Sunday, January 26, 2014

Surat Peringatan


Merapihkan kamar selalu saja menjadi ajang nostalgia bagi saya. Pasalnya, banyak benda-benda kenangan yang tersimpan di dalam kamar. Termasuk surat-surat 'berharga' semisal surat di atas. Kemarin, saya membaca surat tersebut untuk ke sekian kalinya, dan tersenyum, lantas tertawa. Haha. Saya jadi semakin mengerti bagaimana dahulu saya tersiksa rindu, begitu merindukan masa Tsanawiyah. Schoolsick syndrome, begitu saya menyebutnya. Bagaimana tidak, teman-teman saya so sweet sekali. :))

Surat di atas saya peroleh pada suatu sore. Tahu-tahu ada di dalam tas hitam ke abu-abuan milik saya. Tahun 2008, ketika saya tengah aktif menjadi Badan Pengurus Harian OSIS di Tsanawiyah. Sebenarnya saya lupa bagaimana cerita lengkapnya. Hanya saja, surat ini dilayangkan pada saya karena hari itu, ada dua orang kawan yang mengajak saya 'bermain' di kelas sementara saya harus turun ke lapangan; menjalankan salah satu tugas sebagai pengurus OSIS, mempersiapkan kesiapan petugas untuk pelaksanaan upacara. Harus turun, dan saya tidak punya pilihan lain. Meski sebenarnya peran saya saat itu tidak begitu berarti, tapi saya harus turun. 

Simsalabim, surat peringatan itu mendarat sore harinya. :D

Membacanya sekarang, sekitar lima tahun setelah surat itu ditulis, kertas itu masih terlihat bagus. Sobekan buku Sinar Dunia, tinta hitam, garis-garis coretan. Melihat gaya tulisannya, saya tertawa sendiri. Anak Tsanawiyah. Sederhana, polos, cerdas, menggugah, dan yang utama: jujur. Bahasanya jujur sekali. :) Kau benar, Kawan. Hari akan berlalu sangat cepat, dan tak terasa kita sudah sampai pada titik ini. Ketika surat-surat kita menjelma indah menjadi memori.

_______________
_________________________________
Kau mungkin takkan pernah menyadari, betapa seseorang begitu mengingatmu. Betapa seseorang mengingat setiap lontaran kata yang Kau lisankan, sesederhana apapun itu. Kau boleh jadi tak pernah tahu, boleh jadi tidak peduli. Namun sungguh, bagi seseorang, hal itu sama sekali bukan masalah. Ia tak peduli apakah Kau ingat atau tidak. 
Seseorang itu sudah cukup bahagia untuk mengingatmu;
bahagia untuk pernah mengenalmu. :)
______________________________________________


Ah ya, satu lagi yang membuat saya tergelitik. "Satu kata buat kamu..." sebagai pembuka surat itu, tapi nyatanya ada banyak kata disana. :P Haha, Kawan, bahkan Kau mampu menghiburku hingga detik ini. Terimakasih. :)

Wednesday, January 22, 2014

A Lil Things About Nature

Someday, my sister happily called me and showed me her writing. Written by silver spidol on a black page, it was a kind of poem with no title. I read it and  smiled automatically -especially after i finished the last sentence-. Here is the poem. :)


Tuesday, January 21, 2014

Sebuah Tanah Berjuta Craz


Inspired by my millionsstoriesland,
this one made for Bahasa Indonesia task 

given by my extraordinary teacher; 
Mr. Rapiq. 
Thanks, Sir. Jazakallahu khair. :) 
__________________________________
Ini hanyalah sebuah fiksi.

__________________________________


Sejujurnya, aku tak tahu harus mulai dari mana. Kurasa hal yang sama juga dirasakan oleh sebagian besar mereka yang hendak mengisahkan ini. Oleh sebagian besar mereka yang mendapat kesempatan untuk mengetahui sisi ini lebih dalam. Dan aku termasuk ke dalam mereka. Kusebut ini sebuah kesialan yang menguntungkan.

Baiklah, dimulai dengan satu buah pertanyaan; kau tahu Insan Cendekia?
_________________________________________________
INSAN CENDEKIA
Sebuah Tanah Berjuta Kisah Craz
_________________________________________________

Aku sungguh mengutuk keadaan. Semua ini benar-benar di luar perencanaan. Mana yang katanya institut pendidikan paling maju seantero negeri? Ternyata seperti yang kuduga sebelumnya, semua ini hanya tentang bualan semata. Omong kosong yang sudah merakyat. Insan Cendekia. Sukses memecahkan rekor dalam hidup yang mampu membuatku mengutuk seharian penuh, seminggu penuh, sebulan penuh, setahun penuh. Penuh. Kepalaku sukses penuh oleh kutukan-kutukan. Tempat ini benar-benar memuakkan. Bagaimana tidak, manusia-manusia yang hinggap disini begitu datar menjengkelkan. Pandangan tajam, dingin, berbuat tanpa berkata, tidak ramah sama sekali. Itu ada dalam satu periode. Pada periode yang lain mereka terlihat sangat bersahabat. Menyapa, tersenyum, dan menanyakan kabar. Dua fase ini yang benar-benar membuatku naik darah. Dan sialnya, secara tak sadar, tahu-tahu aku terbawa pada rutinitas itu. Seperti manusia yang tak memiliki identitas, tak memiliki karakter jelas. Mengerikan.
Kutukan-kutukanku semakin bertambah mengingat institut ini dilindungi oleh sebuah materi super yang selalu mampu mengekang siapapun yang mulai berani membangkang atas hukum-hukum yang berlaku. Kondisi ini semakin membuatku gila akan keadaan kontradiktif yang menjemuhkan. Pernah aku berniat untuk kabur, membawa segala perbekalan untuk segera terlepas dari institut menjengkelkan ini. Kandas. Aku bahkan tak mampu melanjutkan perjalanan lebih dari lima langkah. Materi super itu terlalu menyilaukan untuk kulawan. Aku tahu aku takkan mampu. Dan aku semakin jengkel, semakin muak mengingat betapa lemahnya aku.
Satu tahun pertama berlalu dengan kesibukan-kesibukanku untuk mengutuk. Mencoba memahami meski hasilnya aku tak pernah paham. Semuanya tak berubah. Kau pernah membayangkan, orang yang baru saja menyuguhimu minum, sepersekan detik berikutnya lantas menendangmu hingga terjungkal? Kau sebut apa keadaan itu selain sebuah kegilaan? Ironisnya, kegilaan-kegilaan itu lantas berubah menjadi sebuah kenormalan karena aku mengalaminya setiap hari, menjumpainya setiap saat, terbiasa akan fenomena itu. Tapi aku ini hanyalah seorang biasa yang dituntun oleh hukum alam. Mau tidak mau, sadar tidak sadar, ketetapan itu berlaku. Aku masuk dalam sebuah rutinitas gila. Rutinitas anomali di tempat yang kusebut ‘sebuah tanah berjuta kisah’; Insan Cendekia.
 Setidaknya, tercebur dalam kebiasaan mengutuk membuatku sadar bahwa hukum Gossen itu benar-benar berlaku. Aku mengutuk kejenuhan hingga merasa jenuh oleh kutukan itu sendiri. Ah, manusia memang mudah bosan. Tak seperti kucing besar abu-abu di tempat ini, yang tak bosan-bosannya menunggu siapapun untuk segera selesai makan dan berharap mendapat sisa-sisa konsumsi manusia. Mungkin itu yang disebut soal akal. Entahlah. Berawal dari perjalananku mengelilingi tanah ini, -sebuah pelarian, sebenarnya. Saat itu aku tengah diburu oleh seorang petugas kebun dengan mesin pemotong rumput di tangan kanannya- aku menemukan tangki air di dekat taman bagian depan institut ini. Tangki itu berwarna biru yang awalnya kukira bertuliskan ‘EXOEL’. Tapi ternyata setelah kucoba naik ke atas dan melihatnya lebih dekat, tangki itu bertuliskan ‘EXCEL’. Bagian yang ingin aku tekankan tentu bukan pada persoalan tulisan di tangki. Tapi di sanalah aku memulai fase baru dari kehidupanku di tanah berjuta kisah ini. Fase baru setelah aku takjub akan pemandangan yang dapat kulihat dari posisi di atas tangga tangki itu; komposisi bangunan yang membentuk letter huruf bertuliskan ‘Insan Cendekia’ dan dapat dibaca secara bolak-balik, sisi atas-bawah, atau yang biasa dikenal dengan istilah ambigram. Ya, sebuah fase baru; bertanya. Lebih dari sekadar mengutuk, kini akumulasi kutukan-kutukanku mulai kudaftar dalam bentuk pertanyaan. Awalnya, aku pesimis untuk bertanya, mengingat penghuni tanah ini begitu labil. Begitu tidak terdeteksi kapan aku bisa melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab. Tak mungkin aku bertanya pada alam, berharap memiliki kekuatan magic untuk mampu berbincang dengannya. Maka kumulai pertanyaanku dengan menghampiri seorang lelaki paruh baya yang biasa duduk di pojok perpustakaan. Setahuku, dia penghuni baru. Dan aku yakin kelabilannya belum menjadi soal. Setidaknya sampai satu bulan kedepan.
“Permisi, Tuan.”
“Ya?” jawabnya agak tersentak sambil setengah membungkukkan badan. Kulihat tubuhya tinggi kurus dengan sebuah topi coklat menutupi sebagian kepalanya.
“Boleh aku bertanya?” kumulai percakapan itu sedatar mungkin, senormal mungkin. Meski enggan, kuakui tanganku bergetar untuk memulai perbincangan ketiga selama satu setengah tahun belakangan.
Tentu.” jawabnya singkat. Garis-garis wajahnya menyiratkan kelelahan panjang. Bagian bawah matanya terlihat menghitam seperti orang yang tidak pernah tidur. Baru pertama kali aku memperhatikannya, ada beberapa noda kehitaman lain yang menghiasi wajah bening lelaki paruh baya itu.
“Ada apa dibalik fenomena itu?” tanpa basa-basi. Kuarahkan jari telunjukku pada dua orang perempuan yang beberapa waktu lalu baru saja membuka buku, hendak belajar bersama. Tapi sekarang justru berjauhan, bahkan saling mencibir..
“Namamu?” tanpa kuduga, lelaki paruh baya di hadapanku justru menatap tajam. Menyelidik, menegerutkan dahi. Menanyakan siapa gerangan namaku.
“Ng.. nama?” aku ragu. Belum pernah aku memperkenalkan diri secara langsung selama berada di tempat ini.
“Ya, beritahu aku namamu dan aku akan beritahu Kau tentang apa yang mengganggu pikiranmu.”
“Ini.” Kutunjukan kartu pelajar milikku, menunjukkan namaku pada lelaki itu. Sejenak ia melihat wajahku. Memastikan bahwa aku benar-benar yang tertera pada kartu pelajar itu. Tanganku masih terjulur.. Berharap episode kutukanku akan memulai titik cerah. Berganti dengan episode baru.
***
Tahun kedua, entah bagaimana aku mulai dapat mengerti siklus harian para makhluk anomali yang hinggap di tanah ini. Meski mengertiku masih jauh dari paham, namun paling tidak berbincang dengan mereka bukan lagi hal yang sebegitu menjengkelkannya. Yah, mampu berbincang selama lima menit saja sudah benar-benar mengagumkan. Karena lebih dari itu, aku harus siap menanggung resiko. Entah diacuhkan, entah ditatap sinis, atau yang cukup ekstrim; ditendang. Tentu saja. Aku pernah ditendang. Berkali-kali. Yang paling sering melakukannya adalah Razba. Pemuda berkacamata itu yang paling sulit ditebak siklusnya. Kuhitung-hitung, sudah lebih dari lima puluh kali aku ditendang olehnya. Tahun pertama, tentu aku masih mengkal tak karuan. Kutarik kacamatanya secara paksa usai ia menendangku dengan keras untuk pertama kalinya. Dia pikir aku ini makhluk apa, hah?! Kau tahu? Bagian paling menjengkelkan adalah ketika ia justru tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku. Lantas menyodoriku segelas teh lemon dingin yang sudah berkeringat. Sungguh gila. Seumur hidup aku tak pernah membayangkan akan berperilaku seperti itu. Berbincang dengan seseorang, berbaik hati, semenit kemudian menendangnya tanpa sungkan, lantas menolongnya dan menyodorinya minum.
Lain lagi dengan Kaia. Sebenarnya Ia tak terlalu mengganggu. Hanya saja sangat tidak masuk akal setiap hendak masuk atau keluar ruangan kelas. Kaia akan menghantamkan kepalanya di pintu setiap kali pelajaran usai, dan akan menedang pintunya keras-keras setiap kali memasuki ruang kelas. Awalnya, kupikir ini semacam penyakit kejiwaan. Tapi ternyata tidak. Kaia terlihat normal pada kesempatan lain. Ia bahkan masuk pada urutan nama peraih olimpiade tingkat bumi tahun ini. Selain itu, Kaia tidak berperilaku sama pada semua pintu. Ada dua pintu yang tidak pernah ia perlakukan seperti itu. Belakangan aku tahu Kaia hanya menendang dan menghantam kepalanya ketika menemui pintu yang bergaris sembilan dan sedikit transparan. Anomali. Dan secara alamiah aku mulai mengerti kapan aku bisa berkata, bertanya, dan kapan aku harus bersembunyi di loteng Gedung Serba Guna, atau naik ke atas tangki air untuk menghindari kegilaan para penghuni tanah ini. Sehari minimal satu kali.
Kau mungkin bertanya-tanya bagaimana bisa aku terus membicarakan soal penghuni tanah ini, seakan-akan aku tak termasuk di dalamnya. Kuberitahu, bahwa kurasa semua orang yang tinggal disini mengalaminya –hanya saja dalam bentuk dan soal yang lebih bervariasi-. Aku baru saja tahu tentang fakta ini pada tahun ketiga. Setelah perbincangan-perbincangan singkatku dengan lelaki pojok perpustakaan. Perbincangan-perbincangan singkat, karena ternyata ia adalah penghuni lama. Hanya saja sebelumnya ia bertugas sebagai penjaga studio di Gedung Serba Guna sebelum akhirnya dipindah ke perpustakaan. Dan otomatis, lelaki paruh baya itu pun juga bertingkah gila. Lima menit sekali, dan aku akan menemukannya berdiri di atas rak buku, atau memaki kursi yang didudukinya. Tapi, yah, paling tidak aku mendapat cukup banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah kudaftar. Dan lambat laun aku sedikit tahu tentang fenomena gila yang aku jumpai di tanah ini.   
“Hei, Razba. Kau ingat pernah menendangku?” tanyaku suatu hari pada Razba
“Tidak. Kapan?” ia tersenyum ramah. Aku menelan ludah.
“Lima detik yang lalu, kau menendangku untuk yang ke tiga puluh lima kalinya.”
“Tidak. Aku bersumpah tidak pernah menendangmu. Sungguh.” Razba menggelengkan kepalanya cepat. Alisku mengangkat secara otomatis. Bagaimana mungkin dia tidak ingat sama sekali? “Kau tidak percaya? Kau bisa tanyakan pada siapapun. Aku tak pernah menendangmu.” Razba menatapku yakin
Kau tahu apa yang terjadi? Sedetik kemudian Razba kembali menedangku untuk yang ke tiga puluh enam kali. Persis setelah ia membuat pengakuan kalau ia tak pernah menendangku. Konyol? Ya. Bukan cuma sekali aku mendapati percakapan aneh semacam itu. Dan yang lebih aneh adalah bahwa apa yang dikatakannya itu benar. Aku bertanya banyak orang dan tak ada yang mengaku pernah melihatku ditendang olehnya.  Lantas aku mulai merasakan sensasi mengasyikkan atas semua kejadian aneh di tanah ini. Lelaki pojok perpustakaan yang kudatangi tiap satu minggu dua kali itu kerap memberitahuku apa-apa yang hampir membuatku gila permanen. Hiperbola? Tidak juga. Berlebihan? Kukatakan ‘ya’.
Tumpukan pertanyaan yang terus berputar-putar dalam benak mengantarkanku untuk sering mengunjungi perpustakaan. Secara alami aku tahu persis posisi dan letak semua komponen perpustakaan, bahkan hingga tempat penyimpanan rahasia sepatu cadangan milik si pustakawan. Pustakawan  itu selalu siap sedia sepatu cadangan. Berjaga-jaga kalau hari hujan dan sepatunya basah. Aku tahu, Dia selalu ingin tampil necis. Tapi yang paling menarik adalah Pojok Arsip. Kalau Kau memasuki perpustakaan tanah ini, Kau cukup berjalan lima langkah, menghadap kiri, berjalan tiga langkah ke depan dan mulai memasuki lorong sebelah kanan hingga Kau menemukan sebuah papan bertuliskan ‘Pojok Arsip’. Di sanalah aku mengetahui banyak hal. Tentang sejarah institut ini, tentang fenomena aneh para penghuninya, tentang jawaban segudang pertanyaan ‘mengapa’. Dan Pojok Arsip benar-benar membuatku kagum akan semua fenomena gila itu.
Data-data yang aku peroleh benar-benar menakjubkan. Tapi ada satu informasi yang ternyata menjadi akar dari semua fenomena gila yang terjadi di tanah berjuta kisah ini; craz. Jangan tanyakan Aku soal apa itu craz, karena sampai saat ini pun aku belum megetahuinya secaa jelas. Sejauh yang aku mengerti, craz adalah apa yang selama ini kusebut tindak anomali. Jadi, denah institut ini sebenarnya mengandung kode-kode yang menyatakan keanomalian sifat para penghuninya. Dan ternyata keanomalian seperti menendang atau menghantam pintu bukan hanya terjadi pada Razba dan Kaia. Mereka berdua hanyalah generasi ke sekian yang berperilaku sama. Setiap penghuni tanah ini memiliki yang berbeda satu sama lain dan tergambarkan seutuhnya pada denah institut ini. Semua penghuni tanah ini dipastikan memiliki craz. Hal ini kudapati melalui Pojok Arsip secara valid dan akurat. Ada daftar rentetan nama penghuni tanah ini disertai craz dari masing-masing mereka.  Lebih dari itu, bahkan masing-masing craz ini didefinisikan secara mendetail pada Halaman Identifikasi yang terdiri dari lima puluh ribu halaman terhitung sejak enam belas tahun yang lalu. Menakjubkan. Sungguh. Bahkan ada macam craz lebih gila yang tidak kudapati selama dua setengah tahun belakangan; memasuki layar, bersayap ketika hujan, mengamuk lima kali setiap detik. 
Bukan hanya Kau, saat itu aku pun bertanya-tanya craz macam apa yang aku miliki. Sempat terfikir, jangan-jangan tim penyeleksi ujian masuk institut ini luput untuk memperhatikan namaku, atau mungkin aku ini objek nyasar. Karen jujur saja, aku merasa paling normal. Dan bergidik ngeri setiap makhluk-makhluk disini bertindak anomali; menunjukkan craz mereka. Kutatap satu persatu deretan nama yang tertera dalam Buku Besar Data Craz itu, tapi tak kutemukan namaku. Tak mudah, memang. Mengingat banyaknya jumlah halaman yang tertera. Setengah miliar halaman. Tapi semua itu tak terasa memberatkan mengingat aku sedang mencari tahu, terlebih mencari tahu tentang diriku sendiri. Dan waktu pun berlalu. Sayangnya, tidak ada. Aku tidak menemukannya dimanapun setelah empat puluh delapan jam berkutat penuh dengan semua arsip mulai dari kertas yang telah menguning hingga kertas yang masih jernih berwarna putih bersih. Tak ada namaku disana. Jujur saja, sebenarnya aku kecewa. Tapi yah, apalah itu yang dinamakan craz. Aku bahkan tak mengenalnya sebelum ini.
Hari sore, jadwalku menemui lelaki pojok perpustakaan. Aku mengadukan perihal diriku yang tidak terdaftar dalam Buku Besar Identifikasi Craz. Awalnya ia kaget setelah kukabarkan bahwa aku telah mengecek buku enam puluh lima ribu lembar halaman itu sebanyak tiga kali sebelum aku pasrah dan membuat konklusi bahwa namaku memang tak tertera disana. Sejurus kemudian, lelaki itu tertawa hingga giginya kelihatan. Senyum pertama miliknya  yang berhasil kutangkap –atau mungkin memang itulah senyumnya yang perdana-.  Diam-diam kulirik jam tangan milikku. Lima menit lagi, lelaki di hadapanku akan menunjukkan craz-nya. Dia kerap menekuk alis dan naik ke atas rak buku di sebelah barat setiap sore. Setiap pustakawan necis itu hendak merapihkan buku-buku yang berserakan ulah para pengunjung perpustakaan.
“Kenapa tertawa, Tuan?” Aku melambaikan tangan kananku tepat di hadapan wajahnya.
“Haha, tidak. Kau bukan yang pertama.” Ia menepuk pundakku tegas. Aneh. Tidak serius seperti biasanya. Sore ini lelaki itu terasa lebih bersahabat.
“Maksud Tuan?”
“Selamat, Nak. Ada banyak hal yang belum aku dan Kau ketahui. Seperti halnya persoalan craz ini. Beruntunglah karena kau memiliki craz luar biasa. Craz langka.” Tiba-tiba ia berjalan melewatiku. Memintaku untuk mengikutinya.
“Mau kemana?” Ujarku sambil melirik jam tangan. Empat menit lagi, dan aku akan kehilangan episode seru ini.
“Kau tentu tahu Pojok Arsip, kan?” Yang ditanya balik bertanya.
“Ya. Dari sana aku mencari tahu semua fenomena gila ini.” Aku pasrah. Mengikuti Lelaki di depanku berjalan menuju ruangan tempat si pustakawan biasa menatap layar komputer; mengerjakan apa yang biasa disebut pekerjaan.
“Tapi Kau pasti belum tahu Pintu Arsip.” Lelaki itu membalikkan badan. Tepat ketika kami berdiri di depan pintu ruangan si pustakawan.
“Pintu Arsip? Maksudmu pintu yang itu?” kutunjuk pintu coklat bertuliskan ‘Oui’. Sebuah kata Prancis yang artinya ‘ya’. Pustakawan necis itu memang kerap kali berkata oui. Pertama kali berjumpa, kupikir dia tak memiliiki kosakata lain selain kata asing singkat itu.
“Bukan. Ikuti aku.” Ia membuka pintu dan kami mulai menelusuri ruangan. Hal yang baru saja Aku ketahui adalah bahwa ruangan si pustakawan ternyata tak sekecil yang aku perkirakan. Meski aku tahu persis seluk-beluk perpustakaan, benar-benar tak sampai kepada tahap ini. Tahap dimana aku menatap sebuah pintu biru keemasan bertuliskan ‘Pintu Arsip’ dengan font yang membuatnya terlihat seperti pintu masuk gudang perkakas.
***
Tidak. Dugaanku tepat sekali. Ini sudah menit kelima sejak pertama kali kulirik jam tanganku sore ini. Dan benar saja. Lelaki itu mulai bertindak gila. Baru saja kami memasuki ruangan persegi yang bentuknya jadi terlihat seperti segi enam karena tatanan rak-rak buku di dalamnya. Dan tahu-tahu ia berteriak keras lantas berlari kencang ke luar ruangan. Mencari rak buku di sebelah barat ruang perpustakaan, kurasa. Seperti biasanya. Dan hening. Suara lelaki itu semakin hilang seiring kepergiannya. Kutarik nafasku pelan. Diam-diam bersyukur karena masih diberi hidup meski kuakui, aku hampir frustasi.
Fenomena di dalam ruang ini terasa lebih gila dibandingkan yang selama ini kuanggap gila. Lampu satu-satunya di dalam ruangan ini memekik sekali entah tiap berapa satuan waktu. Jam tanganku rusak karena hantaman bola basket yang tiba-tiba keluar dari sebuah tabung transparan di salah satu rak yang berderit setiap aku menyentuhnya. Dan yang paling buruk, aku terkunci dalam ruangan gila ini. Sedikit kusesali, kenapa tak kuikuti saja si lelaki pojok perpustakaan keluar dari tempat ini. Entahlah apakah ini karma, kutukan, atau hanya sebuah kebetulan yang menyebalkan.  Yang jelas, aku terperangkap.
Lima puluh dua jam, dan aku hampir mati kelaparan. Kehausan, lebih tepatnya. Bagaimana bisa tak ada yang menyadari bahwa aku terkunci di ruangan ini? Sementara rak-rak buku di tempat ini mulai bertingkah. Melayang-layang. Sebuah mesin berbentuk prisma aktif secara otomatis. Melalu definisi singkat yang tertera di bagian bawah mesin, kuketahui itu merupakan mesin peminimalisasi gaya berat. Belakangan kusadari bahwa ruangan ini memuat berbagai macam penemuan-penemuan ilmiah dari setiap generasi. Sejauh ini, yang kulakukan adalah membaca literatur-literatur, mencoba mencari tahu tentang apa yang terjadi. Sesekali kucoba mengoperasikan berbagai macam mesin yang ada di dalam ruangan bercat biru ini. Dan inilah hasilnya. Kutemukan satu unit komputer mini dengan layar berukuran 3x5 cm. Dapat kuoperasikan dengan password berupa sidik jari telunjuk sebelah kanan. Beruntungnya, komputer mini ini mampu menangkap sinyal wireless perpustakaan. Tak berfikir lama, aku segera menuliskan ini dan hendak menerbitkannya ke internet. Supaya ada yang membaca, supaya Kau membaca, supaya ada –siapapun- yang datang dan segera menolongku untuk keluar dari ruangan gila ini. Karena aku semakin gila usai membaca definisi yang tertera pada bagian bawah komputer mini yang kini sedang kugunakan.
Komputer Mini. Hanya dapat digunakan oleh jalur generasi murni yang mampu melihat fenomena craz dengan kasat mata tanpa menggunakan kacamata pendeteksi craz. Diperuntukkan bagi generasi murni yang berkeinginan untuk memiliki craz. Komputer Mini tersistem secara otomatis untuk men-download craz dan meng-upload-nya kepada generasi yang menggunakannya. Proses penampilan craz akan berlangsung dalam tiga tahap; satu jam untuk download , satu jam untuk upload, dan satu jam berikutnya untuk proses peng-install-an. Craz akan bekerja secara otomatis setelah tiga proses tersebut selesai.
Perhatian : Proses dimulai sejak generasi murni memasukkan password berupa sidik jari tangan kanan.

Sudah satu jam berlalu. Aku percaya dua jam lebih dari cukup bagimu untuk sekadar membuka pintu perpustakaan, meminta lelaki paruh baya untuk menemanimu ke tempat ini (tak perlu ragu karena lelaki itu selalu duduk di sebelah timur perpustakaan –kecuali jika craz-nya sedang kambuh-), dan menolongku untuk segera keluar melalui Pintu Arsip. Cepatlah, sebelum aku menjelma menjadi manusia setengah gila dengan memilki tindak anomali itu; CRAZ.

Kau pernah, mengalaminya?
Tentang kesialan yang menguntungkan.
***



Rizky Sahla Tasqiya
3200016
2012/2013

Jika Bukan Karena Cinta



Takkan sudi bumi dipijak

Takkan rela langit berarak

Jika bukan karena cinta


Berbaris rapi di pelataran

Jutaan titik melempar sapa

Menebar selamat

Meneguk wedang panas

Menyatukan suara

Berbaris di bawah angin

Bergaris

Mengikatkan simpul mati



Jika bukan karena cinta

Siapa peduli akan hamparan titik di muka bumi

Yang berdiri sendiri-sendiri

Berjalan tak saling peduli



Jika bukan karena cinta

Siapa peduli akan gerak sederhana yang tak lagi harmonik

Akan deru kendaraan yang kian berisik

Menghamburkan jutaan lirik



Siapa peduli?

Jika bukan karena cinta



Simpul ini sudah terlanjur mati

Buang segala toleransi lagi kompromi

Meski menyayat

Meski berat

Karena inilah cinta

Karena cinta bukan melulu soal kata

Bukan melulu soal rasa



Maka tanyakan pada udara

Partikel mana yang membuatnya bergerak

Maka tanyakan pada lautan

Angin mana yang mengantarkannya kepada pantai

Adakah jawabnya?



Duhai,  jika bukan karena cinta

Mana sudi aku menyebut dengan bangga

Inilah ukhuwah kita

Lingkaran yang terbentuk dari titik-titik cipta

Dimensi yang ada karena sang Maha

(Ditulis di Bogor, beberapa bulan yang lalu.)