Friday, October 24, 2014

#thinkagain

Adalah seorang pemuda yang suatu ketika bertanya pada Tuhan. 

Tuhan,  dimanakah kau tempatkan aku pada ranah perjuangan? Sementara kawan-kawanku perlahan telah menemukan jalan juangnya masing-masing. Lantas bagaimana dengan urusan aku? Apa sungguh aku Engkau ciptakan untuk ‘sekadar’ menjadi penggembira pada kisah-kisah hidup orang lain?

Bahkan urusan sederhana seperti ini saja aku tidak becus, Tuhan. Bagaimana aku mendapat kesempatan meraih cita, jikalau kesempatan untuk aku berjuang saja Engkau ‘tiadakan’?

Hening sejenak.

Kemudian pemuda itu tersentak.

Ini adalah keadaan terhimpit. Keadaan dimana peluang dirasa sangat sedikit bahkan hanpir tidak mungkin. Bukankah justru keadaan seperti inilah saat yang tepat untuk berjuang? Inilah kesempatan emas itu. Memperjuangkan peluang sekecil apapun. Bukankah Tuhan sedang mengajaknya berbincang? Memberinya kesempatan untuk berjuang; untuk berlelah-lelah.

Dan benar saja, peluang kecil itu lunas terbayarkan menjadi satu. Bertubi-tubi, dalam durasi tidak lebih dari sekali putaran rotasi bumi.

Sungguh, terdapat petunjuk bagi orang-orang yang berfikir.

#thinkagain

Pada penghujung tahun 1435 H,




Friday, October 10, 2014

Air Mail #5



Aku.
Mencarimu di antara rindang pepohonan,
Mengamati tanda kedatanganmu dalam sayup-sayup bisikan pasir pantai,
Mengharapkan kehadiranmu di sela-sela barisan semut pagi hari

                Aster, kau masih ingat Tuan Erdas? paman yang kerap membekali kita sekeranjang stroberi setiap hari Rabu  itu kini telah tiada.



 AIR MAIL

                      
“Razen, kau itu terlalu sentimentil.Bisa tidak, lebih melogika sedikit? Bukankah kamu laki-laki?” Itu adalah deretan kalimat pembunuh nomor satu bagi seorang anak laki-laki.  Kau harus tahu akan hal itu, Aster.

“Sentimentil?”

“Iya,” ujarmu pelan.Matamu masih sembab. Kau baru saja menangis terisak sambil mengetuk-ngetuk pintu panti. Mencari kawan-kawanmu. Mencari aku, mungkin saja. Dan entah apakah itu keberuntungan atau sebuah kesialan, hanya ada aku dan para petugas di panti.

“Jangan bilang aku sentimentil. Kau yang baru saja menangis, Aster cengeng.”Aku beranjak meninggalkanmu dari lapangan bola. Bergegas hendak masuk ke dalam panti. Bukan jahat, hanya berharap agar kau meneriakiku seperti biasa, menyumpahiku sesukamu, lalu kau kembali normal. Tapi jujur saja, deret kalimatmu soal sentimentil sungguh membunuhku. Aku sedang demam tinggi, Aster. Bagaimana bisa kau tidak menyadari? Bagaimana bisa logikaku dinyalakan seratus persen, sementara pandangan mataku begitu buram, bahkan  untuk sekadar melihat sosokmu.

“Kenapa ditinggal?” tanyamu pelan. Masih terisak. Berusaha melempariku dengan rumput lapangan bola. Tindakan bodohmu yang baru saja aku jumpai. Hei, kau ini kenapa, Aster?

“Peduli apa? Aku sudah minta maaf, kenapa justru kau bilang aku sentimentil?” aku membelakangimu, berjalan terus masuk ke dalam panti. Kepalaku berat sekali. Diam-diam masih mengharap balasan ocehanmu. Tapi ternyata kau tidak berkata apa-apa lagi. Kau diam. Membiarkan aku pergi meninggalkanmu sendiri di lapangan bola.

**

“Assalamu’alaik. Permisi, Nyonya. Apa Tuan Erdas masih tinggal disini?”

“Erdas El-Ghuraba?”

“Ya, benar.Beliau masih disini?”

“Sayang sekali anak muda, satu bulan lalu anaknya menjemput beliau untuk pulang. Tubuhnya sakit-sakitan.”

“Pulang kemana, boleh saya tahu?”

“Ke pusat kota utama.Maafkan kami, tapi baru saja dua hari lalu ada kabar bahwa beliau telah tiada.”

“Tiada? Maksudnya beliau wafat?”

“Ya, sekarang kebun stroberinya dikelola oleh anak beliau.”

“Astaghfirullah. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun”


Aster, apa mungkin ini sungguh rencana Tuhan untuk memudahkanku dalam melupakanmu?
Atau, Tuhan hendak mengajariku untuk berdamai dengan masa lalu?

**

“Jangan minta maaf. Kau bahkan tidak tahu kenapa aku menangis, kan? Harusnya tidak perlu minta maaf. Itu yang membuatmu terlalu sentimentil. Berhentilah menjadi pahlawan, Razen.”

Kalau kau tanya apa deret kalimat pembunuh nomor dua, maka tuisanmu dalam memo itu, adalah jawabnya.

Aster, aku tahu kau yang teramat keras kepala. Tapi tidakkah kau menyadari satu hal mendasar? Rasanya sederet kalimat itu lebih cocok jika disematkan padamu, bukan padaku. Atau jangan-jangan kita memiliki kemiripan dalam hal ini? Pahlawan.

“Ayahku meninggal, Razen.”

“Apa katamu?”

“Kemarin aku menangis, ayahku meninggal.” Kau tertunduk pilu. Aku sungguh tertegun. Tidak tahu harus berkata apa.

“Maaf.  Aku sama sekali tidak tahu...”

“Tidak apa. Aku juga tidak tahu kau sedang demam tinggi. Maaf.” Kemudian kau memamerkan gigi. Nyengir. Sama sekali tidak indah, Aster. Kau menangis sambil tertawa. Pilu sekali. Diam-diam aku memaki diriku sendiri yang kemarin mengataimu cengeng. Sungguh, maafkan aku. Aku sama sekali tidak tahu.

Aku sama sekali tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang yang amat kita sayangi. Mungkin kalimatku lebih membunuh daripada milikmu, Aster cengeng…

**

Aster, kita hidup dalam kausalitas hidup yang idak berkesudahan. Sambung-menyambung. Suatu saat kita menjadi sebab, dan pada kesempatan yang lain kita akan menjadi akibat. Mungkin mengenalmu membuatku jadi begitu sentimentil. Maka saat itu kau menjadi sebab. Mungkin, perpisahan denganmu adalah jawab Tuhan atas doa sederhanaku yang meminta agar Dia menjadikanku seorang yang bergerak dinamis menjadi lebih baik setiap harinya. Dan saat itu, kau jadi bagian dari akibat. Namun memang, semuanya tidak sesederhana ini. Ada jejaring kausalitas yang saling menghubungkan kisah antar manusia. Ada rumusan rahasia yang membuat garis-garis kehidupan kita saling bersinggungan.

Tuan Erdas telah tiada. Padahal aku tengah dalam antusiasme tinggi untuk menyapanya. Padahal aku tengah begitu bersemangat untuk mengatakan, bahwa aku pun telah memiliki perkebunan juga seperti beliau. Padahal aku sungguh ingin mencium takzim tangan beliau, dan berterimakasih betapa ia telah mengajariku banyak hal, menjadi bagian dari sepotong masa kecilku yang indah. Mungkin kau benar, Aster, bahwa aku terlalu sentimentil.

Kau masih ingat, tumpukan surat yang kau simpan dalam kotak kayu berbunga? Aku terhenyak dengan kata-katamu pada salah satu surat yang kau tujukan untukku. 

Razen, setap kita adalah tokoh utama pada kehidupan kita sendiri. Bukan begitu? Apakah kau merasakan hal yang sama sepertiku, bahwa hidup ini seperti kumpulan perbincangan-perbincangan antara kita sebagai individu dengan Tuhan? Aku bersyukur untuk mengenalmu, Razen. Aku sungguh berterimakasih. Bukan kepadamu, melainkan berterimakasih kepada Tuhan.

Bahwa hidup ini seperti kumpulan perbincangan-perbincangan antara kita sebagai individu, dengan Tuhan. Kau benar, Aster. Ada skenario besar di balik semua ini. Lahir sebagai yatim-piatu, bertemu dengan kawan-kawan di panti, mengenalmu, menyapa ibundamu, kehilangan ayahmu, kehilangan kau, kehilangan Tuan Erdas, merasa sendiri, bertindak tidak rasional dengan mencari bunga aster di tanah yang kerap kita sebut-sebut sebagai tanah cinta. 

Aku baru memahami hakikat sederhana itu. Bahwa kita hidup di dunia adalah sementara. Mungkin inilah maksud dari pesan tentang dunia yang sungguh hanyalah fatamorgana belaka. Karena isinya semata-mata hanya sandiwara. Hanya ada percakapan antara kita sebagai individu, dengan Tuhan. Hanya ada ujian-ujian keimanan demi memasuki pintu abadi yang kabanya kekal. Mungkin kau hanyalah ilusi belaka, Aster. Begitupun surat udara ini. Kurasa ini adalah salah satu episode perbincanganku dengan Tuhan, yang sungguh menakjubkan.

Melepaskan dan dilepaskan. Meninggalkan dan ditinggalkan. Mengikhlaskan dan diikhlaskan.

Aku tidak pernah tahu rasanya kehilangan orang yang teramat kita sayangi, hingga pada satu titik ketika kehilanganmu mengajarkanku akan hal itu. Hingga mendapati Tuan Erdas  pergi, memberikan aku ruang untuk mengevaluasi diri. Mengikhlaskan dan diikhlaskan. Kalau aku seorang penuntut, mungkin aku akan menuntut Tuhan atas pilihannya membawa pulang Tuan Erdas tepat dua hari sebelum aku tiba di kampung halaman kita. Mungkin beberapa tahun lalu aku akan menuntut mengapa Tuhan mengajakmu pulang tanpa ada kalimat selamat tinggal yang lebih indah di antara kita. Terimakasih, karena aku telah diajari akan pemahaman baik itu. Pemahaman bahwa hidup ini semata-mata adalah tentang aku dengan-Nya. Tentang kita -sebagai indvidu- dengan Tuhan.

Aster, aku tidak hendak berterimakasih kepadamu,  atau kepada Tuan Erdas. Melainkan aku berterima kasih kepada Tuhan. Lantas jika dunia hanyalah fatamorgana, kepada siapa kita hendak melangkahkan kaki?

Aku.
Mencarimu di antara rindang pepohonan,
Mengamati tanda kedatanganmu dalam sayup-sayup bisikan pasir pantai,
Mengharapkan kehadiranmu di sela-sela barisan semut pagi hari

Kau.
Yang sejatinya tiada perlu kucari-cari
Selalu disini, begitu Kau berjanji.


Bukankah begitu, Tuhan?



 **

Ah, Aster. Mungkin kau benar.Mungkin aku yang terlalu sentimentil.
Jika berharap padamu pernah membuat aku terbunuh,
maka aku memilih berharap pada Tuhan.
Kalaupun aku terbunuh, bukankah kepada-Nya pula aku akan kembali?


Dzulhijjah 1435H, 
ketika gerhana baru saja menyapa sang bumi cinta.