Mendengar pertanyaanku, Mbah
Mukhtar terbahak.
“Kenapa malah ketawa, Mbah?” Aku
menekuk alis.
“Haha, lah whong kamu ngapain
nanya kriteria milih jodoh, Lee. Umurmu masih seumur jagung, mbahmu ini dulu
naklukin seribu gunung dulu baru nanya kakungmu soal jodoh. Lah kamu ini udah
ngapain? Lulus kuliah aja belom, piye tho.” Tawanya semakin membahana. Aku
garuk-garuk kepala. Padahal butuh berhari-hari untuk mengumpulkan keberanian
menanyakan hal ekstrim semacam ini. “Memangnya
kamu udah punya pujaan hati, Le?” Aku tersedak mendengar pertanyaan Mbah
Mukhtar. Wedang jaheku dibuat kaget tepat di tengah kerongkongan.
“Bukan Mbah, dulu sih, cuma cinta
monyet.”
“Monyet kok jadi tersangka cinta,
Le,” lelaki yang sudah tak bisa lagi dibilang muda itu geleng-geleng kepala sambil
mengacak-acak rambutku. Gerak jemarinya masih berenergi.
“Ya mumpung masih cinta monyet.
Cintanya bocah, Mbah. Makanya ini kan nanya, kalo dulu mbah kriterianya apa?”
“Kamu ini alasan saja. Kalau Mbah
pilih yang cantik, Le”
“Cantik?” aku mengernyitkan dahi.
Memangnya, nyai cantik?
“Hhaha, jangan lah dilihat
nyaimu sekarang ini. Dulu itu dia kembang desa.” Seakan mengerti isi fikiranku, Mbah Mukhtar melanjutkan kalimatnya sambil terkekeh. Suaranya serak, bukan
karena sakit.
“Hehe, iya Mbah…” Aku menggaruk
kepalaku yang tidak gatal.
“Carilah yang cantik, dan mengerti
bahwa dirinya cantik.”
“Maksud Mbah?”
“Ya, hakikatnya semua wanita itu
cantik. Gak ada tho yang ganteng? Haha”
“Ya iya lah, Mbaah…” Mbahku ini
memang senang sekali bercanda, meski pada akhirnya lebih sering menghasilkan
candaan garing yang dipaksa untuk jadi lucu.
“Cantik maksud mbahmu ini bukan
dalam artian yang parasnya ayu, seperti yang biasa dimaknai banyak orang, Le.”
“Jadi?”
“Ya, cantik. Dan dia harus paham
betul bahwa dirinya itu cantik yang harus dijaga.”
“Nggak ngerti, Mbah”
“Lee, Lee.” Mbah Mukhtar
geleng-geleng kepala. Kembali mengacak-acak rambutku yang pagi itu memang masih
berantakan. Belum tersentuh sisir.
“Kalau cantik yang dimaksud bukan ukuran
fisik, lantas apa?”
“Cantik pribadinya. Cantik
hatinya. Cantik jiwanya. Dan dia tahu, kesemua cantik itu harus dijaga agar
tetap cantik dan semakin meningkat kecantikannya seiring waktu.” Aku
manggut-manggut. Mbah Mukhtar melanjutkan. “Cantik itu subjektif, tidak bisa
dihitung, Le. Paras ayu itu ndak kekal, sedangkan cantik itu terjaga. Seizin
gusti Allah.” Mendengar perkataan Mbah Mukhtar, reflek kupandagi beliau dengan
penuh takzim.
“Mbah,” kusapa pelan lelaki yang
sudah tak bisa dikatakan muda itu sambil mengetuk-ngetuk cangkir wedang yang
masih panas.
“Opo?” Mbah Mukhtar tidak
melihatku. Asyik meneruskan santapan dodol gorengnya.
“Nyai itu cantik ya, Mbah?” Kali
ini beliau menoleh demi mendengar pertanyaanku.
“Ngomong apa kamu, Le? Tentu saja.
Haha” kembali kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Tawa Mbah Mukhtar seperti
sihir tersendiri. Dodol tepung goreng dan secangkir wedang jahe pagi itu terasa
semakin nikmat usai mendengarkan kicauan beliau.
“Hehe…” Aku nyengir.
Yang cantik, dan ia tahu bahwa dirinya cantik. Tercatat, Mbah!
“Le, kalau kriteria itu berani
kamu tetapkan, catat juga hal ini; jadilah
tampan yang tahu bahwa dirinya tampan! hahaha” Tawa Mbah Mukhtar kembali
membahana. Kali ini mengusik para pengunjung warung yang sedang asyik menikmati
wedang pagi. Aku menelan ludah.
Menjadi tampan, dan harus tahu bahwa diriku tampan.
Eh?
No comments:
Post a Comment