Monday, March 27, 2023

Aku Membacamu

Aku membacamu.

Bagiku, laman ini punya ruang tersendiri. Bahkan meski sudah lama sekali rasanya aku tidak menulis di sini, sebenarnya diam-diam aku masih sering mengunjungi.

Ya, aku membacamu.

Terima kasih kepada kamu yang masih terus menulis dan bercerita di sini. Satu hal yang aku sukai dari sini adalah fakta bahwa ia terasa lebih sunyi daripada tempat bercerita lain yang riuh sekali.

Tapi aku tetap membacamu :)

Kamu yang bercerita tentang kilas balik tahun lalu, tentang perjuangan untuk tidak berputus asa kepada penciptamu. Kamu yang berkisah tentang kabar terbaru studimu, perasaan gelisahmu akan pendamping yang tak jua bertemu, atau tentang betapa indah dan dimudahkannya prosesmu meminang calon pasangan hidup saat itu. Aku juga membaca tulisanmu tentang proses persalinan hingga pengalaman keliling Indonesia. Terima kasih, ya! Aku sungguhan membacamu.

Kadang-kadang aku ingin meninggalkan sepenggal komentar. Namun seringnya berakhir dengan tidak mengatakan apa-apa. Jadi tetaplah menulis dan bercerita, ya. Aku masih membaca.

Semoga kebaikan-kebaikan hidup senantiasa menyertaimu.

Kucing di Kota Thaif, 2022

Monday, January 2, 2023

Day 1: List three things you are grateful and why?

Karena ini hari pertama, ingin mengucapkan terima kasih dulu kepada seorang kawan yang mengajak untuk ikut #30DayWritingChallenge di blog dengan tema yang sudah ditentukan dan berbeda setiap harinya (sankyou, Mba Yeni!). Bismillah, mari kita mulai.

Day 1: List three things you are grateful and why?

Pangandaran, November 2022


Nikmat iman. Rasanya ini adalah hal pertama yang sangat aku syukuri, bahkan meski imanku masih teramat compang-camping. Pernah suatu ketika aku bilang begini ke salah seorang kawan, "Kemarin itu masa-masa dark banget untukku. Kayaknya benteng terakhir yang aku punya benar-benar hanya iman." Ya, nikmat iman membuatku menemukan hal baik dalam setiap kejadian. Ia menjadi jalan bagi kepala dan hati yang kadang mengeras untuk kembali berada di koridor yang seharusnya. Nikmat iman membuatku tak meletakkan "putus asa" di kolom opsi kehidupan. Bukan apa-apa, karena dalam Al-Qur'an Allah berfirman dan melarang hamba-Nya untuk berputus asa. Jikalau Dia tak memberiku nikmat iman, mungkin aku sudah memilih putus asa saja sebagai jalan ninja dari setiap ujian yang ada. Alhamdulillah.


Dago Bandung, 2021


Kehidupanku secara umum. Kurang spesifik, ya? Tapi ini benar-benar aku syukuri. Punya keluarga yang suportif, teman-teman dengan mindset positif dan jadi partner bertumbuh, juga berbagai skenario dan kausalitas hidup yang Allah Ta'ala berikan. Aku mensyukuri setiap episode sebab Allah selalu mempertemukanku dengan orang-orang baik. Semuanya membuatku malu dan merasa tidak pantas setiap kali mulai terbesit untuk mengeluh. Sungguh, Allah sudah sebaik itu sama kamu.


Dua hal di atas mungkin adalah jawaban yang luas sekali. Untuk yang terakhir, aku ingin mencoba jawab dengan lebih spesifik.


Dari Ladz'an, katanya ini gambar Ammah lagi di Ka'bah

Masjidil Haram, Makkah, Desember 2022


Diundang Allah ke rumah-Nya, pada Desember 2022. Ini serius. "Pulang" ke tanah suci di akhir tahun 2022 benar-benar oase di tengah gersang setelah dua tahun terakhir rasanya seperti hidup segan mati tak mau. Sempat minder dan ragu, merasa diri tidak pantas untuk berangkat, tapi kemudian tertampar dengan sebuah gagasan. "Justru karena kamu banyak salah, imanmu compang-camping, interaksimu dengan Al-Qur'an berantakan, maka kamu benar-benar butuh untuk berangkat ke sana." Sebelumnya, berulang kali aku bilang kepada Allah bahwa aku ingin dipeluk. Lantas Dia benar-benar memelukku dengan skenario yang indah, hangat, dan manis sekali. Sungguh Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tidak seperti manusia yang menyimpan banyak kecewa, Dia justru mendekap hamba-Nya yang nyaris tersesat dan kehilangan arah.



Ditulis di Bandung,

1 Januari 2023

Sunday, July 4, 2021

Untukmu yang Nyaris Putus Asa

Katanya, seseorang yang mencintai akan sangat sulit berputus asa pada orang yang dicintainya. Duh, maksudnya bagaimana?

Begini. Ketika seseorang telah memberikan cintanya, maka satu-dua keburukan orang yang dicintainya takkan membuatnya sedemikian mudah berputus asa. Akan ada seribu satu alasan yang menjadikannya layak untuk dimaklumi. Pikiran seperti "Oh, mungkin aku harus bersabar sedikit lagi. Aku yakin dia bisa menjadi lebih baik setelah ini," barangkali tak asing mampir dalam benaknya.

Ya, dia punya begitu banyak alasan untuk tidak berputus asa pada orang yang dicintainya. Ia memberikan peluang nyaris tak hingga untuk memenangkan harapan yang ada dalam hatinya. Koreksi ya, kalau aku keliru. Sebab ini tebak-tebakanku saja. 

Tapi uraian setelah ini bukan tebak-tebakan. Sungguh.

Aku dengar, kabarnya akhir-akhir ini kamu tengah nyaris putus asa. Benarkah? Jika tidak, semoga Allah mudahkan hatimu untuk selalu menaruh harap yang utuh, penuh keyakinan kepada-Nya saja. Aamiin. Namun jika iya, semoga "nyaris" itu tak berubah jadi "sudah".

"Dosaku banyak banget. Aku malu minta lagi sama Allah."

"Kalau orang seburuk aku, apa iya akan dapat ampunannya Allah?"

"Aku capek. Minta dari dulu juga nggak pernah dikabulkan."

"Aku sudah banyak buat salah. Kayanya aku memang bukan prioritas Allah."

"Terlalu banyak orang soleh di dunia ini. Aku cuma remah-remah rengginang untuk minta ini-itu sama Allah."

Apa pikiran-pikiran seperti itu pernah terlintas dalam benakmu? Jika iya, apakah di saat yang bersamaan hati kecilmu masih meyakini bahwa Allah Maha Mendengar, Allah Maha Melihat, Allah Maha Pengampun, dan Allah Maha Mengabulkan Do'a?

Bersyukurlah. Tidak semua orang diberi nikmat menyadari akan keberadaan Allah. Tidak semua orang diberi nikmat menyadari bahwa dirinya tak punya daya apa-apa di hadapan Allah.

Jika memang kamu nyaris putus asa, agaknya ada satu hal yang perlu kamu ingat. Cintanya Allah bukan seperti cintanya manusia. Cinta Allah pada hamba-Nya sungguh tak sebanding dengan cinta manapun yang ada di dunia. Bahkan cinta seorang ibu pada anaknya pun, tak seberapa besar jika dibandingkan dengan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.

Jika manusia saja sebegitu teguh memperjuangkan dan tak putus asa atas orang yang dicintainya, bisakah kamu bayangkan betapa luar biasa cintanya Allah?

Dosa-dosamu mungkin menggunung. Tak terhitung. Tak terbendung.

Kesalahanmu, prasangka burukmu, ketidakyakinanmu, semuanya membuatmu sedemikian ragu. Tapi tidakkah kamu ingat, dengan siapa kamu tengah bicara cinta?

Ini bukan manusia. Inilah penciptanya manusia. Cinta-Nya tak sedangkal itu. Cinta-Nya tak bergantung pada apapun. Kamu mungkin pendosa, tapi rahmat Allah lebih besar bahkan dari semua dosamu itu. Kamu mungkin nyaris putus asa, tapi pertolongan-Nya nyata dan bukan isapan jempol belaka. Ingatlah kepada siapa kamu tengah bicara soal cinta. Bukankah seorang pendosa pun memiliki peluang besar untuk meraih cinta-Nya? Sungguh Allah mencintai tangisan seorang pendosa yang bertaubat.

"Bagaimana jika bahkan taubat ku pun berantakan?" benakmu bicara lagi.

Jikalau taubatmu bahkan berantakan, maka bertaubatlah lagi dan lagi. Bertaubatlah atas taubat yang berantakan itu. Datanglah pada Allah dengan semua kelemahan dan ketidakberdayaan diri. Meskipun berkali-kali kamu harus kembali, sungguh Allah Maha Mengetahui. Ia melihat setiap inci usaha hamba-Nya. Ia tahu betapa hati kecilmu ingin dicintai-Nya. Syaithan yang membangkang-Nya dengan terang-terangan pun dikabulkan pintanya oleh Allah. Mengapa kamu ragu, merasa do'amu tak didengar-Nya?

Ada yang bilang, cinta bukan kata benda melainkan kata kerja. Yah, aku sedang tidak ingin membahas itu. Yang ingin aku sampaikan adalah, bahwa cinta pun membutuhkan pembuktian. Barangkali keadaan dan ujian yang kamu hadapi semata-mata adalah ajang pembuktian. Bukan, bukan pembuktian untuk-Nya, melainkan untuk dirimu sendiri. Apakah segenap pengakuanmu di hari kemarin bahwa kamu mencintai Dia dan Rasul-Nya, sungguh-sungguh kamu perjuangkan?

Jadi, jika kamu tengah nyaris putus asa, ketahuilah bahwa kamu tidak sedang berurusan dengan manusia. Sungguh, cinta-Nya tidak sedangkal itu. Tuhanmu itu tidak pergi dan tidak pula meninggalkanmu. Pun, semoga cintamu tak sedemikian kering hingga kehilangan prasangka baik kepada-Nya, ya. Mari kita aamiin-kan sama-sama.



Ditulis di Bandung,

28 Juni 2021

Monday, June 28, 2021

Berceritalah

Hai, apa kabar kamu yang di sana? Bersyukur ya, di tengah keramaian media sosial yang riuh dan begitu gaduh, kita masih bisa bertukar sapa di ruang sepi yang satu ini. Ya, kadang diskusi kita dalam hening terasa lebih menghangatkan, bukan?

Aku harap, semoga kamu baik-baik saja. Belakangan hidup memang terasa tak mudah bagi banyak orang, dan mungkin saja kita salah satunya. Namun, bukankah tak ada janji yang lebih indah dari kesulitan yang akan hadir beriringan dengan kemudahan-kemudahan?

Hmm.. Jadi, ada cerita apa dalam kehidupanmu? Adakah kabar yang perlu aku tahu? Atau setidaknya, yang bisa kau bagi denganku. Tak peduli sereceh apapun itu. Sepertinya akan menyenangkan jika aku bisa mendapat sedikit kabar darimu. Oh iya, ku pikir, kamu harus tahu bahwa di dunia ini akan ada seseorang yang sama sekali tak keberatan mendengar kisahmu, rapuhmu, bahagiamu, sedih dan senangmu. Tentu saja tak selalu aku. Tapi kalau kau mau cerita padaku kali ini, insyaAllah akan ku dengarkan baik-baik dengan senang hati.

Beberapa waktu lalu, aku pernah bertemu dengan seorang ibu. Ia menangis, merengek dalam panjang sujud di salah satu salat fardhu. Sebelumnya kami sempat berpapasan di tempat wudhu. Kamu boleh percaya atau tidak, tapi ibu itu membuatku tak bisa keluar dari dalam toilet. Iya, dia mengunci pintunya dari luar. Setelah beberapa kali aku ketuk, tak lama pintu itu kembali terbuka. Wajah kami berhadapan sejenak. Coba tebak, bagaimana ekspresinya?

Sepertinya kamu salah. Ibu itu menatapku tajam seperti orang yang tengah marah dan kesal. Ada badai di kedua bola matanya. Aku enggan menatap lama-lama. Kusungging senyum, lantas ia melengos masuk ke dalam toilet menggantikan aku. Aneh dan jujur saja, agak meyebalkan. Tapi ya sudah, bahkan saat itu kukira ia memiliki gangguan atau semacamnya. Ku pikir demikian. Ternyata, aku salah besar.

Ya, nyatanya aku melihat ibu itu menangis, merajuk di atas sajadah. Ia membuka Al-Qur'an lembar demi lembar, beberapa kali ku dengar isak tangisnya beriringan dengan suara parau memanggil Rabb-nya. "Yaa Allah..." begitu ujarnya. Segera saja aku menyesali praduga tak berdasarku beberapa waktu sebelumnya, yang mengira si ibu memiliki akal yang barangkali kurang sehat.  

Rasa jengkel yang  sempat hadir sebab aku dikunci dari luar toilet, ditambah menerima sikap yang jauh sekali dari kata ramah, segera ku buang jauh-jauh. Baiklah, beliau sepertinya tengah punya masalah yang jauh dari kata mudah. Dan sebaiknya aku segera membereskan masalah dengan hatiku yang sudah seenaknya berprasangka tanpa dasar jelas.

Aku masih ingat kejadian itu dengan baik. Ada pembelajaran penting yang aku dapat: setiap orang menghadapi perjuangannya masing-masing. Kadang kita terlalu serampangan dalam memberikan penilaian pada orang lain, hanya berdasarkan suatu kejadian atau bahkan hanya dalam satu kali papas. Jika ia terlihat begitu menyebalkan, boleh jadi saat itu ia tengah mengalami hari yang jauh dari menyenangkan, dan berkali-kali menguji perasaannya. Sebaliknya, jika ia terlihat begitu sempurna dan tanpa cela, bukan berarti ia tak pernah merasakan sedih atau kecewa seperti manusia lainnya. Pada akhirnya, kita sama-sama manusia.

Hei, jadi bagaimana kabarmu? Aku harap, kamu baik-baik saja. Titip salam syahdu untuk langit di kotamu yang boleh jadi sama, atau mungkin berbeda dengan kotaku. Berceritalah. Semoga kita masih diberi waktu.

Sumber Gambar

Ditulis di Bumi Pasundan,

28 Juni 2021.

Sunday, June 27, 2021

Ambulans dan Suara Hujan

Belakangan ini, bumi pasundan terasa dingin sekali. Suara mesin kulkas, rintik hujan, juga kendaraan saling sahut menyahut terdengar dari ruang kerja kami. Sayang, alih-alih syahdu, justru terdengar kelabu tiap sirine ambulans mampir ke gendang telinga. Ya, kantor kami duduk berdampingan dengan rumah sakit dan laboratorium kesehatan. Belakangan ini, Bandung memang dingin tersebab cuaca yang seringkali hujan. Namun ia juga panas oleh jumlah lonjakan kasus Covid-19. Bukan, bukan hanya di sini, melainkan juga di seluruh Indonesia barangkali.

Aku masih ingat ketika pertama kali televisi ramai membicarakan bahwa ada dua orang terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia kali pertama. Pasien 1 dan Pasien 2. Kala itu kita masih bisa dengan "gagah" memberi label nomor. Sekarang? entah, mendengar ada berapa jumlahnya saja mungkin membuat beberapa orang enggan menyimak lebih lanjut. Bukan karena tidak peduli, tapi karena terlalu membuat pilu hati. Saat itu aku di dalam perjalanan naik bis dari Bogor ke Jakarta. Aku duduk di kursi paling depan, sehingga terlihat dengan jelas lalu lalang orang dan kendaraan di jalanan. Kamu tahu? saat itu semua orang berbondong-bondong mengenakan masker. Semuanya, nyaris tanpa terkecuali. Bapak sopir, pedagang kaki lima, pengendara motor, juga orang-orang yang riuh tengah pulang usai dari tempat kerja. Ada satu yang paling kuingat saat itu: raut wajah mereka.

Meskipun mengenakan masker, aku dapat menangkap garis-garis kekhawatiran. Garis-garis takut dan cemas. Barangkali karena akan menghadapi sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Hal itu juga tampak pada ekspresi seorang bapak yang masuk ke dalam bis, dan duduk di sebelah kananku. Saat itu bis sedang penuh. Beliau duduk sembari tangannya merogoh kantong, lalu mengeluarkan selembar masker dan mengenakannya. Kami terlibat obrolan yang sangat singkat.

"Sudah ada dua, ya."

"Iya, Pak." Lalu hening.

Bahkan, tanpa menyebutkan topik pembicaraannya, kami sama-sama tahu apa yang kami bicarakan. Pikiran kami seolah sama. Tidak, bukan hanya aku dan si bapak tadi. Tapi juga barangkali seluruh isi penumpang bis.

Hari ini, setelah lebih dari satu tahun peristiwa itu terjadi, nyatanya kita telah banyak kehilangan. Kehilangan pekerjaan, kesempatan, hingga salah satu yang paling menyakitkan: kehilangan orang yang dicinta. Bangsa kita bahkan kehilangan ulama, guru, juga putra-putri terbaiknya. Rangkaian peristiwa yang harusnya lebih dari cukup untuk membuat kita merenung. Tidakkah semua kehilangan itu memberikan kita banyak pelajaran?

Semoga kita termasuk dari orang-orang yang mengambil pelajaran. Jika kita menghadapinya bersama-sama, agaknya ini akan jauh lebih mudah. Sama-sama berdo'a, dan tentu saja sama-sama menjaga protokol kesehatan demi kebaikan kita semua. Hari ini, barangkali raut khawatir dan cemas sebagian dari kita tak sekuat dulu. Semoga itu terjadi bukan karena kita abai dan tak peduli, tapi karena kita telah banyak belajar hingga bisa menghadapinya dengan baik. Bagi sebagian yang lain, boleh jadi hari-hari inilah justru hari yang paling mendebarkan. Ketika kita kembali mengingat deret pertanyaan tentang pandemi seperti waktu kemarin-kemarin: kapan ini selesai?

Baik kita yang saat ini tengah diuji dengan kesehatan, maupun diuji dengan kondisi sakit, semoga ketenangan selalu hadir dalam hati kita. Semoga keimanan tak pernah pergi dari relung jiwa. Aamiin allahumma aamiin.

Sumber Gambar

Ditulis di Bandung,
23 Juni 2021

Sunday, February 21, 2021

Tiga Tahun Terakhir: Berkenalan dengan Diri Sendiri

Harusnya ini saya tulis tahun 2020 lalu. Tapi tidak apa-apa lah ditulis di tahun 2021. Lebih baik tetap melaju daripada berhenti melangkah karena terlalu mendamba sempurna lah, ya~

Ini adalah bagian ketiga sekaligus bagian terakhir tentang cerita ta'aruf dengan diri sendiri. Ya, tahun-tahun belakangan saya belajar tentang diri saya sendiri. Mungkin bagi sebagian orang ini terdengar aneh, tapi saya yakin bagi sebagian besar yang lain, hal ini bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan urgensinya.

Setiap kita perlu mengenali diri sendiri.


Sumber Gambar


Beberapa tahun lalu, seseorang pernah bertanya pada saya tentang apa hal yang tidak saya sukai dan apa yang bisa membuat saya marah. Pertanyaan sederhana yang membuat saya saat itu berpikir keras. Ya, saya tidak tahu. Saya bahkan harus meminta pendapat orang lain untuk menjawab pertanyaan sulit itu. Sebagian menjawab asal, mengatakan saya tidak bisa marah. Sebagian yang lain menjawab sedikit serius, menyebutkan hal-hal kecil yang menurutnya membuat saya terganggu. Tapi saya merasa belum menemukan jawaban yang jelas saat itu.

Apa yang membuat saya marah? Kapan saya merasa sedih dan kecewa?

Bukan, bukannya saya tidak pernah merasakan emosi seperti marah, sedih, atau kecewa. Setiap manusia tentu pernah, bukan? Tapi saat itu, saya terlampau cuek dan abai pada emosi saya sendiri. Saya tidak benar-benar menandai kapan saya merasa senang, hal apa yang membuat saya kecewa, kala menghadapi apa saya merasa kesulitan atau marah. Saya bukan malaikat. Tentu saja saya merasakan emosi seperti manusia lainnya.

Pada akhirnya, pertanyaan orang itu tidak benar-benar terjawab secara verbal. Tapi agaknya sudah terjawab seiring waktu saya belajar. Ya, saya belajar mengenali diri saya sendiri.

Dan saya tidak pernah menyangka, bahwa perjalanan mengenal diri sendiri akan seajaib ini. Ternyata sebelumnya saya terlampau sibuk berusaha mengenali orang lain sampai lupa mengenali diri sendiri. Sering merasa takjub betapa karakteristik manusia ada begitu banyak ragamnya, tapi saya terlalu asyik hingga lupa mengamati dan memahami diri sendiri.

Dalam perjalanan panjang itu, saya menemukan diri saya mengalami berbagai macam emosi. Ternyata ada beberapa hal yang sangat mudah membuat saya kecewa. Saya mungkin bukan seseorang dengan ambisi tinggi terhadap dunia karier dan akademik, sehingga kegagalan pada hal itu tak terlalu memukul diri. Tapi saya lemah pada kesalahpahaman yang terjadi antara saya dan orang yang saya sayangi. Kesalahpahaman benar-benar mampu membuat saya tergugu, campur aduk antara perasaan sedih, kecewa, dan patah hati. Juga ketika saya tidak mampu menyampaikan maksud saya secara benar dan sesuai, terlebih jika tak ada kesempatan untuk bicara. Situasi yang sangat tidak menyenangkan. Fakta ini saya dapati ketika beberapa kali menghadapi kondisi dan situasi demikian di tiga tahun terakhir. Semakin diperkuat ketika saya mencoba mengingat-ingat kembali kejadian di masa lalu kala saya baru mulai menginjak belasan tahun.

Saya juga mendapati bahwa ternyata ada hal-hal kecil yang dapat dengan mudah memengaruhi diri. Salah satunya, yaitu betapa sensitifnya saya terhadap suara keras serta bentakan. Mendengarnya membuat jantung saya bedegup lebih cepat dari kondisi normal. Kejadian ini saya sadari ketika saya tinggal di sebuah perumahan, lalu suatu ketika ada tetangga baru menempati rumah kosong persis di seberang rumah yang saya tempati. Qodarullah, setiap hari terdengar orang berteriak, menangis, sampai meraung-raung. Sesekali terdengar sahut-menyahut entah dua atau tiga orang. Awalnya saya khawatir, takut kalau-kalau terjadi sesuatu pada tetangga baru. Hingga akhirnya saya tahu bahwa itu bukan KDRT atau permasalahan rumah tangga seperti yang mungkin banyak kami duga. Anak remaja perempuan mereka rupanya memiliki permasalah kondisi mental, yang menyebabkan ia kerap tantrum bahkan seringkali hendak kabur menggedor-gedor pintu. Dari kejadian itu, saya jadi tahu bahwa suara bantingan pintu, lemparan benda, suara raungan, sungguh bisa sedemikian mengganggu.

Pada akhirnya, ada begitu banyak hal yang saya pelajari bahkan hingga hari ini. Kapan saya merasa senang dan berbunga-bunga, hal apa yang membuat saya bersemangat, termasuk kapan saya menjelma jadi manusia yang begitu menyebalkan. Kita tidak bisa menampik bahwa diri kita memiliki sisi positif dan negatif, serta memiliki masa ketika self-worth sedang tinggi dan juga rendah. Yup, saya juga belajar tentang hal apa yang bisa lingkungan saya lakukan untuk membuat saya merasa lebih baik, ketika self-worth saya sedang rendah.

Dalam sebuah workshop terapi psikologi, saya belajar tentang betapa pentingnya mengetahui hal-hal yang membuat kita merasa lebih baik ketika kondisi diri sedang buruk. Catat baik-baik, sehingga itu bisa menjadi database terkhusus bagi orang-orang terdekat dan inner circle kita. Sebab setiap orang memiliki keunikan tersendiri, meski secara garis besar sebenarnya sama saja (nah lho, bingung nggak? hhe). Yah, intinya setiap kita boleh jadi memiliki kenyamanan dan bahasa cinta yang berbeda. Seperti selera makan bubur yang juga berbeda, serta perdebatan tak berujung tentang manakah yang lebih nikmat antara mie goreng atau mie kuah.

Sumber Gambar

Mengapa mengenal diri sendiri penting? Sebab kata pepatah lama, tak kenal maka tak sayang. Bagaimana kita bisa menyayangi diri sendiri, manakala kita tak mengenalinya dengan baik? Mengenal diri sendiri juga membantu kita untuk meregulasi diri dan mengondisikan hati. Akan ada begitu banyak hal yang dapat lebih mudah kita kontrol ketika kita mengenal diri sendiri. Bukan hanya hubungan kita dengan orang terdekat, tapi juga dengan teman satu lembaga, kolega kerja, hingga orang tak dikenal yang kita berpapasan dengannya di tengah jalan. Lebih jauh lagi, mengenal diri sendiri menjadi sangat penting sebab ia dapat membantu kita dalam menjalankan tugas sebagai hamba selagi hidup di dunia, beribadah demi menjaga hubungan baik kita dengan Pemilik Semesta. Bukankah salah satu ibadah tersulit adalah ibadah yang berkaitan dengan hati?

Menurut versi hemat dan amatiran saya, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk lebih mengenal diri sendiri. Beberapa di antaranya, yaitu dengan menanyakan sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini pada diri sendiri:

1. Kapan kita merasakan emosi negatif seperti sedih, kecewa, atau marah?

2. Hal apa yang paling mengganggu ketenteraman dan kedamaian hati kita?

3. Orang seperti apa yang membuat kita merasa tidak nyaman? 

4. Bagaimana pengalaman masa kecil kita, dan perjalanan hidup macam apa yang kita lalui hingga hari ini?

5. Apa yang kita harapkan ketika berinteraksi dengan orang lain?

Agaknya lima pertanyaan itu sudah cukup memberi informasi awal untuk mengenal diri sendiri. Hei, mengapa lebih banyak pertanyaan tentang hal-hal negatif? Sebab biasanya, alih-alih hal positif, segala sesuatu yang membuat hati sulit lebih mudah diidentifikasi. Sebagaimana manusia yang suka lupa bersyukur ketika sedang berbunga, tapi rentan memaki ketika merasa terhimpit keadaan. Semoga kita dijauhkan dari tindakan demikian.

Terakhir, mengenal diri sendiri akan memudahkan kita untuk mengenal dan memahami orang lain. Takkan ada rugi dari upaya untuk mengenal diri sendiri, sebab setiap kita adalah tokoh utama dalam drama kehidupan yang kita lalui ini.


Sumber Gambar

Ditulis di Bandung,
pada 9 Rajab 1442 H
21 Februari 2021

Wednesday, November 18, 2020

Langkah

 Pembacaku yang baik,
kamu pernah menasihatiku pada suatu hari.

Masih ingat?


Kamu bilang, kadang kita butuh jeda.
Sebab seperti susunan kata, ia akan sulit bermakna jika tak ada jarak.

Ya, serupa jarak pada kata, jeda pun demikian.


Jeda, artinya kita berhenti sejenak.
Kita melihat ke belakang sebentar,
kemudian kembali melihat ke depan.

Bukan apa-apa, hanya saja untuk memastikan,

Apakah langkah kaki kita masih mengarah pada satu tujuan?
Apakah napas kita masih berembus pada ruangan yang tepat?


Begitulah.
Kadang kita terlalu keras,
juga kadang terlalu lunak.

Padahal seperti yang kamu bilang,
kita semua barangkali butuh jeda.

Sebab kita manusia.


Pembacaku yang baik.
terima kasih.

Mari melaju lagi!
Semangat.

Semoga langitmu semakin menyenangkan. :)



Ditulis ketika hujan,
Riz.