Tuesday, May 13, 2014

Sabar

Tuan, ini petang kami yang terlewat
Ini malam kami yang jadi saksi tapak langkah berkawat
Perih
Bak rebusan air yang mendidih- berbuih
Tuan, sudikah kiranya menunduk sejenak saja?
Lihat, ini kami yang sedari dulu mengiba
Berharap Tuan berkenan sediakan waktu
Bukankah sudah cukup lama kami menunggu?
Adab kami diuji dalam memuji
Sampah dibuang hanya tinggal imaji
Pergi, lantas kembali lagi
Memuakkan
Biar seribu pinta sepuluh ribu jawab
Bukan
Bukannya Tuan banyak bicara
Kami tahu ada perkara
Namun bagaimanakah menafsirkan
Sementara kepala kami begini adanya?
Meski kabarnya kami ini telah sempurna
Diantara rakyat jelata pengemis lainnya
Tapi di hadapan Tuan, apalah daya kami semua?
Tak lebih dari tingkat mulia kerikil di hadapan bongkah berlian
Tak lebih dari jiwa kotor koruptor di hadapan jujurnya penjaja dagangan
Hina-dina yang mengadu dilingkup nestapa
Mentalitas kerdil yang jauh dari kelas kakap
Sampai diri pun enggan mengakui identitas
Maka lihatlah Tuan,
ini pagi kami yang terlewat
Yang jadi saksi tapak langkah kaki berkawat
Perih
Ironi meski mungkin tak sepedih tusuk belati
Meminta, namun tak juga sanggup memantaskandiri
Maka Tuan, sudikah kiranya Tuan menunduk?
Lihat, ini kami yang sedari dulu mengiba
Berharap Tuan perkenankan kami untuk menyediakan waktu
Meski lantunan harap masih jauh dari seribu gunung
Tapi kami tahu Tuan tahu,
Bukan begitu, wahai Tuan yang agung?

Ampuni kami, Tuan
Untuk hina-dina yang tak tahu diri ini
Mei 12th 2014

Saturday, May 10, 2014

Raise your Words


Bukan Ikhwan



Sudah saya katakan, saya sungguh bukan seorang pria, laki-laki, atau pun seorang ikhwan. Setampan apapun nama saya, tapi saya benar-benar seorang perempuan.
 
Nama saya Rizky Sahla Tasqiya. Nama yang saya benar-benar bersyukur menjadi pemiliknya. Nama pemberian kedua orang tua yang saya sayangi. Kalau kata ayah, arti nama saya kurang-lebih seperti ini; rezekinya mudah mengalir *allahumma aamiin* bukan tanpa sejarah, pemberian nama itu punya latar belakang yang cukup seru –setidaknya bagi saya, sang empunya nama. Tapi kisah sejarah itu tidak akan saya kisahkan disini. Mungkin lain waktu.

Dari tingkat MIN (setara SD), MTs (setara SLTA), MAN (setara SMA), sampai saya duduk di bangku kuliah, berbekalkan nama, maka saya kerap disangka laki-laki. Setiap awal absen kelas, misalnya. Guru-guru kerap menyebutkan nama saya yang tertera di absensi, lantas mencari sosok saya di deret bangku anak laki-laki. Padahal saya sudah mengacungkan tangan tinggi-tinggi, dan pada akhirnya sang guru ber-oh ria. Oh, ternyata perempuan

Ada juga kisah di bangku MTs. Saat itu saya memiliki teman satu kelas yang juga bernama Rizky, dia laki-laki. Beberapa kali pendataan, nama kami tertukar (kebetulan –meski tidak ada yang kebetulan- kata kedua nama teman saya ini juga berawalkan huruf ‘S’) salah satu contohnya, seperti ketika saya mendaftar sebagai anggota sebuah ekstrakurikuler yang notabene berisikan perempuan, bukannya saya, justru kawan saya itu yang dipanggil.

Ada lagi ceita yang cukup ekstrim (?) adalah saat saya memasuki sekolah MAN berasrama. Ketika melihat pengumuman di web online, pada kolom JK saya, tertulis ‘L’ yang artinya laki-laki. Salah tulis, mungkin. Ketika sampai di MAN berasrama itu, nama saya tidak terdaftar pada pembagian kamar di asrama putri. Meski akhirnya saya dipaksa masuk menjadi anggota salah satu kamar yang isinya baru tiga orang (satu kamar normalnya berisi empat orang). Suatu ketika teman saya dari MTs, yang sama-sama memasuki MAN berasrama tersebut menghampiri saya. Dia laki-laki.

Teman saya : “Ris, masa Lu sekamar sama gua.”
Saya : “Hah? Maksudnya?”
Teman saya : “Iya, di depan pintu kamar gua, ada nama Lu-nya. Terus kan anak kamar yang laen pada nyariin, ‘mana nih yang namanya Rizky Sahla Tasqiya kok gak dateng-dateng?’ Gua bilang aja, itu temen MTs gua. Dia cewe, bukan cowo.”
Saya : “….”

Saya fikir, kisah ketampanan nama saya cukup sampai disitu. Ternyata tidak. Bahkan di bangku kuliah, nama saya semakin terdengar tampan –rasanya. Seperti ketika saya hendak mendaftar salah satu keorganisasian yang dipayungi Lembaga Dakwah Kampus. Pendaftaran a’la mahasiswa, via SMS. Saya tidak terlalu ingat bagaimana format SMS-nya. Yang jelas, disana saya diminta menyebutkan nama dan juga angkatan. Tidak beberapa lama, saya mendapat balasan SMS seputar informasi kegiatan terdekat yang harus saya ikuti, beserta informasi Contact Person (CP) yang bisa saya hubungi kalau-kalau saya butuh tempat untuk bertanya terkait kegiatan tersebut. Ganjilnya, si pengirim SMS hanya mengirimkan CP Ikhwan kepada saya. 

Saya : “Afwan, Kak. Mau minta CP akhwatnya,”
Pengirim SMS : “Afwan Dek, buat apa ya?”

Dan saya gak ngerti lagi mesti bilang apa-bagaimana. Mungkin saya dikira ikhwan ganjen kali, ya. –‘ pakai minta-minta CP akhwat segala.

Saya : "Maaf, tapi saya akhwat, Kak :D"
Pengirim SMS : “Oalaaah, afwan dek, ini CP akhwatnya 08*******”
Saya : “Sip makasih Kak.”

Coba jawab, apakah nama saya sebegitu terdengar ganteng? :D

Bahkan yang belum lama terjadi, suatu ketika ada yang mengirmkan SMS pada saya. Ikhwan. Saya tidak tahu siapa, tapi mengaku sebagai anggota dari organisasi yang sama dengan saya. Saat itu, ia meminta saya untuk memberikan soft file video publikasi sebuah acara, (yang pada saat itu memang hanya saya yang memiliki soft filenya).

Orang itu : “Assalamu’alaikum Rizky, saya *** dari ****. Mau minta video publikasi acara, bisa gak?"
Saya : “'Alaikumussalam, iya bisa. Mau ambil kapan?”
Orang itu : “Kalau antum bisanya kapan, Akh?”
Saya : “Sore ini saya ada radiv, sekalian aja ya”
Orang itu : “Sore ini saya gak bisa, kalau minta tolong teman saya boleh?”
Saya : “Ya, silahkan”

Sorenya, rapat divisi, dan saya tidak menemukan tanda-tanda kemunculan orang yang mau minta video. Maka, saya menitipkan video publikasi pada ketua divisi saya yang merupakan seorang ikhwan, berharap video itu bisa sampai pada si peminta dan ditayangkan malam itu juga di gedung asrama ikhwan.

Saya : “videonya udah dititipke ***, nanti ambil aja ya. Kenal kan?”
Orang itu : “iya kenal, makasih ya”
Saya : “Yap. Ini nomer orangnya, dikontak aja 08********”

Selang waktu yang cukup lama, orang itu kembali mengirimkan SMS. Saya kira, videonya sudah sampai dan telah dipublikasikan ke civitas asrama ikhwan. Jam juga sudah menunjukkan setengah sepuluh malam. Tapi ternyata, peminta video belum menerima pesanannya.

Orang itu : “Ky, saya SMS dia gak bisa-bisa. Kalau minta videonya sama antum aja bisa gak?”

Lewat jam malam, tapi saya fikir ini darurat.

Saya : “Coba dikontak lagi, harus diputer malam ini kan?”
Orang itu : “Iya malam ini, kalau minta sama antum aja bisa?”

Saya kembali melirik jam. Bahkan ini sudah lewat jam malam yang seharusnya SMS-pun tidak boleh. Apalagi ketemu untuk ngasih video. Tada!, saya baru menyadari bahwa (mungkin) saya sungguh-sungguh dikira ikhwan oleh orang itu. Sapaan‘akh(i)’ siang tadi rupanya bukan salahketik.

Saya : “Afwan, gak bisa. Saya lagi di astri.”

‘Sayalagi di astri’(astri=asramaputri) rasanya cukup untuk menjelaskan, bahwa saya tidak tinggal di astra, dan artinya saya bukan ikhwan. Kemudian tidak ada balasan lagi~ :D

Saya tidak pernah melakukan hal aneh ini sebelumnya -mungkin. Tapi entah kenapa, mengulas balik kejadian-kejadian lucu seputar nama, membuat saya memerhatikan nama saya dalam beberapa menit. Mencari-cari letaknya, bagian mana yang membuatnya terlihat-terdengar begitu tampan (?). o_o

Ayah saya bilang, Bagian ‘Rizky’ dan ‘Sahla’ memang biasa dipakai untuk anak laki-laki, tapi ‘Tasqiya’ itu menunjukkan nama perempuan. Diluar nama panjang saya, saya kerap dipanggil 'Riris' (meski sampai saat ini saya pribadi masih kesulitan menyebutkan nama panggilan  sendiri :D), atau cukup singkat; ‘Riz’. Sapaan akrab yang diawali oleh teman-teman terdekat saya semasa tsanawiyah. Sekarang, entah bagaimana terjadi bias dalam penulisan. Bukan Riris, tahu-tahu nama saya ditulis jadi 'Ririz’ (entah siapa yang memulai –yang jelas bukan saya-, tapi rasanya ini agak alay. Hhe, sesekali saya luruskan, bahwa yang benar itu ‘Riris’atau ‘Riz’)

Maka untuk teman-teman, lebih waspada lagi terhadap nama seseorang. Jangan mau tertipu, jangan mudah menyimpulkan tanpa tahu kepastian. Saya punya teman pena di wilayah Semarang, kami pernah kerap saling bertukar pesan singkat. Dan wah sekali, saya dikira berpacaran dengan beliau *yangjugaperempuan* oleh temannya kawan pena saya itu. Mungkin karena 'Rizky' itu terdengar ganteng (?) kali,. ya. (: Hha, berpacaran saja tidak boleh, apalagi sesama perempuan.

Jadi biar saya perjelas, sekali lagi. Nama saya Rizky Sahla Tasqiya, dan saya bukan seorang pria, laki-laki, atau pun seorang ikhwan. Setampan, seganteng apapun nama saya. :D

Clear ya, :)