Tuesday, September 24, 2013

Kau percaya?


Air Mail #2

Assalamu’alaikum, ini aku, Razen. Apa kabarnya dirimu? Jemariku selalu saja gemar tuliskan surat di udara. Tak peduli akankah Kau baca, akankah Kau tahu. Hanya ada semacam kepuasan tersendiri karena mengukir kisah di udara. Hanya ada harap yang berbisik semoga saja ini bisa jadi bermanfaat. Kabarku baik, kuharap Kau demikian. Beberapa minggu yang lalu aku mencoba datang ke rumahmu. Tak banyak yang berubah. Ibundamu masih juga rajin merawat taman aster miliknya. Cantik. Rumahmu bernafaskan violet, bernadakan hijau, beratmosfer biru. Aku percaya rumah sederhana itu mengandung kenangan yang tak sederhana. Kalau Kau masih disini, Kau akan bangga memandang ibumu. Wanita yang tak lagi bisa dibilang muda itu begitu tegar. Begitu bersemangat. Meski kudapati ada bulir air mampir di kedua pipinya ketika kami berbincang; berbagi kenangan tentang dirimu. Namun bulir air itu sama sekali tak mengurangi ketegarannya. Justru dari sanalah aku mampu menyimpulkan, ibumu benar-benar sosok yang hebat. Kau patut berbangga.

Bukan apa-apa, aku hanya mengunjungi kampung halaman kita. Aku masih ingat betul, ketika Kau dan keluargamu pertama kali datang. Ayahmu pemilik senyum yang menawan. Terlihat bersahabat sekali. Pun ibumu, berhasil menyulap tanah yang telah lama mati itu menjadi padang bunga. Lantas mengajak kami sama-sama berkontribusi. Sungguh menyenangkan. Aku dan teman-temanku selalu saja menjadikan keluargamu sebagai perbincangan mengagumkan kami. Orangtuamu sungguh membuat kami takjub. Sementara Kau, anak tengil yang terlihat bahagia setiap lemparan lumpurmu sukses mendarat tepat sasaran; menghantam tubuh-tubuh kami. Dalam banyak hal, aku bertanya-tanya bagaimana Kau bisa begitu tidak karuan jika kuingat ibumu, sosok wanita itu, terlihat begitu bersahaja. Diam-diam aku cemburu padamu. Sungguh. Bersyukurlah, aku selalu mendambakan kasih seorang ibu.

Ini aku, Razen; kawan lamamu. Aster, masihkah Kau ingat aku?



**
Madinah adalah kota cinta
Muara rindu setiap pendamba
                                                      Jembatan indah bagi para pejalan                                     
Perahu agung menuju kejayaan
                                                                                                
Madinah, sebuah potret kasih ibunda
Tanah dimana sayang tak hanya sekadar kata…
**

Aster yang baik, Kau pernah mengatakan padaku bahwa ibumu adalah wanita super. Dengan bangga, kau katakan bahwa beliau mampu menghilang. Aku tertawa. Kau aneh sekali, begitu fikirku. Tapi Kau justru menekuk muka. Rupanya Kau benar-benar serius berkata demikian. Dengan tangan mengepal, Kau tinggalkan aku sendirian. Petang itu taman ilalang kita terlihat aneh sekali. Tak menari seperti biasanya. Membuatku terpaku sempurna. Aku tak pernah menemui bocah perempuan sepertimu, Aster.

“Razen, seorang teman tak seharusnya membantah perkataan temannya sendiri.” Kau berbisik dari balik jendela.

“Aku tidak membantah,” kutanggapi sambil memainkan rerumputan yang sudah meninggi di halaman belakang rumahmu

“Tapi Kau tertawa, Razen.”

“Aku hanya tertawa”

“Ibuku bisa menghilang. Harusnya Kau percaya itu.” Kau lantas menutup jendelamu. Meninggalkan aku sendirian lagi. Dan saat itu aku benar-benar tidak mengerti jalan fikiranmu.

**

Yang aku tahu, ibumu amat mengagumkan. Wanita itu kerap kali mengajak aku dan teman-teman di rumah asuhan berkunjung ke rumahmu. Bagian yang paling menyenangkan adalah ketika ibumu mulai memetik beberapa buah merah ranum, lantas membagi-bagikannya kepada kami. Kau bisa katakan, aku dan teman-teman merasa miliki sosok seorang ibu. Ya, kau tahu, kami tak mengenal apa itu orangtua, terlebih seorang ibu. Dan ibumu datang memberikan definisi itu pada kami. Sedikit banyak, kami jadi mengerti. Dan tidak pernah kutemui ibumu tiba-tiba menghilang. Kau pasti bercanda, Aster. Sampai akhirnya Kau berpamitan padaku pun, mengatakan bahwa tidak bisa lagi menjadi temanku, tak pernah kita membahas tentang kekuatan super ibumu itu. Sekalipun tidak. Bahkan hingga akhirnya Kau benar-benar pergi; tak sekadar menarik diri dari berbincang denganku, benar-benar pergi. Masih banyak hal yang ingin aku ketahui. Kau terbuka yang menyimpan banyak rahasia. Periang yang diam dalam makna.

Beberapa minggu lalu, kutemui ibumu di rumah sederhana kalian yang dipenuhi bunga. Tak banyak yang berubah. Ibundamu masih juga rajin merawat taman aster miliknya. Cantik. Rumahmu bernafaskan violet, bernadakan hijau, beratmosfer biru. Aku dipersilahkan duduk di beranda rumah. Memandang bunga-bunga yang menghampar luas. Ibumu hanya tersenyum, lantas menyodoriku secangkir coklat hangat. Tak ada yang benar-benar spesial. Hanya perbincangan seadanya ditemani suara riang tawa anak-anak yang sedang bermain lempar lumpur di pekarangan belakang; rutinitas masa kecil kita, Kau ingat? Selang beberapa menit, beliau masuk ke dalam rumah; mengatakan hendak mengambil kue coklat dari dapur. Aku mengangguk, mengiyakan. Menunggu sambil memutar episode masa kecil bersamamu.

Dua puluh menit, aku masih sendirian. Kupanggil ibumu, tak ada jawaban. Masih terdengar suara riang anak-anak kecil dari pekarangan belakang. Aku merapikan cangkir coklat yang kini telah kosong. Bergegas menyusuri taman aster milik ibumu, menuju halaman belakang. Kupandang dari kejauhan, ibumu yang berada di tengah-tengah riang tawa bocah-bocah itu. Melihat mereka saling melempar lumpur, sesekali berlarian mencari tempat mengumpat. Langit jingga petang itu jadi terlihat sempurna indah. Aku terperanjat. Wanita itu benar-benar miliki kekuatan super.

**

Aster, aku berada di Madinah. Kota dambaan setiap pecinta, termasuk Kau dan aku. Aku berada di tanah cinta; dimana kasih sayangnya seorang ibu diabadikan oleh waktu. Ada sebuah kisah sederhana yang sangat berarti bagiku. Saat itu seorang ibu tengah memangku kedua anaknya yang masih balita. Sekadar beristirahat di tengah sibuknya dunia. Satu ketika, seseorang melewati mereka bertiga dan merasa iba. Aster, kalau kau melihatnya, sungguh akan menjadi lukisan yang indah sekali, kurasa. Orang tak dikenal itu menjulurkan tangannya. Memberikan tiga buah kurma, Lantas sang ibu memberikan pada anaknya masing-masing satu buah kurma. Ketika wanita itu hendak memakan kurma ketiga, kurma bagiannya, si anak dengan fikiran masa kanak-kanaknya meminta kurma itu dari ibundanya. Tak peduli lapar, tak ingat akan dirinya, wanita itu memberikan kurma terakhir pada anaknya. Ada sebuah kebahagiaan tak tergambarkan disana. Ada garis sahaja yang terekam dari tindaknya. Begitulah cinta ibu, Aster. Cinta yang tak pernah mengharap balasan. Cinta yang hadirkan rasa bahagia karena memberi kepada anaknya. Kau tahu? Mengetahui kisah tersebut, lelaki itu, ya, lelaki yang sama-sama kita rindukan untuk bertemu dengannya, beliau berkata "Si Ibu itu masuk surga, karena memberikan kasih sayang kepada anaknya". Itulah cinta seorang ibu. Cinta kasih yang bahkan mampu membuka pintu syurga.

**

Maka lewat surat udara ini, kuberitahukan padamu, Aster. Menghilang adalah cara ibumu memberikan cinta-kasihnya. Sekali lagi, Kau patut berbangga. Bersyukurlah. Karena sampai detik ini pun, aku masih merindukan kasih seorang ibu. Maafkan aku yang telah menertawaimu saat itu. Kau benar, ibumu bisa menghilang. Kau benar, Aster. Menghilang tak melulu melupakan. Dalam banyak hal, diam-diam banyak kenangan yang terbawa dalam proses menghilang itu. Terimakasih karena telah mengajariku konsep sederhana ini. Sungguh, kuucapkan terimakasih.

                              Razen.
***

 dibuatpadaDzulqa'dah1434H


Air Mail #1

Madinah adalah kota cinta. Udaranya adalah kumpulan partikel cinta. Langitnya adalah atap rumah cinta. Bangunan-bangunannya adalah potret keteguhan cinta. Pun penduduknya, tercipta karena cinta. Kota ini sempurna indah karena cinta sang tercinta yang dicinta oleh Maha Pemilik Cinta.


Razen tersenyum tipis. Matanya menatap teduh ke sudut-sudut penjuru sejauh ia mampu memandang. Siang hari di kota Masjid Nabawi sungguh menantang peluhnya. Terik. Lebih-lebih di hari pertama bulan Ramadhannya tahun ini. Tapi pemuda itu tidak berhenti. Langkahnya masih gagah menyusuri kota Madinah, -kota cintanya-.
**
Assalamu’alaikum. Ini aku, kawan lamamu; Razen. Masihkah kau ingat aku, Aster? Entah ini surat udara ke berapa yang aku layangkan untukmu. Tak tertulis, tak terkirim, tak pernah terbaca. Yang sudah-sudah memang banyak yang tak penting. Tapi untuk kali ini, sungguh, aku benar-benar berharap kau dapat ‘membacanya’. Kau tahu? Aku sedang berada di Madinah. Di kota dambaan setiap pencinta, termasuk kau dan aku. Rasanya baru kemarin kujanjikan padamu untuk berjumpa di tanah ini. Ramadhan kali ini pun adalah Ramadhan ke 10 sejak kau lempari aku dengan segenggam lumpur. Awal pertemuan getir masa kecil yang mampu membuatku terganggu dengan bayangan namamu dalam setiap kesempatan; Aster.
**
“Jual bunga Aster, Tuan?”
Menggeleng. Lagi-lagi pertanyaannya disambut dengan tatapan aneh. Razen tahu pasti, kota Madinah dengan suhu ektremnya bukanlah tempat sang Aster untuk mekar. Tapi bukankah ini kota cinta? Bukankah Ramadhan adalah bulan penuh cinta? Bukankah tak ada yang mustahil bagi Sang Pemilik Cinta? Maka biarkanlah Razen menyelami kota cintanya. Sekedar untuk mencoba.
**
“Kamu tahu tempat ini?” tanyamu pelan dengan logat bahasa lokal yang terdengar aneh. Kau membiarkan es krim dalam genggaman tanganmu menetes ke tanah. Meleleh. Entahlah, mungkin ini bisa disebut sebagai pengakuan. Sebenarnya aku ingin tertawa melihat wajah polos milikmu saat itu. Tapi lihatlah, betapa gengsiku sudah sedemikian besar bahkan ketika aku masih menyandang gelar bocah berumur 9 tahun.

“Nggak.” Hanya itu. Sebatas itu. Aku enggan mengatakan lebih banyak kata padamu. Padahal aku kenal baik tempat itu. Tanah kelahiranku, kampung halamanku. Di tempat kita berpijak adalah padang rumput tua yang bila kau sedikit turun ke arah Selatan, akan tampak sebuah perkebunan stroberi milik Tuan Erdas; seorang lelaki paruh baya yang berkumis tipis dan murah senyum. Kalau kau berkunjung ke sana setiap hari Rabu, maka dipastikan kau tidak akan pulang dengan tangan hampa. Jika tidak sekeranjang stroberi, Tuan Erdas akan membekalimu dengan semangkuk sup istimewa hasil racikannya sendiri. Percayalah, bahkan aku yang mudah jenuh pun tak pernah bosan dengan sensasi rasa sup istimewa itu. Entah adonan macam apa yang beliau sajikan. Satu saat aku pernah bertanya, ia hanya tertawa kecil dan menjawab dengan sebuah kata sarat makna; cinta. Ya, cinta adalah adonan utamanya.

Lain lagi jika kau berkunjung ke arah Barat. Pernah aku menghitung langkah kakiku, kira-kira kau butuh lima puluh enam langkah hingga dapat menyaksikan ke aneka-ragaman di suatu tempat yang biasa kusebut ‘pasar aneka ragam’. Kunamai demikian karena tiap aku melirik kepadanya disaat matahari dalam perjalanan hendak mencapai puncak, segala macam fenomena kehidupan hampir tergambar sempurna disana. Seakan makhluk dari A sampai Z, kegiatan dari A sampai Z, dan segalanya dari A sampai Z, terjadi disana. Dalam satu waktu.

Ah, terlalu banyak yang ingin aku utarakan. Tapi tidak saat itu. Tidak saat es krim milikmu semakin menodai tanah. Tidak saat gengsiku menjadi prioritas utama. Tidak, saat aku belum mengerti apa arti mengenalmu, Aster.
**
“Maaf, Razen.” Kau berkata pelan. Menunduk. Tanganmu menjulurkan sekantung plastik hitam berisi segala macam pemberianku selama tujuh tahun belakangan. Aku tak banyak berkata. Lidahku terlalu kelu melihat tanganmu gemetar. Saat itu aku sama sekali tak punya ide tentang apa yang sedang terjadi padamu. Saat dimana aku merasa begitu bodoh.

“Aku akan pergi. Jaga dirimu baik-baik.” Lanjutmu. Aku bisu seketika. Tak berani menebak hendak kemana arah perbincangan kita. Tak berani menebak hendak kemana kau pergi.
Dan benar saja.
Kau benar-benar pergi.

***

dibuatpadaRamadhan1433H

Sunday, September 1, 2013

Halte Berikutnya

Kurang lebih dua minggu sejak pertama kali saya menjadi penghuni tetap tanah ini. Tak berbeda dengan teman-teman kebanyakan, meski kembali tinggal di asrama, adaptasi jelas mutlak adanya. Tanah yang dipijak berbeda, jelas peraturan, sistem, pergaulan, lingkungan-pun juga berubah. Semua ini butuh adaptasi. Butuh format ulang, formula baru, jurus andalan yang baru. Dinamis. Sekarang, saya jadi benar-benar memahami makna dari kalimat yang dilontarkan salah seorang guru saya di madrasah Aliyah dahulu; “Insan Cendekia itu dunia imajinatif, fantasi. Semua orang baik. Di luar gak seperti ini.” Kurang lebih begitu. Yup, saya juga jadi lebih paham kalimat “hidup itu ga seindah di IC, De. Aman, nyaman, tentram, gak seindah itu”. Belum lagi mendengar cerita kawan-kawan seperjuangan yang sama-sama hinggap di tanah juangnya yang baru. Benar. Dunia ini logis. Dan kita harus pandai-pandai menyeleksi mana kelogisan yang hendak kita ambil. Harus meningkatkan daya kritis. Tapi soal hidup ini indah, saya yakin 100% benar adanya. Kan sudah diatur sama Dia. :D

Nyatanya, pernah menapaki kaki di Insan Cendekia sebagai seorang siswi adalah nikmatNya yang luar biasa. Saya dipaksa untuk tahu diri, dipaksa untuk tahu malu pada diri sendiri, pada negeri sendiri. Label anak beasiswa yang saya dan teman-teman rasakan menjadi ‘beban’ dalam artian luas. Kami benar-benar punya hutang pada negeri ini. Baru beberapa hari yang lalu masa perkenalan kampus saya telah selesai. Tak lama lagi akan dilaksanakan peresmian sebagai mahasiswa baru. Insya Allah. Tak akan saya bahas disini, soal masa perkenalan kampus yang tahu-tahu jadi agak hambar karena diri sendiri yang malah terngiang-ngiang bagaimana dulu digembleng selama satu minggu dalam Pekan Ta’aruf Siswa ketika hendak memasuki madrasah aliyah boarding school itu. Yang saya sadari, benar sekali pepatah yang berbunyi “yang kedua dan seterusnya akan terasa lebih mudah dibanding yang pertama”.

Tentang halte baru saya ini; Institut Pertanian Bogor. J Alhamdulillah, setelah proses panjang, melalui fase-fase bingung dan segala turunannya, pada akhirnya tiba juga saya disini. Kota Bogor yang terkenal menyandang gelar kota hujan lantaran curah hujannya yang terbilang cukup tinggi. Jurusan? IKK (Ilmu Keluarga dan Konsumen). Sebuah jurusan yang jangankan Anda, saya pun baru mendengarnya kurang lebih satu tahun lalu. Agak berliku. Psikologi, pendidikan, biologi, teknologi pangan, sampai akhirnya menemukan yang namanya IKK ini justru disaat saya sedang mencari tahu tentang jurusan biologi. Sempat hampir mantap mengambil jurusan teknologi pangan dengan beasiswa S1 di salah satu perguruan tinggi swasta daerah Kuningan, ternyata pada akhirnya yang saya ambil ya IKK ini. Apapun, saya yakin rencanaNya tidak pernah salah dan selalu indah. Insya Allah. :D tentu bukannya tanpa pertimbangan dan tanpa tujuan. Saya punya alasan kenapa memilih disini, institut ini, dengan jurusan yang telah saya sebutkan di atas.

Mengetahui bahwa kita tidak sendirian di tanah baru adalah hiburan tersendiri. Ada beberapa yang sudah saya kenal disini. Teman MAN, MTS, MIN, juga ada kenalan-kenalan baru yang terhubung secara ajaib; networking. Saya jadi ingat syair Imam Syafi’I yang dahulu sempat menjadi sajak penyemangat saya di masa-masa awal ketika harus melakukan perantauan kecil saat Aliyah.

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih
Jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya kayu biasa
Jika di dalam hutan

-Imam Syafi’i-

Pertama kali mengetahui sajak ini dari acara bedah buku yang diadakan perpustakaan sekolah saya. Mengundang Ahmad Fuadi, membahas novel dari triloginya yang pertama; Negeri 5 Menara. Saat itu, sajak ini seperti punya daya tarik tersendiri bagi saya. Menyemangati sekali. Saya tulis dimana-mana. Saya baca berulang-ulang. Saya promosikan ke teman-teman. Lewat tulisan, lisan, telepon, apapun. Tahu-tahu jadi hapal. Hhe. Dan di halte baru saya ini, saya punya ‘jargon’ andalan. Ingat kata-kata seorang teman melalui pesan singkat di suatu siang. Hari kedua saya tinggal di tempat baru ini. Begini;

“Selamat kembali berjuang..
Ayo kita niatkan mencari ridhoNya J
Inget ini:
Man kharaja fii thalabil 'ilmi fahuwa fii sabiilillaahi hattaa yarji'a"

Barangsiapa keluar untuk menuntut ilmu, maka ia ada di jalan Allah hingga pulang. Ini janji yang keren abis. 8) jadi alarm supaya harus selalu ingat, niat awal melangkahkan kaki ke halte baru ini. Memang, jarak rumah dengan tempat rantauan saya ini terbilang dekat. Katakanlah Jakarta-Bogor. Jauh dibandingkan teman-teman saya yang lain. Jawa Timur, Aceh, hingga Papua. Tapi ini dia janjiNya yang keren. Ga ada syarat jarak disana. Semua orang dapet kesempatan yang sama. Adil. Sama rata. J

Perbedaan lagi yang sangat perlu dikondisikan. Di asrama masa Aliyah, tidak ada yang namanya barang-barang elektronik seperti HP atau laptop berkeliaran di asrama. Peraturannya yang mengharuskan seperti itu. Berbeda, sekarang dibolehkan. Yang namanya mahasiswa tentu memiliki kebutuhan yang berbeda dengan siswa, kan? Nah, dimana-mana, yang namanya kebijakan pasti punya dampak positif dan negatif. Asyiknya dulu adalah, antar kawan satu asrama jadi banyak sharingnya. Mau ngapain lagi, teman ngobrol ya yang ada di depan mata. Gak ada dunia maya-mayaan itu. Banyak sharing, lebih dekat. Susahnya, kalau mau ada acara kumpul atau rapat, komunikasinya jadi lebih kompleks. Hhe. Lagi, hidup terasa lebih sehat tanpa benda-benda elektronik. Serius. Sekarang, bias ditebak. Ketika benda-benda itu bebas berkeliaran, semuanya jadi terasa lebih individualis. Asyik sama dunia maya masing-masing. Asik nonton film, asik chatting. Nilai plusnya, tugas lebih mudah, bisa dipakai untuk sarana produktif kayak nulis ginian, (meski tahu-tahu saya sadari, frekuensi menulis saya di buku jurnal berkurang drastis. Kebanyakan nulis di media digital jadinya). Satu hal. Harus pandai-pandai self control. Dan ini justru bagian yang paling sulit. Kalau dulu rajin bolak-balik manggil orang untuk kumpul misal, sekarang tinggal ketik pesan, send, selesai. Rasa malas benar-benar diuji. Serius. Dari sini saya sadar, tantangan yang benerannya bukan saat saya berada di Aliyah dulu. Justru ketika sudah menjadi alumni, dan menapaki halte baru. Sejauh mana pengalaman yang sudah saya dapat mampu saya terapkan di kehidupan yang katanya keras ini. Lagi! Tentang shalat lima waktu. Benar kata kakak-kakak yang sudah mendahului jadi alumni. Yang namanya shalat lima waktu, tepat waktu, di masjid, itu akan sangat dirindukan. Dan saya mulai merasakannya. Iya, benar sekali. Kalau dahulu ke masjid merupakan rutinitas, ya sekarang tidak lagi. Memang, perempuan kan lebih utama shalat di rumah. Soal tepat waktu pun, dahulu kegiatan sudah diatur sedemikian rupa. Waktu sudah tersistem. Sekarang, memang sih belum mulai kuliah. Tapi rasanya, benar sekali. Harus pandai mengatur waktu sendiri. Harus mandiri.

Anak kecil. Sejak dulu saya senang ngeliatin anak kecil. :D mereka mampu terlihat sangat yakin, dan bisa sangat percaya akan suatu hal. Anak kecil punya kekuatan luar biasa yang bagi saya sungguh inspiratif. Ini yang menjadi landasan saya bisa berkata dengan PDnya suatu siang di gedung serba guna sekolah Aliyah saya, bahwa yang namanya cicak terbang itu ada. Ini juga yang jadi landasan saya, berkoar-koar kalau saya benar-benar punya indera ke6. Dan tidak masalah. Saya merasakan dampak luar biasa. Anak kecil benar-benar inspiratif. Dan saya bersyukur pernah menyandang gelar itu; menjadi seorang anak kecil. Kenapa tiba-tiba ngomongin anak kecil? Hha. Soalnya, ini yang sempat saya khawatirkan; kehilangan semangat anak kecil itu. Kata orang, seiring bertambah usia, pikiran manusia akan semakin realistis dalam artian tidak out of box seperti anak kecil. Terbatas. Tapi dilihat-lihat, itu bukan rumus mutlak. Makanya, biar saya ikat disini dengan menuliskannya. Biar ingat, biar tetap yakin. Biar tetap childlike. Biar bisa berbagi. :D

Haha, loncat-loncat. Saya tidak memiliki point jelas, daftar apa-apa yang hendak saya tuliskan. Memang bukan tipe orang yang terstruktur. Biarkan saja lah, anak kecil juga tidak terstruktur kan. :P #eh. Jadi begini saja. Apapun, semoga halte baru ini menjadi tanah perjuangan saya dan kawan-kawan berikutnya. Aamiin Allahumma Aamiin. Insya Allah. :D

Bogor, August 31st 2013 5.27 pm.

Bersama 6 orang kawan seperjuangan dari tanah Serpong yang hijrah ke Bogor.
"Kami pernah menapaki tanah ini. Pergi, kembali, kelak untuk negeri."
Galang - Itse - Arif - Riz - Rowi - Zahra - Qomar