Saturday, March 19, 2016

Tanya, Kenapa?


"Ummi, kenapa kita tidak boleh makan dan minum pakai tangan kiri?" Amira menyergap ibunya dari belakang.

"Karena yang Rasulullah contohkan, adalah dengan menggunakan tangan kanan, Sayang,"

"Loh kok Ummi jawabnya gitu. Kalau itu sih Amira juga tahu, Mi. Kenapa kita harus shalat, kenapa kita harus berzakat, ya karena Rasulullah mengajarkannya seperti itu," komentar Amira kecewa.

"Anak Ummi semakin cerdas ya shalihah. Lalu Amira maunya jawaban yang seperti apa?"

"Yang keren-keren, Ummii.. seperti.. kenapa kita nggak boleh makan daging babi? karena hewan itu banyak penyakitnya dan ga baik untuk kesehatan," Amira bertolak pinggang. Lalu tubuhnya diangkat oleh sang ibu.

"Dengarkan Ummi ya.. begini. Alasan kenapa kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu, itu karena Allah saja. Karena sunnah Rasulullah," perempuan itu mencium pipi anaknya, "Kalau soal alasan yang Amira bilang keren, itu sih semata hikmah dari syariatnya Allah," mendengar uraian ibunya, Amira geleng kepala tanda tidak mengerti.

"Gimana sih Mi maksudnya?" dahinya mengkerut.

"Hihi, pokoknya, Ummi mau Amira menjalani hidup berlandaskan ibadah sama Allah. Bukan dengan logika semata,"

"Logika itu apa, Mi?" mendengar pertanyaan polos Amira, yang ditanyai tersenyum seraya memeluk buah hatinya.

"Kita tunggu Abi pulang ya. Nanti tanya Abi sama-sama Ummi," Perempuan itu tertawa kecil lantas mencium pipi Amira.

"Yaaah Ummiii...."

__________________

Betapa banyak dari kita yang hari ini lupa, lantas asyik mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu tanpa sadar menghadirkan penyimpangan-penyimpangan yang bertuhankan logika.

Padahal alasan paling jelas mengapa kita shalat, mengapa kita zakat, mengapa kita puasa, atau mengapa2 yang lain, bukan karena untuk menjaga kesehatan, bukan karena untuk menjaga kestabilan ekonomi. Bukan, melainkan karena Allah mensyariatkan demikian.

Kalau IPTEK yang jadi kiblatnya secara mutlak, tidak heran besok lusa bisa saja shalat diganti yoga atau meditasi. Naudzubillahi min dzaalik.

Bedakan antara alasan dengan hikmah ya Bung, Non.

Allahu a'lam.

Monday, March 14, 2016

Pemaksaan

Assalamu’alaikum, pembacaku yang baik ^^ bagaimana kabarmu? Sudah lama ya, kita tidak saling menyapa satu sama lain. Semoga kamu tidak kekurangan sesuatu apapun. Semoga kamu baik-baik saja. Aku tidak tahu pasti, apa yang tengah kamu alami dalam hidupmu. Lagipula bagaimana aku bisa tahu, sementara kamu tidak pernah mengabarkannya padaku. Tapi kali ini, aku ingin mengajakmu kembali menghidupkan semangat kepercayaan. Semangat keyakinan, bahwa alam semesta ini mendukung setiap kebaikan yang hendak kita perjuangkan. Iya, benar sekali! Sudah lama bukan, kita tidak saling menyemangati?

Yang membuat diri kita lelah, sebenarnya adalah diri kita sendiri. Kita terlalu bergantung pada diri sendiri. Terlalu mudah mengatakan tidak mungkin atau tidak bisa, karena kita menyandarkannya pada –sekali lagi, diri kita sendiri. Hal itu membuat kita terlalu mudah mengeluh dan putus asa, terlalu mudah untuk mundur dan berhenti berjuang. Padahal sudah jelas bawa diri kita terlalu lemah. Maka wajar kalau sumbu semangatnya mudah hangus terbakar dan habis jika kita masih hobi sekali bergantung pada diri sendiri (baca: apalagi bergantung pada orang lain). 

Maka sebaik-baik pilihan bergantung dan menaruh harapan, sungguh bukan diri kita, melainkan Sang Pencipta. Tidak ada yang tidak mungkin, bukan? Bukankah dunia ini adalah ciptaan-Nya? Dan Dia, dengan segenap ke-Mahakuasaan-Nya, dapat melakukan apapun. Dapat menjadikan segala sesuatu menjadi mungkin. Tugas kita sungguh-sungguh hanya taat dan mengupayakan yang terbaik. Aku fikir, tidak ada yang lebih keren dari usaha sungguh-sungguh yang disertai keyakinan dan keberpasrahan penuh pada Pemilik Alam Semesta. Setuju? :))

Omong-omong, aku sungguh menyayangimu.

Jadi aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus setuju. ;D

Iya, ini pemaksaan. Aku serius.

Saturday, March 12, 2016

Bahagia

"Ajari aku cara bahagia," Kaia mematung di sebelahku. Tatapannya kosong. Remaja itu telah lama kehilangan harapannya. Aku tahu, rasanya pasti pahit sekali.

"Cara bahagia adalah dengan mengizinkan dirimu bahagia," Aku mengusap pelan pundaknya. Kami tengah berdiri di lantai paling atas rumah sakit. Aku dengan jas dokterku, dia dengan pakaian pasiennya. Tapi kalau boleh jujur, saat seperti ini aku lebih merasa bahwa akulah pasien yang sesungguhnya.

"Bu Dokter, Anda kan pintar. Coba beri aku solusi yang lebih konkret. Itu terlalu abstrak," mendengar rajukannya, aku mencoba tersenyum. Lantas mengajaknya masuk ke dalam ruangan.

"Ayo masuk, udaranya semakin dingin. Hari ini cukup main di luarnya." mendengarku, ia mengangguk.

"Ajari aku cara bahagia," kembali Kaia mengulang permintaannya. 

"Baik baik. Jadi mau sekonkret apa? ah ya maaf sebelumnya, izinkan aku menguncir rambutmu. Berantakan sekali," ujarku sambil meraih sisir di laci meja. 

"Silakan, Bu Dokter. Aku mau cara bahagia yang paling sederhana. Jangan susah-susah. Aku sudah muak." intonasi bicaranya setengah meninggi. Ketus. Aku mulai menyisiri rambutnya. Anak keturunan China ini begitu keras kepala. Sukses membuatku ingat pada seseorang. 

"Aku pernah punya pasien. Mirip denganmu," 

"Lalu?" 

"Lalu dia mengajarkan padaku tentang cara bahagia yang paling konkret," Kaia tidak bergerak. Ia masih mematung. Aku menguncir rambutnya perlahan. 

"Bagaimana?" kali ini ia agak antusias. 

"Tarik nafasmu dalam-dalam sambil memejamkan mata. Rasakan bahwa kamu hidup," aku menghela nafas panjang, "lalu tersenyumlah dengan tulus, paling tidak selama sepuluh detik" ujarku lagi. 

"Hm.. terdengar mudah. Kapan aku bisa melakukannya?" 

"Kapanpun kamu mau. Lakukan setiap hari, terus-menerus," Aku duduk di kursi samping dipannya. 

"Bu Dokter, sejak kemarin aku ingin bilang sesuatu padamu," untuk pertama kalinya hari ini, gadis itu menoleh ke arahku. 

"Dengan senang hati," jawabku sambil menatap matanya lembut. 

"Anda mirip ibuku. Tapi Anda jauh lebih baik dan beradab daripadanya. Aku tahu Anda orang baik Ibu Dokter, tidak seperti ibuku. Ia membunuh anak perempuannya pelan-pelan. Ia bahkan tidak pantas lagi disebut ibu." Kaia menatapku lurus. Dapat kurasakan tatap matanya yang kosong. Dapat kurasakan hatiku yang turut perih. Kupeluk ia tanpa berkata-kata. Aku tahu, rasanya pasti pahit sekali. 

** 

"Dari mana, Bu Dokter?" Raihana, partner kerjaku di rumah sakit, menepuk pundakku. 

"Tadi menemani pasien di kamar paling ujung," kataku sambil tertawa kecil, "Apa ada yang mencariku?" 

"Tidak, aku yang mencarimu. Kaia lagi? sejak kapan senang sekali mengunjungi pasien?" mendengar pertanyaannya, aku menertawai diriku sendiri. 

"Kamu tahu? anak itu mirip sekali dengan almarhumah anakku. Kalau dulu aku gagal menjadi dokter untuk anakku, paling tidak semoga Tuhan menjadikan itu pelajaran agar aku tidak gagal menangani anak yang satu ini," ujarku seraya menyimpul senyum. 

"Kamu baik-baik saja?" Raihana menatapku prihatin. Mungkin agak menyesali pertanyaannya barusan. 

"Han, kadang-kadang, kita harus memaksakan diri. Harus berusaha bahagia dengan cara konkret yang paling sederhana -sepahit apapun keadaannya. Aku baik-baik saja," jawabku, kemudian kembali melempar senyum.

Ya, aku baik-baik saja. :)

Tulisan

Mereka yang menulis adalah orang-orang lemah. Tidak cukup kuat untuk menyimpan gagasannya sendirian. Tidak cukup kuat untuk tidak mengeluarkan apa yang terlintas dalam kepala. Aku sedang membicarakan mereka yang menulis secara sukarela. Bukan dipaksa.

Kata orang, kita dapat mengenali seseorang dengan apa yang dituliskannya. Tulisan sedikit-banyak akan memberi gambaran tentang karakter dan watak seseorang. Setidaknya dari sana, kita jadi tahu apa-apa saja yang mengisi benaknya. Kita tahu bagaimana kerangka fikirnya melalui tulisan. Tahu apa yang menjadi fokus utama sudut pandangnya, pun bagaimana ia menangkap dan menilai suatu fenomena.

Tapi sayang, sekarang ada begitu banyak penipuan merajalela di dunia. Begitu mudahnya manusia memakai topeng. Kadang-kadang jadi lucu mengingat bahwa hidup ini adalah permainan dan senda gurau belaka, tapi masih dengan lihainya manusia mempermainkan hidup. Mempermainkan permainan. Tidak perlu jauh-jauh membicarakan diri kita yang tertipu dengan tulisan orang lain. Ada yang lebih mengerikan dari itu semua: tertipu oleh tulisan kita sendiri. Tertipu oleh diri kita sendiri.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata bahwa ada suatu masa dimana manusia bijak lisannya, namun tidak memberikan teladan. Betapa banyak manusia yang pandai bicara namun miskin implementasi? Jangan, jangan bicarakan orang lain. Tatap saja cermin. Lihat diri sendiri. Sebesar apa gap antara pengetahuan dengan sikap dan perilaku kita? Kita tahu, tapi tak berdaya bahkan untuk sekadar mengatakan ‘mau’.

Kita perlu menyadari betapa lemahnya diri kita. Sama sekali tidak memiliki kendali dan kuasa, bahkan pada diri kita sendiri. Islam berarti penyerahan total pada Allah. Itu yang kudapat hari ini usai shalat gerhana matahari di Al Hurriyyah IPB. Ustadz Hasim khatibnya. Bukankah jadi lucu, bagaimana bisa kita mengaku seorang muslim tapi masih begitu overdosis atas kebergantungan diri pada makhluk? Termasuk kebergantungan pada diri kita sendiri.

Sungguh pemilik hati kita bukanlah diri kita. Ialah Allah yang memiliki. Betapa mudahnya ia membolak-balikkan. Betapa mudahnya menjungkir-balikkan keadaan hati seseorang. Tidakkah kita yang hari ini beriman padaNya merasa takut akan dicabutnya nikmat iman itu? Atau jangan-jangan sudah terlalu sombong bahwa diri kita tidak mungkin terjerembab dalam jurang? Mengerikan. Ibuku pernah bilang, bahwa kita sebagai manusia sama sekali tidak berhak sombong. Sama sekali. Ya, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Penyerahan total pada Allah sungguh adalah pilihan terbaik.

Kalau difikir-fikir, ada begitu banyak hal mengerikan dalam hidup ini. Banyak sekali ketidakjelasan yang merajalela. Entah sistem macam apa yang dibuat oleh manusia untuk memperalat dunia. Ironisnya, kadang diri kita menjadi korban ketamakan akal dengan diri kita sendiri juga sebagai pelakunya. Kita menyakiti diri sendiri. Bahasa kerennya, kita mendzalimi diri sendiri.

Mereka yang menulis adalah orang-orang lemah. Mereka tahu betapa mudahnya fikiran mereka menguap ditelan udara. Maka mengikatnya dengan tulisan boleh jadi adalah salah satu pilihan terbaik. Bukan, ini bukan tentang menulis secara harfiah saja. Tapi dalam artian yang lebih luas lagi. Maka kepada diri kita, jangan mudah tertipu. Karena apa yang ditulis tidak selamanya hadir dari kejujuran hati. Tidak percaya? Tanyakan saja pada diri kita sendiri.

Tapi bersyukurlah. Ada kabar baik. Katanya, apa yang ditulis dari hati akan sampai kepada hati. Hati yang jernih mampu membedakan mana yang nyata yang dan yang semu. Mana yang jujur, dan mana yang dusta.  Jadi kalaupun akhirnya diri kita menyadari bahwa apa yang kita tulis itu tidak tulus lagi nyata, paling tidak kita punya hati yang bersih meski hanya sepersekian bagian sekalipun. Bukan, ini bukan sebuah pemakluman. Hanya ajakan untuk bersyukur, dan menata diri agar lebih baik lagi.


Ditulis di bawah langit mendung,
Pada hari ketika gerhana mentari menyapa bumi pertiwi.


(Iya, ini postingan telat)