Friday, May 29, 2015

Aku Dengar (Tentangmu)

Kamu  tahu?
Hari ini hari Jum’at.

Kita memang jarang benar-benar berbincang. Aku tahu itu. Entah karena kesibukan kita masing-masing, atau karena keadaan kita yang memang tidak terbiasa untuk saling berbincang satu sama lain. Entah karena kita memang belum lama kenal, atau karena kita adalah teman lama yang kadang-kadang jadi sepert tak saling kenal –dan mungkin saja hanya sebatas tahu nama. Atau bisa jadi karena kita memang tidak cocok untuk saling berbicara. Tapi tak apa. Aku tahu, menulis seperti ini selalu mampu menjangkaumu lebih dalam. Meski mungkin aku tidak tahu, dan kau pun begitu.

Jadi mari kita berbincang. Kau bisa dengan tenang mengambil sepotong biskuit atau mulai membuat secangkir teh untuk memulai perbincangan satu arah kita. Hari ini giliranku. Jadi kutunggu milikmu sewaktu-waktu.

Aku dengar, akhir-akhir ini ada begitu banyak hal yang hadir dalam hidupmu, ya? Katanya, kamu tengah berada dalam sebuah fase pertengahan. Terombang-ambing, tidak jelas. Katanya, kamu tengah berada di bawah suatu tekanan. Sedang jenuh dengan semua rutinitas yang menuntut. Katanya lagi, hati kecilmu berontak ingin sekali menikmati hidup seperti dulu. Seperti kanak-kanak. Seperti masa sekolah menengah dahulu. Waktu kamu merasa bebas punya mimpi yang melangit. Tidak banyak realita yang kau fikirkan. Tidak banyak pertimbangan yang membuat kepalamu seakan ingin kau hantamkan ke tembok berkali-kali. Benarkah?

Tapi kudengar, kau juga tahu bahwa semua itu sebenarnya tidak terlalu penting. Bahwa sebenarnya hal semacam itu hanyalah jebakan fikiran dalam kepala kita. Seperti dinding yang kita bangun sendiri. Hingga tahu-tahu tanpa sadar justru membatasi ruang gerak kita.

Ah, aku mengerti. Pada akhirnya membicarakan teori dan motivasi tidak semudah mempraktikannya. Ya kan? Padahal nurani kita tahu akan hal itu, tapi seringkali kolaborasi antara harapan, keinginan, serta realita-lah yang menjadikannya rumit dan berbelit-belit.

Hei, aku juga mendengar kabar tentang hatimu. Yang belakangan sering sekali kau sangsikan keikhlasan dan ketulusannya. Membuatmu tak habis fikir bagaimana bisa ia sedemikian angkuhnya. Entah apakah itu perasaan ingin didengar, ingin orang lain tahu, ingin dihormati, ingin terkenal, ingin dianggap keren, ingin terlihat perhatian, ingin dinilai menjaga lisan, ingin dikenal sebagai orang yang suka beramal, ingin menghabiskan target bacaan karena pandangan orang-orang, hingga ingin-ingin yang lain. Kesemua ingin itu menelisik dalam nuranimu dengan cara yang lembut sekali. Bahkan seringkali tidak terdeteksi. Menyebalkan. Karena kau jadi terpaksa membenci diri sendiri. Bagaimana bisa hatimu sedemikian angkuhnya? Benarkah?

Tapi kudengar, kamu juga tahu tentang manjajemen hati. Tentang kita sebagai manusia yang memang demikian adanya, tempat salah dan lupa. Bukan untuk dijadikan sebuah pemakluman, melainkan menjadi motivasi agar tidak putus asa meraih cinta-Nya. Aku tahu kamu tahu.

Apa? Tentang cinta? Oh iya, aku juga dengar, kabarnya kamu tengah berhadapan dengan hal ini pula. Perasaan yang banyak mereka bilang itu namanya cinta. Cinta dalam arti dan pemaknaan yang sempit sekali. Kamu tidak perlu heran, apalagi merasa jadi manusia yang begitu hina. Karena perasaan semacam itu adalah sebuah kewajaran bagi manusia. Tidak perlu jadi rumit, terima saja apa adanya. Jadikan dirimu menjadi orang yang pandai mengelola dan mengatur urusan perasaan, termasuk untuk yang satu ini. Untuk saat ini, hal semacam itu sebenarnya adalah urusan kita dengan Pencipta, bukan dengan manusia. Jadi tindaklanjuti saja dengan Dia, bukan dengan 'dia'.

Ya, Aku memang tidak berada di posisimu. Tapi setidaknya aku pernah tahu bagaimana mengurusi hal semacam itu dan mengimplementasikan pemahaman yang kuyakini pada kehidupan nyata. Siapa bilang ini urusan gampang? Memang susah -jika kita tidak menyertakan-Nya. Jadi, seperti yang kita sama-sama tahu, libatkan Dia dalam setiap kesempatan. Termasuk dalam urusan yang satu ini. Tidak ada yang lebih apik mengurusi hati kecuali Sang Pencipta Hati itu sendiri, kan?

Hei ternyata sudah ratusan kata aku tuliskan dalam diskusi kita secara sepihak. Semoga kamu tidak berhenti membaca sampai dsini.

Jadi bagaimana kabarmu? Adakah baik-baik saja?

Sebenarnya banyak hal tentangmu yang juga aku dengar. Tentang kabarmu yang katanya merasa tidak penting, merasa tidak ada yang benar-benar peduli dan menanyakan kabarmu dengan tulus. Juga fisikmu yang belakangan dirasa melemah, entah apakah itu efek perasaan, atau memang nyata adanya. Kamu juga tengah berhadapan dengan urusan menyenangkan yang biasa kita sebut dengan urusan akademik. Kewajiban menuntut ilmu yang tahu-tahu memberikan tekanan tersendiri. Mungkin ada baiknya kita mulai berfikir ulang tentang untuk apa kita duduk di bangku kelas dan mendengarkan penjelasan guru di depan. Adakah untuk ilmu yang bermanfaat? Atau hanya sekadar angka yang (katanya) bermanfaat?

Dan begitu banyak kabar lainnya.

Tapi aku hanya ingin kau tahu. Apakah ini nasihat atau bukan, terserah padamu. Ketika permasalahan yang kita hadapi berkutat melulu tentang perasaan- perasaan tak dianggap, perasaan kurang berguna, peraaan belum belajar, perasaan nggak enakan, perasaan kalau agenda yang hadir itu-itu saja, perasaan saya kerjanya ngomong doang, perasaan sendiri, perasaan nggak ada yang peduli, perasaan ditinggal, perasaan yang lain berkembang tapi saya stagnan, perasaan nggak produktif, dan seribujuta perasaan yang lain, ketahuilah ini hanya soal prasangka kita. Bagaiama fikiran dan keyakinan kitalah yang menjadikan perasaan-perasaan itu semakin kuat dan menjelma nyata.

Aku tahu kamu pun tahu, bahwa Pencipta kita beserta prasangka hambaNya. Keyakinan kita bekerja. Ketika kita berprasangka baik, akan baik jadinya. Begitu juga sebaliknya. Ini adalah konsep sederhana yang membutuhkan pemahaman tingkat tinggi dan usaha sungguh-sungguh dalam mengaplikasikannya pada dunia nyata. Tapi tidak sulit, jika saja kita mau belajar dan 'mengosongkan gelas'. Membuka fikiran kita, memandang segala sesuatu dari berbagai sudut.

Kamu boleh saja menggeledah semua tulisanku disini, pada blog ini. Kamu boleh juga menganggap aku orang macam apapun. Kamu boleh saja bilang aku aneh seperti kebiasaanmu sejak dulu, atau bilang aku pendiam, cerewet, banyak bicara, pelit kata, atau apapun. Tidak masalah. Tapi aku mau minta maaf. Seperti yang sudah pernah aku katakan, aku bukan mereka yang bisa dengan mudah mengirimu kalimat-kalimat mutiara yang penuh dengan rentetan kata ukhuwah dan persaudaraan atau semacamnya. Meski mungkin ada banyak kau temui disini; pada tulisan yang tidak kuungkap secara eksplisit. Terkadang aku begitu, jadi salting dan tidak tahu mau berkata apa ketika berhadapan dengan orang-orang tertentu -yang kuanggap berarti lebih.

Terakhir, kuharap kita tidak jadi saling egois dengan menganggap diri tidak penting dan menganggap urusan ini hanya urusan kita masing-masing. Siapapun kamu, yakin saja bahwa di atas bumi ini, pada tanah cinta ini, akan selalu ada orang yang diam-diam mendoakan kebaikan untukmu. Apakah itu orangtuamu, saudaramu, sahabatmu, atau mungkin saja orang yang kau bantu ketika berpapasan di jalan. Atau bisa jadi tetangga yang kemarin kau lemparkan senyum tulus padanya. Kuharap kita tidak begitu sok tahu dengan secara sepihak menganggap ini urusan kita masing-masing. Karena siapapun kita, akan selalu ada orang yang peduli meski tidak bicara apapun. Meski tidak mengungkapkan apapun.

Aku ingin menulis banyak, agar perbincangan kita berlangsung lebih lama. Tapi mungkin kini giliranmu angkat pena; angkat bicara. 

Silahkan. Berikutnya adalah bagianmu.


Oh iya, sekadar mengingatkan. Hari ini hari Jum’at.
Hari raya mingguan kita yang kabarnya istimewa sekali.
Titip namaku dalam doamu, ya. Kalau berkenan. :)

Thursday, May 14, 2015

Air Mail #6


Pada kotak berbunga, aku menemukan tulisanmu yang satu ini. 


Hari itu kau bilang, aku menginspirasi. Kau curang, Razen. Kau selalu saja baik pada semua orang. Selalu menghibur orang lain. Maaf, tapi aku menyangsikan kejujuranmu. Maaf, Razen.

Hari itu, aku sungguh cemburu padamu. Kau selalu saja merendah. Aku tahu itu usahamu dan teman-teman. Aku tahu itu kinerjamu. Aku mandor kalian, Razen. Aku mengamati kalian. Aku mengamatimu. Kau tidak banyak bicara, tapi tanganmu lincah bergerak. Kau tidak banyak berkomentar. Seakan berbicara lebih akan menghilangkan kekerenanmu dalam sekejap. Dan aku cemburu.

Aku fikir, kita akan hidup dalam persaingan keren. Selaras. Tapi semakin kesini aku semakin sadar, kau tumbuh begitu pesat. Kesombonganku yang merasa hebat, buru-buru runtuh mendapatimu yang diam-diam melesat. Cepat. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan tinggimu jauh melampauiku. Sejak kapan tanganmu jauh lebih kuat, lebih kokoh daripada milikku. Padahal dulu aku selalu mampu menggenggam lebih banyak satuan lumpur daripada kau.

Kemarin, ketika kita pergi ke pasar bawah bukit, aku sedikit-banyak menyadari perubahan itu.

“Asteer, ada anak menangis!” Kaia menghampiriku cepat. Menarik lenganku.

“Dimana?”

“Disana, ayo ikut!” aku dan Kaia berlari di tengah kerumunan orang. Anak itu menangis. Tangan kanannya menggenggam tali balon udara yang melambai-lambai ditiup angin. Tempat itu, ialah pasar A sampai Z yang dahulu kau kenalkan padaku. Tempat dimana begitu banyak manusia berkerumun.

“Adik, ada apa?” aku melontarkan sebuah pertanyaan singkat. Yang ditanya tidak menjawab. Justru tangisnya semakin mejadi. Kaia garuk-garuk kepala. Aku mengangkat bahu.

“HUAAA MAMA DIMANAA” mata bocah laki-laki itu menyipit. Dahinya mengkerut. Bibirnya tertekuk. Suaranya menyapu udara. Seketika kerumunan orang di pasar memerhatikan kami bertiga. Ya, kami bertiga: aku, Kaia, dan bocah kecil itu. Lalu tahu-tahu kau datang. Melangkah tenang kemudian mengangkat tubuh anak itu ke atas bahumu.

“Ayo kita cari mama.” Ujarmu datar sambil tersenyum tipis. Bocah itu berhenti menangis. Ia terkesima mendapati tubuhnya bermain di udara, lebih tinggi dari biasanya. Balon yang sedari tadi ia pegang semakin lincah bergerak kesana-kemari tertiup angin. Aku meremas tanganku. Menyesali mengapa bukan aku yang menggendong bocah kecil itu. Kenapa juga harus kau?

“Syukur ada Razen ya,” Kaia menoleh padaku. Aku mengangguk pelan.

Lagi, kau memaksaku cemburu padamu. Kau curang, Razen.

**

AIR MAIL

Ada, kata tak beraksara
Ada, cerita tak bermakna
Ada, rupa tiada jiwa

Pada setiap keruh yang jadi candu
Pada setiap rumput yang tak beribu

Namun bagi perasa
Ada tersebut jadi tiada

Adalah mereka;
yang membaca.

Kampung halamanku ini adalah tempat istimewa. Aku pernah mengabarkan padamu, kan? Ketika awal-awal menjumpaimu di atas bukit dengan eskrim meleleh. Dengan logat bahasa lokalmu yang aneh, kau menanyakan banyak hal. Tidak berhenti bertanya meski responku jauh dari baik. Aku tidak pandai berkata-kata. Tidak banyak melisankan fikiran. Aku tidak sepandai dirimu dalam hal itu. Aku dibesarkan oleh seorang ayah yang mungkin tidak seperti ibumu –atau mungkin juga ayahmu. Ayahku tidak dapat berbicara, Aster. Tapi aku tidak pernah menyesalinya. Aku tahu ayahku berbicara lebih dari siapapun. Ia berbicara dengan hatinya, dengan segenap jiwanya. Ia bicara dengan gerak tubuhnya, dengan sorot matanya.

Tidak. Aku tidak sedang bicara tentang ayah biologisku. Kau juga tahu, kan, aku sama sekali tidak tahu darimana aku berasal, siapa dan dimana kedua orangtuaku. Aku bicara tentang Ayah di panti asuhan. Beliau yang dengan senyum tulusnya merangkul kami semua.

Jadi, Aster yang baik, untuk apa kau mencemburuiku pada hal remeh-temeh semacam itu? Besok-besok kau juga bisa kan megajak bocah kecil itu bermain, bahkan mungkin mengangkat tubuhnya ke atas bahumu juga. Selagi tubuhnya masih sekecil itu. Lalu soal tinggi kita yang tidak lagi selaras seperti dulu, atau tanganku yang tahu-tahu jadi mampu menggenggam satuan lumpur lebih banyak darimu, Aster, kau memang seringkali lupa –atau tidak menyadari. Aku kan anak laki-laki. Bukankah pertumbuhan semacam itu memang naluriah sekali?

Menuliskan surat udara semacam ini seringkali membuatku merasa bodoh, Aster. Membalasi suratmu yang bertumpuk dalam kotak berbunga satu persatu. Kau mungkin tidak akan pernah membacanya lagi, tapi aku fikir tidak apa-apa. Seperti kata Tuan Erdas: akan ada yang mengambil pelajaran dari setiap cerita.

25 Rajab 1436 H
Semoga kau baik-baik saja.

Wednesday, May 13, 2015

Ayah

Malam ini, menemukan sebuah  dokumen berjudul 'Ayah' yang ditulis pada bulan Oktober 2014 lalu.

---------------------------------------------AYAH---------------------------------------------

Ayah saya adalah ayah super. Bagi kalian yang perempuan, mungkin pernah merasakan betapa kagumnya kepada sosok ayah, terlebih di masa kecil. Saya pun merasa demikian. Bagi saya, ayah saya adalah ayah paling keren sedunia. Ayah nomor satu. Masa kecil saya dihabiskan bermain bersama ayah. Percaya atau tidak, bahkan urusan membuatkan baju boneka hingga menemani saya beli masak-masakan, ayah adalah partner terbaik saya. Ayah selalu mencoba untuk memahami anaknya; anak perempuannya.

Ayah tidak pernah berubah. Sedari dulu, selalu saja, perhatian. Saya kecil yang seringkali diserang sakit kepala, kerap dipijiti oleh ayah. Menggunakan kedua ibu jari tangannya yang sungguh bertenaga. Hingga beranjak. Hingga saya duduk di bangku tsanawiyah. Ayah adalah sosok yang kerap mengantar-jemput saya. Yang begitu sabar menunggu anaknya yang susah pulang; terlalu bahagia main di sekolah. Ayah adalah orang pertama yang menanyakan bagaimana saya pulang dan dengan siapa, setiap saya tahu-tahu hadir di rumah tanpa ia jemput.

Ayah saya,  adalah ayah nomor satu. Yang mengarungi Jakarta-Serpong dengan sepeda motor setiap dua pekan sekali, selama kurang-lebih tiga tahun. Pagi dan sore, menjemput anaknya. Ya, ayah saya adalah ayah dengan kekuatan ajaib. Dengan tangan-tangan kreatif. Dengan imajinasi kreatif. Dengan candaan garingnya yang jadi lucu. Dengan semerbak nasihat mujarabnya di setiap perjalanan kami mengarungi jalan-jalan.

Ayah saya, adalah sosok yang tidak was-was ketika dibonceng menggunakan sepeda motor oleh anaknya yang baru saja bisa mengendarai mesin roda dua itu. Sosok yang menyiapkan perlengkapan sedetail apapun bahkan hingga urusan kalender jika anak perempuannya hendak kembali ke perantauan. Sampai urusan  SD Card, payung, tempat pensil, dan lainnya. Ayah saya adalah ayah yang tidak segan menjahiti pakaian anaknya. Yang tidak keberatan menyetrikakan seragam anaknya di pagi hari.

Ayah saya, adalah ayah yang tidak pernah bosan menjawab pinta sederhana anaknya untuk selalu didoakan. Yang tidak pernah lupa untuk menyertakan nama anak-anaknya dalam doa. Ayah saya, adalah, sekali lagi, ayah super.  Ayah-lah yang pertama kali mengajarkan saya tentang tulis-menulis cerita. Tentang menggunakan komputer. Tentang bagaimana menggali ilmu lewat membaca. Saya masih ingat betul bagaimana tahu-tahu ayah menyodori saya buku Wali Songo ketika saya bertanya sedikit saja tentang soal sejarah Islam. Memberikan saya novel-novel jadul yang ternyata bermanfaat sekali di bangku sekolah; hei, novel itu bahkan jadi bahan bacaan wajib anak kuliah jurusan sastra.

Ayah, adalah yang mengajari saya.

Meski kuang ajar, anaknya seringkali lupa.

Meski menyedihkan, anaknya kadang alpa.

Ayah saya, adalah ayah nomor satu dunia.

Tidak banyak bicara. Tidak banyak berkata. Bergerak dalam diam. Bersenandung dalam doa.  

Mbah Mukhtar: Mimpimu itu terlalu loyo, Le!

Aku bergidik mendengar Mbah Mukhtar tertawa

“Kenapa alismu mengangkat begitu, heh?” matanya menyipit.

“Mbah ketawanya begitu, sih. Serem.” Aku memalingkan pandangan dari wajah Mbah Mukhtar

“Haha, kamu ini, Le. Jadi pemuda kok ya loyo begitu,” lelaki tua itu mengacak-acak rambutku.

“Apanya sih Mbah, yang lucu dari cita-citaku?” Aku merasa direndahkan. Baru saja kuutarakan perihal impianku pada beliau; meminta doa restu agar Gusti Allah mempermudah setiap urusanku. Tapi Mbah Mukhtar malah tertawa terbahak-bahak.

“Mimpimu itu terlalu loyo, Le.” Kali ini Mbah Mukhtar menatapku teduh sambil tersenyum. Matanya seakan hendak berbicara banyak.

“Loyo kenapa?” aku masih tidak terima. Mbah Mukhtar meghela nafas.

“Padi itu memberi, lantas ia dicari. Bukan karena ingin dicari lantas ia memberi. Pikirkan itu baik-baik, Le. Niat dalam hati berarti sudah setengah perjalanan. Jangan sampai kau buat setengah jalan itu menyimpang.” Mbah Mukhtar menyelesaikan kalimatnya kemudian pergi meninggalkanku di warung singkong favorit kami.

**

Aku mematung di depan cermin. Bagian mananya sih, yang loyo?

“Apa yang loyo dari cita-cita ingin dapat gelar pendidikan tinggi-jadi orang kaya-menang dalam berbagai perlombaan, supaya bisa memberi manfaat bagi orang lain? Bukannya itu sudah mulia sekali?” ujarku pada diri sendiri. Aku geleng-geleng kepala. Tidak mengerti maksud Mbah Mukhtar.

**

Siang itu Mbah Muktar terkekeh seraya menyeruput kopi hitamnya. Aku duduk diam sambil memerhatikan gerak-gerik pemilik suara serak itu. Menunggu jawaban macam apa yang akan dilontarkannya.

“Lee, Kau tanya apa maksudku tempo hari?”

“Nggak ngerti aku Mbah”

“Sini, duduk dulu disitu. Tunggu sebentar” Mbah Mukhtar masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian beliau keluar membawa sebuah buku kecil bersampul cokelat tua.

“Mbah punya diari juga?” tanyaku iseng

“Diari apa tho Le, ini buku catatan mendiang Mbah Putri” ujar Mbah Mukhtar pelan. Kali ini suaranya agak bergetar.

“Oh…” aku tidak tahu harus berkata apa. Mbah Putri memang sudah lama meninggal dunia karena penyakit yang menggerogoti tubuhnya.

“Sini, baca baik-baik” Mbah Mukhtar menyodoriku salah satu halaman buku. Tinta bolpointnya sudah menguning, selaras dengan kertasnya.

Hari ini aku berdjumpa denganja. Sederhana dan banjak tawa. Murah senjum. Bukan menyungging senjum padaku, tentu sadja. Tapi pada anak didiknja di surau tua itu. Kali pertama aku mendjumpai pemuda jang belakangan dibicarakan warga kampong. Dia pendatang dari kampong sebelah. Murid dari guru besar di ibu kota. Tapi bukan itu yang membuatku djadi begitu penasaran akan sosoknja. Melainkan tjerita dari paman Soedarsono, katanja ia punya budi jang baik. Berbudi dan bertjita-tjita luhur. Ia mengabdikan dirinja untuk pendidikan anak-anak. Beberapa kali pula mengirimkan tulisan ke surat kabar agar didengar oleh para petinggi negeri, oleh khalajak luas betapa ada begitu banjak anak negeri jang membutuhkan pendidikan lajak serta guru jang berkualitas. Awalnja aku tidak terlalu pertjaya. Tapi melihat sosoknja tadi sore di surau, aku jadi tahu. Ketulusan itu memancar dari setiap sudut geraknja. Aku ingat nasihat paman Soedarsono. Ketika memiliki kemauan untuk djadi bermanfaat bagi sesama, maka segaa djalan djadi djembatannja selagi halal dan baik tjaranya. Bukan mentjari djembatan dahulu lalu mentjari-tjari manfaat apa jang bisa dipersembahkan. Padi itu memberi, lantas ia ditjari. Bukan karena ingin ditjari lantas ia memberi.

Aku mengernyitkan dahi. Tidak benar-benar mengerti maksud Mbah Mukhtar menunjukkn tulisan ini padaku.

“Ini Mbah Putri ngomongin tentang Mbah?”

“Haha, sepertinya begitu, Le. Kau tahu lah, orangtua macam Mbah ini ndak banyak yang bisa diomongin selain cerita-cerita masa lalu macam ni.” Mendengar perkataan Mbah Mukhtar, aku memutar otak. Berfikir keras maksud kode-kode yang sedari kemarin Mbah Mukhtar lontarkan padaku. Padi itu memberi, lantas ia dicari. Bukan karena ingin dicari lantas ia memberi.

“Mbah…” aku menolehkan muka ke hadapan Mbah Mukhtar

“Ya?” kakek nyentrik itu mengangkat kedua alisnya.

“Aku ngerti maksud Mbah sekarang.” Senyum simpulku mengembang diiringi dengan anggukan kepala. Mba Mukhtar menyambutnya dengan tawa. Membahana seperti biasa. Refleks kucium takzim tangan beliau.

***

Kalau pendahulu kita diuji dengan medan juangnya yang berliku, maka generasi kita diuji dengan hal mendasar yang seringkali terlupa: niat. Banyak pemuda yang sibuk menulis proposal, sibuk turun ke desa, sibuk rapat, sibuk mendirikan komunitas sosial, sibuk berdiri di podium-podium kehormatan, sibuk menulis, sibuk membaca, sibuk mengikuti berbagai perlombaan, sibuk ikut konferensi-konferensi, sibuk berbagi –atas nama pengabdian. Sayangnya, banyak pula yang melupakan esensi mendasar dari semua kegiatan sibuk tersebut.

Pengabdian menjema jadi sebatas gengsi. Ajang perlombaan perlahan bermetamorfosis menjadi sarana unjuk gigi. Bukan lagi ingin bermanfaat lantas disalurkan dengan pencapaian dan prestasi. Justru pola fikirnya jadi terbalik: mau berprestasi, maka harus cari cara bagaimana jadi ‘bermanfaat’ agar prestasinya tercapai. Agar dipandang tinggi sosialnya; agar ada kepuasan atas semacam gelar dan penghargaan.

Ikut perlombaan supaya masuk tingkat nasional -hingga internasional- dan harus punya ide yang cemerlang. Padahal idealnya, memiliki ide yang cemerlang, kemudian cari cara bagaimana merealisasikannya, dan harus ikut perlombaan sebagai salah satu upayanya. Kemudian niat ikut berbagai organisasi serta komunitas sosial supaya turut mengabdi di masyarakat. Sekilas tidak ada yang salah dari niatan macam itu. Tapi idealnya, ialah niat ingin mengabdi di masyarakat, dan salah satu cara terbaiknya adalah dengan ikut berkontribusi dalam organisasi serta bergabung dalam komunitas sosial.

Sederhana. Sekilas hanya terlihat seperti pemutar-balikan struktur kata dalam kalimat. Tapi tanpa disadari, ketidak-idealan yang sederhana macam itulah yang dengan mudah membuat gerak menjadi lemah. Jadi sebelum jauh-jauh, cek lagi niatan dalam benak kita. Buat apa? Mengapa? Dan, apa tujuan kita sebenarnya?

#cekniatsebelumjauh

Tuesday, May 12, 2015

Disaat Terdesak, Kita Semakin Kuat

Disaat terdesak, kita semakin kuat. Kalimat sederhana tersebut pertama kali saya dapat dari buku  bacaan beberapa tahun lalu. Cerita tentang persahabatan anak-anak, enam sekawan yang saling mendukung dengan perbedaan karakter. Salah satu tokoh utamanya, orang yang selalu terlihat bersemangat, diam-diam menaruh khawatir pada dirinya sendiri. Ketika mendapati bahwa ternyata teman-temannya satu persatu memiliki mimpi dan tujuan jelas. Lebih jauh lagi, -memiliki usaha yang terarah. Sementara dirinya  merasa belum menemukan dengan jelas, ingin menjadi orang seperti apa, ingin punya profesi apa, bercita-cita macam apa. Yang ia tahu, ia ingin menggapai mimpi bersama teman-temannya. Hingga ia menyadari bahwa ternyata teman-temannya pun memiliki mimpi masing-masing. Dan seharusnya, ia pun demikian.

Tidak perlu saya sebutkan apa judul buku ceritanya (nanti jadi pada pingin baca). Tapi ada bagian yang begitu saya ingat, ketika si tokoh utama pada akhirnya mencoba mengenali dirinya lebih dalam. Dia yang awalnya tidak begitu memperdulikan ujian sebab lebih tertarik menghabiskan waktu dengan latihan untuk penampilan kebudayaan bersama teman-teman di acara kota mereka, mulai berfikir lagi. Sementara teman-temannya seakan terlalu sibuk mempersiapkan mimpi mereka masing-masing. Belajar berbagai macam keahlian khusus. Mempersiapkan ujian.

Si tokoh utama, dengan semangat dan kebulatan tekad, berhasil menarik teman-temannya untuk turut latihan mempersiapkan penampilan. Meski keadaannya sendiri sulit digambarkan. Kacau tidak karuan. Lebih dari itu, ia juga berhasil membuktikan bahwa dirinya pun memiliki cita-cita dan memiliki usaha yang juga terarah. Disanalah saya menemukan kalimat mujarab itu. Disaat terdesak, kita semakin kuat.

Baiklah, supaya gampang, sebut saja nama tokoh utama ini Mawar. Mawar mencintai proses perjuangan. Ia mendambakan sebuah peraihan mimpi bersama teman-teman terbaiknya. Ia bahagia ketika membahagiakan. Meski pada akhirnya hasil ujian Mawar tidak terlalu bombastis, tapi baginya itu sungguh lebih dari cukup. Dan sejatinya, apa yang ia dapatkan melampaui dari sekadar nilai ujian: sebuah pelajaran nilai-nilai kehidupan. Bahwa disaat terdesak, kita semakin kuat. Bahwa kerja keras tidak akan pernah mengkhianati tuannya. Bahwa mimpi yang diperjuangkan bersama-sama, akan jadi lebih seru dan bermakna. Enam sekawan itu sukses menjadi penampil terbaik dalam acara di kota mereka. Dan Mawar ialah motor awal penggerak mesinnya.

Disaat terdesak, kita semakin kuat.

Oke, jadi mari kita lupakan Mawar. Dia hanya seorang tokoh fiktif dalam buku cerita berjilid (apalagi nama tokoh aslinya juga bukan Mawar). Mari kita ingat kisah kemerdekaan Indonesia. Bagaimana dalam keterdesakan, proklamasi pun akhirnya dibacakan juga. Atau kisah pelari yang mampu menembus waktu karena ia menciptakan keterdesakan dalam dirinya. Lantas mari kita ingat kekuatan para ibunda kita. Bagaimana keterdesakan menjadikannya kuat, hingga kita lahir ke dunia berkat perjuangannya. Kemudian, mari kita ingat tentang diri kita sendiri.

Siapa kita?

Sejak kapan kita hidup di dunia?

Untuk apa kita ada?

Apa saja yang telah kita lakukan?

Sejauh apa kita melangkah?

Mau dibawa kemana skenario perjalanan kita selanjutnya?

Sudah se-terdesak apa kita?

Sudah sekuat apakah kita?

Mungkin ada sebagian orang yang akan mengatakan bahwa kalimat itu seolah mendukung paham ‘deadliner’, atau semacam kalimat ‘the power of kepepet’ yang seringkali disalah-gunakan. Tapi kalau kita menghayatinya lebih dalam, rasanya kalimat tersebut pas sekali untuk kaum muslimin, bukan? Disaat terdesak, kita semakin kuat. Hidup di dunia ini udah terdesak banget, masa iya kita nggak kuat-kuat?

Friday, May 1, 2015

Inspirasi

Cara termudah mendapatkan inspirasi adalah dengan memerhatikan sekeliling kita. Memerhatikan orang-orang terdekat kita. Mengambil hikmah atas kehadiran mereka. Ustadz Salim A. Fillah pernah memberikan nasihat pada kita untuk berfokus pada kebaikan-kebaikan. Ketika kita fokus pada kebaikan seseorang, maka kebaikannya pula lah yang akan menyeruak. Begitu pun sebaliknya, ketika kita fokus pada keburukan, maka tentu keburukan pula lah yang sering kita jumpai.

Sampai pada bagian ini, saya bersyukur bertemu dengan orang-orang hebat yang menginspirasi. Orang-orang yang mengajarkan pada saya tentang keyakinan, kekuatan tekad, dan bagaimana menerjemahkan diskusi menjadi aksi. Bagaimana menerjemahkan rencana menjadi nyata.

Salah lima-nya adalah mereka ini, teman-teman saya sejak duduk di bangku madrasah tsanawiyah (bahkan dua diantaranya teman sejak madrasah ibtidaiyah). Yang pada karantinanya MTsN 32 Jakarta tahun ini, saya dengan beruntung dapat menyampaikan kisah mereka di hadapan adik-adik kami. Kelimanya merupakan perwakilan dari jenjang pendidikan SLTA yang berbeda. Mulai dari SMA, SMK, MAN, hingga Pesantren.












Dan mereka 'hanya' lima dari keseluruhan inspirator yang saya kenal. Kemudian yang tertulis diatas hanyalah penggalan-penggalan yang kalau digali lagi, saya yakin akan ada begitu banyak hikmah di dalamnya. Sesungguhnya yang menginspirasi bukan semata prestasi, melainkan proses yang dijalani. Sampai detik ini pun saya sangat bersyukur bisa bertemu dengan begitu banyak orang yang memberikan banyak pelajaran bagi kehidupan saya. Mulai dari keluarga, guru, teman, hingga orang yang mungkin saya tidak pernah berinteraksi langsung dengannya. 

Sampai setelah acara tersebut selesai, sore harinya saya berjumpa dengan salah satu teman saya yang lain -yang juga penuh inspirasi. orang yang satu ini selalu tersenyum dalam setiap kesempatan-. Kemudian ia melihat slide presentasi yang baru saja saya dan dua teman lainnya gunakan untuk menyampaikan pesan ke adik-adik. Lantas ia bertanya, "Lah Riris kok nggak adaa?" saya jawab sambil memamerkan gigi; "Riris kan yang presentasi, hhe" :D

Jika setiap orang itu menginspirasi, maka mereka menginspirasi dengan caranya sendiri.
Dan bercerita tentang kalian adalah cara yang aku sukai. :)

Alih-alih mau motivasiin adik-adiknya, sendirinya jadi ikut termotivasi. Bener ya, prinsip membagi ilmu hakikatnya adalah menambah ilmu (plus investasi). Mungkin nggak banyak yang tahu juga, tapi berbagi di depan adik-adik MTs adalah salah satu dari sekian daftar mimpi yang ada dalam catatan di jurnal saya. Terimakasih MTsN 32 Jakarta, sudah memberikan kesempatan bagi kami untuk turut memberi sumbangsih. Terimakasih sudah dibuatkan surat izin juga (padahal beberapa tahun sebelumnya surat izin untuk ikut karantina juga ditolak sama Madrasah Aliyah saya). Alhamdulillah, semoga dua mata kuliah yang tidak saya ikuti itu akan jadi baik-baik saja. (Sekalian mohon doanya yaa :D).Semoga tahun depan bisa ikutan lagi, membawa lebih banyak inspirasi. InsyaAllah.

Terakhir, terimakasih untuk teman-teman formatur. Kemewahan itu bernama inisiatf. Mungkin saja nama kita tidak tercatat oleh manusia, tapi ingat bahwa malaikat tidak akan pernah salah catat. Sebaik-baik catatan adalah catatan kebaikan yang ditulis malaikat, bukan? :) semoga dijaga niat-niat kita dalam setiap kesempatan. Semoga niat karena Allah selalu berada pada tempatnya. Allahumma aamiin.

Jazakumullahu khairan katsiiran.

***

Memperjuangkan mimpi itu, seperti main layang-layang.
Mengudara di langit, menjejak di atas bumi.
Ditantang udara, diterjang angin.
Nggak ada kan, main layang-layang di tempat yang udaranya nggak gerak? :D
Anggap aja lagi main layang-layang.
:)
Semangat menginspirasi
Semangat menebar kebermanfaatan seluas-luasnya
di jalan-Nya, untuk-Nya.
Hingga nanti kita sampai pada-Nya.


***

Belajar itu ibadah,
Prestasi itu dakwah.

***

We are cool in our own way
Riz

Masa Lalu (Kita)

Setelah sekian lama mencari-cari video ini di youtube, justru menemukannya ketika tidak sedang mencarinya. Pertama kali saya menyaksikan video ini adalah ketika duduk di bangku kelas XI di MAN Insan Cendekia Serpong, mata pelajaran Biologi. Saat itu kami berada di ruang laboratorium. Banyak dari kami yang menangis. Terlebih mengingat euforia kami yang notabene anak rantauan. Sayang, saat itu saya tida membawa flash drive dan semacamnya untuk mengkopi data.


Kembali saya menyaksikan video ini, ketika berada di kelas mata kuliah Psikologi Perkembangan Anak, departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Lagi, tidak sedikit dari kami yang meneteskan airmata mengingat ibunda masing-masing. Saya kembali mencari-cari di internet dengan berbagai kata kunci, namun tidak juga menemukannya.


Hingga beberapa hari lalu, tanpa ada unsur kesengajaan, saya menemukan video ini ketika sedang mencari video motivasi untuk mengisi karantina di MTsN 32 Jakarta. Namun sayang, tidak sempat ditayangkan karena keterbatasan waktu yang ada. Jadi izinkan saya berbagi disini. :)

Sebuah gambaran sederhana tentang masa lalu kita semua.



Lima April 2015

Dua bulan terakhir, lapak ini sepertinya benar-benar terbengkalai. Penghuninya kabur-kaburan, Jadi mari kita ramaikan kembali, ya. :)

Di bulan April 2015, saya mendapat kejutan dari salah satu sahabat saya.. Bagaimana tidak kejutan, ketika tahu-tahu ia memberikan kabar akan segera menikah bulan itu juga. Beberapa waktu sebelumnya, memang, kawan yang biasa saya sapa 'Nyem' ini mengatakan ingin bertemu langsung untuk menyampaikan cerita yang kabarnya sangat penting dan tidak akan membuat saya menyesal untuk mengetahuinya. Namun sayang, kami tidak juga bertemu. Sekalinya bertemu pun, kami dalam kondisi rapat yang notabene banyak orang, dan waktunya terlalu singkat untuk memberi kabar seajaib itu. (Saya katakan ajaib, karena berita semacam itu tentu akan menjadi sejarah dalam hubungan -persahabatan- kami selama belasan tahun ini).

Hingga saya tahu dari grup alumni salah satu almamater kami. (Ya, dia tidak mengabari saya secara khusus. Temen macem apa kamu, Nyem) Hha, tapi saya tidak masalah. Bahkan saat itu saya tidak terlalu kaget. Entah bagaimana, ketika ia mengabari akan bercerita tentang suatu hal yang penting dan harus bertemu, yang terlintas dalam kepala saya adalah hal tersebut. Jangan-jangan anak ini mau nikah. Karena selama pertemanan kami belasan tahun ini, ia bukan sosok orang yang 'mengharuskan ketemu' untuk sekadar bercerita. Saya fikir butuh alasan yang kuat sampai ia bersikap demikian. Dan menikah adalah salah satu daftar yang bisa dimaklumi menjadi alasan penting. Meskipun tidak terlalu kaget, tapi saya tidak bisa berbohong bahwa toh airmata saya ternyata menetes juga. Padahal saat itu saya tengah duduk di ruang perpusatakaan kampus. Berhadapan dengan kawan kuliah saya yang lantas bertanya, "kenapa Riris?"

Keesokan hari setelah mendapat kabar dari sahabat saya perihal pernikahannya yang akan segera berlangsung, dari Bogor saya langsung menuju Jakarta usai sembahyang shubuh. Ia mengajak saya untuk ikut serta dalam pertemuan yang katanya 'konferensi pers'. Seperti yang bisa ditebak, akhirnya ia bercerita. Tentang bagaimana awalnya, hingga keputusan besar tersebut ia ambil. Kami -yang hari itu berkumpul- tidak tahu-menahu siapa, orang macam apa, yang akan mendampingi salah satu sahabat terbaik kami itu. Hanya sebatas nama, asal, dan usia. 


Hingga undangan digital tersebut kami sebarkan bersama-sama.

Fokus alumni MTsN 32 angkatan 1 yang tadinya berorientasi pada kegiatan persiapan untuk karantina adik-adik kelas 9 pun secara total teralihkan. Orientasi kami bergeser ke pernikahan teman baik kami ini.


Selama masa setelah kelulusan, saya fikir momen tersebut adalah momen paling hebat. Dalam waktu yang singkat, kami dapat terhubung dengan cepat. Bahkan beberapa orang yang sebelumnya saya tidak pernah hubungi, (bahkan waktu sekolah bareng dulu nggak pernah ngobrol) jadi ngobrol. Menyambunng tali silaturrahim sekali.

Dua hari sebelum sahabat saya melangsungkan akad pernikahannya, saya mengirimkan kalimat tidak sopan (karena kapital semua) macam ini: I LOVE YOU MORE THAN YOU KNOW! Sebelum ada orang lain yang nyatain cinta ke kamu. :')

Hingga hari-H tiba, kami berkumpul di rumah bahagia. Acara yang sederhana dan menurut saya sangat terasa -barakah. :) Hari itu saya turut menyaksikan akad nikah. Melihat sahabat saya sendiri yang duduk bersebrangan dengan saya, sambil sesekali tampangnya kelihatan salah tingkah. Belakangan dia bilang, "abis kan banyak yang merhatiin aku gitu, jadi nggak enak, hhe" 

Sahabat saya ini hanya beberapa kali tatap muka dengan calon suaminya hingga mereka resmi menjadi suami-isri. Bahkan ketika saya turut membantu bikin undangan digital untuk alumni, saya tanya siapa nama panggilan (calon) suaminya, ia menjawab "Nggak tau ya, aku nggak pernah manggil dia. Belum." Lalu kami tanya bagaimana bisa begitu yakin, ia menjawab dengan tenang "ya hasil istikharahnya yakin aja. Kan menikah itu ibadah. Nanti Allah sendiri yang akan menganugerahkan sakinah, mawaddah, warahmah." Diam-diam saya bersyukur punya teman baik sepertinya.

Semoga bahtera kalian berlayar dengan indah di samudra-Nya, dalam naungan cinta-Nya. :) 





Lalu ada hikmah besar yang saya ambil dari momen bersejarah ini:

"Bahwa pada akhirnya, yang membersamai kita bukanlah dia yang datang lebih cepat atau lebih lambat. Melainkan dia yang datang dengan cara dan dalam waktu yang tepat."