugas untuk mengajar di sekolah tersebut. Alhasil, identitas dan laporannya diterima, dengan catatan ia akan kembali keesokan hari untuk menemui kepala sekolah.

Cerita berawal disini. Diam-diam Mama memerhatikan guru baru itu dengan seksama.  Agaknya, sosok itu teramat tidak asing. Mama merasa begitu mengenali wajah si guru baru. Jangan-jangan…

“Maaf, Pak. Kalau boleh tau asalnya darimana?” tanya Mama demi memastikan praduganya. Sampai pada pertanyaan-pertanyaa lain seperti kelahiran tahun berapa dan punya anak berapa. Mama kemudian berinisiatif meminjam data diri si guru baru demi bisa melihat nama lengkap laki-laki berumur 30-an itu. Betapa tidak terkesima, nama yang tertera betul-betul tidak asing di telinga Mama.

“Bapak kayaknya murid saya deh. Dulu TK-nya dimana?” tanya Mama.

“Eh?” yang disapa dengan panggilan “bapak” sedikit kaget.

**

Benar sekali. Guru baru itu ternyata adalah murid Mama di TK, puluhan tahun yang lalu. Sampai pada bagian ini, saya dapat menyaksikan mata Mama yang mulai berkaca-kaca ketika menceritakan kisah itu pada saya.

“De, Mama terharu banget. Ternyata Mama sudah tua, ya. Anak murid Mama sudah sebesar itu, udah jadi teman kerja Mama,” begitu ujar beliau. Aku mengangguk-angguk. Benar juga. Bahkan semua anak-anak Mama mulai dari Abang, Kakak, aku, hingga si bungsu, semuanya bersekolah di TK dengan mama sebagai guru dan kepala sekolahnya. Perjalanan Mama menekuni profesi yang memang adalah cita-citanya sejak kecil itu ternyata sudah terbilang puluhan tahun. Sudah melintasi berbagai generasi.

**

 “Gimana Ma, anak muridnya Mama udah mulai ngajar di sekolah?” tanyaku pada seminggu berselang usai Mama bercerita soal anak muridnya yang kini jadi guru baru di sekolah.

“Iya udah, sehari setelah lapor, dia langsung ngajar. Jum’at lalu dia telepon ibunya, ngasih tahu suara Mama. Ibunya masih ingat De, sama Mama,” jawab Mama. Aku tersenyum saja.

“Waktu minggu lalu ade ke IC, Ma, seneng banget ketika guru-guru masih ingat nama ade. Itu belum puluhan tahun. Segitu aja ade udah terharu. Mesti rasanya haru banget kalau udah puluhan tahun terus namanya masih diingat sama gurunya.”

“Iya, di sekolah, guru-guru yang senior bilang begini, ‘yah gabisa dibully dah ini guru baru. Ada emaknya sih!’” kata Mama sambil tertawa, kemudian melanjutkan, “Dia juga haru banget, De. Katanya ‘Yaa Allah ibu… Malah ibu duluan yang ingat sama saya’.”

**

Begitulah.

Saya jadi ingat momen dimana saya menangis sambil berbaring di atas kasur pasien, beberapa bulan lalu, ketika dibesuk oleh salah seorang guru kesayangan saya ketika masih duduk di bangku madrasah. Beliau ada wali kelas saya di bangku kelas 4B. Saya mungkin lebih banyak melupakan berbagai materi pelajaran di kelas yang beliau ajarkan. Tapi pelajaran hidup, semangat, dan motivasi darinya masih teringat jelas di kepala. Bahkan saya masih ingat kisah perjalanan beliau menentukan sekolah, kisah istikharah dan bertemu dengan pasangan hidup, hingga sesi pengambilan rapot yang beliau katakan di hadapan Ayah bahwa saya punya potensi. Mungkin beliau tak pernah tahu betapa cerita-cerita itu bercokol di kepala saya selama bertahun-tahun. Juga, betapa motivasi darinya menjadi salah satu catatan penting yang saya pegang hingga hari ini.

Maka ketika melihat kehadirannya ketika saya tengah sakit dan dirawat di rumah sakit, saya sungguh-sungguh menangis. Haru.

Saya juga ingat beberapa waktu lalu, ketika takziyah, menemui salah seorang guru semasa di aliyah yang baru saja kehilangan anak tercintanya. Alhamdulillah, Allah berikan saya kesempatan menjadi salah satu yang tiba paling awal menemui beliau, masih di kamar pasien. Sedikit terkejut beliau melihat kehadiran saya. Kemudian tanpa dikomando, beliau memeluk saya dan tumpahlah tangisnya. Saya dapat merasakan betul keikhlasan dan keridhoan seorang ibu. Tangisnya bukan tangis menyesal, apalagi marah tak ridho atas takdir. Tangisnya adalah tangis yang pecah karena cinta dan kasih sayang. Bahkan senyum merekah dengan indahnya, yang saya yakin hadir dari kesadaran utuh bahwa anaknya telah pulang pada pemilik sesungguhnya.

Beliau mungkin tidak ingat, betapa banyak pembelajaran hidup yang saya catat baik-baik dari sosoknya. Bahkan di bangku kuliah, beberapa kali saya masih mengirimi beliau pesan demi meminta doa untuk ujian yang akan saya hadapi. Saya masih ingat betul nasihat-nasihat beliau, juga keramah-tamahan beliau yang tak pernah menolak bahkan jika malam-malam saya mengetuk pintu rumahnya.

Bagi saya, setiap guru punya tempat spesial yang membuat saya sebagai seorang murid acapkali berkaca jika mengingat mereka, atau jadi salah tingkah jika kembali bersua. Semoga kebaikan senantiasa melingkupi ayah-bunda ibu guru sekalian dimanapun berada..


**

Dari cerita Mama, saya belajar tentang waktu kehidupan. Betapa cepatnya waktu di dunia. Mungkin karena memang sifat sementara dan kefanaannya. Juga, betapa mudahnya waktu tertinggal di belakang. Hingga satu detik saja yang terlewat takkan pernah bisa sampai kapanpun diulang perjalanannya.

Saya juga belajar tentang menjadi orang baik. Bahwa ternyata, kebaikan itu indah sekali. Mengutip nasihat guru asuh saya semasa di Aliyah, beliau berpesan bahwa berbuat baiklah sekecil apapun perbuatan baik itu. Sebab kita tidak pernah tahu, kebaikan mana yang akan menjadi tiket kita menuju syurga. Setelah mendengar cerita Mama dan berkontemplasi, saya jadi berpikir betapa indahnya kebaikan-kebaikan. Sebagaimana guru-guru saya yang berbuat baik, meski terkesan “sederhana”, dan mungkin saja beliau-beliau tidak ingat lagi perbuatan baik itu. Tapi dalam benak saya, kesederhanaan itu sungguh-sungguh membekas dan jadi kenangan manis tersendiri. Kebaikan-kebaikan yang terbungkus dalam nasihat, motivasi, dan sapa ringan ‘apa kabar’ di sela-sela hari. Bahkan kebaikan-kebaikan di balik teguran ketika saya berbuat keliru, percikan air wudhu, juga pukulan kecil disertai canda yang menghibur. Saya membungkus semuanya, menyimpannya baik-baik, dan menjadikannya bahan bakar pada jalan-jalan hidup yang saya tempuh kemudian hari. Hebatnya, boleh jadi beliau-beliau tidak menyadari sama sekali. Dan saya hanya salah satu dari sekian banyak murid yang mereka “punya”. Bayangkan betapa indahnya jika semua murid merasakan apa yang saya rasa. Betapa kebermanfaatan guru-guru kami mengalir sedemikian derasnya.

**

Tulisan ini saya mulai dua hari yang lalu, dan sempat mengendap begitu saja. Saya kembali teringat untuk menyelesaikan karena hari ini melihat foto Mama bersama dengan murid TK-nya itu. Iya, murid TK Mama yang kini jadi partner kerja di sekolah. Baarakallah, Mama. Semoga apa yang Mama jalani hingga hari ini bernilai ibadah. Mungkin karena paduan antara jiwa keibuan dan keguruan, Mama punya semacam energi jadikan teman-teman saya pun seolah jadi “muridnya” juga. Mama bisa lancar mengabsen nama teman-teman saya, dari madrasah, tsanawiyah, aliyah, hingga kuliah. Menanyakan bagaimana kabar satu per satu dari mereka. Baarakallah, Ma.

Juga kepada Ayah, Baarakallah. Terima kasih sudah menafkahi kami dengan rezeki yang selalu Ayah usahakan semaksimal mungkin kehalalannya. Terima kasih karena sampai hari ini, Ayah sudah menjadi guru. Bukan hanya di sekolah, tapi juga di rumah tentunya. Sudah memberikan teladan akan apa itu kesabaran dan ketulusan. Kami tahu purna tugas Ayah hanya secara formal, tapi tugas sesungguhnya barangkali takkan pernah usai di dunia. Semoga kami senantiasa menjadi murid yang siap dididik. Baarakallah, Ayah.

Kemudian kepada Pak Guru Baru, karena melalui washilah Bapak yang ternyata adalah murid TK dari ibunda saya, saya jadi banyak belajar. Hatur nuhun.. Mama saya berkata pada saya, beliau banyak berharap bahwa kehadiran Bapak akan membawa kebaikan-kebaikan. Aamiin.

**
Rasulullah ﷺ adalah sebaik-baik guru.
(sumber gambar klik disini)
Terima kasih telah membaca. Sudah lama saya tidak menulis seperti ini. Dan setelah sekian lama, kali ini, rasanya menyenangkan sekali. Alhamdulillah. 😊


Selasa, 9 Ramadhan 1440 H