Monday, November 18, 2019

Buku dan Ketepatan Waktu


Ahad lalu ketika melihat-lihat isi rak buku, mata saya tertuju pada sebuah buku karya Dr. Ibrahim Elfiky. Melihat buku itu, bukannya membuat saya teringat akan isinya, melainkan pada hal lain. Salah satu penyesalan saya atas waktu, sebab terlalu mengundur-undur mengirimkan buku tersebut pada salah seorang kawan yang kini telah berpulang.

Kami sekelas pada tingkat satu perkuliahan, tahun 2013. Dia jurusan Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, sementara saya jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen. Beberapa kali kami terlibat dalam satu kelompok mata kuliah. Pernah juga satu kelompok asistensi Pendidikan Agama Islam. Interaksi lainnya ya di kelas perkuliahan saja, kalau tidak salah dia rajin duduk di barisan depan. Yah, sebenarnya kami tidak dekat-dekat amat. Bahkan seingat saya kami pernah terlibat konflik, alhamdulillah hanya sedikit. Begitu masuk tingkat dua, kami tidak sekelas lagi. Tidak ada interaksi yang berarti. Agaknya hanya terkoneksi oleh media sosial saja, seadanya.

Pada akhir tahun 2016, ia tiba-tiba mengirimkan saya pesan singkat (SMS). Saya sudah lupa isinya, dan mungkin tidak saya balas. Sampai ia menghubungi saya via direct message Instagram. Sebut saja namanya Eka.

“Ada apa Ka? Waktu itu Eka SMS Riris juga bukan?”

“Gak ada apa-apa Riz, kepingin curhat aja, minta saran... iya SMS.”

Begitu pembuka obrolan kami di DM instagram.

Obrolan kami kemudan berlanjut di WA. Eka adalah mahasiswi yang tekun, rajin, dan—tentu saja—tepat waktu. Ia ikut dalam program akselerasi supaya bisa menuntaskan perkuliahan strata 1 hanya dalam waktu 3,5 tahun. Hari itu Eka menyampaikan kegelisahannya pada saya, sebab sudah satu tahun belakangan ia bolak-balik rumah sakit, dan dikatakan oleh dokter dirinya mengidap lupus. Padahal, ia sudah harus memulai penelitiannya supaya sesuai dengan target yang diberikan. Berita itu sedikit-banyak membuat mental Eka jatuh. Apalagi pencarian aktifnya di internet berujung pada ketakutan luar biasa. Ia cemas.

Payahnya, saya sungguh tidak bisa membantu banyak. Saya benar-benar tidak fokus membantu Eka, bahkan untuk sekadar jadi pendengar yang baik. Beberapa kali respons saya terbilang lama, dan tidak aktif menanyakan kabar beserta hal-hal lain yang boleh jadi sedang Eka butuhkan; support. Saya juga tidak mengerti mengapa Eka tidak menceritakan ini pada teman-teman satu jurusannya, pada teman-teman terdekat bahkan kawan sekosannya. Saat itu Eka meminta saya untuk tidak menceritakan pada siapa-siapa. Hal itu juga yang membuat saya tidak bisa mengabarkan pada beberapa kawan yang terbilang cukup dekat dengan kami berdua ketika dulu sekelas di tahun pertama. Yang bisa saya lakukan adalah memberi saran, supaya setidaknya ada teman sekelas yang tahu mengenai kondisinya. Saya katakana bahwa ia tidak boleh terlalu capek.

Tahun 2017 adalah salah satu masa terberat saya, jujur saja. Ada banyak persoalan yang harus saya hadapi sembari mengerjakan tugas akhir di perkuliahan S-1 yang sudah dikejar-kejar deadline sebab saya pun mengikuti program fasttrack. Ditambah ada hal lain yang juga menguras pikiran, dan kelelahan fisik keliling Tangerang Selatan serta bolak-balik Jakarta-Bogor. Kehidupan saya rasanya habis di jalan saat itu. Sungguh saya tidak aktif berkomunikasi dengan Eka. Dia yang justru lebih banyak menghubungi saya untuk bercerita, yang sayangnya, tidak saya tanggapi secara optimal.

Hebatnya, di tengah ujian yang luar biasa, ia berhasil lulus tepat waktu dan wisuda dua bulan lebih cepat dari saya, dan agaknya sudah terlihat baik-baik saja. Bahkan saya yang saat itu tengah asyik tenggelam dalam problematika pribadi sungguh tak ingat, apakah saya mengucapkan selamat padanya atau tidak. Betapa payahnya.

Suatu ketika kami kembali terlibat perbincangan.

“Riz, Eka butuh baca buku-buku motivasi deh supaya semangat. Riris ada nggak?” kurang lebih, begitu ucapnya (saya sudah lupa sebab chat history kami raib bersamaan dengan rusaknya HP saya Januari 2018 lalu).

“Adaa, Ka. Motivasi kayak apa?”

“Iya buku motivasi apa aja tentang kehidupan.”

Usai membaca permintaannya, saya serta-merta mengecek rak buku di kamar, barangkali ada buku yang cocok untuk dibaca Eka. Saya kemudian menemukan buku karya Dr. Ibrahim Elfiky berjudul “Excellent Life”. Saya foto buku tersebut, lantas mengirimkannya pada Eka.

“Ini bagus deh, Ka. Bacaannya ringan tapi memotivasi.”



Kemudian diam-diam saya bertekad hendak mengirimkan buku itu. Namun mengingat tampilannya yang sudah tak ciamik, ingin rasanya membelikan Eka satu buku yang masih baru.

Qadarullah menjelang akhir tahun 2017, Eka turut menjadi pembaca buku saya yang berjudul TEMU. Ia menghubungi saya, memesan satu buku, dan mengirimkan alamat tempat ia tinggal saat itu di Kawasan Tangerang. Bisa dibilang tidak begitu jauh dari tempat saya tinggal.

**

Saya mendapatkan alamat Eka tanpa memintanya. Tentu saja karena ia turut membeli buku TEMU melalui form online yang tersebar. Saya mendapatkan alamatnya secara cuma-cuma. Harusnya bukan hal yang sulit bagi saya untuk sekadar mengirimkan sebuah buku yang sudah saya punya. Bermodalkan membungkus buku tersebut, menuliskan alamat, dan cukup berjalan beberapa langkah ke ekspedisi terdekat dari rumah. Ya, harusnya sesederhana itu.

Tapi keinginan saya yang terlalu muluk—mencari buku baru yang lebih baik tampilannya—menjadikan hal yang tadinya sederhana jadi lebih rumit. Saya kerap menunda-nunda, hingga akhirnya lupa dan justru tidak terlaksana.



Pada tahun 2018, beberapa kali kami masih terlibat perbincangan. Karena saya merasa sangat minim dalam membantu Eka, saya mencoba mencari info pada beberapa kerabat yang mungkin saja dapat memberi saran terkait lupus dan bagaimana bisa meng-encourage mereka. Saya bahkan sampai melemparkan pertanyaan ke grup angkatan Aliyah, mengingat tidak sedikit kawan saya yang kuliah di jurusan kedokteran. Saya juga menanyakan pada sahabat saya yang salah satu keluarganya juga merupakan seorang odapus (pasien lupus).

Alhamdulillah saya memperoleh pencerahan. Lantas mengabarkan pada Eka beberapa kontak yang mungkin bisa membantunya, menghubungkan Eka dengan sahabat saya, serta mengenalkan Eka pada salah satu ketua komunitas peduli lupus. Kata seseorang, yang terpenting untuk odapus adalah bahwa mereka memiliki teman untuk saling berbagi, bahwa dirinya sungguh-sungguh tidak sendirian.

**

Beberapa bulan kemudian, tanpa ada kabar apa-apa, tanpa ada intro yang saya terima, tahu-tahu saya mendapat berita dari salah seorang kawan sejurusan, bahwa Eka telah tiada pada 22 Oktober 2018. Ketika mendapat informasi tersebut, segera saya memastikan kebenarannya melalui beberapa kawan. Betapa payahnya saya, sebab ternyata meninggalnya Eka tidak serta-merta. Ia telah dirawat di rumah sakit dalam waktu yang cukup lama—dan saya tidak tahu apa-apa.

Saya sempat menyesali diri sendiri hingga enggan mencari tahu lebih lanjut. Merasa menyesal sebab tidak pernah saya bertukar kabar dengannya usai saya berikan beberapa kontak. Saya kembali asyik tenggelam dalam rutinitas diri yang kembali disibukkan menyelesaikan tugas akhir (lagi, kali ini S-2). Saya melewatkan banyak hal, pada masa-masa itu. Dan salah satu yang paling menyedihkan bagi saya adalah tentang Eka. Betapa tidak, bahkan dari awal hingga akhir, saya tidak pernah menyempatkan diri bertatap langsung dengannya. Sejak awal tahun 2016 ia menceritakan tentang dirinya pada saya, sampai tiba saatnya ia berpulang pada 2018 lalu, kami tidak pernah bertatap muka sekali pun. Padahal jarak kami sungguh tidak sejauh itu. Kami masih di kota yang sama, atau paling tidak saya hanya perlu nyebrang ke kota sebelah.

Maaf, Ka. Buku itu pada akhirnya benar-benar tidak terkirim.



**

Sudah lama sekali ingin menceritakan ini, entah pada siapa. Bagi saya, pengalaman ini sungguh memberi saya pelajaran bahwa kadang kita tak perlu menunggu segala sesuatunya untuk tepat nan sempurna. Dalam banyak hal, ketepatan waktu perlu dicipta meski dalam kondisi tidak optimal seutuhnya. Tidak apa-apa. Kalau kita hanya punya satu kaki, bukankah lebih baik terus melangkah meski pincang, daripada tidak melangkah sama sekali?

Saya yakin seutuhnya, bahwa Allah tidak pernah salah alamat dalam mengirimkan seseorang untuk hadir dalam kehidupan setiap manusia. Tak terkecuali hadirnya Eka dalam kehidupan saya. Allah-lah yang menggerakkan Eka untuk menghubungi saya, meski antara saya dengannya tidak ada hubungan yang benar-benar dekat, hanya sebatas teman sekelas biasa yang beberapa kali berada di satu kelompok belajar yang sama. Allah-lah yang mengarahkan Eka untuk menyampaikan keinginnanya membaca buku tentang motivasi kehidupan pada saya, Allah juga yang menggerakkan Eka membeli buku TEMU, meski pada akhirnya kami tak juga mencipta temu. Pasti ada pelajaran yang hendak Allah sampaikan pada saya untuk dipetik hikmahnya dan menjadi bekal untuk pelajaran selanjutnya.

Ketepatan waktu itu dicipta, bukan ditunggu. Beberapa kali saya mengatakan ini pada orang lain—terlebih pada diri sendiri.

Terima kasih, Eka. Maafin Riris.

**

Ditulis di Kota Hujan Bogor,
Diselesaikan pada Hari Jum’at, 15 November 2019

No comments:

Post a Comment