Sunday, May 22, 2016

Luigi, Valerie, dan Tulisan yang Belum Selesai

Tokoh:

Valerie (kuat) latin
Luigi (pejuang) Italia
Bibi Kaia (bumi) yunani



Jauh setelah sang Vesuvius memuntahkan isi perutnya.

Jauh dari peristiwa tahun 79 Masehi ketika Pompeii lenyap tak bersisa…




LUIGI

“Dasar! Apa maksud semua ini hah?! Aku tak pernah habis fikir bagaimana bisa mereka percaya atas surat yang tak jelas asal muasalnya?” Luigi menggerutu. Ia tak terima dirinya diperlakukan seperti boneka. Bagaimana kah hatinya bisa menerima manakala orang tak dikenal hadir dalam hidupnya, mengaku sebagai pamannya, dan memerintahkan ia untuk pergi merantau jauh ke pelosok desa? Seorang Luigi tak akan mudah menerima semuanya begitu saja. Karena Luigi bukan sembarang pemuda. Sejarah hidup yang kejam cukup membuatnya memiliki watak sedemikian rupa. Keras dan dingin.


VALERIE



Valerie tertunduk. Bukannya ia tak sudi memandang jasad ayahnya yang dikremasi. Gadis itu hanya berusaha menyembunyikan tangisnya. Cukup lama ia memendam air mata. Namun sungguh, kini ia tak kuasa. 

“Bersabarlah sayang...“ Bibi Kaia membelai kepalanya lembut. Gadis itu segera menghapus tangisnya dan menegakkan pandangan. Tersenyum kepada Bibi Kaia.

“Terimakasih, Bibi.. Val bahagia masih memiliki Bibi,” Valerie memeluk bibi satu-satunya itu sambil tetap tersenyum. Menyembunyikan tumpahan air mata yang terbendung di pelupuknya.

__________________________________________________________


Penggal tulisan di atas saya tulis ketika duduk di bangku kelas X beberapa tahun silam. Waktu itu saya benar-benar jatuh cinta pada sejarah. Jika pergi keperpustakaan, saya akan memilih berjalan lurus hingga sampai di pojok ruangan tempat dimana buku-buku lama tersimpan, dan kumpulan ensiklopedi berjejer rapi.

Saya tidak ingat persis, hendak ke arah mana penggal cerita yang saya tulis itu. Yang saya ingat, saat itu membuatnya butuh untuk mencuri-curi waktu. Mulai dari mencari referensi nama, studi pustaka tentang Kota Pompeii yang lenyap, dan ngantri giliran pakai komputer yang jumlahnya hanya ada satu buah di asrama. Dan tada! Hasilnya adalah dua paragraf saja. :) kemudian berhenti ketika saya tahu fakta baru bahwa lenyapnya Kota Pompeii terindikasi karena adanya azab dari Allah pada wilayah tersebut. Kabarnya, penduduk Pompeii mengikuti jejak kaum Nabi Luth; berperilaku ala lesbian dan gay. Waktu itu saya berfikir, rasanya tidak rela kalau keluarga Luigi, Valerie, dan Bibi Kaia jadi bagian dari LGBT~ jadilah terhenti.

Di bangku Aliyah, saya tengah dalam kesenangan menulis cerita yang memuat sejarah meski sedikit. Mulai dari "Pemuda itu Bernama Ram" yang bercerita tentang anak sekolahan Jakarta dengan segenap kebenciannya pada masa lalu, namun belum selesai; "Lensa Abu-abu" tentang fotografer amatiran bernama Angga, Thomas yang mualaf, Niken si Venus fotografi, sampai Pak Suja beserta Ratri, anaknya yang santun. Cerita itu berlatar tempat Pelabuhan Sunda Kelapa, namun sayang, juga belum selesai sejak 2012; Dulu saya menulis di buku tulis dan buku itu raib. Sementara yang disalin ke laptop baru setengahnya saja.

Setidaknya ada dua cerita yang selesai; "Kata-kata Laut" yang saya selipkan sedikit (sekali) sejarah tentang Malioboro; juga "GARUDA" tentang bagaimana Indonesia punya lambang negara.

Sore ini saya baru saja memeriksa dokumen-di dalam laptop dan Alhamdulillah, menemukan ada begitu banyak cerita (yang sayangnya belum memiliki ujung). Sebagian rampung, sebagian besar yang lain menggantung. Ada yang berhenti karena tengah dalam pencarian: manfaat dan nilai kebaikan apa yang hendak disampaikan. Sementara yang lain berhenti karena penulisnya moody-an.


Tulisan yang baik adalah yang diselesaikan.


Sebagaimana sebaik-baik niat baik adalah yang diamalkan, tulisan yang baik pun ialah yang diselesaikan. Diselesaikan melalui berbagai pintu mulai dari niat; apa yang mau disampaikan. Selain itu juga memikirkan efek sampingnya; jikalau ia dibaca oleh orang lain, manfaat kah, atau mudharat kah? meski akhirnya itu bergantung pada yang membaca, namun setidaknya stir dan rem masih dalam genggaman kita yang menulis. Setelah itu, baru benar-benar diselesaikan secara konkret. Bukan hanya wacana-- seperti yang kemarin-kemarin mungkin kerap saya lakukan.

Semoga hari ini dan besok tidak lagi.
Dan semoga memberi manfaat baik untuk diri dan orang yang membaca,

Omong-omong, inti dari postingan ini sebenarnya adalah mohon doa.
Semoga kita tidak jadi generasi wacana, terlebih untuk menebar kebermanfaatan pada semesta.

Allahumma aamiin...

Saturday, May 21, 2016

Air Mail #9

Siapa itu yang tengah bosan dan jenuh dengan keadaan dirinya?
Kemarilah. Ada kabar gembira untukmu. :)

Nyonya Val pernah menuliskan catatan itu untukku. Ah ya, maaf Aster. Mungkin Kau belum tahu siapa itu Nyonya Val. Biar aku ceritakan padamu terlebih dahulu. Ia adalah seorang pembuat roti di kota tempat aku melanjutkan studi. Entah, mungkin perkataanmu beberapa tahun silam ada benarnya, “Razen, kamu punya magnet pada orang-orang yang akrab dengan makanan. Curang!” waktu itu aku tidak terlalu memikirkannya. Tapi belakangan aku setuju dengan teori asalmu itu.

Kalau boleh aku umpamakan, Nyonya Val seperti Tuan Erdas yang menjelma perempuan. Mereka berdua mirip sekali. Cara mereka menyapa, cara mereka tertawa, cara mereka menasihati. Aku seperti menemukan sosok Tuan Erdas yang lain. Bahkan kebiasaan minum teh hijau Tuan Erdas juga dimiliki oleh perempuan berkacamata itu.

Hari itu hujan. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku tidak terlalu menyambutnya dengan baik. Ada banyak sekali persoalan yang tahu-tahu menghadang secara tidak jelas. Entah sejak kapan, kadang aku merasa jadi mirip perempuan: sensitif. Belum lagi hujan yang seringkali membawa ingatanku kepadamu -dan aku tidak suka itu. Aster, aku tahu, bahwa kebiasaanku mengingat-ingat tetangmu adalah penyakit. Setidaknya sebelum aku belajar tentang apa itu makna ikhlas dan melepaskan.

Nyonya Val mendapati dahiku berkerut memandangi hujan di balik jendela. Tidak seperti biasanya, kali itu ia sendiri yang mengantarkan pesanan roti ke mejaku.

"Kamu terlihat jauh lebih tua hari ini, Nak," ia tersenyum. Membiarkan deret giginya yang sudah tidak lengkap itu terlihat. Aku tidak menjawab, hanya tersenyum tipis,"Ada apa?" ujarnya lagi.

"Aku sedang bosan. Terima kasih Nyonya, untuk rotinya. Selalu saja terlihat enak," kataku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Dasar bocah laki-laki. Kapan-kapan berceritalah. Setiap orang boleh merasa bosan atau jenuh, Nak,"

"Laki-laki hanya membutuhkan waktu sebentar untuk masuk ke dalam guanya, Nyonya."

"Haha, baiklah. Perkataanmu persis seperti ucapan suamiku waktu kami baru-baru menikah dulu. Kalau begitu, " ujar Nyonya Val sambil beranjak pergi ke dapur, "jangan lama-lama berada di dalam gua. Kurasa matahari akan sangat merindukanmu,"

Aster, roti petang itu jadi tidak seenak biasanya. Aku benar-benar bosan tingkat tinggi. Matahari mana pula yang akan merindukanku? satu bulan belakangan kota ini selalu diguyur hujan.


**

AIR MAIL

Razen, Kau punya magnet pada orang-orang yang akrab dengan makanan. Curang! Hei, bukan hanya itu. Kau juga bisa menarik anak-anak kecil untuk bermain denganmu hanya bermodalkan butir kerikil, pasir, atau bahkan tinggi badanmu yang entah sejak kapan jauh melampauiku. Mereka terlihat begitu bahagia menaiki punggungmu. 

Kau curang, Razen. Kau bahkan memiliki ketenangan samudera. Kau yang tidak punya orang tua bisa begitu berdamai, sementara aku begitu hancur ketika ditinggal oleh ayah. Kau tahu? aku cemburu tingkat tinggi.

Sebelum ayahku pergi, beliau bahkan kerap bicara tentangmu di rumah bersama ibu. Razen yang baik hati dan dapat diandalkan, Razen yang tumbuh menjadi pemuda dan diharapkan oleh banyak tetua untuk membawa perubahan ke arah lebih baik, Razen yang senang berbagi, Razen yang... dan seterusnya.

Lalu Kau bilang, aku yang menjadi inspirasimu. Kau bahkan mampu membuat orang tuaku jatuh cinta. Tidak, bukan hanya mereka- mungkin juga aku. Tidakkah itu curang?

Razen, Kau itu terbuat dari apa?

**
Kita sama-sama tercipta dari tanah. 

Aster, ada banyak hal yang tersimpan dalam benakku. Orang-orang melihatku dengan citra yang tertangkap oleh kedua mata mereka. Begitu juga seperti aku yang melihatmu dengan mata hati milikku; bukan mata hati milikmu atau milik orang lain. Ada banyak hal yang ada dalam kepalaku. Ada banyak hal yang tidak terlihat oleh manusia. Sebaik-baik pihak yang mengenal tiap manusia, adalah Tuhan kita yang esa. Satu-satunya yang paling mengerti secara utuh, menyeluruh, dan sempurna.

Setenang apapun aku dalam pandanganmu, Tuhan tahu aku bosan dan jenuh. Dia tahu betapa aku rapuh. Betapa obrolan para tetua di kampung halaman kita sama sekali bukan hal yang mutlak kebenarannya. Aku tahu, Kau tidak sekanak-kanak itu untuk tidak mengerti apa maksudku kan, Aster?

Kita adalah manusia-manusia tanah yang rapuh dan tidak berdaya. Jangankan mengatur pandangan orang lain terhadap kita. Bahkan menentukan pandangan kita terhadap diri sendiri pun seringkali menyulitkan dan kerap bias yang ada.


Siapa itu yang tengah bosan dan jenuh dengan keadaan dirinya?
Kemarilah. Ada kabar gembira untukmu. :)

Ketika aku menerima catatan itu di sela tisu pada pesanan roti milikku, kudapati Nyonya Val melambaikan tangan dari dapur toko. Ia tersenyum, lalu bersenandung ringan, "Adakah roti yang dapat menghadirkan bahagia, Bu? ada.. ada.. roti yang diracik cinta dan dinikmati dengan syukur, Anakku..." mendengarnya, aku geleng kepala. Tertawa.

Entahlah, Aster. Mungkin kadang-kadang kita harus merasa bosan dan jenuh untuk memahami betapa indah dan nikmatnya rasa syukur. Dan tidak perlu semua orang tahu akan itu. Cukuplah kita pedulikan diri kita yang sesungguhnya di hadapan Tuhan daripada khawatir akan citra diri kita di hadapan manusia. Biarkan saja. Itu hak mereka menggunakan fikirannya. Dinilai baik atau buruk, kitalah yang tahu keadaan sebenarnya, bukan? silakan anggap aku buruk, aku tidak peduli. Silakan angap aku baik, aku juga tidak peduli.

Razen, Kau itu terbuat dari apa?

Tanah. Aku tercipta dari tanah, Aster.
Sama sepertimu.


Sya'ban 1437 H
Kawan lamamu,
Razen.

Thursday, May 12, 2016

Anak-anak Surga

...
...
yang berlarian,
yang tidak takut,
yang miliki keyakinan utuh,
Anak-anak Surga

Bias cahaya diterpa udara,
semerbak canda dan suka duka,
juga segenggam tekad hiasi jiwa-
selimuti raga.

Curang.

Bolehkah pinjami aku kekuatanmu?
Atau sudikah engkau berbagi denganku?

Anak-anak Surga-

padamu,
aku cemburu.

Tuesday, May 10, 2016

Ditanya, Bagaimana Kabarnya?

Hari ini saya bersama teman-teman baru saja turun lapang untuk mata kuliah Konseling Keluarga. Kami mengunjungi salah satu sekolah boarding school ber-beasiswa full di Kota Bogor. Masing-masing dari kami mewawancarai satu orang responden yang telah ditentukan. Responden saya adalah seorang anak kelas 2 SMP. Alih-alih memberikan konsultasi, saya justru belajar banyak melalui percakapan dengan anak 13 tahun itu. Ketika ditanya tentang bagaimana ia berusaha menyelesaikan masalah, ia menjawab dengan tenang, “Ke Allah, Kak. Saya nggak pernah curhat ke teman. Kalau masalahnya sudah berat banget, ke Allah aja. Curhat sama manusa itu nggak nyelesain masalah soalnya, Kak.” Sampai disini saja saya sudah dibuat takjub. Hei Dik, seusiamu dulu, sepertinya Aku bahkan belum berfikir sejauh itu.

Dalam tugas mata kuliah kami, idealnya saya dapat menggali permasalahan yang tengah ia hadapi dan membantu memberikan alternatif solusi. Namun meski responden saya mengaku dalam keadaan sangat bingung atas masalah yang diaku berat selama dua tahun belakangan, ia bersikuat tidak menceritakan ke siapapun. Saya mengiyakan. Diam-diam mengerti, karena toh meski saya banyak cerita seperti ini, tetap saja ada hal-hal mendasar yang tidak bisa diceritakan pada siapapun kecuali kepada-Nya. Lalu tidak cukup sampai disitu, saya kembali dibuat introspeksi diri mendengar kalimat-kalimatnya kemudian.

“Ya paling mendoakan, Kak. Biasanya kalau tahajjud. Saya paling bisanya mendoakan,” ujarnya ketika saya tanya, apakah ia menggunakan ‘strategi’ silaturrahim ketika tengah menghadapi masalah. Lagi, jawabannya kembali kepada Allah. Ia mengaku terbiasa menyendiri di masjid dan membaca Al-Qur’an jika sedang sedih. Lalu hal yang membuat saya seperti ditampar udara dalam seketika, ketika ia berkata seperti ini:

“Saya suka mikir sih, Kak. Daripada baca novel yang tebal-tebal, halamannya bahkan sampai ratusan dan berjilid-jilid jumlahnya….” Ujarnya sambil mengilustrasikan tebal novel yang biasa dibaca teman-temannya, “mendingan baca Al-Qur’an. Ngapain juga baca novel kalau baca Al-Qur’an aja belum khatam.”

Ini… daripada disebut turun lapang dan berperan sebagai konsultan amatiran, saya justru lebih merasa tengah di-training oleh Allah. Adik itu boleh jadi hanya washilah Allah dalam menyampaikan rentet hikmah semesta pada saya. Semoga tidak berlebihan, tapi saya merasa sungguh-sungguh tengah diperhatikan oleh-Nya. Tengah dipeluk. Tengah dibisiki mesra oleh langit; Riris yang mengaku cinta Allah dan Rasul-Nya, interaksimu dengan Al-Qur’an apa kabar? Doa-doa untuk keluarga dan saudaramu apa kabar? Prasangka baik  pada Rabb-mu- masihkah ia pada tempatnya?

Ternyata Allah memang selalu penuh kejutan. Menanyakan kabar hamba-Nya saja semanis ini; jalannya tidak disangka-sangka-

Kota Hujan, Sya'ban 1437 H

KILAS BALIK #1

Hal yang paling menyenangkan dari long weekend bulan Mei 2016 adalah; menyadari bahwa Ramadhan 1437 H semakin dekat (yay! :)) Alhamdulillah. Semoga kita sampai berjumpa dengan si cinta yang hadirnya sekali dalam setahun ini. Allahumma aamiin.

Rasanya lama sekali saya tidak menulis di laman ini dengan sepenuh hati. Belakangan ada banyak hal yang tahu-tahu kepikiran. Sebenarnya banyak sekali yang ingin ditulis. Tapi sayang, manajemen waktu rupanya masih menjadi alasan klise yang tak bosan diungkit-ungkit. Saya sungguh mohon doa untuk yang satu ini, ya, agar tidak pernah bosan untuk jadi manusia yang berusaha. Boleh jadi yang diijabah adalah doa yang sedang membaca ini -siapapun itu disana.

Izinkan saya -sekali-sekali- menulis agak panjang tentang apa yang saya alami. Banyak pembelajaran beberapa bulan belakangan, yang menulisnya selama ini jadi wacana saja. Dari sekian banyak, kali ini cukup saya ambil beberapa saja dulu, dan bentuknya masih cuplikan-cuplikan --daripada berujung wacana lagi, kan :) semoga Allah perkenankan untuk saya tulis beserta hikmah-hikmahnya yang lebih mendalam di lain waktu.

Ramadhan 1436 H

"Barangsiapa yang beribadah karena Ramadhan,
sesungguhnya Ramadhan hanya datang setahun sekali.
Tapi barangsiapa yang beribadah karena Allah,
sesungguhnya Allah kekal lagi Maha Mengetahui."

Ramadhan 1436 H adalah Ramadhan pertama kami bersama keponakan pertama saya dari kakak tertua, namanya Qifa. Selang 10 tahun setelah kami terakhir kali merasakan riweuh-nya lebaran sama bayi (10 tahun lalu, adik bungsu saya yang jadi bayinya. :D). Mempersiapkan macam-macam mulai dari popok, botol susu, ASI (sekaligus alat pompanya), satu set keperluan pasca mandi (baby lotion, sabun, sampo, bedak, hair lotion, dll), kaus kaki, sapu tangan, dan lain-lainnya. Semarak sekali, Lalu ketika keluarga besar berkumpul, bahagia sekali lihat bayi-bayi berseliweran :')

Ramadhan 1436 H adalah bulan pembenahan spiritual. Tidak tanggung-tanggung, saya juga mendapat ujian yang tidak dapat dipungkiri memberi pengalaman luar biasa berupa introspeksi dan upaya pengkokohan iman. Maha Besar Allah yang paling tahu isi serta kapasitas hamba-Nya. Saya banyak belajar tentang konsep diri, ilmu tauhiid, juga manajemen qalbu, terutama dari mendengar pengalaman hidup Ustadz Abdullah Gymnastiar yang berawal dari kiriman link video melalui salah seorang sahabat.


Ekspresi cinta Allah adalah ekspresi cinta terbaik. Saya yang selama ini seringkali dihantui pertanyaan "Harus berbuat seperti apa, karakter yang mana yang Allah suka?" menemukan jawabannya. Bahwa manusia, sampai kapan pun takkan pernah bisa memahami keilmuan yang sempurna. Kesempurnaan ilmu itu hanya milik Allah. Jika logika kita bicara bahwa api itu menghanguskan dan massa jenis manusia lebih berat daripada massa jenis air, bagaimanakan ia menjelaskan apa yang terjadi pada Nabi Ibrahim dan Nabi Musa?


Seorang muslim boleh jadi akan selalu berada pada ranah khauf dan raja; antara takut dan harap pada Rabb-nya. Bukankah di sanalah terletak indahnya iman?


IPB Goes to Field (IGTF) Banjarnegara 2015

"Setiap manusia memiliki sejarah.
Bukan untuk dikenang semata, melainkan untuk 
dimaknai hikmahnya secara nyata"

Berselang satu minggu, setelah Idul Fitri 1436 H, saya bersama puluhan mahasiswa IPB lainnya dikirim ke beberapa daerah di Indonesia untuk melaksanakan program IGTF. Lokasi yang menjadi pilihan saya saat itu adalah Banjarnegara, berbekal informasi selewat dari teman bahwa tempat ini sejuk dan dingin. Dan ternyata benar. Saya tidak salah pilih lokasi :)



Selama tiga minggu, kami menjalani kegiatan dengan program utama pengembangan desain untuk wisata pertanian buah durian. Hal yang meyenangkan dari kegiatan IGTF adalah, saya seperti masuk ke dalam kehidupan yang lain. Melupakan rutinitas harian yang menjenuhkan di kota besar, tidak ada macet, pemandangan hijau dimana-mana, sejuk, bertemu anak-anak SD, berjalan kemanapun saling sapa. Seru. Seperti punya dunia lain selama tiga minggu. 

Bapak homestay kami bernama Pak Karmo. Kami banyak belajar tentang pelajaran hidup dari beliau. Pengalaman pahitnya selama kecil mulai dari ditipu, jadi gelandagan, makan air bak di perkantoran Jakarta, diusir satpol PP, diangkat anak oleh seorang keturunan Arab, dan seterusnya, menjadikan sosok yang satu ini begitu memanusiakan manusia. Bahkan ada dari kami yang nyeletuk, "Bapak kalau kisah hidupnya jadiin film kayaknya seru, Pak!" dengan nada seius usai mendengar bahwa beliau bahkan punya satu koper berisi catatan perjalanan hidupnya.

Pak Karmo sangat memerhatikan masing-masing dari kami. Bahkan ketika suatu waktu saya berpuasa, tahu-tahu sudah tersedia teh manis hangat dan dua bungkus roti pia yang beliau siapkan. Anak perempuan beliau satu-satunya yang bernama 'Aina seru sekali diajak bermain. Anaknya berani. Bahkan Pak Karmo cerita pada kami, bahwa beliau pernah dipanggil ke sekolah karena 'Aina berkelahi dengan anak laki-laki. :')


Ada banyak hal yang terjadi di Banjarnegara. Saya bertemu teman-teman baru yang entah bagaimana kami begitu cepat menjadi dekat. Bahkan ada salah satu teman yang satu kelas pas tingkat pertama dan nggak pernah berbinang, tapi justru ngobrol banyak pas IGTF bareng. :D kalau ingat, jadi kangen sekali. IGTF juga sukses membantu saya mengatur hati dan fikiran. Bagaimana tidak, rasa energi tumpah untuk asyik bercegkrama dengan anak-anak SD yang sibuk berlarian sana-sini dan ikut lomba 17 Agustus-an. Belum lagi naik mobil bak tengah malam dengan suhu dingin luar biasa beserta taburan gemintang di angkasa menuju Dieng Plateau. Ada rencana baru dalam kepala saya. Suatu waktu entah kapan, saya harus kembali lagi.



Haji 1436 H

"Rindu adalah bahasa cinta yang paling jujur."

Alhamdulillah, Mama dan Ayah dijemput Allah untuk mengunjungi rumah-Nya di Kota suci Makkah pada 1436 H. Sebuah penggenapan rukun Islam yang terakhir; haji. Saya yang selama ini lebih sering pergi dari rumah meninggalkan keduanya oleh sebab menuntut ilmu, ganti ditinggalkan selama kurang lebih 60 hari lamanya ke tempat nun jauh disana. Ada rasa tersendiri. Campuran antara bahagia, haru, dan sesekali cemas.



Di tengah-tengah masa keduanya menunaikan ibadah haji, saya mendapat kejadian yang membuat saya bersyukur sekali. Adakah yang lebih menakjubkan dari doa pintu syurga saya di dunia- yang dipanjatkan dari tanah suci di hadapan Ka'bah? Allahu Akbar! saat itu saya tengah dalam kondisi hati yang sangat tidak nyaman. Serta merta saya mengirim pesan kepada Mama dan Ayah, mohon doa agar putrinya diberi sabar dan istiqomah, serta dijaga hatinya. Tidak perlu waktu berjam-jam. Hati saya lapang begitu saja. Saya membayangkan betapa cepatnya sinyal disana. Betapa dekatnya doa dengan ijabah.

Waktu keduanya pulang, rasanya deg-degan. Rindu sekali. Begitu Mama dan Ayah memasuki pintu rumah tengah malam, rasanya tenang. Haru. Rindu yang sebegitu dalam terbayar dengan sangat sederhana; mencium takzim tangan keduanya, dan mendapat pelukan hangat. Tanpa kata-kata. Lunas. Bahkan mendapat bonus berupa pengalaman dan cerita selama keduanya berada di tanah seberang.

Lalu ada harap yang semakin membuncah; semoga Engkau mengajakku juga mengunjungi rumah-Mu. Segera setelah semuanya Engkau anggap siap. Allahumma aamiin...


C-care Edwar Technology

"Kebanyakan dokter 'mengobati' badan seakan ia terpisah dari jiwa.
Sebaliknya, kebanyakan psikolog 'mengobati' jiwa seakan ia terpisah dari badan.
Padahal sejatinya, badan dan jiwa merupakan satu kesatuan utuh."


Jika orang-orang mengenal Dr. Warsito dari pemberitaan di media, saya justru mengenal beliau ketika secara 'tidak sengaja' turut bergabung menjadi ghostwriter untuk laman website C-care Edwar Tehnology. Meski hanya satu kali turun lapang langsung bertemu dengan para pasien kanker pengguna ECCT untuk saya wawancarai, pengalaman tersebut sungguh luar biasa bagi saya. Saya lebih merasa tengah dapat kesempatan seminar kesehatan gratis dibayar alih-alih kerja serabutan. :D

Materi yang disuguhkan sangat menarik. Saya jadi tahu bagaimana sisi psikologis seseorang sangat berpengaruh terhadap kesehatan tubuhnya. Bahkan saya tidak pernah sekadar menebak, bahwa satu penyakit kanker tertentu teridentifikasi dengan jenis trauma yang spesifik. Misalnya saja kanker testis dan ovarium, kabarnya kuat dipengaruhi oleh perasaan kehilangan yang mendalam. Juga kanker lainnya seperti kanker payudara yang bahkan kanan/kiri memiliki jenis masalah psikologis berbeda. Materi tersebut saya dapat dari Bapak Riza dari Terapi Hati. Mungkin akan saya tulis selengkapnya lain waktu. Atau silakan berselancar dan mencari tahu bagi yang tertarik.

Di acara ini pula, saya pertama kali mengenal ECCT dan ECTV, pertama kali berjumpa dengan Dr. Warsito (dan beliau ramah sekali!) juga bertemu dengan orang-orang inspiratif. Saya bahkan tidak menyangka sapaan manis di tengah-tengah antrean makan siang itu berasal dari seorang perempuan muda yang tengah mengidap kanker tiroid. Hingga saat ini saya kerap bertukar kabar dengan Ayuk -begitu saya memanggilnya (Ayuk = sapaan untuk 'kakak perempuan' di Sumatra). Selain Ayuk, ada juga Adik Rafi (fotonya ada di atas), Ibu Nita dan Ibu Indira (para tetinggi Komunitas Peduli Kanker Lavender), Ibu Ani, Ibu Ayi, Ibu Metty, dan lainnya. Semuanya memberikan saya banyak pelajaran. Belum lagi melihat adik-adik berseragam kuning yang saling berbaris rapi (dan ternyata mereka semua pengidap kanker). Berbincang dengan kesemuanya memaksa saya menyaksikan ketegaran seorang ibu, antusiasme seorang anak muda, ketulusan seorang anak, dan menyuguhkan saya pembelajaran tentang makna ikhtiar dan syukur yang sebenar-benarnya. :')


Namun sayang, tidak lama dari acara di Jungle Land ini, seperti yang mungkin pembaca tahu, C-care Edwar Technology ditutup dan saya tidak dapat melanjutkan kontribusi untuk menulis di website Pejuang Kanker.


Januari di Insan Cendekia Serpong

"Tempat ini seringkali tidak terdefinisi."



Dua minggu tidak cukup. Ya, waktu dua minggu adalah masa penjajakan magang saja bagi saya. Baru saja mulai dekat dengan adik-adik, tak ayal saya harus kembali ke Kota Hujan melanjutkan studi. Entah bagaimana saya selalu merasa berhutang pada tanah ini. Bukan hanya pada instansi, negeri, pendidik, orang tua, namun juga pada diri sendiri. 

Tapi saya tidak akan membahas tentang itu kali ini. Terlalu bersifat batin dan main perasaan :D intinya selama magang, saya mendapat banyak pengalaman. Banyak belajar lagi, banyak berbincag-bincang dengan para pendidik luar biasa. Diam-diam saya menyesal mengapa dulu tidak tahu yang namanya kitab ta'lim muta'alim, dan seabrek keilmuan yang sebenarnya ustadz-ustadzah saya sangat memungkinkan untuk dimintai pengajaran ilmu serta barakahnya. Hal mengesankan lain adalah pengalaman saya untuk pertama kalinya menangani siswi yang kemasukan jin. Bagi saya yang baru pertama kali berhadapan langsung, pengalaman ini tidak hanya bersejarah, namun juga membuka wawasan tentang pengobatan ruqyah dan segala turunannya.

Ada satu mimpi sederhana saya yang diijabah Allah dengan indahnya; kesempatan berbagi langsung dengan adik-adik di MAN Insan Cendekia. Meski saya tahu betapa sedikitnya hal yang dapat saya bagikan, namun mengetahui keberadaan saya memberi manfaat meski sedikit, itu sudah terlalu indah untuk tidak disyukuri. 


Seleksi Mahasiswa Berprestasi

"Semua orang punya hak yang sama untuk berusaha.

Jadilah manusia berprestasi, bukan sekadar mahasiswa 'berprestasi'!"

Saya tidak pernah mendaftarkan diri, tapi tahu-tahu jadi begini. Katanya, ajang kompetisi "Mahasiswa Berprestasi" terbilang bergengsi. Saya mengiyakan, dan mengapresiasi usaha pemerintah kita untuk menumbuhkan daya juang pada anak-anak mudanya, :) Saya tidak sampai mana-mana, ini hanya sampai tingkat fakultas (itu pun ada tiga orang dari departemen saya). Intinya, saya tidak lolos seleksi sejak tahap pertama, Hhe :D


Tapi saya menempatkan pengalaman ini menjadi salah satu yang terpenting dalam sejarah kemahasiswaan saya. Bukan apa-apa, saya jadi lebih memahami bahwa saya rupanya memang tidak begitu tertarik dengan juara, peringkat, nilai, dan hal-hal semacamnya. Kali ini saya megiyakan hasil tes Stifin yang hasilnya menyebutkan bahwa saya lebih bahagia mencetak para raja daripada menjadi raja itu sendiri.


Meski terdengar baik-baik saja, namun sebenarnya kadang saya juga drop dan takut. Bahkan dalam beberapa kesempatan jadi bertanya-tanya, "Apa Engkau sungguh menciptakan hamba cukup untuk menjadi penggembira saja?" --oke, itu kalau saya sedang jatuh sekali. Kadang-kadang takut terlalu asyik main di belakang. Sewaktu duduk di bangku Aliyah, saya bahkan lebih senang menemani kawan belajar untuk persiapannya olimpiade dibanding mengurusi pengembangan potensi saya sendiri. Saya tidak akan cemburu padanya jika akhirnya ia memenangkan olimpiade (bahkan boleh jadi akan sangat senang dan bersyukur). Tapi jujur, saya pastikan saya akan cemburu pada usahanya. Pada ikhtiarnya yang menghabiskan petang di sekolah untuk menuntut ilmu. (Dan saya asyik duduk (menganggur) di sebelahnya, seolah tekun menemaninya belajar).

Tapi saya menemukan jawaban. Bahwa justru keadaan-keadaan seperti itu adalah bukti bahwa Allah menyayangi saya dan ingin agar potensi saya pun berkembang. :) Allah tahu saya akan jadi mahasiswi dengan bidang keilmuan sosial. Allah tahu saya ingin menjadi pendidik. Maka dengannya, Allah mengajarkan beraneka ragam cara manusia mengusahakan citanya dan berperilaku dalam keseharian mereka.

Kaitannya dengan seleksi mahasiswa berprestasi ini adalah, setidaknya saya menemukan kenyataan bahwa ternyata jika agak dipaksa, saya bisa menyelesaikan tulisan berbau ilmiah dan agak serius (setelah selama ini paling anti nulis hal semacam itu) dalam waktu satu minggu meski berbenturan dengan target tilawah 5 juz/hari untuk masuk kelas tahfidz di RQ, dan laporan magang yang belum juga selesai. Meski terseok-seok, alhamdulillah atas bantuan teman-teman dan dosen pembimbing, KTI saya mencapai nilai tertinggi (sebenarnya itu tidak penting, tapi boleh dijadikan salah satu bahan evaluasi). Saya hanya menemukan fakta bahwa ternyata, Allah juga menghendaki saya untuk merayakan usaha dan berikhtiar optimal. Alhamdulillah! :))


Kids Corner "Sakinah Bersamamu"

"Amalkan. Bukankah Imam Syafi'i pernah berkata-
bahwa ilmu selalu menarik untuk diamalkan?"

Tidak, saya tidak hendak membicarakan tentang seminar pernikahan atau semacamnya. Kali ini adalah tentang anak-anak. :D



Alhamdulillah pada bulan Maret lalu, saya kembali mendapat kesempatan menimba ilmu melalui praktik langsung :D menjadi panitia sebuah seminar berjudul "Sakinah Bersamamu" yang diisi oleh Pak Cah beserta istri. Bagian saya dan 7 kakak lainnya adalah menjaga dan bermain besama adik-adik kecil selagi abi-umi mereka mengikuti seminar. Percayalah, berurusan dengan puluhan bocah selama delapan jam ternyata bukan hanya mengasyikkan, tapi juga mengkayakan! teori di bangku kuliah yang dipelajari selama berhari-hari itu ternyata masih kerdil sekali ketika harus dipraktikkan di lapangan secara nyata.

Meski cukup melelahkan, tapi sungguh terbayar dengan pengalaman berharga. Tingkah mereka unik-unik. Mulai dari mengajari boneka berjalan di atas aspal, mewarnai gambar berlembar-lembar dengan krayon merah semua, sibuk mencari Abi, sibuk mencari Umi, sibuk ngeliatin ikan dan tidak mau beranjak, main ayunan sampai tidur, tidak mau turun dari gendongan, membongkar rumah-rumahan dengan alasan copot sendiri pintunya :''D, main perosotan nggak berhenti-berhenti, juga ada yang tantrum bukan main.

Berbagai macam strategi digunakan agar mereka tetap tenang dan tidak ribut mengganggu kegiatan seminar. Batang otak saya bahkan seperti mendadak bekerja dengan tahu-tahu menyampaikan dongeng yang entah ceritanya dapat inspirasi darimana. Begitu juga dengan kakak-kakak yang lain. Mungkin kawan saya, Arlinda, juga tidak pernah menyangka bahwa dirinya dapat berperan baik menjadi singa yang sedang menangis. :D

Bagi yang belum pernah, sesekali cobalah menghabiskan waktu bersama anak-anak. Belajar bahagia tanpa syarat dari mereka.


***
:)

Penggalan-penggalan di atas agaknya terpisah satu sama lain. Tapi dari sana, saya mendapat satu kesatuan pembelajaran yang utuh. Semoga yang membaca dengan pengalamannya pun demikian.

Ini hanya saran. Jika suatu waktu kita mengalami kemandekan, cobalah bersyukur. Ekspresi syukur ada banyak sekali. Ingat-ingat lagi kenikmatan apa saja yang pernah kita alami. Kalau pun kita merasa itu sedikit (meskipun nurani sebenarnya yakin aslinya banyak sekali sampai tidak terhitung), tidak apa. Bersyukur saja, dan bagikan!

Sungguh tidak hanya kebahagiaan yang membawa kita pada syukur, melainkan rasa syukur itulah yang sejatinya membawa kita pada kebahagiaan. :)