Sunday, November 29, 2015

Titipan

Kamu tahu? kadang-kadang aku berfikir. Kenapa juga aku harus terlahir sebagai manusia? kenapa tidak dijadikan saja aku domba atau sapi, biar umurku habis untuk berqurban saja sekalian. Atau biar saja dijadikan aku seonggok kayu yang bersembunyi di dalam hutan. Menjadi bahan baku pinsil atau apapun, tak masalah. Bisa juga menjadi daun. Biar remuk jatuh berkeping tapi tidak akan banyak yang peduli, termasuk diriku sendiri.

Diam-diam hal semacam itu kadang menghampiri. Apalagi kalau tengah teringat bertapa repotnya jadi manusia. Disibukkan dengan mengurusi qalbu agar salim. Duh, bahkan ketika berfikir hal demikian pun, aku juga menyangsikan ke-salim-an qalbuku sendiri. Berputar-putar pada lini itu, rasanya aku ingin angkat tangan dan menyerah seutuhnya. 

Ya, menyerahkan seutuhnya.

Hei, benar sekali. Mengapa tidak menyerahkan seutuhnya saja?

Gampang, kan?


Karena setiap qalbu ada yang memiliki,
kita ini cuma dititipi.

Dan kepada titipan, bagian kita adalah mengikhtiarkan.
Lini kita adalah berupaya dengan doa, usaha, dan kesungguhan.
Lantas selebihnya- mari kita serahkan saja kepada Tuhan.

Sederhana, bukan?

Sunday, November 22, 2015

Jatuh Cinta

Jatuh cinta.

Aku jatuh cinta pada caranya menyapaku

Pada setiap skenario yang ia ciptakan untukku

Pada setiap detik kehadirannya dalam kehidupanku


Aku jatuh cinta

Pada semua kebaikan,

Pada segenap kesabaran,

Pada segala sesuatu yang ia berikan


Aku jatuh cinta..

Dan aku tidak tahu kata macam apa yang mampu mendefinisikan hal semacam ini.
Jika kata manis saja tak pernah mampu menjelaskan apa yang benar-benar dirasa, apalagi cinta. 

Bukankah cinta menghadirkan begitu banyak rasa?
Maka wajar bila para pemikir sulit mendefinisikannya.

Yang jelas, aku jatuh cinta.

Dan kurasa, kepadanya kamu juga-

Iya, kan?


Friday, November 20, 2015

Merdeka

Ada yang tidak boleh pergi dalam setiap detik kehidupan kita. Ialah iman; keyakinan pada Allah. Iman kita senantiasa diuji. Ini bukan rahasia lagi. Toh Allah, dalam firmanNya, tela mengungkapkan hal tersebut. Bahwa keimanan akan seiring diikuti oleh datangnya ujian keimanan itu sendiri. Bukankah setiap pernyataan cinta selalu membutuhkan pengujian? Adakah ia benar, atau hanya gombalan belaka?

Ada yang tidak pernah pergi dalam setiap hela nafas kita. Ialah kesempatan dan harapan yang diberikan oleh Rabb kita. Bagaimana mungkin kita tega untuk berputus asa, sementara Allah selalu memberikan kesempatan itu, lagi dan lagi. Bagaimana bisa kita begitu malas untuk mengadu padaNya, sementara pintu kasih dan sayangNya selalu terbuka, meski ia tahu betapa bobrok dan nistanya diri kita.

Kita sama-sama tahu, bahwa kita ini makhluk yang lemah. Tempatnya salah lagi lupa. Kita sama-sama tahu. Tidak perlu terpuruk berlebih atas semua keadaan itu. Kita saja tahu, apalagi Allah. Maka bangkitlah! Allah ingin melihat kesungguhan kita. Kalaupun kita menangis, tunjukkan padaNya, bahwa dalam tangis itu, namaNya-lah yang membuat kita tegar. Hidup kita bukan terdiri dari kumpulan rumus matematis. Kalaupun iya, akan ada begitu banyak faktor luar yang memegaruhi. Kita tidak pernah berada dalam kondisi cateris paribus.

Seburuk apapun rekam jejak kita, cuma Allah yang tidak peduli lagi ketika kita bertemu denganNya, mengharapkan perjumpaan, memohon ampun. Mati-matian. Tidakkah kamu bersyukur pada Rabb-mu yang begitu Mahabaik?

Jangan dengan egois menilai bahwa kehidupan kita berantakan. Sok tahu sekali sih, kita ini cuma manusia. Apa kita pernah berusaha sungguh-sungguh? Apa kita pernah merayakan ikhtiar dengan begitu semerbak? Kapan terakhir kali kita tersungkur dalam sujud, dalam hening malam, dalam pembicaraan khusus berdua saja denganNya?

Tidak. Tidak. Jangan buru-buru merasa buruk. Kalau kita masih tertatih-tatih atas itu semua, tidak apa.  Melaju saja. Tenang saja, Allah Mahatahu. Tidak seperti manusia yang sok tahu, lalu seenaknya membuat penilaian-penilaian sendiri. Termasuk diri kita terhadap kita. Usahakan yang terbaik. Melajulah, pada saat ini. Detik ini. Allah melihat kesungguhan kita. Allah memperhitungkan usaha kita sebesar dzarrah pun. Allah Mahakuasa melakukan apa saja. Bisa.

Sungguh, tidak ada kompetensi yang manusia lebih butuhkan dari mengorientasikan segala sesuatu kepada Allah dalam kondisi apapun.

Karena kalau kita sudah begitu, tidak peduli panas-hujan, tidak penting caci-puji, tidak berguna lagi ‘apa kata dunia.'

Kita merdeka.


Friday, November 13, 2015

Air Mail #8

Halo. Aku Aster. Oh, maaf, maksudku, Asslamu'alaikum. Aku Aster. Pelempar lumpur paling unggul, juara satu panjat pohon, penendang bola hebat, namun lemah main layang-layang. Entah mengapa. Mungkin aku akrab dengan tanah, tapi tidak dengan udara. Seperti bunga aster yang pendek dan kecil.

Sampai kemarin, aku masih jadi anak-anak yang gemar membiarkan diri berada di bawah sinar matahari. Masih suka sekali main hujan-hujanan di halaman belakang. Masih suka berlari menghampiri Tuan Erdas dan menanyakan mana keranjang stroberi bagianku; sebelum dirampas oleh Razen. Sst, dia suka diam-diam mencuri kesempatan mengambil stroberi lebih dulu. Meski sering pada akhirnya diberikan juga kepadaku, sih. Dasar anak baik. Menyebalkan.

Sampai kemarin, aku masih begitu. Lalu tahu-tahu pagi ini semuanya jadi berubah. Aku masih anak-anak, tentu. Tapi terlalu banyak ketakutan-ketakutan yang tahu-tahu muncul. Tanpa sadar membuatku mengetuk-ngetuk papan kayu di tepi jendelaku sendiri. Diam memandang deras hujan di luar. Hening memerhatikan lumpur yang tega sekali menggodaku untuk bermain bersamanya.

Aku tidak boleh terkena matahari. Tidak boleh main hujan-hujanan lagi. Tidak bisa juga memanjat pohon sesuka hati.

Tuhan, apalagi yang lebih menyiksa dari semua ini?

**

AIR MAIL



"Setidaknya, Kau masih boleh makan stroberi, kan?" Razen bergumam pelan. Pipinya basah. Salah satu surat Aster dalam kotak berbunga itu sukses mengoyak batinnya.

"Jangan cengeng, Anak Muda." lelaki paruh baya di belakangnya tertawa pelan. Yang ditertawai tersenyum menyeringai.

"Logika manusia," ujar Razen seraya menoleh, "memang terlalu terbatas untuk menerjemahkan seluruh tanda dari Tuhan."

"Benar. Ada banyak rahasia yang akan lebih baik tetap jadi rahasia."

"Dan kita adalah salah satunya." mendengar ucapan Razen, lelaki itu tersenyum tipis.

"Kau sudah besar, Nak. Pergilah..."

"Kemana?" Razen mengernyitkan dahi. Memandang lamat-lamat lelaki di hadapannya.

"Ke suatu tempat," lelaki paruh baya itu mengusap kepala Razen, "tempat yang Kau yakini, di sanalah Tuhan menempatkanmu." pipi Razen kembali basah.

"Terimakasih..."

***

Bahwa setiap manusia diciptakan satu paket dengan kisahnya. Bahwa setiap kisah, ia memiliki kausalitas dahsyat dengan kisah lain yang takkan pernah mampu diungkap seutuhnya oleh logika kita. Adapun manusia, pada akhirnya hanya akan menjadi perantara bagi manusia lain. Manusia kepada manusia, ialah menjadi jalan Tuhan memberi pengajaran; cara Tuhan mendidik hamba-hambaNya. Bukan karena Tuhan tiada mampu memberikan langsung tanpa perantara, melainkan karena manusia-lah yang terlalu bodoh dan lemah untuk menerima pelajaran tanpa jembatan yang nyata. Kebanyakan manusia pandai menggunakan mata tanpa mengindahkan hati yang membaca rasa. Menurutku demikian.

Setidaknya, Kau masih bisa makan stroberi, kan? tidakkah Kau patut mensyukuri itu, Aster?


***


Ditulis di bawah langit, yang ketika kamu memandangnya,
ia akan mengingatkanmu kepada Tuhan.

Jum'at, 1 Safar 1437 H.

Manusia sentimentil,
Razen.

Wednesday, November 4, 2015

Logika

“Logikamu itu perlu di-upgrade

“Kenapa?” aku memicingkan mata.

“Kamu ini pinter, tapi kenapa logikanya sedangkal itu, sih?” mendengar Kakak sangsi, aku melengos pergi.

“Daripada kamu, Kak. Pinter tapi nggak mau bagi-bagi.” Aku menjulurkan lidah. Kakak yang satu ini memang agak menyebalkan.

“Heh, enak saja. Gini ya Kakak bilangin,” tangannya menarik pundakku mundur, “kalau kamu beranggapan hal kayak gitu nggak masuk akal, berarti akalmu yang perlu di-upgrade

“Secara logika ya Kak, mana mungkin dia bisa seperti itu? Dia dapat keajaiban darimana? Nggak mungkin lah ujug-ujug jadi. Pasti ada sesuatunya.”

“Nah, itu!” Kakak menjitak kepalaku pelan, “nah itu kamu sudah dapat konsepnya. Benar sekali, pasti ada sesuatunya.”

“Apaan sih aku nggak ngerti,” aku menampis tangan Kakak yang masih nyangkut di kepalaku.

“Gini ya Dek, jangan pakai pikiran dangkal. Kamu ini jangan seperti orang yang nggak percaya Tuhan.” Ujarnya menasihati.

“Gini-gini aku anak madrasah, Kak.” Aku menekukkan alis; tidak terima atas pernyataanya barusan.

“Nah, kan. Benar, pasti ada keajaiban dan pasti ada sesuatunya. Jangan sok tahu. Pengetahuanmu tentang logika sudah sejauh mana memangnya?” mendengar pertanyaan Kakak, aku terdiam. “Kalau kamu ini beriman sama Allah, pertanyaanmu itu harusnya nggak akan muncul. Allah kan Mahakuasa atas segala sesuatu. Masukkan konsep itu dalam logikamu, Anak Pintar. Allah Mahakuasa. Berarti hal semacam itu sangat masuk akal. Apa sih yang Allah nggak bisa? Bulan aja bisa terbelah atas izin-Nya. Apalagi persoalan remeh-temeh kayak gini.” Beberapa detik suasana hening.

“Hm.. terus?” aku bergumam pelan.

“Terus ya, memangnya kamu tahu, disana dia berbuat apa saja? Siapa tahu dia sungguh-sungguh meminta sama Allah. Kamu jangan sok tahu. Logikamu nggak sama dengan logikanya Tuhan.”

“Hm.. oke, makasih lah.” Aku menepuk pelan bahunya yang tinggi.

“Haha, dasar bocah!” kepalaku kembali dijitak. Kakakku ini memang keterlaluan kadang-kadang. Tapi aku bersyukur. Diam-diam aku membenarkan perkataannya. Mungkin memang benar, logikaku harus segera di-upgrade.

“Ya, ya. Makasih Kak.” Aku mengangguk-angguk. Tidak mau secara eksplisit mengakui kedangkalan pemikiranku. Agak gengsi -jujur saja.

“Sama-sama,” jawabnya seraya tersenyum.

“Omong-omong, jangan sebut aku Anak Pintar. Kalau Kakak yang bilang, lebih terdengar sebagai sindiran daripada pujian.” Aku tertawa kecil.

“Haha baik. Kakak ganti saja jadi doa ya, Anak Salihah.” Kali ini Kakak membelai kepalaku.



Tuesday, November 3, 2015

Manusia Bodoh



Sebodoh-bodohnya manusia adalah ia yang tidak menyadari bahwa dirinya dicintai. Seperti kamu. Kok bisa sih, kamu tidak sadar-sadar juga? Aneh sekali. Padahal energi cinta yang dikirimkan kepadamu sudah begitu besar. Padahal, pengekspresian cinta itu sudah begitu konkret. Jelas lagi nyata. Lalu kamu masih juga asyik sendiri. Jangankan menoleh, sadar saja -sepertinya kamu masih jauh dari kata itu.

Maaf kalau aku bilang, bahwa kamu tengah mengalami kondisi terbodoh sebagai manusia. Ya, kamu bodoh. Dalam artian sesungguhnya. Bagaimana bisa kamu masih bertanya-tanya, menyangsikan, bahkan tidak yakin? Padahal, ketulusan itu telah lama mengirimimu kekuatan dahsyat. Padahal cinta itu sudah terang sekali terlihat. Orang-orang di sekitarmu saja tahu. Bagaimana bisa kamu justru tidak mengetahuinya?

Atau mungkin kamu pura-pura tidak tahu. Jangan-jangan malah tidak mau tahu? Miris sekali.

Ya tidak apa-apa, sih. Toh yang mencintaimu sama sekali tidak keberatan. Beruntung, kamu dicintai secara tulus. Jadi kebaikan itu tetap tercurah padamu meski kamu sungguh acuh tak acuh. Hanya saja, biar aku kabarkan ya, sebenarnya kamu yang sedang kerugian. Rugi sekali menyia-nyiakan curahan cinta yang tumpah kepadamu. Apalagi yang setulus dan seindah itu. Sebelum kamu menangis-nangis dan menyesal nantinya, lebih baik segera menoleh. Segeralah sadar.

Ada yang menunggumu. Yang tidak pernah pergi meski sering kamu acuhkan. Yang akan selalu menerimamu apa adanya dengan lapang, dan tidak mengharapkan balasan apa-apa. Yang tidak peduli latar belakangmu apa, statusmu, penampilanmu, jabatanmu, profesimu, namamu bahkan. Tidak peduli. Lalu kamu masih juga mengejar yang lain? Aduh, kamu sungguh-sungguh bodoh kuadrat. Sekali lagi aku ingatkan ya, lekaslah sadar. Jangan mau jadi manusia bodoh seutuhnya.

Karena kamu beruntung sekali, dicintai secara tulus dan seindah itu- oleh Rabb-mu.

Sunday, November 1, 2015

Membersihkan Hati

Hati begitu sensitif. Penjagaannya membutuhkan usaha ekstra. Pekerjaan hati, ia adalah pekerjaan universal. Ingat hadits Rasulullah tentang niat? bahwa segala amal perbuatan tergantung pada niatnya. Bukankah itu pekerjaan hati?

Dan hati, ia mudah sekali berbolak-balik. Maka kita diajarkan untuk memohon pada Allah, agar hati kita ditetapkan pada agama-Nya. Bahkan ulama terdahulu pun mengatakan, tiada yang lebih membuatnya sibuk kecuali menjaga niat; menjaga hati.


Ustadz Abdullah Gymnasiar dalam salah satu ceramahnya menyampaikan perihal bagaimana membersihkan hati. Adalah sebagai beriikut:

1. Menghujam kesadaran dan tekad, bahwa prioritas hidup adalah ketegakan tauhid di hati. Jangan lakukan apapun yang membuat hati busuk, lakukan apapun yang membuat hati bersih. Semua ada prioritasnya. Penggunaan waktu hanya akan efektif dengan adanya prioritas. Tanpa itu, lewat.

2. Mati-matian luangkan waktu lebih banyak untuk tafakkur membongkar dosa-dosa. Tanya pada orang-orang terdekat yang tahu persis kelakuan kita. Datang kepada guru, para ulama yang bersih hatinya yang tahu kelakukan kita. Persis seperti kita datang ke laboratorium untuk general check up. Luangkan waktu, tenaga, fikiran, biaya. Periksa! Kalau sudah ketemu berbagai penyakit, luangkan waktu, taubat! Harus tahu, mau, dan habis-habisan. Seperti orang yang terkena penyakit kanker, mau di kemoterapi, opname, infus, operasi, apapun. Sesakit apapun, karena mau sembuh. Itulah taubat. Jadi taubat bukan hanya astaghfirullahaladziim, tapi ialah proses kegigihan mencari tahu kekurangan dan benar-benar mohon ampunan.

3. Jauhi maksiat. Kalau sudah mulai mau bersih hati, kita harus mau disiplin. Mata, tidak halal, palingkan. Berteman dengan seseorang yang mengganggu iman, jaga jarak. Makanan tidak halal, shaum. Harus punya kedisiplinan kuat untuk tidak menodai diri kita. Lihat tv, acara tidak baik, matikan. Liat internet, ngerusak, tutup. Harus ada kedisiplinan. Menghisap rokok, membuang waktu, menghabiskan uang, harta, padamkan. Hijrah! semakin baik kekuatan kita menjauhi kemaksiatan dan kesia-siaan, makin cemerlang hati ini.

4. Tingkatkan taat. Shalat tepat waktu, usahakan jamaah di masjid. Shalat shubuh berjamaah itu dinilai shalat sepanjang malam. Malam, tahajud! Dan tidak perlu diumumkan ke siapapun perubahan itu. Baca qur’an, dzikir diperbanyak, sedekahkan apa saja amal saleh. Lihat nanti rasanya. Tiba-tiba makin terbuka hati. Rezeki, makin mudah akan kita rasakan. Kalaupun bukan yang kita harapkan berupa materi, tapi ketenangan, kenyamanan, kelapangan.

5. Yang terakhir adalah, tebarkan manfaat. Dimanapun kita ada, lakukan sesuatu. Apapun. Walaupun hanya menyingirkan duri dari jalan. Lakukan amal saleh dan tanpa pamrih. Setiap kebaikan yang kita lakukan, pasti akan ada balasan dari Allah tanpa harus kita tunggu, tanpa harus kita ingatkan. Lakukan saja. Kalau murni kita lakukan untuk dekat dengan Allah, ingat janji Allah. Dan barang siapa sungguh-sungguh, Allah akan lebih sungguh-sungguh menunjukkan jalannya.

"Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati".

-Rasulullah Muhammad (shallallahu 'alaihi wa sallam)-

Asy-Syifa