Tuesday, February 14, 2017

Anak-anak Cibunian

Kamu tahu? sore itu, kami baru saja pulang setelah bermain dari sungai. Kami berjalan beriringan sambil memandangi ujung pakaian yang basah. Sesekali melepas canda; menertawai hal-hal lucu yang baru saja terjadi. Hingga salah satu dari mereka memanggilku lembut.
“Kak Riris…” anak perempuan itu memeluk lenganku dari belakang.
“Ya? Kenapa, Sayang?” aku menoleh. Ia lantas menatapku sambil tersenyum. Manis sekali.
“Putri sayang Kak Riris…” katanya setengah berbisik.
“Eh?” mendengarnya, kemudian aku salah tingkah.

ANAK-ANAK CIBUNIAN
Oleh: Rizky Sahla Tasqiya
           
Jika Indonesia adalah syurganya dunia, aku berani bilang bahwa Desa Cibunian adalah syurganya Pamijahan. Dengan luas yang mencapai 1.258 hektar, Cibunian sukses menjadi desa terluas di Kecamatan Pamijahan. Letaknya yang berada di kaki gunung salak menjadikan desa yang kental dengan budaya Sunda ini berudara sejuk, asri, dan tentu saja; captureable! Indah. Percayalah, bagi orang asal Jakarta sepertiku, menyaksikan gunung ketika membuka jendela kamar setiap harinya ibarat mendapat siraman air dingin di tengah terik panasnya matahari. Menyenangkan sekali.
Aku bersama lima orang teman lainnya tinggal di Desa Cibunian selama dua bulan untuk menjalankan program KKN-T (Kuliah Kerja Nyata - Tematik) yang diwajibkan oleh Institut Pertanian Bogor, perguruan tinggi tempat kami menimba ilmu. Bersyukur, kami ditempatkan di tempat yang begitu memanjakan mata. Tapi hal yang paling aku syukuri dari tempat ini adalah keceriaan desa yang ramah dan ramai oleh anak-anak. Mereka memanggil, menarik ujung baju, mengajak bermain, mengaji, minta diajarkan mengerjakan PR, bahkan mereka juga menciptakan berbagai macam kejutan. Hei, mungkin Kamu belum tahu, tapi aku punya banyak cita-cita. Salah satunya adalah bermain bersama anak-anak sambil berlarian lepas dan tertawa. Sederhana memang, tapi siapa juga yang berani melarang seseorang untuk bercita-cita?
Namanya Putri. Salah satu dari sekian anak yang membuat hari-hariku di Pamijahan jadi begitu menyenangkan. Putri agak berbeda dengan kebanyakan anak lainnya. Ia sering kudapati tidak berkelompok. Seperti ketika kami latihan drama untuk pementasan di kantor desa misalnya, ia tidak tertarik untuk diajak bergabung. Hanya menonton sambil tersenyum malu-malu tiap kuajak ia untuk ikut memainkan peran. Atau ketika kami bermain di sungai, saling melepas canda. Putri justru asyik sendiri. Sama sekali berbeda dengan beberapa anak lain yang ricuh saling berebut memegang tanganku, lantas menarikku menuju tengah derasnya arus.
Satu ketika, kudapati pelipis Putri berdarah. Kutanya mengapa, ia hanya menggelengkan kepala. Tanpa ekspresi. Aku dibuat heran, bagaimana ia begitu tenang sementara darah nyata megalir di pelipisnya? Rasa-rasanya aku yang lebih heboh mencari obat merah dan plester luka. Hei, ternyata bukan hanya itu yang membuatku jadi bertanya-tanya. Setiap Putri ikut serta dalam permainan kami, tak jarang, yang lain justru berkomentar negatif. Komentar polos khas anak-anak seperti “Ih Kak… itu ada si Putri” atau “Yah Kaak, itu Putrinya,” membuat aku mulai berfikir: memangnya kenapa kalau ada Putri?
Main di sungai adalah aktivitas yang paling ditunggu oleh anak-anak Cibunian. Aku sih senang-senang saja. Bahkan cenderung kegirangan. Orang yang hobi hujan-hujanan sepertiku diajak main ke sungai— oleh anak-anak pula. Nikmat mana lagi yang pantas didustakan? Cita sederhanaku terkabul secara kontan. Tapi yang aku khawatirkan adalah perihal izin dari orang tua mereka. Aku tahu, kadang mereka belum meminta izin utuk main ke sungai. Hingga pada suatu sore, kekhawatiranku menjadi kenyataan.
Sore itu, kami baru saja pulang setelah bermain dari sungai. Kami berjalan beriringan sambil memandangi ujung pakaian yang basah. Menyapu pasir yang terhampar di sepanjang perjalanan pulang. Sesekali melepas canda; menertawai hal-hal lucu yang baru saja terjadi. Aku asyik menanggapi ocehan mereka satu per satu, hingga ada yang memanggilku lembut.
“Kak Riris…” anak perempuan itu memeluk lenganku dari belakang.
“Ya? Kenapa, Sayang?” aku menoleh. Putri. Ia lantas menatapku sambil tersenyum. Manis sekali.
“Putri sayang Kak Riris…” katanya setengah berbisik.
“Eh?” demi mendengarnya, aku jadi salah tingkah. Lantas menjawab sambil tertawa kecil menutupi kegugupanku, “Hha iyaa, Kak Riris juga sayaang sama Putri,” lanjutku. Ia menyimpul senyum lagi. Aku balas tersenyum. Kami melanjutkan perjalanan pulang.
Rumah tempatku tinggal bersebelahan dengan rumah Putri. Dengan pakaian yang basah dan kotor sehabis bermain di sungai, aku mencoba membuka kran di halaman samping rumah yang posisinya tepat berada di samping rumah anak delapan tahun itu. Lantas aku mulai membersihkan sandal dan ujung-ujung pakaian yang dihiasi pasir. Hingga sayup-sayup kudengar makian seorang perempuan muda kepada seseorang di rumah sebelah.
Kalau Kamu ada di posisiku, mungkin Kamu akan mengerti betapa menyedihkannya keadaan itu. Pertama, Kamu mendengar makian dari seseorang kepada anak kecil tepat di sebelahmu namun kalian berbataskan dinding dan Kamu tidak punya kuasa apa-apa. Kedua, Kamu bahkan tidak dapat mengerti arti kata per kata yang Kamu dengar, mengingat kemampuan berbahasa Sunda-mu yang payah sekali. Ketiga, Kamu adalah pihak yang ikut terlibat menjadi sebab dari diomelinya anak yang baru saja menyatakan rasa sayangnya padamu. Semoga tidak hiperbola, tapi Kamu tahu? saat itu aku sedih sekali. Perasaan bahagia usai main ke sungai bersama anak-anak seperti habis tidak bersisa. Habis hingga ampas-ampasnya.
Putri dimarahi sang ibu karena ia main ke sungai sampai sore hari tanpa izin terlebih dahulu. Meski aku tidak mengerti bahasa Sunda seutuhnya, tapi aku tahu persis deret kalimat itu adalah sumpah serapah. Kudapati beberapa kata kasar terlontar dibarengi dengan suara guyuran air. Aku sama sekali tidak menyangsikan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Sama sekali tidak. Hanya, ekspresi sayang semacam itu terlalu menyedihkan. Lebih menyedihkan ketika menyadari bahwa aku tidak tahu apa yang dapat kuperbuat.
Kejadian itu sampai pada telinga Ibu, pemilik rumah tempat aku tinggal. Kuceritakan juga pada Ibu perihal kesedihanku. Beliau lantas menghiburku dan mengatakan bahwa aku tidak perlu sedih berlebihan karena kejadian itu. Pasalnya, hal tersebut bukan kali pertama terjadi.
“Nggak usah sedih, Teh Riris…” ujar Ibu yang masih tergolong saudara dekat dengan keluarga Putri, “itu mah sudah sering Ibu bilangin dari dulu supaya jangan terlalu keras mendidik anak. Tapi ya masih begitu juga,” lanjutnya. Menurut Ibu, beberapa kali sudah orang tua Putri diingatkan, namun tidak ada perubahan berarti. Putri dan adiknya yang masih kecil tidak jarang dimarahi karena hal yang sebenarnya sangat lumrah dilakukan oleh anak-anak seusia mereka.
Meski menyedihkan, kejadian itu memberi jawaban atas beberapa pertanyaanku perihal keadaan Putri. Jika mengetahui keadaan keluarganya sedemikian rupa, aku tidak heran mengapa ia tumbuh menjadi anak yang tak mudah bergabung dengan anak-anak lainnya, tidak menangis ketika pelipisnya berdarah akibat goresan bambu, atau kerap melakukan hal-hal aneh demi menarik perhatian seperti berdiri di tengah-tengah khalayak ketika acara berlangsung, misalnya. Iya, anak itu –Putri- haus akan perhatian. Dan ia tidak terbiasa ‘dimanja’ atas hal sesederhana luka dan sedikit darah pada pelipisnya.
Bagian paling berat dari kegiatan KKN-T adalah –apalagi jika bukan- perpisahan. Acara perpisahan kami lakukan dengan sederhana di kantor desa, pada malam terakhir sebelum kami harus kembali kepada rutinitas harian kampus. Penampilan drama anak-anak yang telah lama dipersiapkan jauh melampaui ekspektasi kami. Iya, jauh lebih bagus! mereka bahkan tetap bersemangat meski malam itu mati lampu disertai hujan deras yang menjadikan kantor desa tidak seramai rencana awal. Meski hanya ada beberapa orang tua yang hadir memenuhi undangan, acara perpisahan tetap jadi sangat berkesan. Mati lampu justru menjadikan kami semaki dekat. Kami makan bersama ditemani cahaya lilin; ditemani suara rintik-rintik hujan dari luar.
Bukan anak-anak Cibunian jika tidak pandai memberikan kakak-kakaknya kejutan. Kami mendapat persembahan yang manis sekali; penampilan pembacaan puisi serta menyanyikan lagu perpisahan yang dilakukan mereka bersama-sama secara acapella. Diam-diam aku mencari sosok Putri. Dia tidak ada di barisan anak-anak yang tampil di depan. Ah ya, anak itu selalu punya caranya sendiri. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ia menghampiriku tepat sebelum aku dan teman-teman pamit pulang mengakhiri kegiatan KKN-T.
Aku memberikan secari kertas origami berbentuk hati yang sudah kupersiapkan untuk masing-masing anak termasuk Putri. Menerima pemberianku, ia terperangah.
“Buat Putri?” tanyanya.
“Iya, Buat Putri. Makasih ya sudah jadi teman Kak Riris,” balasku tersenyum sambil setengah jongkok. Menyejajarkan tinggi kami.
“Kak Riris…” Putri kemudian memanggilku, lantas mendekatkan mulutnya pada telinga kananku seraya mengatakan sesuatu, “terima kasih ya,” katanya lagi. Aku tertawa sambil megusap-usap kepalanya.
“Iyaa, sama-sama. Semangat ya Putri belajarnya!” ia mengangguk pelan sambil tersenyum simpul.

Hei, mungkin Kamu belum tahu, tapi aku punya banyak cita-cita. Salah satunya adalah bermain bersama anak-anak sambil berlarian lepas dan tertawa. Dan bersama anak-anak Cibunian, kurasa mereka lebih dari sekadar anak-anak; mereka adalah sahabat. Pada akhirnya aku tidak sekadar mewujudkan cita-cita, melainkan memperoleh banyak sekali pelajaran dari mereka. Tentang apa itu keberanian dan kejujuran, juga tentang apa itu ketulusan— seperti pelajaran yang kudapat dari seorang anak perempuan usia delapan tahun bernama Putri...

Sungai yang tidak jauh dari rumah tempat kami tinggal

Tulisan ini dibuat beberapa bulan lalu pada penghujung 2016, 
sebagai kenang-kenangan KKN-T Fema IPB.
(nama 'Putri' hanya samaran)