Monday, November 6, 2017

The Secret Hero

The Secret Hero, begitu biasa kami menjuluki beliau. Bukan tanpa alasan, melainkan karena jika kamu meletakkan memo di atas meja piket pada Gedung G sekolah seperti ini  misalnya, “Assalamu’alaikum Pak.. Kamar 202 Z, pintu kamar mandi rusak. Terima kasih.” maka dapati pintu kamar mandi kamar 202 Z akan kembali normal sepulangnya dari sekolah. Beliau, salah satu guru terbaik kami, Pak Suhali. Ialah the secret hero itu.

Mungkin nyaris setiap anak memiliki kenangan khusus jika mengingat Pak Suhali. Bukan apa-apa, sebab beliau selalu menebar senyum. Pada sesiapa saja yang dijumpai, agaknya Pak Suhali selalu terlihat ceria dan kerap menghibur lawan bicaranya. Bagi saya pribadi, Pak Suhali adalah guru terbaik jika saja rutinitas sekolah tengah membuat bosan (kalau tidak mau dikatakan membuat kepala terasa berat. hhe). Pernah beberapa waktu saya mengecat pinggir jalan trotoar sekolah bersama Pak Suhali. Hiburan luar biasa. Meski bisa ditebak, hasil gores tangan saya jauh lebih berantakan daripada milik beliau.

“Nanti di rapot kamu nilainya nambah loh. Nilai ngecat!” begitu kerap Pak Suhali berujar. Bukan hanya sekali, tapi nyaris setiap bertemu saya, yang diungkit mesti persoalan cat dan rapot. Diam-diam saya sungguhan mengecek rapot. Hha. Kali saja benar ada nilai ngecat.

MAN Insan Cendekia merupakan sekolah berasrama yang menerapkan budaya salam antar civitasnya. Setiap berpapasan di jalan, di manapun, kami akan saling melempar salam. Termasuk kepada para guru, pak satpam, juga para karyawan, salah satunya Pak Suhali.

“Assalamu’alaikum, Pak,” ucap saya sambil membawa kotak eskrim kulit semangka hasil praktik untuk penulisan karya tulis ilmiah.

“Wa’alaikum salam!” jawab beliau bersemangat seperti biasa, “itu apa itu?” tanya Pak Suhali.

“Hehe.. ini es krim kulit semangka, Pak. Bapak mau coba?” saya menawari.

“Es krim kulit semangka?” beliau bertanya lagi. Kemudian, pada bagian ini, saya agak lupa. Namun seingat saya, Pak Suhali lantas mencicpi es krim kulit semangka. Ada beberapa yang tidak ditaruh di dalam kotak es krim, tapi dimasukkan ke dalam plastik. Sejauh yang saya ingat, beliau mencicipi dan mengatakan bahwa es krimnya enak. Sejak saat itu, setiap bertemu, sapaan beliau pada saya bukan lagi soal rapot dan cat. Yap, benar sekali. Melainkan soal es krim kulit semangka.

Saya lulus dari Aliyah pada tahun 2013. Alhamdulillah, pada bulan Januari tahun 2016, saya berkesempatan untuk kembali ke tanah berjuta kisah itu dengan judul agenda magang. Ya, jurusan kuliah saya mengharuskan mahasiswanya untuk menempuh magang, dan qadarullah saya magang di MAN Insan Cendekia.

Suatu ketika, ketika tengah magang, saya menjumpai Pak Suhali. Beliau sedang berjalan di dekat gazebo baru yang lokasinya tidak jauh dari tempat wudhu. Sungguh tidak banyak berubah. Beliau tetap bersemangat tersenyum, semangat menebar salam, dan semangat ketika berbicara.

“Assalamu’alaikum, Pak.”

“Eeeh kamu,” agaknya Pak Suhali mengingat wajah saya tapi tidak tahu siapa nama saya.

“Iya Pak, saya Riris angkatan 16. Yang bikin es krim kulit semangka Pak, hehe” mendengarnya beliau tertawa.

“Iya, iya! es krim kulit semangka ya,” sejenak bernostalgia.

Alhamdulillah. Selama belajar di Insan Cendekia, saya mendapat pemaknaan bahwa semua orang yang kita jumpai dalam hidup sejatinya merupakan guru. Begitu pula bagaimana saya memandang sosok Pak Suhali. Ada banyak hal yang saya pelajari dari beliau. Bukan hanya karena kenang-kenangan ngecat pinggir trotoar, menyapu jalanan samping gedung CSA, atau tentang es krim kulit semangka. Lebih dari itu, dari beliau saya belajar bagaimana menularkan energi positif pada siapa saja. Level saya masih jauh di bawah beliau, dan saya belajar untuk itu.

Kemarin, Ahad sore tanggal 16 Safar 1439 H (5 November 2017), saya mendapat kabar akan kepulangan bapak penebar senyum itu. Beliau meninggal dunia di RSUD Pasar minggu karena sakit akibat adanya kerusakan jaringan saraf di bagian kanan, yang berakibat luar biasa pada kondisi fisiknya. Mendapatkan kabar tersebut dari salah seorang guru, membuat saya nyaris tidak percaya. Sedih. Mengapa begitu tiba-tiba? saya bahkan tidak tahu-menahu bahwa beliau sakit. Padahal beberapa waktu lalu saya baru saja kembali berkunjung ke Insan Cendekia.

Qadarullah, segala sesuatunya berlangsung begitu cepat. Bahkan berdasarkan informasi, satu hari sebelumnya, beliau masih membantu berbagai kegiatan di area sekolah. Maha Besar Allah pemilik skenario yang menggenggam jiwa hamba-hamba-Nya.

Sayang, belum sempat saya berterima kasih atas segala inspirasi yang diberikan oleh Pak Suhali. Beliau adalah orang yang baik. InsyaaAllah. Semoga amal ibadah Pak Suhali diterima di sisi Allah. Aamiin allahumma aamiiin. Saya menyaksikan sendiri bertapa banyak dari kami yang berbelasungkawa atas kepulangan beliau. Bukan kepergian, melainkan kepulangan. Sebab bukankah pada hakikatnya, meninggal dunia merupakan momentum pulang bagi hamba kepada Rabb-nya? Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun...


Lantas, diri, apa kabar hari ini?

Kapan terakhir kali kamu mempersiapkan diri?

Kapan terakhir kali kamu mengingat akan mati?


Jalan yang pernah saya cat bersama Pak Suhali. Hitam-putih.


Ditulis di Kota Hujan
ketika hujan

pada Senin, 17 Safar 1439 H




Wednesday, November 1, 2017

Air Mail #10

Kata-kata selalu memiliki ruang. Ia bisa bicara. Ia bisa merasa. Ia bisa menerka. Aster yang baik, terima kasih telah mengajarkan padaku akan satu pemaknaan itu.

AIR MAIL

Jangan pernah memutuskan untuk pergi dengan alasan bahwa diri kita bukan siapa-siapa dan tidak berarti. Paling tidak, jika memang harus pergi, pergilah dengan alasan yang lebih bijak.

Bukan, itu bukan perkataanku, Aster. Itu adalah nasihat dari Nyonya Val. Kalau kamu ingat, sebenarnya Tuan Erdas juga pernah mengatakan hal yang sama. Hanya saja. usia kita—usiamu lebih tepatnya—dahulu mungkin masih terlalu dini untuk memahami seutuhnya apa makna dibalik nasihat hebat itu. Entah apakah kau masih ingat atau tidak.

***

“Rwazweeen!!!” kau meneriakiku dengan mulut penuh roti. Tangan kananmu berkacak pinggang. Aku tertawa.

“Makan yang benar! habiskan dulu!” aku balas teriakanmu dari jarak lima meter. Kau terkekeh. Nyaris tersedak.

“Ibwukhu... kahau diphanggil ibwukhu!!” mendengar kalimat itu, aku bangun dari duduk. Memberi isyarat tanya; apakah kamu sungguh serius? kau lantas mengangguk. Aku bersegera menuju rumahmu yang berpagarkan kayu.

Bagiku saat itu, tidak ada yang lebih menyenangkan dari dipanggil oleh seorang ibu.

***

Lambat laun aku belajar bahwa seringkali manusia terjebak dalam akal pikirannya sendiri. Padahal akalnya juga lah yang menyetujui bahwa ada begitu banyak soalan hidup yang berada di luar nalar-logika. Entah sejak kapan, aku jadi semakin banyak berpikir. Mungkin sejak mengenalmu. Atau sejak ditinggalkan olehmu. Bisa jadi, kan?

Kadang-kadang, aku tidak bisa membaca jalan pikiranmu. Aku juga tidak mengerti bagaimana menerjemahkan bahasamu. Bukan karena logat bahasa lokalmu yang entah mengapa terdengar aneh, melainkan karena mungkin aku hanya miskin rasa pada beberapa aspek yang telah kau alami. Seperti rasamu tentang ibu, misalnya.

Kau mengatakan bahwa ibumu adalah manusia yang dapat menyengatmu dengan listrik hanya dengan sentuhan jemarinya. Aku paham itu bukan makna denotasi, tapi saat itu aku sama sekali tidak mengerti maksudmu. “Razen, percayalah, ibuku punya kekuatan super. Dia bisa menyetrum ujung kepalamu dengan jemarinya. Ibu benar-benar bukan manusia biasa!” saat itu aku hanya tersenyum kecut mendengar perkataanmu. Kau memang aneh.

***

Kau terlalu sering bercerita tentang orang tuamu, Aster. Seolah-olah kau tidak tahu bahwa aku merindukan sosok orang tua. Dahulu mungkin aku lebih sering cemburu. Namun belakangan, aku menyadari, bahwa darimana lagi jika bukan dari cerita-ceritamu, aku dapat sedikit banyak memahami tentang hubungan seorang anak dengan orang tuanya? aku ingat saat itu, ketika kau mengabarkan bahwa ibumu memanggil, lantas menanyakan satu pertanyaan yang paling sulit untuk dijawab pada potongan episode masa kecilku.

“Razen,” ujar ibumu sambil membelai kepalaku, “maukah kamu tinggal disini bersama kami?”

Aku terkesiap. Pertanyaan itu diam-diam mengganggu puluh hari milikku berikutnya di panti.

***

Aster, hari ini aku semakin mengerti maksudmu. Jemari seorang ibu yang tulus sungguh-sungguh dapat menyengat. Benar katamu. Seperti listrik.


Ditulis ketika hujan menyapa bumi lagi,
pada Muharram 1439 H.


Razen