Tuesday, February 4, 2014

Air Mail #3

Aster. Belum lama aku berbincang denganmu soal ibu. Dahulu, aku ingin sekali menanyakan padamu, tentang wanita. Aku selalu heran bagaimana mereka mampu tertawa meski aku tahu, ada badai kecewa disana. Maklumlah, dahulu aku tidak melihatmu sebagai seorang wanita. Kau hanyalah bocah tengil yang gemar menghantam tubuhku dengan lumpur. Tapi aku sungguh-sungguh ingin tahu. Bahkan hingga saat ini, aku tak juga mengerti. Bagaimana mereka mampu berdiri tegak, meski aku tahu, yang ada di pundaknya tidaklah seringan kapas. Hei, tunggu. Apa mungkin aku yang sok tahu?

Lambat laun, aku juga menemukan sinar semacam itu darimu. Kau menjelma menjadi makhluk yang tak kukenal. Kau tersenyum sambil menegakkan kepala. Kau tertawa. Bukan sok kuat, tapi kau jadi benar-benar terlihat kuat. Justru aku, yang jadi terlihat sangat lemah. Sore itu mataku sembab oleh air mata. Sementara kau, tertawa gembira. Bagaimana kau bisa melakukannya, Aster? Padahal dunia mengabarkanmu berita buruk itu. Malapetaka. Hidupmu takkan lama lagi. Tapi kau, justru yang menghiburku. Menghibur kami.

Aku pernah menyebut kaummu adalah pembohong besar. Mengatakan hal yang bukan fakta. Mengabarkan dalam keadaan baik meski nyatanya tengah dihantam puluhan pisau. Bagiku, itu sebuah tindakan bodoh. Bukankah berkata tidak jujur selalu membawa pada keburukan? Dahulu aku berfikir demikian. Meski pada akhirnya, kuakui aku keliru. Jujur bagi kaummu adalah tindakan ajaib itu. Tindakan pengutaraan harapan bahwa diri baik-baik saja, dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan.  Begitukah? 

Daftar wanita yang hadir dalam hidupku tidaklah banyak, Aster. Tapi itu lebih dari cukup bagiku untuk mempertanyakan banyak hal. Aku hanya mengenal nenek panti, ibumu, dan tentu saja, aku mengenal Kau. Setidaknya aku merasa demikian. Meski tahun-tahun belakangan Kau mendadak menjadi entah siapa- seakan aku tak pernah jadi bagian dari hidupmu. Tapi ternyata aku sungguh-sungguh keliru. Kau kembali mengejutkanku.

Hari itu ibumu menyadari kehadiranku di taman belakang. Beliau lantas tertawa dan mengajakku untuk ikut serta. Aku hanya menggeleng pelan; memberi isyarat tentang diriku yang tidak membawa pakaian ganti. Hari itu, untuk pertama kalinya aku merasakan betapa meyenangkannya ketika belasan anak kecil menghampiri. Kau mungkin bisa membayangkan, momen ketika mereka menarik-narik kedua lenganmu, menarik bajumu, mendorong demi melihatmu terendam lumpur. Dan aku mengalah. Aku terlalu lemah untuk menolak mereka.

Aster, Kau selalu saja membuatku heran bercampur kagum. Petang itu usai bermain lumpur bersama anak-anak di taman belakang, ibumu meminjamiku satu stel pakaian; milik mendiang ayahmu, kurasa. Aku mengenakannya, meski agak kebesaran.  Kemeja cokelat muda dengan celana panjang berwarna hitam. Selaras dengan warna dinding rumahmu. Matahari semakin hilang ditelan langit Barat. Padang bunga ibumu terlihat semakin cantik diterpa temaram cahaya petang. Aku hendak pamit. Kusampaikan salam takzim pada beliau, mengucapkan banyak terimakasih termasuk pada pasukan bocah penggenggam lumpur; dirimu yang tahu-tahu menjelma menjadi belasan. Usai berpamitan, tiba-tiba ibumu memintaku untuk menunggu. Beliau melupakan sesuatu di dalam rumah. Tak berapa lama, ibundamu keluar dengan sebuah kotak kayu berukirkan bunga. 

Aster, Kau selalu saja membuatku heran bercampur kagum. Petang itu usai bermain lumpur bersama anak-anak di taman belakang, aku dikejutkan oleh sebuah kotak kayu berukirkan bunga. Kotak milikmu dengan tumpukan kertas surat di dalamnya. Bukan. Itu bukan surat-surat yang kau dapatkan; tapi tumpukan surat yang Kau tulis untuk orang lain, dan tak pernah Kau kirimkan.

Aku menangis, Aster.
Bagaimana bisa Kau menyimpan semua surat itu selama bertahun-tahun?
Banyak nama yang tertera disana, sebagai tujuan dari suratmu.
Tapi aku menemukan satu nama yang paling banyak Kau tuliskan; R a z e n 


R a z e n - dan itu adalah namaku.


Diawali pada pertengahan Rabiul Awal 1435 H,
dirampungkan pada 5 Rabiul Akhir 1435 H.

Fotografie Ausstellung


Yesterday, my friends and i went to this event;

Photography? yeah! honestly, our purpose was to meet up. Wherever the place is, as long as a good place, as long as we meet up, it'll be precious. And Alhamdulillah, we found that event. At least we have a destination to go. :D
 
retno-riz-suha-maryam


We visited Monas first before we went to Gedung Galeri Indonesia which located near Monas. Sunday morning in Monas was crowded; so many people there. Although yesterday was not our first time to see Monas (yup we're all stayed in Jakarta), it was enjoyable. :) Suddenly i remember one simple sentence.

 It's not really important how many times you go to a place.


And here is some pictures, taken at Gedung Galeri Indonesia :) 
Gedung Galeri Indonesia

Somewhere in Gaza, Palestine.
Well-ordered building in Dubai.

Dubai
This one is cool! :)
Three men walk
This one is my favourite. Gaza, Palestine.
An unperfect dot.
Me-Jakarta; our capital


My flat point finger. Hhe
Station in Russia
Peek
Doll
Retno tried to hold the barbie; Indonesia
Suha and Maryam; corridor.
A big 'aquarium'
Rain <3
Port
Observe
House building artificial in Las Vegas' mall.
Another Rain :D



That's a part of our journey yesterday. Yet i don't tell you the descriptions of those pictures, you can ask Mr.Google, or maybe come to Gedung Galeri Indonesia at Medan Merdeka Timur street (It's three days left from January 4th 2014 :p). 

Thanks Amr (Suha's brother) who helped us to take our pictures. :D


Saturday, February 1, 2014

Pemuda untuk Lingkungan



“Berikan aku seribu orang tua,
niscaya kucabut semeru dari akarnya
Berikan aku sepuluh pemuda,
niscaya akan kuguncang dunia!”
-Ir. Soekarno-

Potret Pemuda untuk Indonesia Hijau

Makin kesini, lingkungan semakin ramai diperbincangkan mengalami penurunan kualitas. Sebut saja Jakarta, sebuah kota metropolitan yang tercatat sebagai kota dengan tingkat polusi terburuk nomor tiga (setelah Meksiko dan Thailand) di dunia. Sungai Citarum, Jawa Barat, tercemar oleh polusi yang disebabkan limbah pabrik dan sampah masyarakat. Belum lagi kabar yang mengatakan ribuan hutan di Indonesia mengalami kebakaran yang tak jarang berdampak negatif pada negara tetangga.  Pun bencana banjir, kini tidak lagi hanya disebabkan oleh fenomena alam. Tampaknya ulah tangan manusia yang gemar membuang sampah tidak pada tempatnya dan penebangan hutan secara liar telah menjadi penyebab utama dari bencana ini. Kondisi bumi semakin tidak karuan karena ulah penghuninya. Indonesia yang dibangga-banggakan dengan kekayaan alamnya kini justru dipertanyakan kredibilitasnya dalam melestarikan kekayaan alam itu sendiri.

Jika dianalogikan, maka bumi adalah rumah dimana kumpulan manusia yang tinggal di permukaannya merupakan satu kesatuan yang membentuk sebuah keluarga besar. Sayangnya, tidak semua dari manusia menyadari akan analogi sederhana ini; bahwa kita adalah keluarga, dan bumi adalah rumah kita bersama. Maka fenomena pemilik rumah yang merusak rumahnya sendiri menjadi semacam pemandangan yang lumrah dan dianggap biasa. Padahal jelas, ini bukanlah sebuah kewajaran. Hal tersebut menjadi polemik tersendiri, bahwa kegiatan manusia yang menyebabkan kerusakan alam tidak lagi menjadi hal istimewa. Maka disinilah, peran pemuda dibutuhkan.

“pe mu da n orang muda laki-laki; remaja; taruna: para – akan menjadi pemimpin bangsa; ~ tawon ki pemuda yang selalu bergantung pada induk semangnya.”
Kamus Besar Bahasa Indonesia

Pemuda dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada laki-laki, tapi mencakup seluruh manusia yang tergolong dalam usia muda; yang memiliki semangat muda. Pendapat yang mengatakan bahwa pemuda memiliki energi besar tampaknya telah disetujui oleh masyarakat luas tanpa bantahan. Tercatat dalam sejarah, pemuda seringkali terlihat dan ambil peran dalam setiap peristiwa. Penaklukan Konstantinopel, misalnya. Bagaimana Muhammad Al Fatih berperan sebagai panglima ketika usianya masih 24 tahun, dan melahirkan ide-ide strategi perang yang dinilai cerdas. Atau kisah bagaimana Einstein yang sejak muda telah melahirkan berbagai teori yang menjadikannya orang paling berpengaruh pada abad 21 versi majalah Time. Lebih dekat lagi, kemerdekaan bangsa kita yang jatuh pada tanggal tujuh belas Agustus 1945 pun erat kaitanya dengan peran pemuda.

Indonesia kaya akan sumber daya. Dengan luas daratan yang hanya 1,3 % dari seluruh permukaan bumi, Indonesia memiliki berbagai jenis kehidupan liar dan berbagai tipe ekosistem yang tidak seluruhnya dapat dijumpai di belahan bumi lain. Kaya akan flora, fauna, juga kaya akan budaya. Dengan pertumbuhan penduduk yang terbilang tinggi, tentu bumi pertiwi ini juga kaya akan pemuda. Lantas apa keterkaitan antara pemuda dengan minimnya kesadaran bahwa bumi, bahwa lingkungan adalah rumah yang harus dijaga dan dilestarikan? Dalam hal ini, pemuda memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi sarana penyampai pesan tentang pentingnya lingkungan. Namun, bercermin pada kenyataan yang ada, jumlah pemuda yang ada di negara kita seakan tidak selaras dengan kelestarian lingkungan. Justru sumber daya alam negeri ini dirasa semakin terpuruk.

Dalam beberapa kurun waktu terakhir, pemuda kita sebenarnya mulai angkat bicara dan menyemarakkan semangat pelestarian lingkungan. Terbukti dengan lahirnya komunitas-komunitas bernafaskan peduli lingkungan yang berdirinya dipelopori oleh para pemuda. Beberapa diantaranya yaitu: Komunitas Indonesia Berkebun yang kegiatannya berupa urban farming  ‘memanfaatkan lahan tidur di wilayah perkotaan yang dikonversi menjadi lahan pertanian’; Transformasi Hijau, dimana pergerakannya fokus pada pendidikan lingkungan; Komunitas Pecinta Kertas yang memanfaatkan kembali kertas bekas demi kelestarian pohon yang terdapat di alam; juga ada Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KAPHI), lahir dari gagasan sekumpulan pemuda yang tidak rela lingkungannya dirusak. KAPHI sendiri telah mengadakan konferensi nasional dan anggotanya telah menyebar di berbagai wilayah di Indonesia. Sebuah perkembangan yang terbilang cepat mengingat komunitas ini baru berdiri kurang-lebih selama tiga tahun. Hal ini tentu menjadi sebuah kabar gembira untuk bangsa kita yang merindukan tanah surganya.

Pendapat yang mengatakan bahwa pemuda memiliki peran yang besar dalam perkembangan suatu bangsa bukanlah lagi sebuah pemikiran yang baru dan asing. Maka, lahirnya komunitas-komunitas seperti yang telah disebutkan di atas merupakan sebuah kewajaran. Karena memang begitulah sikap pemuda seharusnya. Idealnya, pemuda yang kelak akan menjadi pemimpin bangsa memiliki kesadaran penuh bahwa lingkungan saat ini merupakan cerminan kehidupannya di masa depan. Yang sangat disayangkan, perbandingan antara jumlah pemuda yang memiliki pemahaman baik mengenai lingkungan dengan yang kurang pemahamannya masih terbilang besar. Memang, telah banyak gerakan pemuda yang bernafasakan lingkungan. Tentu hal tersebut tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi, mereka tidak cukup untuk menghadirkan kesadaran seutuhnya di tengah-tengah masyarakat. Terlebih komunitas-komunitas tersebut terkesan berdiri sendiri, tidak saling bekerja sama. Wilayah Indonesia yang tidak bisa dibilang kecil ini membutuhkan potensi maksimal para pemudanya, demi lingkungan yang lebih baik.

Belajar dari presiden pertama kita, Ir. Soekarno, beliau merupakan potret pemuda yang memilki keyakinan dan kemauan kuat membawa perubahan bagi bangsanya menuju lebih baik. Tentu bukan tanpa proses hingga beliau terkenal oleh dunia sebagai orator yang ulung; mampu menyampaikan gagasan hingga memengaruhi para pendengarnya. Soekarno muda memiliki keyakinan kuat bahwa suatu saat bangsanya mampu merdeka. Keyakinannya dalam tindak nyata dapat kita lihat dari bagaimana ia menjadikan berlatih pidato sebagai salah satu rutinitas hariannya. Buah dari usaha tersebut, dapat dilihat sekarang. Bagaimana namanya masyhur sebagai bapak proklamator yang memberikan kontribusi besar untuk Indonesia. Lebih dari itu, beliau telah membawa nama Indonesia pada kancah Internasional hingga negeri ini dijuluki sebagai Macan Asia pada masanya. 

Dari potret Soekarno, pemuda kini pun demikian. Sebelum meyakinkan dan memberi pemahaman kepada masyarakat, tentu pemuda dituntut untuk memiliki keyakinan penuh bahwa Indonesia mampu mewujudkan cita hijaunya. Karena sebuah ide dan gagasan tidak akan tersampaikan dan diterima dengan baik manakala sang penyampai pesan itu sendiri tidak yakin akan apa yang disampaikannya. Di sinilah titik persoalannya. Pemuda kita tahu akan kebenaran bahwa membuang sampah sembarangan itu tidak baik, namun tak banyak yang bertindak nyata dengan mengingatkan secara langsung si pelaku. Atau bahkan kasus yang memprihatinkan, ketika pemuda itu sendiri yang bertindak sebagai pelaku pembuangan sampah sembarangan meski ia tahu akan nilai yang benar. Begitu juga di kawasan pariwisata alam, tidak jarang didapati sisa-sisa kegiatan vandalisme oleh sekelompok pemuda yang mengaku sebagai para pecinta lingkungan. Ini merupakan contoh sederhana dari pengetahuan yang tidak diiringi pemahaman baik dan tindak nyata di lapangan. Sebuah fenomena yang menunjukan belum adanya kepedulian berarti dan keyakinan utuh.

Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk sosial, begitu pun pemuda. Pemuda adalah potensi besar. Maka bisa dibayangkan, Indonesia kita dengan keberagaman pemudanya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke tentu memiliki potensi luar biasa. Merealisasikan kepedulian terhadap lingkungan tidak sesempit melakukan kerja bakti, seminar lingkungan, atau kegiatan menanam seribu pohon. Masing-masing individu tentu memiliki caranya sendiri. Dengan dibekali tujuan yang selaras satu sama lain, yakni menumbuhkan kesadaran pada masyarakat betapa pentingnya menjaga lingkungan, pemuda mampu berperan sesuai posisinya. Sebagai mahasiswa, maka jadilah penggerak aktivitas mahasiswa yang mencintai lingkungan. Tidak berhenti sebatas lisan, tulisan, poster, atau jargon-jargon bercitakan hijau; tapi diiringi dengan aksi nyata. Jika kegiatan menanam seribu pohon telah direlaisasikan, maka saatnya program merawat seribu pohon dijalankan. Karena tidak akan berguna penanaman bibit yang tidak diiringi dengan perawatan berarti. Ketika jejaring pemuda telah tercipta dengan visi dan keyakinan yang sama untuk melestarikan lingkungan dan menyampaikan pemahaman-pemahaman baik, maka dengan ikatan konsisten, kelak bumi pertiwi akan menemukan surganya kembali. Semoga.

Sumber:
Kompasiana.com (3 Oktober 2013)
Wartakota.tribunnews.com (3 Oktober 2013)
News.liputan6.com.2007.http://news.liputan6.com/read/144518/jakarta-kota-terpolusi-ketiga-dunia (3 Oktober 2013)
Kamus Besar Bahasa Indonesia