Pendidikan di Indonesia masih menjadi kendala. Tidak hanya menyangkut
persoalan klasik seputar biaya, namun merambah pada aspek-aspek lainnya. Bicara
pendidikan tidak sesederhana membicarakan lembaga formal dimana kegiatan belajar-mengajar
berlangsung. Bicara pendidikan, berarti bicara tentang faktor mendasar sebuah peradaban
dan karakter manusianya.
Dewasa ini, pendidikan dirasa mengalami penyempitan, bahkan pergeseran
makna. Ironisnya, tidak jarang kontribusi pergseran makna tersebut justru hadir
dari pihak yang disebut-sebut berpendidikan, bahkan dari instansi yang
mengatas-namakan pendidikan. Pemberian kunci jawaban dari pihak sekolah secara
legal kepada siswanya dalam UN (ujian nasional) merupakan salah satu contoh nyata
kontribusi pergeseran makna tersebut. Dengan alasan demi kelulusan peserta didik,
atau demi prestasi sekolah, hal semacam ini jadi terkesan lumrah dilakukan. Padahal,
sekolah-lah yang seharusnya menjadi tempat dimana pendidikan tentang kejujuran berlangsung.
Bukan sebaliknya.
Pendidikan yang sejatinya berorientasi pada proses serta
menyelaraskan antara kuantitas dengan kualitas, kini cenderung menjadi fokus
pada hasil semata. Di bangku sekolah, kecurangan dalam ujian seperti yang telah
disebut di atas menjadi contohnya. Di bangku pemerintahan pun demikian. Tidak
sedikit, -banyak malah- calon legislatif yang menghalalkan segala cara demi
mendapatkan kursi di pemerintahan. Maka tak heran jika output yang di hasilkan adalah para siswa yang stress menghadapi
UN, atau para calon legislatif gagal yang tahu-tahu memenuhi rumah sakit jiwa
usai pemilihan umum. Hal tersebut tidak lain karena orientasi yang
diproriataskan adalah pada hasil, dan bukan pada proses.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan merupakan faktor penting
yang
memengaruhi peradaban manusia. Dengan kata lain, pendidikan berkontribusi besar
dalam kesejahteraan suatu bangsa. Menurut studi Transparency International
tahun 2013, Indonesia berada di peringkat ke 114 dari 117 negara dalam
peringkat negara-negara tidak korup. Itu artinya, Indonesia masih berada dalam jejeran teratas kategori negara dengan
tingkat korupsi yang tinggi. Korupsi itu sendiri telah menjadi tersangka utama peyebab
kesejahteraan bangsa bumi pertiwi yang terhambat meski sumber daya terkenal
kaya. Hal tersebut sedikit-banyak menunjukkan kapasitas pendidikan kita yang masih
terbilang rendah.
Dalam proses pendidikan, peran guru sangat penting. Hakikatnya,
guru bukan sekadar penyampai materi bahan ajar, melainkan juga menjadi model
bagi para siswanya. Mengamati fenomena persoalan pendidikan di Indonesia, maka
hal mendasar yang perlu diperhatikan adalah pendidikan karakter, dan guru
berperan besar dalam mencetak karakter-karakter emas Indonesia. Ketika seorang
guru memberikan teladan baik, maka akan terbentuk jejaring, mata rantai
karakter yang positif. Dan sebaliknya, cerminan guru yang tidak berkarakter
baik akan memberi contoh dan pada akhirnya memberikan dampak negatif bagi
perkembangan karakter siswa.
Sayangnya, saat ini kondisi guru banyak yang memprihatinkan.
Bahkan, sudah tidak asing lagi pemberitaan media yang mengabarkan
kasus kekerasan terhadap anak dengan gurunya sendiri bertindak sebagai pelaku.
Kasus terbaru muncul di Medan beberapa waktu lalu. Pada April 2014, Kepala Bagian Penerangan
Umum Mabes Polri Kombes Pol. Agus Rianto, Polresta Medan menangani kasus
kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru terhadap murid perempuannya
yang masih berusia tujuh tahun. Bagi pelaku, mungkin sederhana saja melakukan
tindak kejahatan tersebut dengan memanfaatkan posisinya sebagai guru. Padahal
sorang guru sejatinya digugu dan ditiru.
Untuk mengatasi persoalan karakter ini, maka perlu adanya seleksi
bagi para guru. Ada fenomena memprihatinkan yang hadir di tengah-tengah
masyarakat kita, yakni pola fikir masyarakat yang menganggap profesi guru
merupakan profesi kelas bawah dan tidak berkelas. Bukan hanya itu, banyak dari
anggota masyarakat yang menggampangkan persoalan menjadi guru. Sehingga
hasilnya, benyak dari guru yang tidak benar-benar berniat untuk menjadi
pendidik, dan contoh di atas bisa jadi adalah salah satunya. Indonesia semakin
rindu akan guru-guru sejati yang disebut-sebut sebagai pahlawan tanpa tanda
jasa.
Guru yang professional dituntut untuk memahami kebutuhan peserta
didiknya dari berbagai aspek mulai dari fisik, moral, sosial, juga kulturalnya.
Selain itu, untuk pengembangan karakter peserta didik, tentu diperlukan sinergi
antara pendidikan formal di sekolah dengan pendidikan informal di rumah. Dengan
kata lain, kualitas model yang ditiru oleh peserta didik memegang peranan
sangat penting dalam pengembangan karakter. Model tersebut yakni guru, dan
lebih dalam lagi, adalah orang tua.
Upaya pengembangan pendidikan karakter ini diharapkan akan
memberikan kontribusi positif untuk kegiatan pembelajaran. Karakter yang
merupakan pilar dasar proses pendidikan akan membawa dampak
baik yang berkesinambungan. Hasil survei Program for International Student
Assessment (PISA) dalam naungan Organization Economic Cooperation and
Development (OECD) yang diumumkan pada Desember 2013 lalu mengatakan bahwa
tingkat intelegensia siswa Indonesia menduduki peringkat ke 64 dari 65 negara. Dengan
adanya pendidikan berbasis karakter, diharapkan hasil survei tersebut mengalami
perkembangan positif –dengan orientasi utama pada proses, tentunya-.
Pendidikan di Indonesia masih menjadi kendala. Tidak hanya
menyangkut persoalan klasik seputar biaya, namun merambah pada aspek-aspek
lainnya. Bicara pendidikan tidak sesederhana membicarakan lembaga formal dimana
kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Bicara pendidikan, berarti bicara
tentang faktor mendasar sebuah peradaban dan karakter manusianya. Indonesia
masih memiliki harapan dalam proses pendidikannya. Peringkat pertama siswa
terbahagia hasil survei International Student Assessment (PISA)
yang disandang oleh Indonesia cukup memberikan kabar baik pada dunia. Bukan
tanda bodoh karena bahagia di atas derita, melainkan karena Indonesia masih
memiliki harap dan cita. Semoga.
(Ditulis dalam rangka seleksi Mapresma TPB IPB 2014)
No comments:
Post a Comment