Saturday, August 16, 2014

Manakah Perengguk Hidup yang Beruntung?

Beruntung adalah para perengguk yang  tidak perlu hidup. Tidak perlu sibuk menyibukkan diri. Tidak perlu mengenal hari. Itu kata para tetua, yang bukan tanda menyesal mecengkoki penerusnya dengan hal demikian, melainkan mengumbar fakta apa adanya. Yang paling sial adalah mati tua. Itu kata mereka, yang telah dipaksa sudi merasakan pahitnya dunia. Yang dipaksa menanti, bermimpi cakrawala syurga tiada tara.

Mereka bilang pertanyaan retoris itu eksis di peradabannya. Kubilang definisi semacam ini lebih retoris lagi di benak manusia. Berkali lipat, mereka yang mengaku pemikir setia sibuk memberi artian makna pada soal perihal hidup dan segala turunannya. Pada definisi kata-kata abstrak yang siapa pula sudi mengartikan? Karena jawabnya tidak pernah jadi jelas sejelas kacang kedelai hitam dalam gelas kaca.

Bagi kaum miskin penafsiran, hidup adalah menghabiskan satuan waktu pemberian Raja di Maha Raja. Mungkin ada pilihan-pilihan monumental yang hadir sejenak sedekat pelemparan batu. Sehasta. Sesampainya pada titik tepat. Tapi ibarat bunglon yang memiliki beribu cadang topeng pemalsu identitas, pilihan seringkali hanya jadi pencitraan tanpa karakter yang dipaksa meninggikan gerak embun pagi pada sang tangkai bunga. Prihatin, hidup yang diagungkan penuh bias temaram hanya tinggal debu yang menunggu tertiup.

Bagi kaum yang terlalu miskin untuk melepaskan terompah, hidup jadi semarak diraba. Tapi eksistensinya dipertanyakan. Memasuki dunia maya lagi melintang. Tidak terlacak. Semerbak dirayakan hanya dalam sekejap saja, kemudian terlupakan dan berbalik arah. Semesta jadi ilusi fana lagi nyata. Seorang diri dalam kancah tempur, seperti buih lautan yang melaju tanpa kawan. Seorang, kemudian terhempas dan hilang. Tidak pernah terdokumentasi bahkan dalam benak satuan pencari harga. Mendongak sukarela, menunduk tergelincir kuasa.

Bagi pemiskin sejati yang tiada sedetakpun nuraninya berontak akan kemiskinan, yang rumpun kepalanya memahami penafsiran kehidupan, hidup adalah karena adikuasa. Segalanya menapak pada sebaris catatan sederhana dalam ukiran sejarah sakral. Jemarinya berlabuh pada imaji danau riak gegap gempita.  Maka kebersamaan hanya jadi jembatan untuk mempertajam gambar dalam benak cerita cita keagungan langit yang mendunia. Awal-akhirnya menjadi jelas bagi mereka. Asanya digenggam energi Maha Dahsyat yang mengendalikan raga, dibalut rahasia. Mutiara mata menjadi candu pada gelap-jingga membahana.

Maka ketika nestapa-derita disandingkan dengan bahagia-merdeka, tidaklah menjadi persoalan genting lagi mendesak bagi penafsir yang paham akan keindahan. Lantas ketika serdadu tiada mampu melawan gertakan, atau pasukan terperosok ke dalam jurang, siapa jamin itu nestapa-derita atau bahagia-merdeka? Bagi penafsir yang paham akan hakikat kesempurnaan, pahit-manis adalah kolaborasi indah-sempurna yang menawan jiwa. Karena bagi para pecinta tiada dua, bukan getir bibir yang merusak, melainkan getar riak frekuensi senada yang melembutkan sukma.


Maka beruntunglah para perengguk yang  tidak perlu hidup. Tidak perlu sibuk menyibukkan diri. Tidak perlu mengenal hari. Itu kata para tetua. Namun apakah benar ada nyatanya? Demikian pertanyaan yang memang sejati diterka. Namun beruntung di atas beruntung, adalah catatan ini bagi mereka, Janji suci, kabar gembira dari Sang Adidaya bagi para perengguk yang mengidamkan cakrawala syurga tiada tara.



“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mu’min lelaki dan
perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; Itu adalah keberuntungan yang besar.”. 

(QS. At-Taubah : 72)


Bogor, Syawwal 1435 H

Tuesday, August 5, 2014

Kriteria

Mendengar pertanyaanku, Mbah Mukhtar terbahak.

“Kenapa malah ketawa, Mbah?” Aku menekuk alis.

“Haha, lah whong kamu ngapain nanya kriteria milih jodoh, Lee. Umurmu masih seumur jagung, mbahmu ini dulu naklukin seribu gunung dulu baru nanya kakungmu soal jodoh. Lah kamu ini udah ngapain? Lulus kuliah aja belom, piye tho.” Tawanya semakin membahana. Aku garuk-garuk kepala. Padahal butuh berhari-hari untuk mengumpulkan keberanian menanyakan hal ekstrim semacam ini. “Memangnya kamu udah punya pujaan hati, Le?” Aku tersedak mendengar pertanyaan Mbah Mukhtar. Wedang jaheku dibuat kaget tepat di tengah kerongkongan.

“Bukan Mbah, dulu sih, cuma cinta monyet.”

“Monyet kok jadi tersangka cinta, Le,” lelaki yang sudah tak bisa lagi dibilang muda itu geleng-geleng kepala sambil mengacak-acak rambutku. Gerak jemarinya masih berenergi.

“Ya mumpung masih cinta monyet. Cintanya bocah, Mbah. Makanya ini kan nanya, kalo dulu mbah kriterianya apa?”

“Kamu ini alasan saja. Kalau Mbah pilih yang cantik, Le”

“Cantik?” aku mengernyitkan dahi. Memangnya, nyai cantik?

“Hhaha, jangan lah dilihat nyaimu sekarang ini. Dulu itu dia kembang desa.” Seakan mengerti isi fikiranku, Mbah Mukhtar melanjutkan kalimatnya sambil terkekeh. Suaranya serak, bukan karena sakit. 

“Hehe, iya Mbah…” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

“Carilah yang cantik, dan mengerti bahwa dirinya cantik.”

“Maksud Mbah?”

“Ya, hakikatnya semua wanita itu cantik. Gak ada tho yang ganteng? Haha”

“Ya iya lah, Mbaah…” Mbahku ini memang senang sekali bercanda, meski pada akhirnya lebih sering menghasilkan candaan garing yang dipaksa untuk jadi lucu.

“Cantik maksud mbahmu ini bukan dalam artian yang parasnya ayu, seperti yang biasa dimaknai banyak orang, Le.”

“Jadi?”

“Ya, cantik. Dan dia harus paham betul bahwa dirinya itu cantik yang harus dijaga.”

“Nggak ngerti, Mbah”

“Lee, Lee.” Mbah Mukhtar geleng-geleng kepala. Kembali mengacak-acak rambutku yang pagi itu memang masih berantakan. Belum tersentuh sisir.

“Kalau cantik yang dimaksud bukan ukuran fisik, lantas apa?”

“Cantik pribadinya. Cantik hatinya. Cantik jiwanya. Dan dia tahu, kesemua cantik itu harus dijaga agar tetap cantik dan semakin meningkat kecantikannya seiring waktu.” Aku manggut-manggut. Mbah Mukhtar melanjutkan. “Cantik itu subjektif, tidak bisa dihitung, Le. Paras ayu itu ndak kekal, sedangkan cantik itu terjaga. Seizin gusti Allah.” Mendengar perkataan Mbah Mukhtar, reflek kupandagi beliau dengan penuh takzim.

“Mbah,” kusapa pelan lelaki yang sudah tak bisa dikatakan muda itu sambil mengetuk-ngetuk cangkir wedang yang masih panas.

“Opo?” Mbah Mukhtar tidak melihatku. Asyik meneruskan santapan dodol gorengnya.

“Nyai itu cantik ya, Mbah?” Kali ini beliau menoleh demi mendengar pertanyaanku.

“Ngomong apa kamu, Le? Tentu saja. Haha” kembali kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Tawa Mbah Mukhtar seperti sihir tersendiri. Dodol tepung goreng dan secangkir wedang jahe pagi itu terasa semakin nikmat usai mendengarkan kicauan beliau.  

“Hehe…” Aku nyengir.

Yang cantik, dan ia tahu bahwa dirinya cantik. Tercatat, Mbah!

“Le, kalau kriteria itu berani kamu tetapkan, catat juga hal ini; jadilah tampan yang tahu bahwa dirinya tampan! hahaha” Tawa Mbah Mukhtar kembali membahana. Kali ini mengusik para pengunjung warung yang sedang asyik menikmati wedang pagi. Aku menelan ludah.

Menjadi tampan, dan harus tahu bahwa diriku tampan.

Eh?  

Ya Gusti, ini bahkan lebih sulit dari tebak-tebakan berapa usia Mbah Mukhtar!


Inspired by my big bro,
Syawal, 8th 1435 H
Riz :)

Saturday, August 2, 2014

HalteKehidupan #32

Jadi, ini adalah edisi HalteKehidupan. Saya awali dengan 32, karena beberapa minggu lalu, seorang kawan dari Insan Cendekia berkunjung ke 32, kemudian kami berfoto di sekolah masa tsanawiyah saya ini. Sejujurnya, itu adalah momen pertama saya berfoto dengan logo 32 di tengah-tepi lapangan kami. :)

**

"Hidup adalah pilihan.
Jadilah manusia yang berkarakter dalam setiap pilihannya."

-Pak Nurul Huda-

**

MTsN 32 yang awalnya merupakan MTsN 13 gedung II, adalah tempat saya mengenyam bangku sekolah menengah pertama. Sekolah ini adalah tempat pertama saya berorganisasi secara utuh, meski jujur, masih jauh dari organisasi yang terorganisirasi. :) Tapi jelas memberikan saya pemahaman bahwa hidup ternyata tidak semulus jalan tol :D. Ada begitu banyak karakter yang dijumpai, dan itu benar-benar belum seberapa. Setidaknya melalui organisasi formal, saya mulai terdidik untuk mengurusi diri sendiri sebelum mengurusi orang lain. Sebagai sosok yang sangat menikmati peran behind the scene, saya dituntut untuk sedikit  demi sedikit muncul ke permukaan, berhadapan dengan banyak orang. Masih ingat sekali, pertama kali saya berorasi (kalau itu layak disebut orasi, karena faktanya hanya omongan ringan di bawah atap mushola kami) hanya ada satu orang kakak kelas yang secara terang-terangan mengapresiasi. Beliau bertepuk tangan kecil di tengah-tengah hadirin. Kak, mungkin sewaktu-waktu kau akan mendapatiku mengetuk pintu rumahmu lantas mengucapkan terimakasih. :D

Tempat ini juga menjadi saksi 'kebandelan' saya. Mulai dari keluar kelas dengan alasan mengadakan rapat (poin cemerlangnya adalah, ketua OSIS kami adalah teman sebangku saya selama tiga tahun, dan saya adalah wakilnya, :D) saya dan Titin (nama si ketua OSIS) berhadap-hadapan, saling pandang di tengah kejenuhan belajar Matematika, kemudian "rapat yuk, gimana kalo kita rapat aja, ngurusin blablabla..." dan tidak lama, kami mengudara melalui pengeras suara sekolah; minta pengurus OSIS segera ke mushola buat rapat. Saya juga senang manjat pohon ceri di halaman belakang sekolah. Sampai pernah diteriakin sama mantan tukang cimol (sekarang jualan jus) supaya turun "cewek kok manjat pohon Riiis! turun!", Juga yang sangat favorit, hujan-hujanan dalam setiap kesempatan yang memungkinkan (bahkan saya tidak segan-segan membawa pakaian ganti dengan niat main hujan-hujanan di sekolah. Kalau dirumah kan nanti ketahuan. Begitu fikir saya. Hhe). Waktu kelas delapan, saya jadi pelopor main kartu UNO bareng kawan sekelas sampai kami dihukum bersihin WC satu sekolah sama pak kepsek (Bapak Nurul Huda, semoga selalu dalam lindungan Allah :) ), telat setiap hari Sabtu untuk ikut Pedalaman Materi yang diisi kakak alumni, sampai urusan tugas karya tulis Bahasa Indonesia yang bahkan sampai sekarang tidak diselesaikan meski katanya itu syarat kelulusan. (Ini jelas bukan contoh yang baik, Bukan untuk ditiru. Jangan coba-coba ditiru.)

Tapi di atas itu semua, disini saya belajar untuk memahami orang lain, belajar untuk meningkatkan kepekaan saya yang (mungkin) terbilang keterlaluan. Selain itu, saya juga belajar tentang bagaimana sosok seorang ibu yang selalu merindukan anaknya pulang. Bahwa ternyata, wujud kasih sayang manusia tidak sederhana, meski kebersamaan yang membangunnya begitu-teramat-sangat sederhana. Allah juga memberikan saya kemudahan untuk belajar mengatur pola fikir, bagaimana harus berfikir positif, dan fakta bahwa isi kepala sangat berpengaruh pada fisik secara nyata. Sick mind --> sick body sebaliknya, fikiran yang sehat akan menyehatkan fisik. Disini juga, saya belajar untuk menaruh cita dan mimpi -bersama teman-teman-. Menjadikan hal-hal kecil sebagai objek observasi. Meributkan persoalan sehari-hari untuk dijadikan bahan perbincangan yang dikemas jadi beraroma ilmiah. (Saya masih ingat perbincangan dengan kawan-kawan mulai dari solenoida dan gulungan kawat sampai urusan cicak mati karena selotip). Juga, hal yang sangat penting. Saya belajar tentang makna kejujuran, ketekunan, dan ketulusan. Mungkin sewaktu-waktu, akan saya ceritakan mengapa, bagaimana demikian. :D


Official Web Page MTsN 32 Jakarta bisa dilihat disini. :)