Monday, June 30, 2014

Welcome Ramadhan!

Langkahku tergesa. Dua kali lebih cepat dari biasanya. Seakan lupa dengan jerit kaki yang sejak tadi mengadu minta diistirahatkan. "Udaah, tadi kan udah istirahat pas dibawa shalat," Bisikku pada si kaki. Sesekali ia melawan. Minta dimaklumi kelemahannya yang seharian dibawa kemana-mana, menopang tubuh. Aku tersenyum kecut. Ini sama sekali belum seberapa, Ki. Jangan bikin aku malu dengan tingkah cemenmu. Ia seketika bungkam kupelototi.

Sore usai selesai bertugas, usai numpang shalat ashar di lantai tiga asrama, aku membulatkan tekad untuk pulang ke Jakarta. masih ber-SOP kuliah, masih mengenakan almamater, lantas melaju menuju terminal. Entahlah, tapi sore itu tidak seperti pulang kampung biasanya. Angkot yang aku tumpangi melaju cepat sekali. Cepat, dan cerdik. Cerdik, karena tahu-tahu macet Bogor tidak sungguh-sungguh menjadi kendala. Selain karena jalur yang tidak biasa, abang supir begitu lihai berkendara. Menembus batas batas kewajaran nan peraturan. Alih-alih macet di jalur kiri, angkot yang kutumpangi dengan santainya melawan arus di jalur kanan. Gesit. Meski sesekali diterpa klakson kendaraan-kendaraan yang juga tengah miliki tujuan, Disaat seperti itu, aku tak tahu mesti bahagia atau apa. Bersyukur, doaku yang meminta supaya perjalanan dipercepat rasanya semerta-merta dikabulkan. Tidak terjebak macet. Tapi di sisi lain, dahiku berkerut mendapati tingkah-pola yang dilakukan sama angkot itu; sama si abang supir.

Sepanjang perjalanan menuju terminal, aku kerap mengintip jam tangan pemberian seorang adik yang baru saja diservice. Memastikan waktu. HP-ku sudah sejak tadi mati. Janji untuk mengabari orangtua perihal kepulangan pun terpaksa tidak tertunaikan. Satu jam lima belas menit. Mungkin itu rekor hebat untuk perjalanan macet sore hari dari Dramaga ke Baranang Siang di kota Bogor. Adalah sebuah kebahagiaan, ketika pada akhirnya sosok itu tertangkap mata. Bis besar warna merah bertuliskan Bogor - Lebak Bulus. Agra Mas. Aku mengamati sejenak. Diam-diam tersenyum, lantas menghampiri abang tukang roti bakar yang biasa ngetem di sisi kanan-depan Agra Mas. Roti bakar di agra petang selalu saja menyenangkan. :)

Pintu Agra tepat akan ditutup ketika aku melangkahkan kaki. Tidak terlalu penuh, aku berjalan menuju deret barisan ke lima bagian dua kursi. Bersegera menghempaskan tubuh. Duduk. Menarik nafas lega. Seperti biasa, aku akan terdiam beberapa menit memandangi ramai terminal dari jendela, meletakkan tas di sisi kanan, bersandar pada bangku bis. Bertasbih. Tahu-tahu jadi ingin menertawakan diri sendiri. Apa-apaan ini, almamater bertuliskan Institut Pertanian Bogor masih melekat. Rasanya seperti mahasiswa yang kabur dari kampus. Agak tergesa, memang. Pasalnya, malam ini akan menjadi malam pertama untuk shalat tarawih Ramadhan. Kembali kulirik jam. Pukul lima. Semoga keburu.

Aku berusaha meluruskan kaki. Melepas sepatu. Meregangkan otot. Kemudian mulai menikmati roti bakar yang masih hangat. Agra mulai melaju, beranjak meninggalkan kota Bogor -kota hujan. Baru ingat tentang diri yang rupanya (hampir) belum makan sejak pagi. Jatah konsumsi panitia masih bertengger di dalam tas. Ternyata, roti bakar ditambah nasi bungkus sama sekali tidak buruk dalam kondisi demikian. Seperti makan tiga kali porsi normal dalam satu waktu. Hha. Meski pada akhirnya, bagian roti bakar terpaksa kubungkus kembali separuhnya. Merasa terlalu penuh untuk disantap saat itu juga.

Seperti biasa, perjalanan pulang ke Jakarta ketika naik Agra selalu saja membuatku takjub. Sendirian di dalam bis tanpa kenal siapa pun menjadi daya tarik tersendiri. Bebas melihat jalanan tanpa perlu merasa tak enak hati pada kawan satu bangku -karena memang duduk sendirian-. Bebas mengeluarkan buku catatan, mulai menulis tanpa ditanya untuk apa, buku apa, atau kenapa maksa nulis di bis? yak, HP mati. Meski akhirnya tulisan lebih terlihat seperti untaian benang yang terputus-putus akibat gejolak perjalanan, hhe, tapi bagiku ada kepuasan tersendiri. Lagipula, toh siapa juga yang tertarik membaca coret-coretan iseng di dalam bis? maka biar saja tulisannya tidak terbaca~

Perjalalan pulangku kali ini ditemani tayangan TV bis. Bisa ditebak, pembahasan yang takkan berhenti minimal sampai satu minggu kedepan, soal calon pemimpin RI. Sore itu, operator Agra menampilkan dua channel TV, bergantian. Dua channel TV yang -rasanya- siapa pun tahu memiliki keberpihakan politik yang saling berlawanan. Aku menelan lidah. Bisa-bisanya, berita dengan tajuk serupa. Sama-sama survei soal elektabilitas calon presiden - wakil presiden, namun hasilnya benar-benar berbeda. Drastis, bertolak belakang. Sesuai dengan pihak yang masing-masing dukung. Jadi surveinya dilakukan kepada responden pendukung masing-masing, begitu? Ah, alangkah lucunya negeri ini. Dan bersyukurlah kita yang termasuk bagian dari kelucuannya. Ya, kita. Termasuk kamu, termasuk aku. Apapun, hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk bumi pertiwi. Kualihkan pandangan dari TV. Kembali menatap jalanan. Sedikit lagi waktu maghrib.

Azan TV berkumandang. Entah, tapi aku merasa ada energi besar yang datang. Energi positif. Kalau diibaratkan di film-film, tiba-tiba ada cahaya terang yang menyelimuti bumi, berpendar, bersinar, terang. Hangat. Ramadhan tiba! aku tersenyum otomatis. Nyengir. Inilah bulan, dimana musuh bebuyutan manusia ditahan untuk sementara. Inilah masanya, ketika produktivitas mesti dijunjung keras. Demi mendengar lantunan azan semakin syahdu berkumandang, aku melepaskan takbiratul ihram. Shalat maghrib. Ya, shalat maghrib di dalam bis Agra Mas yang tengah melaju, menuju Jakarta. Allahu Akbar.. Takbir itu, suaraku bergetar. Ada butiran yang terjatuh sejak kata pertama. Itu adalah perjalanan pulang Agra Mas yang paling emosional sejauh ini, kurasa. Marhaban Yaa Ramadhan. :')

Dan bagian yang sungguh menghibur hati adalah ketika tiba di rumah, mengucap salam, lantas disambut dengan senyuman ummi tersayang. "Alhamdulillah, anak mama sampe.. macet ya, Sayang?" lalu aku dipeluk, Sambutan hangat yang selalu mampu membuatku rindu. Aku melirik jam, sudah pukul tujuh dua puluh. Ketinggalan shalat isya berjamaah, tapi aku hadir tepat waktu sebelum shalat tarawih dimulai. Alhamdulillah. :)



Semoga bukan sekadar ucapan rindu
Melainkan hadir dari harapan tulus nan syahdu.
Selamat datang, Ramadhan
Ini kami, yang sudah sejak lama menanti kehadiranmu..

Saturday, June 7, 2014

Bergerak!

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa
jika di dalam hutan.

Imam Syafii'


Bergerak, atau mati! :D SEMANGAT!
Leave (y)our comfort zone, welcome world!

Tuesday, June 3, 2014

Surat untuk Muslimah

Untukmu muslimah.
Assalamu’alaikum wr.wb.


Apa kabarnya dirimu? Apa kabar gerangan iman dalam dadamu? Adakah ia baik-baik saja? Semoga selalu dalam dekap hangat-Nya. Semoga ruh-mu selalu dalam keyakinan penuh akan-Nya. Kuharap demikian. Karena jujur saja, semakin kesini, aku semakin khawatir akan keadaanmu. Semakin cemas mengingat godaan dunia terhadapmu.
Kau tentu masih ingat sederet kisah yang beberapa waktu belakangan menimpa kaum kita. Ada tenaga kerja yang disiksa, ada ibunda yang membunuh buah hatinya. Juga ada cerita bagaimana harga diri begitu murah dikabarkan melalui media massa. Baris daftar peristiwa yang mengusik nurani kita, tentu saja.
Shalihah, setiap kita selalu punya pilihan-pilihan dalam hidup. Tentang pilihan dalam berlisan, tentang pilihan menu apa yang hendak dikonsumsi; yang hendak kita makan. Tapi Kau pun pasti tahu, ada hal-hal yang sejatinya memang tak bisa kita pilih. Dan dilahirkan sebagai seorang perempuan, adalah salah satu hal ajaib tersebut.
Dahulu, aku berfikir bahwa menjadi perempuan tidaklah begitu keren. Dalam beberapa aspek, aku merasa bahwa dunia begitu mendeskriminasi. Aku tidak setuju bagaimana anak perempuan dilarang-larang memanjat pohon, sementara anak laki-laki tidak. Bertanya-tanya, mengapa anak laki-laki dipercaya pulang malam, sementara anak perempuan rasanya lebih di-protektif-kan. Tidak terlalu penting, memang. Tapi jiwa seorang bocah selalu saja punya fikiran yang abstrak. Sederhana, namun seyogyanya bermakna. J
Tapi beruntung, kita dilahirkan dengan fitrah sebagai seorang pengiman-Nya. Sebagai seorang muslimah. Lambat laun aku belajar, bahwa menjadi keren adalah konsekuensi mutlak bagi siapapun yang memiliki keyakinan penuh akan kalimat luar biasa itu; syahadat. Termasuk aku, termasuk kamu- muslimah. Sosok muslimah tahu-tahu menjadi sangat keren di mataku. Lihatlah bagaimana ibunda Khadijah dijuluki ‘The Princess of Mecca’, juga bagaimana kecerdasan Asiyah  binti Abu Bakar yang bahkan menjadi tempat bertanya bagi para sahabat. Urusan sederhana seperti memanjat pohon jadi tidak ada apa-apanya ketika aku mendengar kisah tentang seorang muslimah tangguh bernama Khaulah Al Azwar. Muslimah keren yang menunggangi kuda di tengah hiruk pikuk medan perang menghadapi bangsa Romawi.
Hei, bukankah itu luar biasa? Ternyata gelar perempuan yang kita sandang begitu istimewa. Lebih dekat lagi, cobalah lihat ibunda kita. Sosok yang disebut-sebut oleh kanjeng nabi bahwa surga berada di bawah telapak kakinya. Perempuan yang disebut-sebut merupakan madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Dan kabar baiknya, kita adalah calon-calon mereka, wahai Ukhti Fillah. In syaAllah.
Lantas, apa kabarnya dirimu? Apa kabar gerangan iman dalam dadamu? Adakah ia baik-baik saja? Semoga selalu dalam dekap hangat-Nya. Semoga ruh-mu selalu dalam keyakinan penuh akan-Nya. Kuharap demikian. Karena jujur saja, semakin kesini, aku semakin khawatir akan keadaanmu. Semakin cemas mengingat godaan dunia terhadapmu.
Masa kita dengan para ashabiyah boleh jadi tidak sama. Namun, ketetapan sunatullah, bahwa kita memegang amanah sebagai muslimah jelas tiada berubah. Muslimah berganti dari masa ke masa, dan di atas pundaknyalah masa depang bangsa menaruh pondasinya. Kau tentu masih ingat sederet kisah yang beberapa waktu belakangan menimpa kaum kita. Coba sejenak pejamkan mata, hadirkan semangat ibunda-ibunda kita terdahulu. Apakah yang akan mereka lakukan, jika hidup pada zaman kita? Adakah berpangku tangan? Ataukah melakukan aksi-tindakan? Lantas jalan mana yang hendak kita torehkan untuk semesta?
Semoga Kau, selalu dalam dekap hangat-Nya.
Wassalamu’alaikum wr.wb.

Dari Aku,
yang memerhatikanmu,
sedari dulu.

(Tulisan partisipasi dalam acara 'Perempuan Punya Cerita' LDK Al-Hurriyyah IPB, Mei 2014)

Karakter (Sebuah Kunci Peradaban)



Pendidikan di Indonesia masih menjadi kendala. Tidak hanya menyangkut persoalan klasik seputar biaya, namun merambah pada aspek-aspek lainnya. Bicara pendidikan tidak sesederhana membicarakan lembaga formal dimana kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Bicara pendidikan, berarti bicara tentang faktor mendasar sebuah peradaban dan karakter manusianya.
Dewasa ini, pendidikan dirasa mengalami penyempitan, bahkan pergeseran makna. Ironisnya, tidak jarang kontribusi pergseran makna tersebut justru hadir dari pihak yang disebut-sebut berpendidikan, bahkan dari instansi yang mengatas-namakan pendidikan. Pemberian kunci jawaban dari pihak sekolah secara legal kepada siswanya dalam UN (ujian nasional) merupakan salah satu contoh nyata kontribusi pergeseran makna tersebut. Dengan alasan demi kelulusan peserta didik, atau demi prestasi sekolah, hal semacam ini jadi terkesan lumrah dilakukan. Padahal, sekolah-lah yang seharusnya menjadi tempat dimana pendidikan tentang kejujuran berlangsung. Bukan sebaliknya.
Pendidikan yang sejatinya berorientasi pada proses serta menyelaraskan antara kuantitas dengan kualitas, kini cenderung menjadi fokus pada hasil semata. Di bangku sekolah, kecurangan dalam ujian seperti yang telah disebut di atas menjadi contohnya. Di bangku pemerintahan pun demikian. Tidak sedikit, -banyak malah- calon legislatif yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan kursi di pemerintahan. Maka tak heran jika output yang di hasilkan adalah para siswa yang stress menghadapi UN, atau para calon legislatif gagal yang tahu-tahu memenuhi rumah sakit jiwa usai pemilihan umum. Hal tersebut tidak lain karena orientasi yang diproriataskan adalah pada hasil, dan bukan pada proses. 
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan merupakan faktor penting yang memengaruhi peradaban manusia. Dengan kata lain, pendidikan berkontribusi besar dalam kesejahteraan suatu bangsa. Menurut studi Transparency International tahun 2013, Indonesia berada di peringkat ke 114 dari 117 negara dalam peringkat negara-negara tidak korup. Itu artinya, Indonesia masih berada dalam jejeran teratas kategori negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Korupsi itu sendiri telah menjadi tersangka utama peyebab kesejahteraan bangsa bumi pertiwi yang terhambat meski sumber daya terkenal kaya. Hal tersebut sedikit-banyak menunjukkan kapasitas pendidikan kita yang masih terbilang rendah.
Dalam proses pendidikan, peran guru sangat penting. Hakikatnya, guru bukan sekadar penyampai materi bahan ajar, melainkan juga menjadi model bagi para siswanya. Mengamati fenomena persoalan pendidikan di Indonesia, maka hal mendasar yang perlu diperhatikan adalah pendidikan karakter, dan guru berperan besar dalam mencetak karakter-karakter emas Indonesia. Ketika seorang guru memberikan teladan baik, maka akan terbentuk jejaring, mata rantai karakter yang positif. Dan sebaliknya, cerminan guru yang tidak berkarakter baik akan memberi contoh dan pada akhirnya memberikan dampak negatif bagi perkembangan karakter siswa.
Sayangnya, saat ini kondisi guru banyak yang memprihatinkan. Bahkan, sudah tidak asing lagi pemberitaan media yang mengabarkan kasus kekerasan terhadap anak dengan gurunya sendiri bertindak sebagai pelaku. Kasus terbaru muncul di Medan beberapa waktu lalu.  Pada April 2014, Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Pol. Agus Rianto, Polresta Medan menangani kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru terhadap murid perempuannya yang masih berusia tujuh tahun. Bagi pelaku, mungkin sederhana saja melakukan tindak kejahatan tersebut dengan memanfaatkan posisinya sebagai guru. Padahal sorang guru sejatinya digugu dan ditiru.
Untuk mengatasi persoalan karakter ini, maka perlu adanya seleksi bagi para guru. Ada fenomena memprihatinkan yang hadir di tengah-tengah masyarakat kita, yakni pola fikir masyarakat yang menganggap profesi guru merupakan profesi kelas bawah dan tidak berkelas. Bukan hanya itu, banyak dari anggota masyarakat yang menggampangkan persoalan menjadi guru. Sehingga hasilnya, benyak dari guru yang tidak benar-benar berniat untuk menjadi pendidik, dan contoh di atas bisa jadi adalah salah satunya. Indonesia semakin rindu akan guru-guru sejati yang disebut-sebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Guru yang professional dituntut untuk memahami kebutuhan peserta didiknya dari berbagai aspek mulai dari fisik, moral, sosial, juga kulturalnya. Selain itu, untuk pengembangan karakter peserta didik, tentu diperlukan sinergi antara pendidikan formal di sekolah dengan pendidikan informal di rumah. Dengan kata lain, kualitas model yang ditiru oleh peserta didik memegang peranan sangat penting dalam pengembangan karakter. Model tersebut yakni guru, dan lebih dalam lagi, adalah orang tua.    
Upaya pengembangan pendidikan karakter ini diharapkan akan memberikan kontribusi positif untuk kegiatan pembelajaran. Karakter yang merupakan pilar dasar proses pendidikan akan membawa dampak baik yang berkesinambungan. Hasil survei Program for International Student Assessment (PISA) dalam naungan Organization Economic Cooperation and Development (OECD) yang diumumkan pada Desember 2013 lalu mengatakan bahwa tingkat intelegensia siswa Indonesia menduduki peringkat ke 64 dari 65 negara. Dengan adanya pendidikan berbasis karakter, diharapkan hasil survei tersebut mengalami perkembangan positif –dengan orientasi utama pada proses, tentunya-. 
Pendidikan di Indonesia masih menjadi kendala. Tidak hanya menyangkut persoalan klasik seputar biaya, namun merambah pada aspek-aspek lainnya. Bicara pendidikan tidak sesederhana membicarakan lembaga formal dimana kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Bicara pendidikan, berarti bicara tentang faktor mendasar sebuah peradaban dan karakter manusianya. Indonesia masih memiliki harapan dalam proses pendidikannya. Peringkat pertama siswa terbahagia hasil survei International Student Assessment (PISA) yang disandang oleh Indonesia cukup memberikan kabar baik pada dunia. Bukan tanda bodoh karena bahagia di atas derita, melainkan karena Indonesia masih memiliki harap dan cita. Semoga.

(Ditulis dalam rangka seleksi Mapresma TPB IPB 2014)