Tuesday, August 5, 2014

Kriteria

Mendengar pertanyaanku, Mbah Mukhtar terbahak.

“Kenapa malah ketawa, Mbah?” Aku menekuk alis.

“Haha, lah whong kamu ngapain nanya kriteria milih jodoh, Lee. Umurmu masih seumur jagung, mbahmu ini dulu naklukin seribu gunung dulu baru nanya kakungmu soal jodoh. Lah kamu ini udah ngapain? Lulus kuliah aja belom, piye tho.” Tawanya semakin membahana. Aku garuk-garuk kepala. Padahal butuh berhari-hari untuk mengumpulkan keberanian menanyakan hal ekstrim semacam ini. “Memangnya kamu udah punya pujaan hati, Le?” Aku tersedak mendengar pertanyaan Mbah Mukhtar. Wedang jaheku dibuat kaget tepat di tengah kerongkongan.

“Bukan Mbah, dulu sih, cuma cinta monyet.”

“Monyet kok jadi tersangka cinta, Le,” lelaki yang sudah tak bisa lagi dibilang muda itu geleng-geleng kepala sambil mengacak-acak rambutku. Gerak jemarinya masih berenergi.

“Ya mumpung masih cinta monyet. Cintanya bocah, Mbah. Makanya ini kan nanya, kalo dulu mbah kriterianya apa?”

“Kamu ini alasan saja. Kalau Mbah pilih yang cantik, Le”

“Cantik?” aku mengernyitkan dahi. Memangnya, nyai cantik?

“Hhaha, jangan lah dilihat nyaimu sekarang ini. Dulu itu dia kembang desa.” Seakan mengerti isi fikiranku, Mbah Mukhtar melanjutkan kalimatnya sambil terkekeh. Suaranya serak, bukan karena sakit. 

“Hehe, iya Mbah…” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

“Carilah yang cantik, dan mengerti bahwa dirinya cantik.”

“Maksud Mbah?”

“Ya, hakikatnya semua wanita itu cantik. Gak ada tho yang ganteng? Haha”

“Ya iya lah, Mbaah…” Mbahku ini memang senang sekali bercanda, meski pada akhirnya lebih sering menghasilkan candaan garing yang dipaksa untuk jadi lucu.

“Cantik maksud mbahmu ini bukan dalam artian yang parasnya ayu, seperti yang biasa dimaknai banyak orang, Le.”

“Jadi?”

“Ya, cantik. Dan dia harus paham betul bahwa dirinya itu cantik yang harus dijaga.”

“Nggak ngerti, Mbah”

“Lee, Lee.” Mbah Mukhtar geleng-geleng kepala. Kembali mengacak-acak rambutku yang pagi itu memang masih berantakan. Belum tersentuh sisir.

“Kalau cantik yang dimaksud bukan ukuran fisik, lantas apa?”

“Cantik pribadinya. Cantik hatinya. Cantik jiwanya. Dan dia tahu, kesemua cantik itu harus dijaga agar tetap cantik dan semakin meningkat kecantikannya seiring waktu.” Aku manggut-manggut. Mbah Mukhtar melanjutkan. “Cantik itu subjektif, tidak bisa dihitung, Le. Paras ayu itu ndak kekal, sedangkan cantik itu terjaga. Seizin gusti Allah.” Mendengar perkataan Mbah Mukhtar, reflek kupandagi beliau dengan penuh takzim.

“Mbah,” kusapa pelan lelaki yang sudah tak bisa dikatakan muda itu sambil mengetuk-ngetuk cangkir wedang yang masih panas.

“Opo?” Mbah Mukhtar tidak melihatku. Asyik meneruskan santapan dodol gorengnya.

“Nyai itu cantik ya, Mbah?” Kali ini beliau menoleh demi mendengar pertanyaanku.

“Ngomong apa kamu, Le? Tentu saja. Haha” kembali kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Tawa Mbah Mukhtar seperti sihir tersendiri. Dodol tepung goreng dan secangkir wedang jahe pagi itu terasa semakin nikmat usai mendengarkan kicauan beliau.  

“Hehe…” Aku nyengir.

Yang cantik, dan ia tahu bahwa dirinya cantik. Tercatat, Mbah!

“Le, kalau kriteria itu berani kamu tetapkan, catat juga hal ini; jadilah tampan yang tahu bahwa dirinya tampan! hahaha” Tawa Mbah Mukhtar kembali membahana. Kali ini mengusik para pengunjung warung yang sedang asyik menikmati wedang pagi. Aku menelan ludah.

Menjadi tampan, dan harus tahu bahwa diriku tampan.

Eh?  

Ya Gusti, ini bahkan lebih sulit dari tebak-tebakan berapa usia Mbah Mukhtar!


Inspired by my big bro,
Syawal, 8th 1435 H
Riz :)

No comments:

Post a Comment