Wednesday, April 20, 2016

Yang Baik yang Dijatuh-cintai


Manusia mudah jatuh cinta pada seseorang yang berbuat baik pada dirinya. Bukankah itu sudah jadi rahasia umum?

Seberapa pun disangkal, tapi itulah kenyataannya. Kita selalu memiliki rasa bahagia ketika dipedulikan, ketika diperhatikan, ketika diistimewakan.

Anehnya, tidak sedikit manusia yang tidak menyadari kebaikan paling hakiki. Rasanya kok jatuh cinta kepada-Nya seakan butuh usaha lebih. Abstrak, begitu kata sebagian orang.

Padahal ekspresi cinta-Nya sudah jelas lagi nyata. Kasih sayang apa adanya, tanpa pencitraan, tulus, melimpah, semerbak, memberdayakan, dan tentu saja: romantis. "Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati" (Al Mulk: 13)

Dia bahkan mempersilakan kita curhat sepuasnya. Boleh dalam diam, boleh dilisankan. Suka-suka kita. Sementara Dia selalu tahu. Selalu mengerti.

Bukanlah mata yang buta, melainkan hati. Maka pengelihatan yang sejati terletak di hati. Cukup jeli kah hati kita menangkap sinyal kebaikan dari-Nya? Adakah kesadaran dari kita, betapa Dia sungguh-sungguh cinta?

***

Sementara kadang diri kita sangsi. Adakah hati menyimpan cinta untuk-Nya?

Lalu ketika rindu melanda, baru terasa. Oh, mungkin ini namanya memang cinta.

Kemudian akal kembali bertanya, "Sungguh? jangan-jangan cuma rindu dan cinta jika ada maunya saja, jika sedang terdesak dunia!"

"Jika hambaKu bertanya tentang Aku, maka katakanlah bahwa sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa siapa yang berdoa kepadaKu"

Maka saatnya kita berdoa, "Ya Allah, jatuhkanlah cinta kami kepadaMu saja. Jadikan hati kami menjadi hati yang selalu merinduMu."

Jaminan


Jadi ajak aku berlari. Paksa aku mempercepat langkah. Jangan sampai kamu cukup tega membiarkan aku santai berlama-lama di satu titik, sementara kita adalah musafir sejati.

"Kita tidak pernah mendapat jaminan apa-apa," ujarmu pada suatu hari, "selain kepastian bahwa Dia Maha Menepati Janji."

#istiqlal #mosque #run #children

PASIR TERBANG


Aku fikir, pasir terbang itu hanya ada di film-film saja. Tapi ternyata, ia sungguhan ada. Aku mengabarkanmu, namun entah mengapa kamu tidak percaya. Jadi biar aku tuliskan saja disini. Setidaknya telah kusimpan ia dalam memori dunia -meski dalam benakmu ia tiada.

April 2016 : KABUR

Dedaunan saling melambai. Diterobos cahaya pada sela-sela rerumputan. Dibuat tersipu oleh udara. Aku melangkahkan kaki gontai, setengah sadar. Kubuka pelan pintu kaca yang entah mengapa terasa lebih berat. Kuperiksa loker paling ujung. Masih bagus, hanya sedikit berdebu. Agaknya cukup lama aku meninggalkan tempat ini. Gumamku dalam hati.

"Kemana saja?" seseorang di ujung lorong berjalan mendekat.

"Kemana? aku tidak kemana-mana," jawabku sambil tertawa ringan. Jelas-jelas membuat canda yang dipaksakan."

"Kamu sukses bikin satu sekolah geger, tahu nggak. Kenapa ngabur begitu saja?" ujarnya.

"Kamu fikir aku kabur?" kataku dari jarak lima meter.

"Apalagi namanya kalau bukan kabur? nggak nyangka aja sih, kamu selemah itu," kali ini nada bicaranya merendahkan.

"Aku bukan kabur, tapi diusir." aku kembali terkekeh. Menyiptakan gema oleh dinding-dinding ruangan.

"Iya, diusir oleh dirimu sendiri!" ujarnya galak.

"Keluarga besar kita dalam masalah, Ken. Aku bukan kamu yang begitu penurut tapi membiarkan diri terkungkung dengan sistem berantakan ini,” kali ini gantian aku yang mendekatinya.

"BUK" wajahku dilempari satu plastik air dingin.

“Jangan gegabah. Lihat siapa yang membiarkan dirinya masuk ke lubang serigala dengan sengaja, Dasar!” Lalu aku ditinggalkan.

April 2016: TULISANMU

Belakangan, aku punya hobi baru: memeriksa kolom pojok kanan buletin sekolah setiap minggu; menanti tulisanmu. Entah sejak kapan ini menjadi kebiasan rutin yang sejujurnya, diam-diam aku maki dalam hati. Meski tulisan itu bebas dibaca siapapun, namun melakukan pemantauan berkala seperti ini kadang membuatku merasa jadi tukang intip. Aku jadi merasa kehilangan diriku dalam satu waktu. Dan malangnya, itu terjadi rutin setiap minggu.

“Bapak ketua OSIS, sejak kapan senang baca buletin sekolah?” lagi, aku kedapatan mematung di samping tangga; membaca tulisanmu.

“Hei, bukannya dari dulu, Master?” aku tertawa renyah. Mengawasi setiap inci kegiatan siswa di sekolah ini memang bagian dari tugasku, kan? Aku menelan ludah.

“Haha, iya. Tapi belakangan jadi lebih rajin,” bahuku ditepuk pelan. Aku membetulkan posisi kacamata yang tidak berlensa.

“Tulisan pojok kanan ini selalu menarik,” kusodorkan tulisanmu pada Master.

“Ketua OSIS kita sedang jatuh cinta rupanya. Anak baru itu diam-diam menyolok sekali,” Master menggodaku. Aku tertawa.

“Bisa jadi,” jawabku sekenanya. Ia ikut tertawa.

Tapi aku tahu persis, ini bukan jatuh cinta. Bukan, tapi lebih dari itu. Aku seperti menemukan seseorang yang telah lama hilang. Semua petunjuk-petunjuk ini mengarah padamu. Jalan fikiranmu, gaya tulisanmu, pilihan kosakatamu. Aku hanya hendak memastikan semua itu. Jika memang itu dirimu, apa yang akan kamu lakukan di tempat ini, Anak Baru? Apapun itu, disini, akulah ketua OSIS-nya. Kamu harus tahu.

April 2016: PENYAPU JALAN

Kakek pernah bercerita padaku tentang gadis penyapu jalan. Setiap pagi, ia menyapu persimpangan jalan mulai dari ujung rumahku sampai pertigaan terdekat yang jaraknya sekitar sepuluh meter. Sekilas tidak ada yang istimewa. Tapi jika diperhatikan lebih seksama, ternyata gadis itu tidak dapat melihat. Ya, dia menyapu jalan sejak dini hari, selagi suasana masih lengang. Hanya ada satu-dua orang tua yang keluar untuk berbelanja di pasar, atau tukang sapu lain yang juga bekerja pagi-pagi sekali.

Suatu ketika aku memberanikan diri menghampirinya. Malang, ternyata selain buta, ia juga tidak dapat berbicara. Aku garuk-garuk kepala. Bagaimana mungkin Tuhan tega membiarkan hidupnya sebegitu sengsara? Alasan apa pula yang membuatnya melakukan hal itu setiap hari; menyapu jalanan? Apakah ia digaji? Kalaupun iya, seberapa besar? Apa kabar sekolahnya? Ia hanya meresponku dengan tersenyum tanpa bicara satu patah kata pun. Aku tidak punya pilihan selain tersenyum balik.

Beberapa pagi aku menjumpainya. Selalu saja seperti itu. Ia akan tersenyum, kemudian menyapu tanpa memperdulikan aku. Malang sekali nasibnya, fikirku. Setiap kali aku hendak menggantikan dirinya menyapu, ia tersenyum lebar, lalu menggeleng. Aku mengangguk. Aku tahu, ia pasti tidak mau merepotkan orang lain. “Kamu.” Kataku padanya, “aku akan menjadi orang besar. Supaya nanti, tidak ada lagi orang-orang yang harus mendapat nasib sama sepertimu!” aku bertolak pinggang. Kemudian pergi dengan semangat menggebu. Aku harus melakukan sesuatu untuknya; untuk negeri ini.

Pagi berikutnya, aku datang lebih awal. Pagi-pagi sekali. Langit masih gelap. Lalu dari kejauhan kudapati ia datang menggunakan sepeda dibonceng seorang perempuan –kurasa ibunya. Mendengar suaraku, ia menunjukkan wajah heran. Aku lantas memberitahu bahwa aku membawa sapu lidi yang sudah aku siapkan dari rumah. Aku hendak membantu, kataku. Tanpa kuduga, ia mengerutkan alisnya. Melarangku untuk menggunakan sapu yang telah siap aku fungsikan.

“Apa kamu fikir aku menderita?” ia merogoh sapu dari kantung besar di sepedanya. “Silakan kamu bermimpi besar akan bangsa ini. Itu bukan hal buruk. Tapi lebih baik kau pulang dan temui ibumu,” ia memakiku sambil memainkan telunjuknya.

“K..k.. kamu..” aku terbata demi mendengar ia bicara.

“Kemarin, aku mendengar ibumu kesulitan menyapu halaman belakang karena harus menyuci pakaian, menyuci piring, mengepel, sekaligus menidurkan adikmu. Jangan tinggi-tinggi bermimpi membenahi negeri ini jika wajahmu bahkan jauh dari punggung tangan ibumu!” suaranya menyapu udara, “Tidak perlu repot-repot mengambil alih pekerjaanku!” katanya lagi.

MeNdengar seruannya, aku terperanjat. Dia… dia bisa bicara. Tidak, dia bahkan menumpahiku dengan hujanan nasihat. Tenggorokanku kering seketika.

April 2016: CANTIK

“Tapi aku tidak cantik, Mi,” aku mengerutkan alis.

“Kata siapa?” wanita paruh baya itu mengusap kepalaku pelan sambil tersenyum teduh.

“Aku tahu, Ummi. Anakmu ini sudah besar, dan sudah melihat dunia dengan luas. Dia sudah bisa menilai mana cantik dan mana yang nggak cantik,” aku menghela nafas panjang. Mematut di depan cermin.

“Pandanganmu seluas dunia, Nak?” Ummi duduk di hadapanku. Membiarkan aku menikmati wajah teduhnya. Tenang.

“Ya, aku tahu idealisme itu, Mi. Cantik dilihat dari hatinya. Ummi selalu bilang begitu, kan? Tapi apa masih ada manusia di dunia ini, yang punya idealisme seperti itu?” aku melempar muka. Bukan angkuh, hanya tidak sanggup menatap wajah Ummi lebih lama.

“Jika dunia begitu membutakanmu, maka gunakanlah pandangan langit, Anak Ummi Sayang…” perempuan paruh baya itu mengecup keningku, “Maafkan jika Ummi tidak banyak berdoa pada Allah agar dikaruniai anak perempuan yang cantik fisiknya. Tapi Ummi selalu minta sejak dulu, supaya anak-anak Ummi menjadi ahli syurga yang cantik hatinya,” lanjutnya.

“Ummi, tapi dunia ini sudah sebegitu jahat dengan hanya menilai seseorang dari fisik,” aku kembali menjawab.

“Kalau begitu, paling tidak jangan biarkan kita menjadi bagian dari mereka. Siapa yang dicintai Allah, maka Allah akan menjadi pendengarannya lagi menjadi pengelihatannya. Naikkan standar cantik itu, Nak…”

Aku tahu. Aku tahu. Aku tahu Ummi benar. Hati kecilku meyakininya. Miskin sekali standar cantik dalam benakku. Aku tahu. Namun di sisi lain aku juga tahu, bahwa ternyata, penjajahan fikir itu begitu dahsyat menyerang benak setiap manusia. Termasuk aku. Haruskah aku buang semua definisi dari kamus, iklan, dan internet itu?

“Tentu saja, Sayang…” Ummi memelukku seakan tahu, “orang-orang yang menggunakan mata hatinya untuk melihat, selalu saja beruntung menjalani kehidupan,” katanya lagi.

Aku tahu, Mi. Tapi…

April 2016: "JESSICA"

Namanya Jessica. Bukan, dia bukan bule kesasar atau semacamnya. Ia adalah orang pribumi tulen. Malangnya, baru saja Jessica pulang dari luar negeri tempat ia bekerja sebagai TKI dengan wajah tak berbentuk (jika tidak mau dikatakan hancur) akibat siksaan majikannya. Sekilas namanya memang terdengar asing, tapi itulah buah dari paradigma orang tuanya yang menilai bahwa nama kebarat-baratan adalah sesuatu yang keren.

Pagi ini, Jessica sudah hadir dengan rapi di tanah air. Bersyukur jenazahnya bisa diurus dengan cepat -meski heran, mengapa kasus semacam ini harus terjadi berulang kali? Bermodalkan iming-iming kekayaan dalam waktu singkat, dua tahun lalu Jessica bersama dua orang temannya nekat pergi ke negeri seberang dengan kemampuan pas-pasan. Jangankan bela diri sebagai bekal pertahanan, bahasa untuk bekerja saja ia hanya modal kamus satu milyar harga dua ribuan.

Tanah air gempar. Kabar Jessica yang wajahnya disiram air keras, punggungnya disetrika, dan tubuhnya yang digerayangi sang majikan menyebar dengan cepat. Menimbulkan kengerian yang lambat laun seakan merupakan hal lumrah: ah, itu mah sudah biasa. Dengan suasana haru biru di salah satu stasun televisi, kedua orang tua Jessica dimanfaatkan. Ya, dimanfaatkan untuk mendulang rating stasiun televisi. Menjual isak tangis dan rasa iba tak berkesudahan, dibeli seadanya. Sekelebat. Dan malang, masih juga terulang kejadian serupa.

Pagi itu, studio dengan sofa empuk, layar-layar bergambar, serta ratusan penonton; bahkan jutaan jumlahnya di seluruh negeri.

“Jadi apa harapan Ibu dan Bapak akan meninggalnya puteri tercinta di tanah seberang?” sang pembawa acara menatap simpati.

“Ndak ada, Bu. Ndak ada harapan apa-apa. Namanya juga jelata. Ya wajar saja begini nasib kami,” jawab ayahanda dengan mata berkaca-kaca. Lalu suara latar diputar, tatapan nanar dan sayu ditampilkan di layar kaca. Membiarkan penontonnya larut dalam kesedihan sementara. Ya, sementara saja. Kemudian tidak ada apa-apa. Kehidupan berjalan seperti biasa. Dua tahun kemudian, kembali terulang peristiwa yang sama.

April 2016: PASIR TERBANG

Aku punya indera keenam. Kamu juga. Setiap manusia punya. Salah satu yang jadi keunggulanku adalah membaca kepala orang lain. Membaca masa lalunya, membaca latar belakangnya, membaca jalan pikirannya. Sayang, kadang aku malas menggunakan kemampuan itu. Ia selalu sukses membuatku memaklumi setiap orang. Kadang-kadang aku hanya bosan, sesekali ingin dimengerti alih-alih selalu bekerja untuk menjadi pihak yang mengerti. Jangan dicontoh. Ini egois.

Akhir-akhir ini pikiranku rasanya ingin tumpah. Tapi sayang, seringnya tidak menemukan wadah. Bukan tidak ada, sih. Hanya saja aku seringkali lupa dan tidak sabaran. Memotret banyak kejadian dalam satu waktu, memahami banyak karakter dalam satu hela, dan menerjemahkan kode semesta yang melimpah ruah ternyata cukup menguras tenaga. Tapi ternyata aku salah. Itu bukannya melelahkan, namun aku yang terlalu malas menggunakan sumberdaya. Menyedihkan.

Aku fikir, pasir terbang itu hanya ada di film-film saja. Tapi ternyata, ia sungguhan ada. Aku mengabarkanmu, namun entah mengapa kamu tidak percaya. Jadi biar aku tuliskan saja disini, ya. Setidaknya telah kusimpan ia dalam memori dunia -meski dalam benakmu ia sungguh tiada.

Kamu tahu, dalam satu detik saja, ada begitu banyak fenomena menakjubkan dalam tiap kisah dan episode kehidupan manusia. Percaya?

(Ditulis di Kota Hujan, pada 19 April 2016 --setelah sekian lama tidak menulis panjang)

Sunday, April 3, 2016

Kelekatan Ibu-Anak (Kunci Membangun Bangsa)





Sejak membaca pendahuluan buku ini, saya seperti tengah diajak berbincang oleh Ibu Ratna Megawangi. Semoga tidak hiperbola, tapi saya merasakan bahwa Ibu Ratna menulis buku ini sungguh-sungguh dengan hati. Mengalir sekali. Ada ilmu yang hendak beliau bagikan kepada banyak orang terutama para orang tua (dan calon orang tua, tentunya) tentang kunci macam apa yang harusnya digunakan dalam hal membangun bangsa.

Pendiri Indonesia Heritage Foundation (IHF) ini mengungkapkan keyakinannya bahwa banyak orang tua sepakat dengan pernyataan “anak-anak dan remaja Indonesia banyak yang bermasalah,” namun tidak tahu mulai dari mana harus memperbaikinya. Katanya lagi, perdebatan panjang sangat mungkin terjadi, dan mungkin melibatkan berbagai pemikiran rumit dan kompleks mulai dari ideologi politik, sistem ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya.

Ketika duduk di bangku 12 Aliyah dan dalam masa-masa pencarian jurusan, ada sebuah pemikiran dalam kepala saya, “Saya tahu negeri ini banyak masalah. Dan berdasarkan hasil pengamatan saya, akar dari semua permasalahan terletak pada akhlak manusianya. Lantas saya harus melanjutkan studi dimana, untuk mendukung kontribusi dalam hal pendidikan akhlak?” Dahulu saya berfikir untuk masuk ke fakultas keguruan. Hingga qadarullah, Allah mempertemukan saya dengan IKK (IlmuKeluarga dan Konsumen) yang saya sama sekali tidak menyangka jurusan semacam ini sungguhan eksis di Indonesia. (Cerita saya bertemu IKK bisa dibaca disini).

Satu persatu pertanyaan yang dulu banyak saya ajukan mulai menemukan jawaban. Meski tidak dipungkiri, melahirkan semakin banyak pertanyaan lainnya –saya semakin tahu betapa miskinnya saya akan ilmu. Salah satu pertanyaan itu dijawab oleh Ibu Ratna melalui buku berjudul Kelekatan Ibu-Anak ini. Beliau membuka mata saya dengan menawarkan konsep common sense (pengetahuan umum logis, ‘semua orang juga tahu’) paling mendasar dalam kehidupan seorang anak manusia. Adalah itu kebutuhan akan cinta dan kasih sayang --yang dimulai dari kelekatan cinta antara ibu dan anak (attachment). Hal yang dianggap klise memang, namun sebagaimana Ibu Ratna yakin bahwa pembacanya akan setuju bahwa masalah kelekatan cinta adalah fondasi penting bagi tumbuh kembang manusia, saya terhadap Anda pun demikian.

Dibuka dengan Bab Pendahuluan, buku ini terdiri dari sembilan bab disertai dengan beberapa lampiran. Hal yang saya sukai dari tulisan Ibu Ratna adalah bagaimana beliau memaparkan paradigmanya dengan jelas dan mudah dipahami. Penjelasan tentang kelekatan mulai dari mekanisme pembentuk, dampaknya terhadap perilaku ketika dewasa, aspek kimiawi dan hubungannya dengan perkembangan otak anak, tips membentuk kelekatan, hingga implikasi kebijakan dan program diulas menggunakan bahasa populer yang mengalir sekali.

Harlow melakukan penelitian untuk melihat dampak pemisahan ibu-bayi, namun dilakukan pada anak monyet. Bersama Zimmernan, Harlow memisahkan anak monyet tidak lama setelah dilahirkan, dan meletakkannya di sebuah kandang yang berisi 2 jenis surrogate mother (induk pengganti); yang pertama terbuat dari kawat yang dipasang sebuah tempat untuk menaruh botol susu sebagai makanan bayi monyet, dan yang kedua adalah induk yang terbuat dari kain berbulu tanpa diberikan botol susu.


Ternyata, bayi-bayi monyet tersebut berada sekitar 17 sampai 18 jam sehari bersama dengan induk dari kain berbulu, dan kurang dari 1 jam dengan induk kawat. Mereka hanya mendekati induk kawat ketika hendak minum susu saja, selebihnya kembali pada induk berbulu. Hasil penelitian ini mematahkan pendapat bahwa kelekatan bayi dengan ibunya karena alasan ingin mendapatkan makanan saja. Hal yan utama adalah kontak fisik dan kenyamanan.

Selanjutnya, dipaparkan bahwa kelekatan yang terbentuk sebagai hasil dari kontak fisik yang hangat dan transfer emosi yang penuh cinta akan sangat berperan pada pembentukan empati, nurani, dan perilaku pro-sosial. Saya beberapa kali menjumpai orang yang cenderung tidak mendukung prinsip ini, dengan alasan bahwa anak harus dididik dengan tegas dan disiplin untuk membentuknya jadi manusia yang berkarakter tangguh dan kuat. Padahal, keduanya sungguh bukan hal yang berlawanan, melainkan harus dijalankan secara seimbang, selaras, dan tepat sasaran serta caranya. Bukankah tegas dan disiplin adalah bagian dari ekspresi cinta? :)

Saya ingat perkataan salah satu khaulafaurrasyidin, Ali bin Abi Thalib. Beliau mengatakan bahwa dalam mendidik anak, dalam 7 tahun pertama perlakukan anak seperti Raja, 7 tahun kedua, perlakukan anak seperti tawanan perang, selanjutnya perlakukan anak sebagai sahabat.



Gambar di atas memperlihatkan perbedaan antara anak-anak yang diasuh secara normal dan penuh kasih sayang dengan anak-anak yang sejak bayi diasuh oleh panti asuhan di Rumania. Aktifitas otak yang paling aktif dan paling tidak aktif secara berurutan adalah warna merah-kuning-hijau-biru-hitam. Terlihat bahwa anak-anak yang sejak bayi diasuh orang tuanya memiliki warna merah dan kuning yang lebih dominan dibanding dengan anak-anak yang diasuh panti asuhan.

Meski tidak berlaku secara mutlak untuk semua kasus (mengingat ada juga anak yang lebih baik diasuh orang lain selain ibunya, jika sang ibu mengalami kelainan tertentu misalkan), setidaknya data tersebut sangat mendukung kita untuk mengatakan betapa pentingnya peran ibu dalam tumbuh-kembang anak, terutama sejak tahun-tahun pertama dimana anak sangat butuh diperlakukan sebagai 'raja'; ditumpahi kasih sayang seutuhnya. Termasuk juga peran seorang ayah, tentu saja. :)

Ada hubungan antara riwayat kelekatan orang tua ketika kecil dengan kualitas pengasuhannya. Mereka yang lekat dengan ibunya ketika kecil memiliki kecenderungan untuk melakukan pengasuhan dengan baik pula. Selain itu, kelekatan masa kecil bahkan memengaruhi kebahagiaan pernikahan, kesuksesan dalam karier, serta perkembangan spiritualitas. Dengan apik, buku ini menyediakan hasil dari studi literatur dan memaparkan penelitian terkait. Ibu Ratna juga memberikan beberapa tips praktis yang dapat dilakukan untuk membangun kelekatan, seperti rawat gabung, perawatan kanguru, sentuhan dan pijatan halus, tidur bersama, komunikasi verbal dan non-verbal, bercerita dan membaca buku, disiplin positif, dan bagaimana cara mengoreksi kegagalan kelekatan.

Salah satu kisah menarik yang beliau paparkan adalah cerita tentang orangtua (yakni ibu dari Ibu Ratna) yang pernah mengalami trauma masa kecil; mendekap adik satu-satunya yang tertembak lehernya dan meninggal dalam keadaan berlumuran darah. Sebuah trauma luar biasa, namun sungguh bisa diatasi dengan melepaskan, mengikhlaskan, berdamai, dan berbagi dengan orang lain. Akhirnya ibu dari Ibu Ratna pun berhasil membesarkan anak-anak dan meninggal usai shalat tahajud dalam keadaan tersenyum. MasyaaAllah! :')


Ah iya, buku ini saya pinjam dari Ibu Alfiasari, dosen pembimbing saya di IKK. Sebelumnya, buku ini pernah dibedah di mata kuliah Pengasuhan Anak. (Bisa dibeli di Departemen IKK IPB bagi yang berminat :)) Saya ingat betul bagaimana Ibu Ediana, dosen tamu dari IHF saat itu, memaparkan bahwa konsep pengasuhan anak modern yang didapat hari ini sungguh relevan dengan apa yang telah Rasulullah ajarkan. Hadits ini salah satunya:


Suatu hari Rasul didatangi oleh seorang Ibu (Sa’idah binti Jazi) yang membawa serta anaknya yang baru berumur satu setengah tahun. Kemudian anak tersebut diminta oleh Rasulullah. Anak tersebut mengompol/kencing. Karena mungkin segan anaknya telah mengotori Rasul maka ibu tersebut dengan agak kasar menarik anaknya dari pangkuan Rasul. Seketika itu Rasul menasihati Ibu tersebut, “Dengan satu gayung bajuku yang najis karena kencing anakmu bisa dibersihkan, tetapi luka hati anakmu karena renggutanmu dari pangkuanku tidak bisa kamu obati dengan bergayung-gayung air.”

Ya, luka di hati anak itu takkan bisa terobati meski dengan bergayung-gayung air. Ketika anak direnggut sedemikian rupa, ia akan mengalami stres. Emosi negatif menstimulasi produksi hormon stres yang akan menyebabkan sinaps-sinaps (pengubung sel-sel syaraf di otak) terhambat pertumbuhannya dan akan terpangkas (pruning). Termasuk juga terjadi pada bagian hippocampus yang menyimpan memori/ingatan, sehingga perkembangan kecerdasan anak dapat terhambat.

Secara keseluruhan, saya sangat berharap bahwa siapapun Anda, terutama bagi para orang tua, calon orang tua, pendidik, tenaga kesehatan, juga pemangku kebijakan, agar bisa membaca buku ini (semoga) -sebagaimana Ibu Ratna berharap agar konsep common sense yang ia tawarkan dapat diketahui, didukung, dan dilaksanakan untuk rencana pembangunan jangka panjang bangsa (rencana pembangunan peradaban!) :) karena sungguh, apa yang saya ulas disini hanya sepersekian bagian dari keseluruhan isi buku. Semoga dapat menjadi pengantar dan memberi manfaat.