Friday, January 30, 2015

Profesi Paling Bergengsi

“Jika kau katakan bahwa memilikiku adalah sebuah perjuangan,
maka diperjuangkan olehmu, ialah perjuangan tersendiri bagiku.”

Profesi Paling Bergengsi

Hati perempuan itu tidak menentu. Bagaimana bisa ia tidak menyadari adanya kehidupan baru yang hadir dalam rahimnya sendiri? Usia kandungannya menginjak satu setengah bulan dengan keadaan teramat lemah. Jika diukur dalam skala nol sampai sepuluh, mungkin angka harapan hidupnya berada pada angka nol koma.
“Ini janinnya lemah sekali, Bu. Ini sih karena Ibunya kelelahan. Kecapekan, ya?” Dokter Abdullah-lelaki setengah abad itu, memberikan pernyataan sekaligus pertanyaan. Mendengarnya, diam-diam ibu dua anak itu mengiyakan. Akhir-akhir ini, fisiknya memang tengah dalam rutinitas yang padat. Ayahanda tercintanya tengah dirawat di rumah sakit. Maka selain mengurus rumah  bersama suami, mendidik kedua anaknya, mengajar di sekolah, agenda hariannya bertambah lagi: menemani sang ayah di rumah sakit. Pulang-pergi rumah-sekolah-rumah sakit setiap hari, nyatanya cukup menguras energi. Meski tentu, pada akhirnya cinta yang ia miliki menjadikan semua itu terasa indah.
Tapi ini bukan lagi soal lelah dunia. Ini tentang hidup dan mati buah hatinya. Tentang harga diri seorang ibu di hadapan Rabb-nya. Hari itu, ia ditemani suami dirujuk untuk menuju Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang berlokasi di Jakarta Pusat. Rupanya, kelengkapan alat di tempat praktik Dokter Abdullah tidak cukup memadai. Betapa berkecamuk hatinya, ketika dikabarkan bahwa saran dokter untuk kandungannya adalah dikiret, atau bahasa lainnya, dikeluarkan dari rahim. Tentu bukan tanpa pertimbangan. Hal itu karena kondisi janin yang sudah nyaris tidak ada harapan –jika tidak mau dikatakan bahwa perempuan itu berada pada ambang keguguran dan tinggal menunggu waktunya tiba.
          Pada belahan bumi manapun, seorang ibu selalu memiliki harapan baik akan anaknya. Berharap agar anaknya baik-baik saja. Berharap agar anaknya menjadi manusia yang berhasil dalam artian luas. Begitu juga dengan perempuan yang satu ini. Kalau bukan karena harap dan keyakinannya, kalau bukan karena kepercayaan bahwa segala sesuatu perlu diperjuangkan, tentu ia akan pasrah begitu saja menerima keadaan. Tapi ternyata tidak. Tidak semudah itu melemahkan mental seorang perempuan. Tidak semudah itu memupuskan harapan seorang ibu.
“Dok, tolong anak saya jangan dikiret.
Tapi ini lemah sekali, Bu.” ujar sang dokter tidak yakin.
Saya mau perjuangkan anak ini, Dok.” Air matanya membasahi pipi. Dokter menghela nafas panjang. Tidak beberapa lama, terjadi perundingan oleh tim dokter. Hei, siapa pula yang tega memutus perjuangan seorang ibu?
“Ya sudah. Tapi ibu harus bedrest selama dua minggu. Tidak boleh kemana-mana. Tidak boleh beranjak dari kasur, termasuk untuk buang air. Cukup aktifitasnya di atas kasur saja. Sanggup?”
“Sanggup. In syaAllah.” Jawabnya mantap.
Di sanalah perjuangan itu bermuara. Meski awalnya mendapat saran untuk dirawat, namun perempuan itu berhasil meyakinkan tim dokter bahwa ia mampu melakukannya di rumah. Bahkan disaat genting seperti itu, yang ada dalam benaknya adalah tentang keseharian anak-anaknya. Juga bagaimana repot keluarganya, jika harus bergantian menemaninya di rumah sakit padahal sang ayah baru saja pulang usai dirawat. Terlebih, bagaimana repot suaminya, yang harus merawat dan meluangkan waktu lebih banyak untuk mengurusi dirinya, ditambah mengurusi kedua anak mereka. Ah, isi kepala seorang ibu selalu saja menakjubkan, bukan?
**
Satu minggu dengan aktifitas di atas kasur terus-menerus adalah waktu yang lama. Pendarahan yang ia alami (yang juga menjadi pemberi kabar bahwa ternyata ada kehidupan baru dalam rahimnya) tidak kunjung berhenti. Hidup di atas kasur, meluruskan kaki, dan tidak beranjak kemana-mana, sungguh amat menjenuhkan. Namun bosan yang ada terhapus dengan buncah rasa dan semerbak harapan. Hingga pada akhirnya, kesabaran itu berbuah hasil. Pendarahan yang ia alami terhenti pada hari ke delapan. Dengan mengucap syukur, ia beserta suami kembali menuju rumah sakit. Tidak peduli dengan waktu yang belum sampai dua minggu. Perempuan itu sudah tidak sabar untuk mengetahui apa yang terjadi pada buah hatinya.
Mendapati kehadiran mereka, sang dokter memberikan sambutan hangat. Setelah perempuan itu dan suaminya mengutarakan apa yang telah terjadi, USG pun dilakukan.
“Alhamdulillah. Bagus ini Bu janinnya!” seru dokter kandungan itu sambil tersenyum lebar. Mendengarnya, perempuan itu tak henti mengucap syukur. Mungkin itu memang bukan keajaiban pertama yang pernah ia dialami. Namun bagi siapapun, kabar baik selalu saja menggembirakan.
Tapi ternyata belum selesai. Bulan-bulan berikutnya dilalui dengan pendarahan yang tak kunjung henti. Hingga usia kandungannya tujuh bulan, perempuan itu terus mengalami pendarahan.  Ditambah lagi, ia diharuskan mengkonsumsi berbagai obat demi menunjang kehidupan si buah hati. Angka enam ratus ribu rupiah per bulan tentu bukan sebuah nominal yang kecil, terlebih di era 90an. Jika diperkirakan dengan nilai mata uang saat ini, itu berarti sekitar enam juta per bulan.  Maka tak dapat dipungkiri, pasangan suami-istri yang sama-sama berprofesi sebagai guru itu harus menuntaskan pembayaran obat setiap bulannya. Bersyukurlah si janin dalam kandungan. Ia begitu diperjuangkan oleh kedua orangtuanya. Terlebih ibunya.
**
Jika menjadi seorang ibu adalah profesi, maka ia akan menjadi profesi paling bergengsi. Penghargaan padanya tidak lagi bicara soal harga di bumi, melainkan mengetuk dan menggetarkan pintu langit. Do’a-doanya menjelma serupa senjata bagi kebaikan sang buah hati. Hadirnya menjadi pelipur lara, sementara senyumnya menjelma motivasi tiada tara. Dekap hangatnya, ialah transfer energi yang menghangatkan jiwa.
Perempuan itu diantar dengan sepeda motor bersama kakak laki-lakinya dari tempat kerja. Teriring doa dari keluarga dan rekan sejawat. Disusul suaminya yang segera bergegas mengambil perlengkapan dan menuju bidan di Jakarta. Anak ketiganya lahir pada hari Senin, 10 April 1995; pada hari dimana ia tetap pergi mengajar di sekolah seperti biasa. Perjuangannya terbayarkan. Untai doanya terjawab. Anaknya lahir dengan normal dan selamat. Tangis harunya pecah. Dengan segenap syukur dan bahagia, ia dan suaminya menamai anak ketiga mereka Rizky Sahla Tasqiya –yang rezekinya mudah mengalir.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.“ (QS Luqman: 14)

**
Pada suatu hari, belasan tahun setelah peristiwa itu. Seorang ibu mengudarakan nasihat sederhana untuk anak perempuannya.
“Ade semangat ya. Dulu mama berjuang untuk punya ade. Sekarang, kita berjuang sama-sama.”
Anaknya tertegun. Jika kau katakan bahwa memilikiku adalah sebuah perjuangan, maka diperjuangkan olehmu, ialah perjuangan tersendiri bagiku (Rizky Sahla Tasqiya).

***


***

Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di websitehttp://nulisbarengibu.com

Monday, January 19, 2015

Cukup Yakinkah Kita?

"Aku gak pede ka, daftar FK. Tapi aku mau.. Aku yakin. Tapi kadang juga takut apa yakinku itu benar atau nggak.." ujar adik kelasku itu sambil bercucuran air mata. Kupandangi matanya lamat-lamat, kutepuk-tepuk bahunya.
"Kenapa takut? yakinmu karena Allah bukan?" ia tidak menjawab. "Kamu tahu cerita Kak Itta nggak?"
"Kak Itta? yang ke Mesir itu ya kak? yang dia sakit terus berenti kuliah habis itu lanjut ke Mesir."
"Yap. Kamu tahu, kalau dia juga mau masuk FK?"
"Memangnya iya?"
"Iya, dulu dia daftar FK." adik kelasku itu diam tidak berkomentar. Aku melanjutkan, "Tahu nggak, Kak Itta daftar FK di berapa universitas?" kemudian ia geleng-geleng kepala. Tanda tidak tahu.
"Itta daftar FK di tiga universitas di Indonesia. Enam kali ujian, dan kesemuanya ditolak. Bahkan satu universitas menolaknya dua kali." ucapku sambil tersenyum tipis. Ia membelalakkan matanya. Bukan cuma dia, tapi juga kawan di sebelahnya.
"Iya kak??" tanyanya dengan pipi yang masih basah.
"Iya. Dan Kak Itta tidak putus asa. Dia tahu ada rencana Allah dibalik itu semua. Dalam setiap perjuangan, yang terpenting adalah yakin. Yakin kalau Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan usaha hamba-Nya. Yang utama bagi seorang muslim adalah niat yang dilanjutkan dengan porses ikhtiar. Soal hasil, serahkan pada Allah." Kemudian ia mengangguk-angguk. Mulai menyeka air matanya.

Maka yang paling penting sebenarnya, bukan yakin akan meraih apa yang kita inginkan. Melainkan yang paling penting, ialah yakin bahwa Allah akan memberikan yang terbaik, ketika kita telah mengusahakan yang terbaik pula. Jika ini yang jadi pilihan, tentu tidak akan ada lagi was-was di hati. Tidak ada lagi salah orientasi. Bisa atau tidak? jawabnya adalah bisa; ketika kita bertawakkal pada Yang Maha Kuasa.

Salah satu hikmah dari percakapan bersama para inspirator muda di tanah juang Insan Cendekia. Selesai hampir tengah malam. Menyaksikan tiga orang adikku meneteskan airmata. Menyaksikan yang lain menghampiri mohon didoakan, lengkap dengan identitas dan daftar mimpi mereka. Aku tersenyum. Kemudian menertawai diri sendiri.

Maha Besar Allah yang selalu memberikan jawaban indah dalam setiap tanya dan keragu-raguan.
Selalu ada jalan untuk berbagi kebermanfaatan.

Saturday, January 10, 2015

Hujan Merah Jambu

“Mau kemana?” tanyanya pelan.
“Pergi. Melihat lebih banyak.” Jawabku seadanya sambil menyungging senyum. Ia menyipitkan mata, menelisik isi tas ransel milikku.
“Haha kamu ini jalan-jalan terus. Gak takut jatuh miskin? Kita kan mahasiswa. Hidup di negeri orang pula.” Ujarnya sambil tertawa kecil, kemudian mendekap kepalaku dengan selimut tebal miliknya.
“Hehe, kan sudah kubilang. Aku jalan-jalan justru supaya jadi kaya.” Mendengar perkataanku, ia manggut-manggut sambil tersenyum. Aku bisa melihat senyum tulusnya itu dari balik selimut yang masih menutupi kepalaku. Kawanku yang satu itu memang menyenangkan.
“Oke oke. Kalau begitu kita mungkin punya cara kaya yang berbeda.” Ia angkat tangan. Aku menyahuti dengan tawa. Melepaskan balutan selimut di kepalaku.
“Oh jadi itu yang bikin kamu nggak pernah mau ikut jalan-jalan? Punya cara sendiri buat jadi kaya?” Ucapku dengan nada menuduh sambil kembali konsentrasi membenahi tas ransel.
“Tentu saja. Tapi kamu gak perlu tahu, kan?” ujarnya datar.
“Dasar pelit. Seperti biasa.” Aku mencibir lembut. Sahabatku itu hanya tersenyum menanggapi, kemudian ia keluar dari kamar.
“Hati-hati. Bawa ini.” Tak lama ia kembali datang, menyodoriku sebuah kotak kecil.
“Apa ini?” aku mengambil kotak jecil dari tangannya, kemudian kupandangi kotak itu lamat-lamat.
“Kompas. Biar kalau solat kamu gak asal-asalan lagi menghadapnya.” Perempuan yang lebih tinggi dariku beberapa senti itu berkata sambil menunjuk salah satu foto yang kupasang di dinding kamar. Foto perjalanan yang menjadi saksi kebiasaan buruk pasrahku: menentukan arah kiblat seenaknya, menggunakan insting.
“Haha, terimakasih banyaaak.” Aku menjabat kuat tangannya. Lagi, dia kembali membuatku takjub atas kejutan-kejutan kecil semacam ini.
“Itu aku sewakan. Jangan lupa bayar kalau nanti pulang.” Mendengar ucapannya, aku geleng-geleng kepala sambil tertawa. Aku tahu dia tidak sepelit itu.

**

Bagiku, hidup adalah perjalanan. Perjalanan yang sudah selayaknya diisi dengan proses pengkayaan diri. Pengkayaan hati. Pengkayaan nurani. Mudahnya, hidup adalah sebuah proses pembelajaran yang mengkayakan. Sebelumnya, fikiranku sederhana saja. Untuk mendapati lebih banyak, aku harus melihat sudut-sudut bumi ini –meski ia tak memiliki sudut sekalipun. Hingga akhirnya aku belajar dari sahabatku sendiri. Bahwa ternyata, perjalanan tidak serumit kita menabung untuk menjelajahi dunia. Pun tidak sesederhana mengarungi samudera dan mampir ke benua-benua dengan ber-backpacking ria. Perjalanan bukan tentang fisik semata. Kadang, yang terlihat diam pun sejatinya tengah melakukan sebuah perjalanan panjang. Setiap yang hidup melihat. Dan mereka yang melakukan perjalanan, akan melihat lebih banyak.



Lalu di bawah hujan merah jambu, 
Aku lantas menemukan perjalananmu.

Saturday, January 3, 2015

Posisi-Kontribusi

Semakin banyak manusia yang pandai memodifikasi topengnya. Memoles dengan warna-warni indah yang seringkali membuat orang lain terkagum-kagum dibuatnya. Sayang, semakin kesini, semakin banyak topeng palsu yang dibuat-buat. Mengandalkan segudang titel untuk keperluan komersial semata. Keperluan pencitraan, atau paling tidak, keperluan kepuasan akan posisi. Ya, kepuasan akan posisi, bukan kebahagiaan akan kontribusi.

Jika tidak awas, manusia akan mudah dibutakan dengan kesenangan-kesenangan semu atas posisi. Padahal, kontribusi tidak pernah sejahat itu untuk mensyaratkan posisi sebagai mata uangnya. Syarat untuk berkontribusi adalah kontribusi itu sendiri. Tidak perlu ada embel-embel jabatan maupun posisi. Tapi kini, terjadi bias antara posisi dan kontribusi. Mereka yang dianggap tidak memiliki posisi, serta-merta dinilai tidak berkontribusi. Atau mereka yang tercatat namanya dalam banyak posisi, begitu mudahnya diartikan memiliki banyak kontribusi. Padahal, posisi tidak pernah menjadi jaminan bagi kontribusi.

Para pendahulu kita, memiliki posisi karena kontribusinya. Bukan sebaliknya.

Hujan

Salah satu bagian meyenangkan dari minggu UAS adalah, kita memiliki banyak waktu luang. Kamu setuju? Yah, menurutku begitu. Setidaknya waktu luang berada di luar kelas kuliah. Kita bisa lebih berlama-lama menikmati udara luar di kota yang katanya sudah mulai dipertanyakan eksistensi titel hujannya. Tapi beruntung, karena minggu UAS terjadwal antara akhir dan awal tahun. Saatnya musim penghujan ambil peran. Setidaknya, saat-saat seperti ini membuatku lupa bahwa kota hujan kita punya panas terik jika siang menjelang, (dan disusul rintik air sore menjelang petang) pada hari-hari biasa. Membuat tangan-tangan kreatif membuat poster semacam ini.


Setidaknya itu lebih baik daripada julukan kota sejuta angkot. Lagi, menuruku begitu.

Kenapa Bogor kita dibilang kota hujan? Seperti yang bisa kamu tebak, karena curah hujannya tinggi. Bahkan konon katanya, sekian tahun silam, ketika dosen-dosen kita sekarang masih duduk di bangku mahasiswa, suhu Bogor sebelas-duabelas suhunya dengan musim dingin di Eropa. Entah apakah statement itu hiperbola, setidaknya itu memberi gambaran betapa langit kita sudah berubah banyak sekali. Langit kita? iya. Langitku langitmu juga, kan?

Seperti yang kamu (mungkin) tahu, aku suka sekali dengan hujan. Tapi tentu bukan itu yang menjadi alasan kenapa aku memilih untuk melanjutkan studi di Bogor. Lagipula, jujur saja, aku baru ngeh kalau kota ini dikenal sebagai kota hujan justru ketika sudah jadi bagian darinya -sebagai penduduknya. Jadi bagiku, ini semacam bonus. Juga, membuatku sungguhan merasa tidak nyasar pergi ke tempat ini. 

Bukan apa-apa, aku jadi ingat ketika suatu waktu kamu menanyakan hal itu kepadaku: kenapa suka sekali dengan hujan? waktu itu aku hanya tersenyum memamerkan gigi. Itu termasuk dalam daftar pertanyaan yang sulit untuk dijelaskan jawabannya. Aku juga tidak mengerti, Kurasa bukan cuma aku yang kesulitan menemukan alasan jelas pada setiap rasa abstrak semacam itu. 

Yang kutahu, hujan itu menakjubkan. Jadi maafkan aku untuk tidak menemukan jawaban yang ekplisit dan bisa dijelaskan.


Eh kenapa kamu tanya tentang itu? atau jangan-jangan kamu juga suka hujan? Aku jadi curiga. 

Hujan adalah rahmat Allah. Rahmat yang dekat sekali keberadaannya dengan kita. Bahkan kita bisa dengan mudah merasakan partikel-partikelnya menyapa jemari. Menyapa telapak tangan. Menyapa pelipis kita. Kamu pernah mencoba? sesekali tengadahkan wajah ketika hujan. Lalu, rasakan ia menyapamu lembut lewat rintiknya. Entah, mungkin bagi sebagian orang, ini berlebihan. Tapi setiap hujan, aku merasa tengah diberi hadiah indah dari-Nya. Semacam hiburan, begitulah.


Dan aku tahu, Aku tidak sendiri. Banyak yang juga merasakan hal semacam itu. Mungkin juga kamu salah satunya. Bahkan baru saja kemarin, ada salah seorang kawan kita yang mengatakannya padaku, tentang hujan yang baginya hiburan itu. Yah, bagaimana tidak. Bahkan waktu turunnya pun dikabarkan sebagai waktu mustajab untuk memanjatkan harap. Do'a ketika hujan itu, istimewa sekali, bukan?


Hei, aku jadi ingat masa-masa ujian kita. Masa-masa UAS yang bertepatan dengan musim penghujan ini. Setidaknya di kota Bogor, demikian adanya. Lalu tentang resolusi-resolusi kita yang boleh jadi masih tertunda, dan telah bertambah pula daftarnya. Ayo kita panjatkan do'a. --Aku baru saja melakukannya. Barusan ada jeda beberapa menit untuk itu. Takut terlupa. Bagaimana kalau kamu juga? memanjatkan do'a sekarang. Ya, sekarang. Beri jeda paling tidak beberapa menit saja dulu, sebelum kembali melanjutkan membaca. Panjatkan tanganmu di udara. Tarik nafas dalam pelan. Kamu boleh sertakan namaku -jika kamu berkenan. Baiklah, silahkan memulai do'amu.

Kenapa buru-buru? kita tidak pernah rugi untuk memanjatkan do'a, bukan? ayo resapi lagi. Bersama-sama. Hentikan sejenak di bagian ini.

Sudah? 
Tadi aku merasakan atmosfer luar biasa. Kuharap kamu juga demikian. 

Baiklah, kembali tentang hujan. Sebagian orang mengaku suka hujan karena aromanya yang khas. Kamu tahu, kalau aroma menyenangkan itu biasa disebut sebagai petrichor



Mungkin saja kamu belum tahu. Aku pun baru tahu tentang ini sekitar satu atau dua tahun lalu. Waktu itu adikku menunjukkan buku pengetahuan umum bergambar tentang macam-macam fenomena hujan. Dan bahasan tentang petrichor ini jadi salah satu di antaranya. Petrichor, sebutan bagi aroma khas di kala hujan. Biasanya semakin kita sadari kehadirannya, manakala hujan turun di tanah yang kering. Khas sekali. Terutama di waktu-waktu awal turun hujan. Atau, kadang ia meninggalkan jejak usai hujan selesai membasahi tanah.

Hujan-hujanan. Kamu pernah? aku sering. Salah satu hal paling menyenangkan adalah ketika kita mendapatkan kesempatan untuk hujan-hujanan bersama dengan orang yang spesial dalam hidup kita. Pernah? beruntung, aku pernah mengalaminya. Bersama ibuku, pernah. Ketika kami hendak pergi membeli sayuran di warung yang sebenarnya tidak begitu jauh dari rumah. Lalu hujan turun deras. Kami tidak berteduh. Serta-merta melanjutkan perjalanan. Bersama ayahku, juga pernah. Sering malah. Setiap pagi ketika musim penghujan, saat beliau mengantarku berangkat sekolah. Atau ketika beliau menjemputku pulang dan kami (ke)hujan-hujanan bersama. Meski ditutup jas hujan, diam-diam aku tidak mengenakannya. Membiarkan kerudung sekolahku basah diguyur air hujan. Bersama abang, kakak, adik, dan teman-temanku pun, aku bersyukur pernah mengalami, dan (bahkan) melakukannya hingga saat ini, Kamu bagaimana?


Tapi, kadang, menikmati hujan 'sendirian' (kuberi tanda petik, karena sejatinya kita tidak pernah sendirian) juga tidak kalah asyik. Kita bisa menikmati hujan dari balik jendela kamar kita, bisa dengan bermain langsung di bawahnya (dan ini cara yang sungguh menyenangkan), atau bisa juga sambil makan es krim di tepi jalan. Atau wedang jahe. Atau cokelat panas. 

Dan cara yang paling indah, adalah menikmati hujan dalam munajat cinta kita sembari sujud. Percayalah, ini keren sekali. Aku pernah melakukannya bersama beberapa kawan, di tengah tinggi pepohonan. Di alam terbuka. Ketika hujan dengan lembut membasuh bumi kita.


Aku rasa kamu perlu mencobanya sewaktu-waktu. Atau mungkin kamu sudah pernah, bahkan sering melakukannya?

Kalau begitu, kapan-kapan kalau kamu berkenan, kabarkan padaku tentang kisahmu. Aku akan sangat senang mendengarnya. 

Oh iya, satu lagi. Kamu tahu, kalau Rasulullah, sosok yang kita teramat kagumi itu, juga menikmati akan rintik-rintik hujan? beliau membiarkan hujan menyapa bagian tubuhnya ketika awal-awal rintik itu turun ke bumi.

قَالَ أَنَسٌ: أَصَابَنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطَرٌ، قَالَ: فَحَسَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَوْبَهُ، حَتَّى أَصَابَهُ مِنَ الْمَطَرِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ لِمَ صَنَعْتَ هَذَا؟ قال


Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “hujan turun membasahi kami (para Sahabat) dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, maka Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam membuka bajunya, sehingga hujan mengguyur beliau, maka kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah untuk apa engkau berbuat seperti ini?’ Beliau menjawab,

لِأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى

“Karena sesungguhnya hujan ini baru saja Allah ta’āla ciptakan.” (HR. Muslim no. 898).


Jadi kalau kamu menemui dia yang masih suka mengeluhkan perihal hujan, kabarkanlah berita membahagiakan ini, Bukankah bersyukur bersama-sama itu indah sekali? ah, aku tahu, kamu pasti setuju denganku, kan?

Yah, salah satu bagian menyenangkan dari minggu UAS adalah ini. Aku bisa berbincang dengan kamu, tentang hujan. Terimakasih sudah meluangkan waktu. Sukses ujianmu. Sukses kehidupanmu. Semoga penuh berkah. Titip salam untuk hujan milikmu -dari kota hujan kita. Semoga kita tidak lupa untuk saling mendoakan.