Wednesday, February 7, 2018

Menyukai Hujan dengan Bijak

Perjalanan Jakarta-Bogor kali ini terasa lebih panjang dari biasanya. Meski dengan senyap kantuk sisa perbincangan tadi malam dengan seorang teman, namun cuaca yang sedang agak ‘genit’ bulan ini rupanya jadi warna tersendiri. Cerah, kemudian hujan. Cerah lagi, kemudian hujan lagi. Aku baru saja kemarin mendapat kabar ada longsor di daerah Puncak. Grup keluarga besar kami sempat dibuat ramai oleh sebab salah satu sepupuku yang tengah PKL di Cipanas. Juga baru kemarin, berita soal banjir di Katulampa. Tentang aliran sungai di Bogor yang siaga 1 dan dikabarkan agar warga Jakarta bersiaga akan kemungkinan banjir kiriman. Lalu pagi tadi Pasar Parung digenangi air mengalir. Pertama kali aku kembali ke Bogor dengan disambut hujan yang sedemikian deras.

Aku adalah penyuka hujan. Barangkali orang-orang terdekatku tahu akan hal itu. Tapi beberapa waktu belakangan, entah kenapa, mendengar hujan seringkali membuatku takut. Yah, mungkin aku hanya sedikit paranoid akibat gempa yang pernah menyapa tiga hari berturut-turut. Lalu suara hujan menjelma jadi agak berbeda dari biasanya. Selain karena bunyi seng di dekat rumah yang membuat aksen badai tiap hujan turun, rupanya ada ketakutan yang muncul dari dalam diriku sendiri. Bagaimana kalau suatu waktu aku diuji dengan apa yang aku sukai?

Kamu suka hujan. Meminta supaya turun hujan. Tapi sampai kapan kamu membabi buta? bahwa pada kenyataannya, tidak pada semua kondisi manusia mengidam-idamkan hujan.

Aku seperti takut pada keputusanku sendiri untuk menyukai hujan. Aku takut menyukainya dengan tidak bijak.  Meski alasan-alasanku bicara bahwa kesukaan padanya berangkat atas kabar gembira bahwa waktunya adalah waktu yang mustajab untuk berdoa. Juga alasan bahwa suara rintik dan bau petrichornya yang memenangkan. Tapi barangkali aku harus sering-sering mengoreksi ulang. Kesukaanku pada hujan, apakah alasannya masih berada pada tempat yang tepat? ataukah jangan-jangan sudah melenceng sedemikian rupa tanpa aku sadar? Sebab bukankah seseorang akan senantiasa diuji dengan sesuatu yang ia cintai?

Mungkin aku memang harus belajar untuk menyukai hujan secara bijak; menyukai sesuatu sesuai dengan porsinya. Agaknya aku setuju pada mereka yang mengatakan bahwa pembeda antara kanak-kanak dengan orang dewasa adalah tentang kebijaksanaan menyikapi segala sesuatu. Dan, boleh jadi termasuk urusan sepele seperti ini.

Belajar mencintai dengan bijak. Bukan cinta yang buta, tapi cinta yang cerdas penuh rasa dan logika. Cinta yang membawa maslahat. Cinta yang jernih, tidak ditutup bumbu-bumbu noda. Lalu hari ini, aku menemukan kembali rasa tenang memandang hujan, setelah sekian lama terlampau lupa dan ketakutan.

Alhamdulillah.

Sumber

06/02/2018
Pada perjalanan menuju Bogor untuk bimbingan tugas akhir.