Friday, December 25, 2015

Halal Awareness for Children

Halal has become the lifestyle in the world. For Muslim consumers, halal product means that the products has met the requirements laid down by the Islamic shariah law. As the Muslim populations increasing throughout the world, the awareness on consuming Halal also goes in the same parallel trend. Halal is not only covering food consumption, but also for non-food products such as cosmetics, toiletries, pharmaceuticals, leather products, perfume and fragrances, brushes and so on. The services such as banking, entertainment, tourism, and logistic are also related to Halal requirements (Rahim, 2013).

It is important for muslim to know about halal and why it matters their life. Especially about food, Allah SWT said in Quran surah Al-Baqarah: 172 "O you who believed, eat from the good things which We have provided for you and be grateful to Allah if it is [indeed] Him that you worship." and Al-Baqarah: 173 "He has only forbidden to you dead animals, blood, the flesh of wine, and that which has been dedicated to other than Allah. But whoever is forced [by necessary] neither desiring [it] nor transgressing ]its limit]. there is no sin upon him. Indeed, Allah is forgiving and merciful."  Both show that Halal education is needed especially for muslim as consumers.

The best period to educate is in children era.  Children period of human is the most appropriate time for somebody to get education includes halal awareness. It should be given by parents for children as it is a crucial thing for us as muslim. This following five points will show you how to build halal awareness among children:

1. Show them. Show them that you’re aware before you tell them what awareness is. Children are good imitators. Many people failed because they used to tell their children without even show them how. Start with simple things such as read ingredients and make sure about halal logo in your food packaging, or make conversation about halal with your spouse -for the example. Let your children see.

2. Let and teach. Sometimes, it is important for children to make a decision by their self. Bring your children in shopping time, and ask them to help you choose a product. Whether they choose the ‘halal’ one, appreciate it. “Alhamdulillah, thank you for choosing me the halal one, Honey.” But when they choose the non halal one, or product with no halal logo, that’s a right time to tell them. Say something good and correct it, “Alhamdulillah, thank you for helping me, Dear. But this one has no halal logo. How if we choose another?” -and don't forget to smile.

3. Make dua. Dua is our weapon as muslim. Start every single thing with dua. We know that we can’t ensure the halalness for every product. For the example, we eat fried chicken in a restaurant, We don't know; is it halal? is it slaughtered properly based on syariah? Then, dua completes our effort. Dua is an indicator that we’ve tried our best and we act tawakkal as Allah commands us in the Quran. Involved your children in dua activity, build the sense of tauhid in all of their activity. Later, this simple thing will significantly affect their future. InshaaAllah.

4. Right and Obligation. Help your children to learn moral reasoning about halal. Children usually questioning everything. Why we can't eat those things? why we have to aware about halal? why. why, why. Specifically, they usually ask ‘why’ for every single thing. Do not ever feel too lazy to answer their question. Remember that you're helping them to build awareness. Use creative ways to tell about right and obligation as a muslim, and show the beauty of Islam :) One more thing, remember to use concrete explanation. Make it easy for them to understand.

5. Story. Story telling is a great choice to educate children and raising their halal awareness. It elaborates audio, visual, and also kinesthetic. You can make your own story, or search it on the internet. In addition, it is also important for you to tell them about sirah nabawiyah and another islamic story especially that linked into halal.

         

Well done, happy raising awareness! :)

Rahim NF, Shafii Z, Shahwan S. 2013. Awareness and perception of muslim consumers on non-food halal product. Journal of Social and Development Sciences 4:478-487.

  Rizky Sahla Tasqiya, student of Family and Consumer Sciences
Halal Product Management | Syariah Economy | Bogor Agricultural University

Wednesday, December 23, 2015

Sederhana


Aku ingin membahagiakanmu dengan sederhana.
Sesederhana canda di sela-sela padatnya hari kita,
Sesederhana pengaminan atas panjat doa yang kita saling pinta

Aku ingin menjadi kawanmu dengan sederhana. Sederhana saja.
Sesederhana mendukungmu untuk terus maju, melangkah, dan tidak berhenti sampai disana
Sesederhana mendengarkanmu berbagi cerita, atau menanyakan kabarmu secara tiba-tiba

Aku ingin menjadi bagian dari episodemu dengan sederhana.
Sesederhana jumpa atau sapa kita yang tidak direncana
Sesederhana senyum, tangis, dan tawa yang entah maknanya apa

Entah siapa yang akan meninggalkan siapa,

Kalau nanti tidak kau temui aku di syurga,
kumohon kesediaanmu untuk memanggil namaku -kelak dihadapan-Nya..

Aku ingin membahagiakanmu dengan sederhana.
Tapi faktanya, sampai kapanpun aku takkan kuasa.

Bahagiamu jelas-jelas karenaNya.
Pun bahagiaku, ia juga milikNya.

Kita ini cuma hamba.



ditulis di Kota Hujan pada hari petang,
ketika rintik menyapa kantin organik

Monday, December 21, 2015

Bunga Matahari di Serambi Rumahku

Pada suatu hari, di suatu tempat

Kautinggalkan setangkai bunga matahari, di serambi rumahku
Bunga itu telah kausiapkan sejak lama,
bukan untuk diriku saja, tapi juga untuk yang lainnya
Tapi kau, dengan elok mengemas ia yang sederhana jadi begitu istimewa
Membuat siapa saja yang berjumpa bunga mataharimu, lantas merasa bahagia
Kemudian menjatuhkan cinta yang paling tulus sedunia-

Begitu juga dengan aku, begitu juga dengan serambi rumahku
Ia telah lama hanya bersuara, namun geraknya tiada
Hingga kau dan bunga mataharimu datang mengetuk pintu, lantas menyapa
Membuatku tertarik untuk mencoba -tidak peduli ini kali keberapa
Maka terimakasih untuk bunga matahari yang kau titipkan pada serambi ini
Meski tanpa suara, meski mungkin kau tidak menyadari

Pada suatu hari yang telah lalu, kau sering sekali bercerita
Tentang apapun
Tentang apa yang ada di dunia dan apa yang nyata dalam kehidupan
Tentang apa-apa yang indah dan tak indah -dari dirinya
Juga tentang aneka macam pelajaran dan semerbak himah,
yang menjadikan mataku terbuka dan pikirku tercerah

Kau
Kau bererita di balik pintumu.
Dengan caramu, dengan gayamu, dengan bahasamu

Kau bercerita dengan keterbukaanmu
Kapan saja aku singgah
Kapan saja kami mengetuk dan menyapa
Entah sebentar atau untuk waktu yang lama
Kau sabar, mendengarkan, dan sesekali tertawa
Kau menyampaikan
Kau mengajarkan
Kau meramaikan

Kau, dan bunga mataharimu
adalah guru.

Kautinggalkan setangkai bunga matahari, di serambi rumahku
Bunga itu telah kausiapkan sejak lama,
bukan untuk diriku saja, tapi juga untuk yang lainnya
Pada suatu hari nanti, entah kapan
Izinkan aku kembali menjumpaimu
Izinkan kami kembali datang menghampirimu
Kala itu biar giliran kami meninggalkan sebatang bunga,
di serambi rumahmu

Pintumu mungkin berpindah
Tapi aku tahu, ia akan selalu terbuka
Masih dengan sederhananya- masih dengan sahajanya

Aku tahu :')


Untuk seorang pendidik,
dari seorang terdidik yang berterimakasih.

Terinspirasi dari sini

Sunday, December 20, 2015

Pergi

"Mau sampai kapan?" kamu memandangku sinis.

"Kan sudah kubilang, aku menunggu waktu yang tepat," hening sejenak.

"Kamu ini. Kita takkan bisa selamanya bersiap-siap untuk siap," kamu angkat bicara. Aku menghela nafas panjang.

"Jadi bagaimana baiknya?" tanyaku.

"Berhenti menunda-nunda lagi. Tidak perlu takut. Lakukan saja, ciptakan ketepatan waktumu sendiri,"

"..."

"Memangnya kamu mau, terus-terusan menunggu?"

"Maksudmu, aku harus pergi?"

"Kurasa iya," kamu tersenyum, kemudian melanjutkan, "tidak perlu khawatir, Tuhan kita tidak pernah menyia-nyiakan usaha setiap hamba-Nya."

Aku diam. Memandangmu, kemudian kembali menghela nafas --kali ini panjang sekali.

"Doakan aku," ujarku setelahnya.


Balada Assalamu'alaikum

Setiap tulisan akan menemukan pembacanya.
(Hilyatul Fadliyah, 2015)

Beberapa bulan belakangan, entah bagaimana saya mendapati sapaan salam melalui orang-orang yang sebelumnya tidak dikenal. Dari kesemuanya, saya menarik sebuah kesimpulan sederhana: Allah sungguh-sungguh tidak pernah kehabisan cara berbincang dengan hamba-Nya.

Lucu dan menarik sekali –setidaknya bagi saya- ketika kita tengah menghadapi suatu hal entah apakah itu pemahaman, permasalahan, pilihan, atau mungkin ujian, dan kita bertanya serta bercerita pada Allah, lantas tahu-tahu ada mereka (yang tidak tahu darimana asalnya) menyapa dan secara tidak langsung menjawab persoalan. Dalam beberapa hal juga menjadi sarana Allah menguji kesungguhan, keyakinan, dan keimanan.

Salah satunya adalah ketika suatu pagi beberapa hari lalu, saya menerima rentet pesan dari seorang adik yang sekitar empat bulan lalu menyapa saya dengan salam ramahnya. :)

“Kak, tolong nasihati aku,” begitu bunyi penggalan pesan pagi yang ia kirimkan. Membaca kalimat-kalimat setelahnya, membuat saya tersenyum dan takjub pada Allah. Terkait dengan akademik, ia bertanya tentang bagaimana agar bisa memanfaatkan waktu dengan baik, bagaimana bisa mengatasi rasa rendah diri, bagaimana mengatasi perasaan bersalah atas waktu-waktu terlewat yang menurutnya kurang optimal.

Saya jadi ingat dengan salah satu percakapan di masa Aliyah. Suatu ketika ada seorang kawan yang menghampiri saya sambal menangis. Ia bercerita tentang salah satu nilai mata pelajaran yang hasilnya di bawah standar, dan harus diremedial. Waktu itu, saya tengah turun dari tangga asrama. 

“Ririiis.. aku remed kimianya…” pipinya basah. Saya menepuk-nepuk pundaknya dan berusaha mendengarkan dengan baik. 

“Iya, gak apa-apa,” jawab saya sekenanya sambal tersenyum simpul, "semangat yaa," ujar saya lagi. Lantas menarik nafas dalam-dalam. Hhe :D

“Riris gimana? Ga remed ya mesti” ia berkata, masih dengan air mata yang bercucuran. Mendengarnya, saya tertawa.

“Alhamdulillah, remed juga kok” jawab saya.

**

Saya bercita-cita untuk menjadi seorang pendidik, dan tidak pernah menyangka sebelumnya, bahwa cita-cita itu mampu memberikan saya kekuatan semacam ini. Berusaha menjadi ‘orang-orang Alhamdulillah’. Jangan dikira saya tidak sedih, tentu saja saya memiliki perasaan itu. Jangan dikira saya tidak kecewa, tentu saja sebagai manusia, kecewa itu ada. Saya hanya berusaha untuk selalu memiliki prasangka baik kepada Allah. Hei, hidup ini bukan melulu tentang nilai kuantitatif yang mampu dilihat manusia. Saya memiliki keyakinan bahwa apapun yang Allah takdirkan terjadi kepada saya, tidak pernah merugikan saya sedikit pun. Kita hanya perlu lebih jeli melihat segala sesuatu.

Waktu itu saya selalu berfikir bahwa Allah memfasilitasi saya yang ingin menjadi seorang pendidik agar pernah mengalami berbagai macam kondisi. Karena kelak, akan ada lebih banyak kondisi yang dialami oleh mereka yang akan saya didik nantinya. Saya harus mampu memahami dengan baik mereka satu per satu, bukan? Mungkin ini salah satu sarana dari-Nya. Jadi, kenapa tidak kita nikmati saja? Toh mau jungkir-balik pun, apa yang terjadi takkan pernah bisa ditarik lagi. Dan juga, sebenarnya ini sungguh nikmat yang patut disyukuri. Kapan lagi mendapat training gratis? Hhe :)

Lalu untuk kamu yang minta dinasihati, ketahuilah bahwa pesanmu justru menasihati Kakak, Dik. Terimakasih sudah bertanya. Semoga apa yang Kakak tuliskan ini bisa bermanfaat.

1. Makna. Pertama, penting bagi kita untuk memahami makna dari kata ‘belajar’ itu sendiri. Kalau kita memaknai kata 'belajar' hanya seputar kelas, tugas, angka, dan nilai, maka percayalah bahwa kita tidak akan pernah merasa cukup; tidak pernah merasa bersyukur.

2. Hargai Proses. Belajarlah menghargai proses. Berbahagialah atas hasil, seberapa pun itu,  ketika kita tahu bahwa kita telah mengusahakan yang terbaik. Silahkan merasa sedih dan meningkatkan diri, ketika kita menyadari bahwa proses yang kita lalui jauh dari baik. Bawa konsep ini pada doa-doa kita. Mulai meminta dikaruniakan proses yang semerbak alih-alih memohon agar diberi hasil yang menawan. Silahkan minta kedua-duanya. Dia Mahakaya. Tapi jangan lupa maknai setiap pinta kita. Iktiarkan, usahkan. :)

3. Ikhlas. Mengikhlaskan. Apapun yang telah terjadi, takkan pernah mampu kita menarik kembali. Ihlaskan jika ada waktu yang terbuang percuma. Ikhlaskan jika ikhtiar kita dirasa kurang optimal. Ikhlaskan, namun bukan berarti membiarkan. Yang lalu silahkan ambil pelajarannya, sekarang bagian kita adalah melakukan yang terbaik pada titik dimana kita berdiri. Bangkit!

4. Ingat Allah. Benar bahwa hanya dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang. Ingat bahwa Allah tidak pernah mewajibkan kita untuk mencapai apa yang kita inginkan. Sama sekali tidak. Tapi Allah, dalam firman-Nya, jelas-jelas melarang setiap hamba untuk berputus asa. Jadi sebenarnya, kita sebagai orang-orang yang mengaku beriman, tidak punya pilihan lain selain berjuang dan terus melaju. Secompang-camping apapun keadaan kita, semiskin apapun daya yang kita punya. Kita tidak punya pilihan. Dan tidak perlu pusing memikirkan hasil, itu murni hak Allah. Tugas kita sesederhana ‘tidak berputus asa’. :)

5. Lihat. See beyond the eyes can see. Banyak manusia yang dapat menggunakan matanya dengan baik, tapi tidak dengan mata hati. Sesungguhnya yang buta bukanlah mata, melainkan hati. Lihat segala apa yang Allah berikan kepada kita menggunakan mata hati. Saksikan kausalitas hidup yang ada, nikmati keindahan dari Dia. Mungkin kita bertemu dengan orang-orang tertentu atas apa yang kita nilai sebagai ujian, mungkin kita mendapatkan kesempatan berbagi atas waktu-waktu yang sempat kita nilai terbuang percuma. Pandai-pandailah menggunakan mata hati.



Terimakasih untuk bertanya,
tidak perlu sungkan-sungkan mengucapkan salam lagi.
Semoga bisa berjumpa kapan-kapan. :) jazakumullahu khairan katsiiran.

Oh iya, terimakasih sudah menjadi salah satu sarana Allah menunjukkan kebesaranNya.
SEMANGAT! yang disinipun mohon doa agar dikuatkan. Karena selalu ada ujian dan tanggung jawab dalam setiap kata yang dilisankan.

Thursday, December 17, 2015

Kenapa Mendongeng?

Pada postingan sebelum ini, saya berbagi tentang kuliah umum berupa pelatihan konseling oleh Ibu Neti Lesmanawati yang diselenggarakan oleh Departemen IKK (Ilmu Keluarga dan Konsumen) Fakultas Ekologi Manusia IPB pada 21 November 2015 lalu.

Pada kuliah umum tersebut, selain ibu Neti ada pula Kak Ojan. Pemilik nama asli Ahmad Fauzan ini memberikan kami wawasan tentang dunia perdongengan. Beliau adalah seorang pendongeng nasional yang telah menyampaikan dongeng untuk anak-anak di berbagai daerah Indonesia. Mulai dari anak-anak Timika Papua, anak-anak Rohingnya yang mengungsi di Aceh, juga korban asap di Kepulauan Riau. Kak Ojan bersama para pendongeng lainnya menghibur dan mengedukasi anak-anak.

Sebelum memulai presentasinya, Kak Ojan mengajak kami menyamakan persepsi terlebih dahulu tentang definisi mendongeng. Ketika ditanya "Siapa disini yang pernah mendongeng?" untuk pertama kalinya, dari sekitar 100 mahasiswa, hanya dua orang yang mengacungkan tangan. Namun setelah kami menyamakan persepsi bahwa mendongeng adalah bercerita, semuanya mengaku pernah. Siapa pula yang dalam hidupnya tidak pernah bercerita?


Lantas kenapa mendongeng?

Ada begitu banyak manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan mendongeng. Meningkatkan kelekatan antara pengasuh dengan anak, memperluas literasi-kosakata anak, juga hal yang baru saya dapatkan adalah bahwa mendongeng mencakup tiga tipe belajar anak (visual, auditori, dan kinestetik). Ini merupakan sarana luar biasa untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak –dan menyampaikan nilai-nilai kebaikan kepada anak. :)

Kabar gembiranya adalah, mendongeng bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dan dengan biaya yang murah. Kita hanya butuh mengalokasikan waktu untuk melakukan kegiatan mendongeng. Kak Ojan mengajarkan pada kami tentang hal-hal apa saja yang harus diperhatikan ketika mendongeng di depan anak-anak. Pastikan cerita dan gaya bahasa yang kita gunakan sesuai dengan mereka, Kemudian hal yang paling penting adalah tetapkan tujuan. Berdoalah sebelum memulai dongeng, dan niatkan, bahwa apa yang kita lakukan semata-mata adalah untuk mengedukasi anak-anak, menyampaikan nilai-nilai kebaikan. Jadi kita tidak perlu dibuat was-was seperti "Ng.. nanti kira-kira mereka tertawa nggak ya??"

Oh iya, untuk berdoa, Kak Ojan menyebutkan doa nabi Musa yang mahsyur sekali, Begini bunyinya:

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْ
Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku”

Jadi, alih-alih membiarkan anak-anak asyik di hadapan gadget, layar hp, komputer, atau televisi sendirian, lebih baik mengajaknya berdiskusi dan bercerita :D bantulah mereka menjadi generasi masa depan yang mencintai ilmu, kreatif, inovatif, mencintai sejarah, gemar membaca buku, kaya bahasa, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, cerdas emosional, berpengetahuan luas, dan -tentu saja- mencintai Rabb-nya. :) Kabarkanlah mengenai kisah-kisah hikmah yang mampu menjadi bahan bakar bagi gerak motor karakter mereka.

Tuesday, December 8, 2015

Mengutip Hikmah dari Pelatihan Konseling

Pada 21 November 2015 lalu, Departemen IKK (Ilmu Keluarga dan Konsumen) Fakultas Ekologi Manusia IPB menyelenggarakan sebuah kuliah umum untuk meningkatkan soft skill mahasiswa. Salah satunya adalah pelatihan konseling yang disampaikan oleh seorang konselor nasional dari lembaga Protista, Ibu Neti Lesmanawati. Bersama beliau, kami diajarkan tentang apa itu konseling dan seluk-beluk bagaimana menjadi seroang konselor. Bahkan lebih dari itu, Ibu Neti menyampaikan begitu banyak cerita yang mengandung hikmah. Kami diajarkan tentang bagaimana menjadi manusia yang bijak dan memiliki pandangan luas.

Ibu Neti juga menuturkan kepada kami berbagai kisah yang beliau dapati selama menjadi seorang konselor. Tanpa menyebutkan identitas klien, beliau menyampaikan berbagai cerita dari mereka. Ada dua cerita yang benar-benar memberikan saya banyak pelajaran. Pertama adalah kisah tentang seorang perempuan yang penampilannya begitu mewah. Diantar sopir dengan mobil mahal, deretan gelang di tangan, dan semerbak aksesori lainnya. Kalau melihatnya secara kasat mata, umumnya orang akan memandang perempuan tersebut sebagai orang kaya, istri pejabat, dan seterusnya. Ibu Neti menuturkan, “tapi dia datang ke klinik Protista untuk konsul. Berarti orang ini punya masalah.”

Benar. Perempuan itu lantas menangis di hadapan Ibu Neti. Rupanya, segala macam atribut yang ia kenakan tidak lain adalah alat sang suami untuk memperlihatkan kepada keluarga, kerabat, juga kolega kerja akan status sosialnya yang tinggi. Suatu hal yang menyedihkan ketika orang tua dari perempuan itu justru hidup miskin di kampung halaman dengan rumah kontrakkan, sementara dirinya bergelimang harta. Semu. “Saya iri sama adik saya, Bu. Meskipun suaminya hanya bekerja di penggilingan padi, tapi masih bisa berbakti. Sementara saya, jangankan membantu ekonomi orang tua. Ada satu saja gelang di tangan saya yang hilang, suami bertanya-tanya,” ujar Bu Neti menirukan perkataan kliennya. Singkat cerita, perempuan tersebut memutuskan untuk menyudahi pernikahannya yang terbilang puluh tahun. “Lebih baik tinggal di kampung, hidup miskin, tapi bisa berbakti,”

Dari kisah tersebut, Ibu Neti mengajarkan kami untuk melihat segala sesuatu dengan bijak. Jangan pernah menjuri seseorang melalui penampilannya semata. Kita tidak pernah tahu ada alasan apa, ada kisah apa, di balik kehidupannya. Belum tentu kita mampu jika diposisikan menjadi mereka, kan?

Satu lagi kisah, ialah tentang seorang ibu tukang jamu yang Ibu Neti sebut-sebut sebagai guru besar. “Guru besar saya itu bukan professor atau apa, tapi adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang sehari-hari berjualan jamu,” Cerita ini berawal dari dua orang sahabat yang masing-masing telah berkeluarga. Sebut saja A dan B. Sebelum meninggal dunia, B berpesan kepada A untuk menjaga istri serta anak-anaknya. Jadilah sepeninggalan B, keluarga A dengan istri dan anak-anak dari keluarga B dekat sekali. Sampai-sampai seperti saudara yang berhubungan darah dekat. Keadaan menjadi rumit ketika A bertindak asusila pada salah satu anak perempuan almarhum B hingga hamil.

“Yang membuat saya tidak habis fikir adalah ketika pengadilan berlangsung,” Ibu Neti memandang kami lurus. “Kalian tahu, tidak? Selama Bapak A ini di pengadilan, istrinya selalu datang menemani dan membuat masakan kesukaan suaminya,” sampai pada bagian ini, saya cukup dibuat tertegun. Keren sekali si istri itu, fikir saya. Suaminya berkhianat, membuat malu keluarga, tapi dia bisa dengan legowo masih menemani suaminya dengan tulus.

“Tapi itu belum apa-apa,” Ibu Neti melanjutkan. Beliau kemudian menceritakan sebuah adegan luar biasa di pengadilan. Antara sepasang suami istri. Begini kira-kira percakapannya.

Istri: “Sing sabar ya Pak… Bapak lagi diuji sama Gusti Allah. Sabar. Sabar,”

Bapak A (suami) : “Aku ni salah, Bu, maafin, Bu. Aku dosa”

Istri: “Ndak apa-apa. Bapak khilaf, sabar ya Pak…”

Sampai pada bagian ini, tidak sedikit dari kami yang menangis. “Saya tidak mengerti lagi, ini adegan macam apa?” Ibu Neti mengangkat tangannya. “Waktu itu saya ada disana. Pingin sekali peluk si istri, si ibu itu. Saya tanya bagaimana bisa setabah itu, padahal umumnya orang akan marah jika ada di posisi beliau, beliau lantas jawab begini: nggak apa-apa, Bu. Manusia itu tempatnya salah. Bapak lagi khilaf. Gusti Allah saja pemaaf, masa kita nggak…”

Oke, sampai disini, saya juga setuju dengan Ibu Neti. Ini adegan macam apa. :’) Dari cerita tersebut, saya merasa ditampar sekali. Poinnya bukan terletak pada kesalahan Bapak A, melainkan pada kebesaran hati istrinya. Memaafkan. Bagaimana bisa beliau begitu ikhlas memaafkan? Bagaimana ibu itu bisa mengatur emosinya sedemikian hebat? Bagaimana ia mampu bersabar atas rasa sabar itu sendiri? Padahal menurut cerita Ibu Neti, dalam keseharian pun si istri lah yang merupakan seorang pekerja keras dengan mencari nafkah dari berjualan jamu. Sementara Bapak A yang berjualan bakso cenderung lebih malas dan tidak berjuang lebih –setidaknya itu yang terlihat kasat mata.

Ketika ditanya tentang apa hikmah terbesar dari pengalaman panjangnya menjadi seorang konselor, Ibu Neti mengatakan bahwa titiik hikmah itu adalah ‘menjadi bijak’. Mendengarkan berbagai cerita manusia dengan segala kompleksitasnya membuat pandangan beliau lebih luas dan melihat segala sesuatu dengan kacamata yang lebih bijak. Bahwa ternyata, kita semua adalah orang-orang cacat; orang-orang difabel. Hanya saja berbeda bidangnya, berbeda tarafnya.

“Jadi tempat curhat itu anugerah loh, De,” ujar Ibu Neti di tengah-tengah presentasinya. Saya yang duduk di barisan kedua merasa disentil dengan kalimat ini. Ya, jadi tempat curhat itu anugerah. Benar sekali. :)



Friday, December 4, 2015

Hati, Ulul Azmi, dan Prestasi

“Kalian mungkin belum jadi ibu, belum jadi ayah. Tapi pesan saya, setiap kalian bertemu dengan anak-anak, maka jadilah orang tua bagi mereka,” ujar dosen kami, Ibu Alfiasari.

**

Langit Bogor mulai kembali. Hujan menjatuhi tanahnya lagi. Dari asrama menuju kampus aku biasa melewati jalan pintas setapak yang sudah jadi jadwal rutinnya basah oleh sebab sapaan hujan. Musim hujan tiba lagi. Euforia sepatu rusak, kaos kaki basah, dan ujung rok yang bercorak tanah kembali tidak asing. Kebahagiaan melihat bayang langit dari genang air, merasakan tiap tetes menyapa ujung-ujung jemari, dan keindahan menyaksikan rutinitas serta raut manusia pada hari hujan pun kembali lagi.

Hari itu mendung. Dari sisi kanan dan kiri ruangan kami bisa melihat dengan jelas ekspresi langit yang tidak lagi terang. Ibu Alfiasari di kelas Pengembangan Karakter menyampaikan beberapa pesan di penghujung kuliah. Kalian mungkin belum jadi ibu, belum jadi ayah. Tapi pesan saya, setiap kalian bertemu dengan anak-anak, maka jadilah orang tua bagi mereka. Lebih lanjut, beliau kemudian menyampaikan tentang Healthy Standard.

Secara sederhana, Healthy Standard adalah pemahaman yang mengutamakan proses –dalam hal apapun. Bukan semata-mata hasil, seperti yang (mungkin) dilakukan kebanyakan manusia saat ini. Hubungannya dengan kita sebagai orang tua adalah bahwa dalam mendidik anak, hendaknya menanamkan pemahaman tersebut kepada mereka. Tunggu. Hei, orang tua disini bukan cuma orang tua biologis. Tapi orang tua adalah siapapun yang merasa dirinya memiliki hak  untuk dididik dan bertanggung jawab untuk mendidik. Itu tandanya, kamu dan aku juga. Kita ini ‘orang tua’.

Baik, kembali ke Healthy Standard. Ibu Alfiasari mengatakan agar kami tidak meletakkan standar pada hal ‘remeh-temeh’ seperti ranking, juara kelas, atau nilai dalam bentuk angka. Tetapkanlah standar menggunakan hati nurani. Standar tertinggi adalah standar yang menekankan pada proses. Ketika anak memiliki kejujuran, baik, bekerja keras, mau antre, kreatif, juga pantang menyerah. Nonsense jika dia juara kelas tapi hasil menyontek, atau datang tepat waktu ke kelas tapi menyelak antrean toilet.

Selesai kuliah, aku serta-merta teringat akan Ulul Azmi. Aku fikir kamu juga tahu, kan. Ulul Azmi adalah gelar kenabian istimewa yang diberikan kepada para rasul yang memiliki kedudukan khusus karena ketabahan dan kesabaran yang luar biasa dalam menyebarkan ajaran tauhid. Mereka memperoleh keistimewaan diatas keistimewaan. Ialah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad SAW, atau yang masa kecil kita biasa menyingkatnya jadi ‘NIMIM’. Hei, lantas apa hubungannya dengan Healthy Standard?

Ulul Azmi, mereka istimewa. Mereka berprestasi. Kisah-kisahnya memberikan pelajaran, motivasi, dan inspirasi. Dari kisah ulul azmi, aku fikir ada begitu banyak hikmah yang bisa diambil. Kesemuanya benar-benar memenangkan proses, memenangan perjalanan yang Allah beri. Sebut saja Nabi Nuh. Beliau berdakwah beratus-ratus tahun lamanya, dihiasi dengan kesabaran, keteguhan, keistiqomahan. Apakah beliau sukses? Kalau kita menggunakan kacamata sempit, mungkin jawabannya tidak. Bayangkan saja, sekian lamanya beliau berdakwah, tapi ‘hanya’ memiliki jamaah tidak lebih dari 100 orang. Beliau dikatakan gila oleh kaumnya sendiri, bahkan anak dan istri Nabi Nuh juga tidak memercayainya. Miris sekali. Begitu juga dengan Nabi Ibrahim. Beliau adalah rasul pilihan, keyakinannya pada Allah luar biasa. Hei, tapi bahkan ayahnya sendiri yang memahat patung berhala untuk sesembahan kaum jahiliyah.

Lain Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim, lain pula Nabi Musa dan Nabi Isa. Nabi Musa suatu ketika pergi selama 40 hari untuk menerima wahyu dari Allah. Ditinggal sebentar saja, tahu-tahu kaumnya membangkang. Begitu pun Nabi Isa. Sudah beliau mengajarkan tentang tauhid, tentang keesaan Allah, lantas penyimpangan itu terlihat begitu besar. Justru dirinya lah yang dianggap Tuhan oleh kaumnya sendiri.

Namun di atas itu semua, mereka semua memenangkan proses. Berprestasi atas proses. Berbahagia atas kesabaran, atas keyakinan pada Tuhannya. Begitu pula dengan Rasulullah Muhammad SAW, penutup para nabi. Kisah hidup beliau yang begitu berliku memberikan kita pelajaran akan makna prestasi. Beliau pernah diusir dari kampung halamannya sendiri, pernah dilempari batu, pernah dilempari kotoran unta ketika sedang shalat. Bukan cuma sekali beliau hendak dibunuh. Sudah begitu, paman yang begitu disayanginya, yang melindungi dirinya untuk menyebarkan kebaikan Islam, hingga akhir hayat masih belum memeluk Islam. Apakah beliau gagal berdakwah? Tidak. Sama sekali tidak.  Kisah Nabi Muhammad ini memberikan kita pencerahan tersendiri; tidak ada pengorbanan yang Allah sia-siakan. Berbayar dengan penaklukan kota Makkah, Islam lantas mendunia.

Healthy Standard.

Jadi, sudah mulai menemukan benang merah?

**

Prestasi. Kadang-kadang kita harus benar-benar mempertanyakan definisi setiap kata dalam kamus di kepala kita. Apa standar keberhasilan dan prestasi kita? Adakah ia berupa kekayaan, penghormatan manusia, atau kedudukan? Kalau iya, maka tamparlah diri kita dengan kisah Firaun yang berakhir tenggelam di laut merah.

Maka biarlah kita memaknai prestasi lebih dalam dari sekadar urusan duniawi. Ingat saja kisah Nabi Yusuf. Dengan jalan hidup yang berliku, akhirnya beliau menjadi seorang raja. Sudah begitu, tampan pula. Tapi apa pernah, dua hal tersebut disebut-sebut menjadi prestasi? Tidak. Kisah beliau masyhur akan prestasi pengendalian hawa nafsu yang luar biasa hebat ketika menghadapi godaan Zulaikha. Beliau, Nabi Yusuf, memaknai prestasi sebagai sebuah proses. Bahwa kesuksesan yang sesungguhnya adalah ketika hati dekat dengan Allah. Maka tidak perlu mengutuk Tuhan ketika berada dalam penjara, atau pada masa kecilnya ketika ia dibuang ke dalam sumur. Kalau itu bisa menjadikan ia lebih berprestasi, kenapa tidak?

Maka sebagai orang tua, hendaklah mengajarkan standar-standar yang sehat dalam memaknai prestasi kepada anak-anak. Agar kelak, mereka tidak perlu dibuat risau dengan penilaian manusia, tidak perlu mati-matian mengejar dunia hingga lupa akhirat, tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Agar mereka menjadi manusia-manusia bijak yang mengerti bahwa apresiasi hadir ketika kita berusaha, bahwa prestasi nyata ketika kita semakin dekat dengan-Nya.

Pemahaman prestasi semacam ini akan menghadirkan kekuatan luar biasa. Takkan ada caci yang membuat dengki, pun tak ada puji yang menjadikan tinggi hati. Bayangkan betapa dahsyatnya anak-anak yang dididik dengan pemahaman ini. Korupsi, kriminalitas, narkoba, pergaulan bebas –itu semua takkan memiliki tombol komando dalam kepala mereka. Kebohongan, pencitraan, kebanggaan semu, tidak ada pentingya bagi mereka.

Namun sebelum mendidik anak-anak, kita perlu jadi terdidik. Maka kepada kita, selamat mendidik diri sendiri agar memahami makna prestasi dengan sebaik-baik pemahaman. Selamat memaknai prestasi dari kacamata Ulul Azmi. Semoga dipermudah oleh Yang Maha Memiliki Hati.

Dan selamat bersiap. Karena kita sama-sama tahu, bahwa setiap pemahaman akan selalu diuji.

Aku mendoakanmu. Semoga kamu juga begitu. :)

Ditulis di Bogor ketika hari hujan,
pada saat dimana langit menjumpai bumi.