Thursday, January 28, 2016

Ada yang Tertinggal di 'Pondok Pesantren' ini

Ada yang tertinggal di 'Pondok Pesantren' ini

Dulu saya tidak pernah berimajinasi akan punya kamar sendiri di gedung G MAN Insan Cendekia Serpong. Lalu Januari 2016, kamar yang biasanya jadi tempat penyimpanan laundry ini pun disulap untuk saya tempati selama kegiatan magang berlangsung.

Ada yang tertinggal di 'Pondok Pesantren' ini

Saya belum merasa lulus dari MAN Insan Cendekia. Seperti belum ada yang saya lakukan dengan berarti untuk madrasah ini. "Kamu udah mau lulus lagi aja Ky," ujar salah seorang guru, yang saya jawab dengan perkataan jujur, "Iya nih Bu, nggak terasa." Nggak terasa. Sungguhan. Karena saya merasa belum lulus dari tempat ini. Masih ada daftar hutang yang belum saya lunasi untuk Insan Cendekia. Maka jawaban itu bukan basa-basi, melainkan kenyataan yang nyata sebenar-benarnya.

Ada yang tertinggal di 'Pondok Pesantren' ini

"Cerita dong, Kak. Pengalaman yang paling berkesan selama di IC?" tanya salah seorang adik ketika kami bincang-bincang usai shalat magrib. Saya diam sambil berfikir keras. Bukan karena tidak menemukan jawaban, tapi karena bingung memilih yang mana dari sekian alternatif pilihan yang ada. Insan Cendekia dengan tega menjadikan setiap momennya terasa berkesan. Jadilah saya menjawab selintas fikir seiring mata yang memandang pohon jambu di depan masjid, "Dulu kakak sama teman-teman suka metik jambu disitu. Temanku manjat malah. Pernah juga makanin asem dari pohon lapangan belakang." Hha, nggak filosofis banget-

Ada yang tertinggal di 'Pondok Pesantren' ini

Esensi mata kuliah magang adalah belajar. Benar-benar belajar. Lagi, saya dibuat takjub. Tidak menyangka belajar disini sungguh-sungguh belajar. Hei, dengan duduk di dalam kantor wakamad Asrama saja, saya belajar tentang teorinya Al-Ghazali, teori Maslow, perbandingan keduanya, psikologi terapan, intervensi sosial, fikir kritis tentang dunia psikologi, generasi XYZ, sampai perkembangan pendidikan di Indonesia. Oke, obrolan ustadz-ustadzah saya membuat anak didiknya ini diam-diam sambil rekap data pun ikut belajar. :')

Ada yang tertinggal di 'Pondok Pesantren' ini

"Waah, ada ya Kak, jurusan itu?" salah satu adik mengomentari IKK (Ilmu Keluarga dan Konsumen) yang tidak lain adalah mayor kuliah saya. Iya, Dik. Ada. Maka lihatlah dunia dengan luas. Kalian boleh saja tinggal di kampus MAN Insan Cendekia dalam kehidupan sehari-hari. Menghabiskan lebih banyak waktu di lingkungan ini, berkutat dengan rutinitas harian yang boleh jadi kadang membuat kalian bosan. Tapi fikir kalian sungguh harus mendunia-mengakhirat. Eh, ngomong apa saya-- tapi itulah kenyataannya. Insan Cendekia yang boarding school ini justru menjadi sarana pengglobalan fikir yang luar biasa bagi saya. Saya yakin, bagi mereka pun demikian.

Ada yang tertinggal di 'Pondok Pesantren' ini

Usai shalat magrib berjamaah, lantas semuanya doa bersama. Mendoakan kesuksesan serta keberkahan acara-acara OSIS, mendoakan kemudahan menuntut ilmu, mendoakan teman-teman yang akan mengikuti lomba, mendoakan para mujahid dari berbagai penjuru, mendoakan sanak kerabat yang berpulang. Saya ingat beberapa tahun yang lalu, kami melakukan hal yang sama di masjid Ulil Albab. Ada yang istimewa disini. Ada pembelajaran luar biasa, tentang penyertaan Allah dalam segala aspek kehidupan. Saya semakin sadar bahwa tempat ini sedikit-banyak mengajarkan saya akan konsep tauhid tersebut. Kontinyu, terus-menerus, hingga membentuk pola kebiasaan; habits.

Ada yang tertinggal di 'Pondok Pesantren' ini

Ada yang tertinggal di MAN Insan Cendekia. Bukan sepotong hati seperti yang Tere Liye bilang bahwa ia hilang. Ialah kenang-raut-semburat-udara-pesan-makna-doa-langit. Ialah atmosfer jihad menuntut ilmu, niat yang lurus, penjagaan diri yang kokoh. Ialah ketulusan ayah-bunda; semerbak kemewahan yang sungguh amat sederhana.

Ada. Ada yang tertinggal di 'Pondok Pesantren' ini

Bawa kembali keyakinan utuhmu,
bawa kembali kebulatan tekad serta azzam milikmu yang tidak pernah mati.

QUM!

Foto oleh Naufi Ulumun Nafi'ah

Friday, January 22, 2016

Kecewa

"Kamu pernah kecewa?"
"Tidak,"
"Benarkah?"
"Aku tidak pernah kecewa atas prasangka baik kepada Rabb-ku."
"Pada manusia?"
"Manusia? apa istimewanya manusia, ketika hakikatnya ia hanyalah cara Allah mendidik hamba-Nya?"
"Termasuk dirimu sendiri?"
"Ya, tentu. Hei, kamu tahu sesuatu?"
"Apa?"
"Sahabat nabi Ali bin Abi Thalib pernah berkata bahwa ia telah mengalami berbagai jenis kepahitan dalam hidup. Dan yang paling pahit adalah berharap pada manusia. Kamu tahu kenapa?"
"Hmm.. kenapa?"
"Harapan pada selain Allah hanya akan berujung kecewa. Sudah terbukti, dan sayangnya terus-terusan terulang dalam sejarah peradaban manusia. Kadang-kadang, aku termasuk di dalamnya."
"Jadi, kamu pernah kecewa?"
"Pernah, ketika aku lupa ada Dia Yang Maha Mengatur."
"Maksudmu?"
"Kecewa hanya memiliki eksistensi ketika fikir kita tidak fokus pada Allah. Hidup ini bermuara pada-Nya. Dan kepada-Nya, bagaimana bisa aku kecewa, jika ketika kuminta satu nikmat, Ia justru menghujaniku jutaan --bahkan tak hingga?"


Tuesday, January 19, 2016

Api Tauhid [Bukan Resensi]


"Bismillah"
pangkal segala kebaikan,
permulaan segala urusan penting,
dan dengannya juga
kita memulai segala urusan.

-- Badiuzzaman Said Nursi

Usai membaca resensi novel Api Tauhid tulisan salah satu sahabat saya Itta Raisah Fitriyani, saya jadi ingat dengan novel Api Tauhid saya yang dibeli pada Islamic Book Fair tahun lalu di Senayan. Waktu itu saya langsung membacanya ketika liburan. Namun belum selesai menyelesaikan beberapa bab terakhir, saya kembali ke Bogor dan meninggalkan novel itu di Jakarta. Naasnya, (hhe) novel tersebut terlupakan untuk diteruskan bacaannya. Selama berbulan-bulan, ia nangkring di rak buku ayah bersama puluhan buku-buku lainnya. Tapi ada satu pelajaran yang menghujam sekali dalam benak saya selama itu; ialah tentang pendidikan dzikir. Bagaimana sosok Mirza, ayahanda dari ulama besar Badiuzzaman Said Nursi, diajarkan oleh ayahnya untuk terus berlatih agar setiap tarikan dan embusan nafasnya adalah dzikir.

Huwa Allah

Huwa Allah

Huwa Allah

Saat menarik nafas ia berdzikir "huwa" yang adalah dhamir menunjuk pada Allah, dan setiap mengembuskan nafas ia berdzikir "Allah".

Saya paling ingat bagian itu. Allah.. betapa kerennya keluarga yang dibahas oleh Kang Abik dalam novelnya yang satu ini. Begitu fikir saya. 

Januari ini, saya segera memeriksa rak buku Ayah, tempat novel Api Tauhid karangan  Ustadz Habiburrahman El Shirazy itu tersimpan berbulan-bulan --kemudian menyelesaikan beberapa bab terakhir, bagian puncak perjuangan ulama besar Badiuzzaman Said Nursi. Ada satu benang merah yang saya tarik usai menyelesaikan hingga bab terakhir. Bahwa kualitas seseorang sangat ditentukan oleh pola pengasuhan yang ia terima. Memang pada perkembangan manusia, akan ada begitu banyak faktor yang menentukan hal tersebut. Namun tidak bisa dipungkiri, keluarga menjadi pondasi utama. Hal ini sejalan dengan percakapan saya bersama sahabat Hilda Nur Laila beberapa waktu lalu ketika membicarakan tentang rekomendasi buku terkait anak dan parenting. Ia juga menyebutkan bahwa ada pelajarang pengasuhan yang luar biasa dalam kisah Badiuzzaman Said Nursi.

Adalah Mirza, sejak belia ia dididik untuk menjaga diri dari segala sesuatu yang haram. Bahka lembu-lembunya tidak ia izinkan makan rumput yang tidak jelas kehalalannya. Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, Mirza juga selalu menghiasi setiap nafasnya dengan dzikir kepada Allah. Hal itu adalah didikan ayahnya sejak kecil.

Adalah Nuriye, seorang perempuan penghafal Al-Qur'an yang selalu menjaga dirnya dalam keadaan berwudhu. Ia memperoleh pendidikan homeschooling dari orangtuanya sendiri. Tumbuh menjadi perempuan yang sangat menjaga diri. Ia tidak menginjakkan kaki di bumi kecuali dalam keadaan suci, dan tidak meninggalkan shalat malam kecuali saat uzur. Ia tidak membiarkan dirinya menyusui anak-anaknya termasuk Badiuzzaman Said Nursi, dalam keadaan tidak suci.

Ya, Mirza dan Nuriye adalah orang tua dari ulama besar itu; Badiuzzaman Said Nursi. Sampai disini saja, dapat dilihat betapa ada sebuah pola keren dalam silsilah keluarga mereka. Tidak heran, sahabat saya Itta memulai resensinya dengan pertanyaan menantang, "Siapa yang BERANI meneladani!!?" 

Badiuzzaman Said Nursi. Pemikirannya yang cerdas luar biasa, daya kritis, analisis yang tajam, keteguhan, keberanian, dan seabrek keajaiban lainnya. Tak heran jika Said Nursi, ulama yang menghapal Al-Quran dalam waktu 20 hari dan menguasai puluhan kitab hanya dalam waktu 3 bulan (normalnya 15 tahun) ini diberikan gelar Badiuzzaman (keajaiban zaman) oleh gurunya sendiri. Bukan hanya kecerdasan inteletual tentu saja, tapi akhlaknya pun luar biasa. Ia seperti lentera yang dibawa kemanapun tetap menerangi lingkungan sekitarnya. Dua puluh lima tahun hidup dari penjara ke penjara, bukannya terasing, namanya justru semakin mendunia.

Tapi silsilah pendidikan keluarga tersebut ternyata tidak sependek itu. Kang Abik (sapaan akrab Ustadz Habiburrahman El Shirazy) dalam Api Tauhid menyertakan catatan kaki di halaman 141 yang meyebutkan bahwa berdasarkan penuturan beberapa murid Badiuzzaman Said Nursi, ulama besar itu menyebutkan bahwa nasab ayahnya sampai kepada Hasan bin Abi Thalib ra, dan ibunya sampai pada Husein bin Abi Thalib. Artinya, nasab beliau sampai pada ahlul bayt, keturunan Nabi Muhammad saw.

Mari kita berfikir sejenak. Boleh jadi, pada waktu yang sangat panjang itu, terdapat kausalitas mahadahsyat. Terdapat pendidikan ketauhidan yang turun temurun, menciptakan generasi-generasi unggul pada masanya. Masih ingatkah kita, kisah Salahuddin Al Ayubi, --seorang tokoh yang pada masanya mengembalikan Baitul Maqdis ke sisi umat muslim-- juga lahir dari orang tua luar biasa? Jika Mirza (ayah dari Badiuzzaman Said Nursi) dinikahkan dengan Nuriye (ibu dari Badiuzzaman Said Nursi) dengan skenario berupa permohonan maaf Mirza yang tanpa sengaja, gembalaannya memakan rumput milik orangtua Nuriye dan membuat ayahanda Nuriye kagum akan kejujurannya, berbeda dengan Najmuddin Ayyub (ayah dari Salahuddin Al Ayubi).

Najmuddin Ayyub hidup pada masa dimana Baitul Maqdis dijajah oleh pasukan salib. Ketika ditanyai oleh saudaranya perihal pernikahan, ia menjawab, “Aku menginginkan istri yang salihah yang bisa menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia tarbiyah dengan baik hingga jadi pemuda dan ksatria serta mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin.” itulah alasan Najmuddin Ayyub menolak putri sultan dan putri raja yang hendak dijodohkan dengannya. Hingga suatu hari Najmuddin tengah duduk bersama seorang syaikh di Masjid Tirkit. 

Datang seorang gadis memanggil syaikh dari balik tirai dan syaikh tersebut meminta izin Najmuddin untuk berbicara dengan gadis tersebut. "Kenapa kau tolak utusan yang datang ke rumahmu untuk meminangmu?” ujar syaikh. Gadis itu menjawab, “Wahai, Syaikh. Ia adalah sebaik-baik pemuda yang punya ketampanan dan kedudukan, tetapi ia tidak cocok untukku.” Syaikh lantas berkata, “Siapa yang kau inginkan?” Gadis itu kembali menjawab, “Aku ingin seorang pemuda yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin.

Cocok. Saat itu juga, Najmuddin menyatakan ingin menikahi gadis tersebut. Maka lihatlah kisah Salahuddin Al Ayubi, anak dari pernikahan visioner yang diikuti dengan pengasuhan keren. Salahuddin Al Ayubi sungguh-sungguh menjadi seorang ksatria yang mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin. Jika Said Nursi diberi gelar kehormatan "Badiuzzaman" yang artinya keajaiban zaman, Salahuddin Al Ayubi pada era sebelumnya mendapat gelar kehormatan The Wise. Akhlak beliau luar biasa, bahkan kepada musuh-musuhnya sekalipun.

Suatu ketika dalam perang salib, Salahuddin Al Ayubi melihat Raja Inggris, Richard I, menyongsong serangan pasukan muslim dengan berjalan kaki bersama para prajuritnya. Salahudin Al Ayubi yang melihat Richard dalam kondisi seperti itu berkata kepada saudaranya : ” Bagaimana mungkin seorang raja berjalan kaki bersama prajuritnya? Pergilah ambil kuda arab ini dan berikan kepadanya, seorang laki-laki sehebat dia tidak seharusnya berada di tempat ini dengan berjalan kaki “.

Ada nafas yang sama diantara orang-orang keren di seluruh dunia, baik saat ini maupun yang telah tercatat dalam sejarah peradaban. Ialah nafas cinta yang sama-sama berusaha untuk meneladani Nabi Muhammad saw.

Maka jika hari ini kita merasa sebagai manusia yang biasa-biasa saja, merasa tidak lahir dari keluarga sehebat yang dimiliki oleh Salahuddin Al Ayubi maupun Badiuzzaman Said Nursi, sekolah TK, SD, SMP, SMA, kuliah, atau bahkan tidak menempuh pendidikan formal, apa adanya, jangankan ilmu hadits, tafsir, fikih, atau hapal Al-Qur'an, toh tilawah saja masih dikejar-kejar misalnya, ketahuilah bahwa akar dari kabar gembira itu adalah meneladani akhlak sebaik-baik teladan; Nabi Muhammad saw.

Selagi kita meneladani sebaik-baik teladan, maka kesempatan itu akan selalu ada, kesempatan untuk menjadi bagian dari bangkitnya peradaban dan menyalakan api tauhid. Jika kita menganggap diri kita sudah terlalu lambat untuk berlatih menjadi se-heroik Badiuzzaman Said Nursi atau segagah dan setangguh Salahuddin Al Ayubi, curigalah. Boleh jadi kita ada untuk menjadi kakak, paman-bibi, orang tua, kakek-nenek, atau bahkan entah uyut ke berapa dari ksatria-ksatria dan para pejuang di masa depan. Jadi ketika tahu fakta bahwa diri kita biasa-biasa saja, bukan saatnya terpuruk dan jadi malas bergerak. Ingatlah bahwa perjuangan tidak berhenti dengan berhentinya nafas kita di dunia. Usia kita boleh pendek, namun nafas cinta dan perjuangan itu akan terus hidup. Kita harus turut andil di dalamnya. Tidak apa sedikit demi sedikit memperbaiki diri, daripada tidak ada usaha sama sekali?

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata,

"Untunglah kita tidak diwajibkan untuk sampai ke ujungnya.
Kita hanya diperintahkan untuk mati di atasnya.”

**

Terakhir, supaya tidak jadi utopis, mulailah bergerak mengusahakan dari lini-lini terkecil. Perhatikan barang-barang di kamar kita, adakah disana hak milik orang lain yang kita pakai tanpa izin, atau kita pinjam sudah lama sekali dan belum dikembalikan? coba cek daftar hutang kita, adakah materi yang belum terlunasi atau janji yang belum terealisasi? periksa jam, sudahkah kita shalat tepat waktu hari ini?

Baiklah, seperti yang sudah-sudah, tulisan ini pun sungguh-sungguh nasihat untuk diri sendiri.

Catatan:
Resensi Api Tauhid oleh Itta Raisah Fitriyani bisa dibaca disini. Selain itu, Ustadzah saya, Ibu Eva Novita juga menuliskan resensi novel yang sama disini. Selamat berkunjung. :)

Kawan,

Postingan kali ini adalah titipan seseorang yang pada suatu hari berkata, "Riz, boleh ikut nulis dan jadi kontributor di blogmu nggak?" Saya juga nggak tahu dia nulis surat ini buat siapa. Hhe :) semoga pesannya sampai.

**

Apa kabar, kawan? Sudah lama sekali kita tidak berjumpa. Mungkin beberapa diantara kita masing sering bertemu secara tidak langsung sehari-hari, atau bahkan mungkin sengaja ingin bertemu. Semoga engkau masih mencintai Allah, yang membuat lancar jalanmu menjalani semester ini.

Kawan, saat ini kita telah sampai dipenghujung semester. Kita sama-sama tidak tahu, apa yang akan terjadi pada nilai kita, atau bahkan diri kita sendiri. Selama satu semester ini, engkau telah menghabiskan banyak waktu denganku, kuucapkan terimakasih karenanya. Selama satu semester ini, engkau telah banyak membantuku, atas izinnya, kuucapkan terimakasih karenanya. Selama satu semester ini, engkau telah banyak berperan dalam hidupku, mengubahku menjadi lebih dewasa, lebih baik. Kuucapkan terimakasih karenanya. Namun aku rasa semua itu tidak akan cukup dengan kata terimakasih. Maka izinkan aku untuk memberimu sesuatu yang tidak akan diberikan oleh orang yang tidak menyayangimu.

Kawan, tidak lama lagi kita akan pulang ke rumah masing-masing. Walau mungkin ada diantara engkau yang tidak dapat bertemu keluarga tercinta, entah atas dasar alasan apapun, kuucapkan selamat, karena mungkin semua itu tidak akan berlangsung lama. Manfaatkan waktumu dirumah, kawan. Jika perlu, matikan semua jaringan komunikasi, sehingga hanya keluargamu yang kau perhatikan saat itu. Kau tau apa yang mungkin akan dikatakan ibu atau ayahmu ketika kau tidak bisa pulang kemarin? Mungkin mereka akan bertanya, sibuk kah engkau nak? Dan jawabanmu adalah iya, aku sibuk bunda, aku sibuk ayah. Sabarlah menantiku pulang. Kawan, sejujurnya engkau baru saja membuat suatu penekanan pada diri orang tuamu bahwa anaknya adalah orang sibuk, yang mereka perlu sangat bangga padamu, karena kau mungkin tengah membela hak saudaramu di kampus. Aku bangga mendengarnya, namun orang tuamu mungkin tidak. Berpikirlah tentang hal ini.

Kawan, tidak lama lagi, kita akan mendapatkan hasil evaluasi kerja keras kita semester ini. Mungkin ada diantara kita yang sangat bangga karenanya, atau bahkan menjunjung tinggi Kartu Hasil Studi dihadapan keluarga. Tapi mungkin ada diantara kita yang berharap tidak ada satupun keluarga yang bertanya tentang hasilmu. Mungkin itu aku. Maka jika engkau mendapatkan hasil yang memuaskan, aku akan turut senang mendengarnya; walau mungkin dibalik handphoneku, ada tetesan air tak terduga. Kawan, jika itu engkau yang mendapatkan hasil terbaik, kuharap engkau tidak akan melupakanNya, yang telah menjadi superhero kita sejauh ini. Kita sudah cukup jauh dibawanya terbang tinggi, maka janganlah engkau melupakanNya, yang akan membuatnya melepaskanmu dari pelukan terhangatNya. Allah, iya itu Dia. Superhero kita.

Namun, bagi engkau yang tak diduga memiliki perasaan yang sama denganku, jangan pernah mengalihkan wajahmu dariNya; dari Dia yang selalu mencintai kita. Kau tau apa bukti cintaNya padamu? Salah satu adalah ujian yang tengah kita hadapi, yakni nilai yang kurang memuaskan bagi kita. Tapi jangan salah, ujian ini jauh lebih ringan daripada mendapat hasil sempurna. Mengapa? Karena teman-teman kita yang mendapatkannya, akan lebih mudah melupakanNya, akan lebih mudah menganggap Allah bukan superhero kita. Maka seperti apapun hasilmu nanti, jangan berikan pujian terbaik atas hasil sempurna yang diraihnya, cukup kau doakan agar ia tak melupakan superhero kita, sehingga kita bisa melangkah maju bersama, menggapai peringkat tertinggiNya.

Maafkan aku kawan, atas sekian banyak kesalahanku sejauh ini. Maafkan aku kawan, mungkin curahan hati ini terlalu tercurahkan. Maafkan aku kawan, mungkin aku bukan kawan yang baik untukmu. Karena hanya superhero kita yang akan menjadi teman terbaikmu. Terbaik.

Demikian kawan, kini saatnya aku melepas untuk terbang jauh mengarungi lautan cintaNya. Terimakasih telah menjadi pengingatku untuk selalu mengingatkanku akan superhero kita. Terimakasih.

Ku nanti engkau di lapangan rektorat, awal tahun 2019 nanti. Ku nanti senyum terlebarmu saat itu, beserta toga dan ijazah hasil perjalananmu bersama superhero kita. Ku nanti hari berbahagiamu. Ku nanti, meeting terbaik kita di surga milik superhero kita.

Ditulis oleh TBMS,
Januari 2016

Friday, January 15, 2016

Surat (untukmu)

Tiga puluh tahun yang lalu, pertama kali aku mengenalmu. Dalam suasana biasa. Kelas biasa, seragam anak SD biasa, kenakalan-kenakalan masa kecil yang biasa. Tak ada yang benar-benar spesial. Hanya satu. Kutemui Kau di tempat ini. Tempat dimana kini aku berpijak di atas tanahnya—menantimu.

Sambil menunggumu pulang, izinkan aku menulis penggalan surat untukmu. Sudah lama kan, aku tidak melakukannya?

Dulu, aku selalu bertanya kepada Uma tentang sosokmu. Bagaimana bisa ada anak yang bandelnya tidak karuan, tapi masih saja disayang oleh Ustadz Mukhlis, guru ngaji di desa. Mendengar pertanyaan polosku saat itu, Uma hanya tertawa sambal mengelus kepalaku pelan. Aku tidak terlalu peduli sehingga tidak bertanya lagi. Belakangan, aku baru tahu bahwa ternyata Kau adalah anak angkat Ustadz Mukhlis. Orangtuamu meninggal dilahap api ketika usiamu masih tiga tahun. Ustadz Mukhlis lantas membawamu pulang.

Yang membuat aku takjub bahwa ternyata di balik kebandelanmu itu, Kau memiliki pemikiran yang cerdas lagi jenaka. Kau juga tumbuh menjadi sosok yang percaya diri dan berani mengambil risiko. Paling tidak, pandanganku terhadapmu berubah ketika kita mulai beranjak meninggalkan masa kanak-kanak. Bukan tanpa kontribusi Uma. Uma bilang, Kau itu bukan bandel. Hanya saja memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Kabarnya, kedua almarhum orang tuamu adalah sosok berpengaruh di desa kita. Sepasang guru muda luar biasa yang malangnya terjebak api ketika hutan sebelah Barat desa terbakar.

Aku ingat betul kali pertama aku berbicang-bincang denganmu. Sebelumnya kita hanya saling tahu tanpa pernah bertukar sapa sekali pun. Saat itu, kita tengah bersama-sama ada di dapur umum belakang rumah Ustadz Mukhlis. Di tengah-tengah persiapan acara santunan anak yatim, Kau menyapaku yang sedang menyiapkan hidangan untuk konsumsi para undangan.

“Kenapa tatanan kuenya harus melingkar begitu?” kau mengomentari susunan kue apem tepung beras yang baru saja selesai aku tata.

“Memangnya kenapa?” jawabku agak kaku. Takut kalau-kalau ada yang salah dari apa yang aku kerjakan.

“Hha, tidak apa-apa. Aku hanya penasaran. Pada acara apapun, Kamu selalu menyusun dengan cara seperti itu. Melingkar,” katamu sambal melukis lingkaran di udara dengan jari telunjuk, “Susunan cangkir teh minggu lalu di rumah Abah Sapri, Kamu juga kan yang melakukannya?” mendengarmu saat itu, aku diam lantas mendongakkan kepala. Kau lalu memalingkan muka.

“Uma juga melakukannya di rumah. Aku belajar dari Uma,” ujarku sambil kembali melanjutkan pekerjaan.

“Hmm, aku suka,” kau bergumam seraya menunjuk susunan kue apem itu, “boleh kuambil satu?”

“Silahkan,” kataku pelan. Lalu kamu mengambil satu. Bukan satu buah, melainkan satu piring utuh. Kau pergi keluar dapur dengan mataku yang tidak lepas memandangi punggungmu. Diam-diam aku tertawa sambil geleng-geleng kepala.

Kau pernah menjulukiku sebagai manusia yang paling tidak peka. Dulu aku tak mengerti, mengapa Kau sebut aku demikian. Kau selalu saja menghidupkan pemikiran-pemikiranku. Memberiku tantangan agar aku mampu memecahkan persoalan lebih cerdas, berfikir lebih cermat, menyikapi lebih bijaksana. Sekarang aku jadi berfikir, mungkin Kau memang dewasa lebih cepat dibanding kebanyakan orang. Kau bahkan tahu ke mana urusan ikan lele Abah Sapri harus dibawa, ketika ketua RT kampung kita pun angkat bahu akan hilangnya lele muda itu.

Kini telah ada begitu banyak kenangan bersamamu yang telah terukir dalam dalam setiap detik anugerah yang Tuhan karuniakan. Setelah perbincangan-perbincangan kaku yang ada antara kita, Kau lantas mendatangi Uma. Meminta izin untuk meminangku. Tidak berselang lama, akad pun terucap. Paman menjabat tanganmu mantap. Kita hidup dalam kebersamaan yang indah. Tidak dengan harta yang melimpah, tapi dengan cita rasa kehidupan yang berkah.

Ketika Uma meninggal dunia, Kau lantas mengajakku bersama-sama merantau ke Jakarta. Kita ditempa oleh kerasnya kehidupan ibu kota. Kalau Tuhan tidak menjadikan Kau ada bersamaku, mungkin aku memilih untuk pasrah dan menyerah. Tapi aku bersyukur bahwa nyatanya Tuhan begitu baik karena menjadikan kita saling melengkapi. Kau mengajariku makna perjuangan, bahwa segala sesuatu tidak ada yang luput dari perhitungan Tuhan.

Usaha dan tekad keras yang Kau teladankan padaku itu berbuah hasil. Keadaan kita semakin membaik. Aku tidak bicara tentang ekonomi atau materi saja. Melainkan bicara tentang pemahaman dan pemaknaan hidup, serta seni untuk berbahagia dalam setiap keadaan. Aku semakin takjub akan kebaikan Tuhan mempertemukanku denganmu ketika aku dikabarkan mengidap kanker rahim. Kamu tahu, tidak ada kabar yang lebih buruk bagi seorang perempuan selain berita bahwa dirinya mengidap kanker rahim dan harus merelakan rahimnya diangkat. Aku takkan pernah bisa menjadi seorang ibu biologis. Aku hancur saat itu. Tapi Kau, disaat seperti itu, membelai kepalaku lembut dan berkata  sambil tersenyum bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Kita lantas membangun rumah singgah. Di dalamnya, banyak tinggal anak-anak seperti aku dan Kau di masa lalu. Anak-anak yang tiada lagi memiliki ayah, tidak memiliki ibu, atau keduanya. Seperti aku yang hanya hidup bersama Uma. Sepertimu yang diangkat anak oleh Ustadz Mukhlis dan tinggal di rumahnya. Tahun-tahun yang kita lalui bersama mereka di rumah singgah jadi begitu menyenangkan. Aku hampir-hampir lupa bahwa tidak ada satupun di antara mereka yang syurganya berada di bawah telapak kakiku. Hampir-hampir tidak ingat kesedihan yang menghujam batinku ketika operasi pengangkatan rahim beberapa tahun sebelumnya baru saja aku lalui.

Kehidupan yang aku lalui bersamamu begitu mendamaikan. Bukan tanpa aral dan tantangan. Ada tentu saja. Sebagaimana setiap manusia yang dicintai Tuhan akan menemui ujiannya masing-masing. Namun bersamamu, semuanya jadi indah terasa. Kau selalu mengatakan bahwa kita satu sama lain, sama sekali tidak bisa saling bergantung. Bahkan aku kepadamu sekalipun. Manusia tidak akan pernah bisa menggantungkan hidupnya pada manusia lain tanpa berujung kecewa. Kau bilang, kita hanya boleh bergantung pada Tuhan. Entah sejak kapan, aku mendapatimu lebih religius. Dan aku bersyukur akan itu. Beberapa kali kudapati dirimu mendirikan shalat sebelum tidur. Ketika kutanyai apa yang Kau lakukan, Kau bilang dirimu baru saja menyelesaikan shalat taubat. Takut kalau-kalau cintamu padaku melebihi cintamu pada-Nya.


Kau mengajarkan padaku untuk memaknai apa itu yang disebut manis, dan apa itu yang disebut pahit. Kau menguatkanku ketika aku pun sebenarnya tahu bahwa Kau butuh dikuatkan. Terimakasih untuk segala rela yang Kau tuangkan pada setiap curah waktu pemberian Tuhan. Terimakasih telah membersamaiku dengan begitu tulusnya pada tahun-tahun belakangan. Terimakasih untuk tidak pernah alpa memiliki waktu untuk sekadar berbagi cerita, bercanda, tertawa, dan membahas hari-hari kita. Terimakasih untuk tidak pernah kehabisan cara menjadikan keluarga kita bahagia dengan apa yang ada. Terimakasih telah menjadi salah satu cara Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya padaku.

Hidupku tidak akan lama lagi. Paling tidak, itu yang dikatakan tim medis beberapa hari lalu. Untuk pertama kalinya, aku mendapatimu menjadi seorang yang begitu gusar. Kau beberapa kali kudapati berbicara dengan intonasi tinggi kepada anak-anak di rumah singgah. Kau kudapati salah memasukkan garam ke dalam toples gula, bahkan menggunakan sandal yang tidak sepasang. Aku, paling tidak sekali dalam hidupku, izinkan aku menjadi sosok yang menguatkanmu. Jika selama ini energi itu lebih banyak kau pancarkan daripada kau serap, izinkan ini menjadi bagianku. Ketahuilah, bahwa apa yang telah kita lalui selama ini menjadikan aku begitu bersyukur. Bahwa perjumpaanku dengamu sungguh-sungguh menguatkanku. Jika memang takdirnya aku yang pergi lebih dulu, bukankah Kau yang mengatakan padaku; bahwa manusia selamanya tidak akan pernah bisa bergantung pada manusia. Bahkan aku kepadamu. Bahkan Kau terhadapku. 

Pada detik-detik penghabisan ini, izinkan aku melewati hari-hari terbaik dalam kehidupanku. Ajak aku berbincang seperti biasa. Membicarakan perkembangan anak-anak, mendisusikan masa depan rumah singgah, mengomentari kebiasaan-kebiasaanmu yang kadang membuatku kesal namun menghadirkan rindu tak terkira. Ajak aku bercanda seperti biasa. Menikmati pagi di halaman belakang rumah singgah, melihatmu mendongeng di depan anak-anak, membuat kue apem tepung beras seperti biasa.

Waktu tidak akan pernah memiliki toleransi, Sayang.. Ia akan tetap melaju.

Maka pada detik-detik terakhir ini, izinkan aku bersamamu seperti biasa.
Izinkan aku meninggalkanmu dengan perasaan berharga, bahwa kita bahagia.
Izinkan aku bersyukur pada Tuhan, bahwa nyatanya kita pernah ditakdirkan bersama.



**

Saya menemukan dua penggal paragraf tersimpan sejak dua tahun lalu di salah satu dokumen laptop. Tidak ingat betul, dahulu apa yang hendak saya tuliskan dengan dua penggal paragraf tersebut. Namun mendapati pelajaran-pelajaran hidup yang saya terima dalam beberapa waktu belakangan, jadilah tulisan ini saya rampungkan. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang selalu bersyukur dan memaknai bahagia dari sisi yang membahagiakan.

Wednesday, January 13, 2016

Istikharah


"Lo kenapa lagi Bro?"

"Hehe lagi bingung nih gw, menurut lo minggu depan baiknya gw ikut bokap ke Bandung, atau bantuin ade gw berangkat ke Semarang?"

"Ya elah kirain kenapa. Istikharah aja ntar malem,"

"Et lo pikir gw lagi bingung nentuin jodoh apa, pake istikharah segala."

"Emang lo kira istikharah soal jodoh doang?"

"Ya maksud gw, ini mah ga terlalu penting kaya urusan jodoh atau milih jurusan kuliah misalnya."

"Tapi kan lo mau memilih. Sombong amat kita manusia, masa minta petunjuk ogah2an."

"Kenapa serius amat sih lo? makin bijak aja."

"Serius. Lo tau ga, belom lama si Budi cerita kalau ibunya itu, mikir besok masak apa, beliau pake shalat istikharah. Gw sampe geleng-geleng kepala dengernya."

"Laah tiap hari istikharah dong?"

"Iya, si Budi pas nanya ibunya, beliau jawab kalau hidup itu pilihan. Jadi setiap malam usahakan istikharah, minta petunjuk sama Allah. Edan kan, bayangin kita ini apaan. Jangankan shalat istikharah, sekedar nanya dalam hati aja jarang... Eh itu gw sih, gatau lo gimana."

"...."

"Gw jadi introspeksi denger cerita si Budi. Selama ini gw seenaknya aja mutusin apa-apa, pantesan suka nyesel sama pilihan sendiri."

"Duh, gw jadi merasa disindir. Yaudah gw istikharah lah in syaAllah."

"Hehe, siiip, semoga setiap pilihan kita dapet ridho dari Allah."

"Aamiin. Mungkin gw juga harus nanya ke Allah, baiknya temenan sama lo apa enggak, haha."

#window #light #istikharah #hijrah
Photo by @naunaufi

Thursday, January 7, 2016

Ada Apa di Hiroshima?

"Kenapa memilih Jepang?" ia menoleh ke arahku.

"Memangnya kamu punya usul yang lebih baik?" aku bertanya balik

"Tidak juga. Tapi kenapa memilih Jepang?" kali ini ia mengernyitkan dahi

"Haha kamu ini," aku tetawa, kemudian melanjutkan, "kamu masih terngiang-ngiang pelajaran sejarah dulu tentang Jepang yang menjajah kita?" mendengarku, ia lantas terkekeh

"Aku tidak separah itu, Bung!" ia melempariku bantal. Kami kemudian tertawa.

"Aku akan ke Hiroshima," ujarku pelan

"Tempat meledaknya bom atom itu?" tanyanya. Dasar, anak ini memang pecinta sejarah. Batinku dalam hati.

"Itu dulu. Sekarang Hiroshima justru terkenal sebagai Kota Perdamaian," kataku sambil merapikan berkas-bekas keberangkatan

"Sungguh?" ia mengangkat kedua alisnya

"Ya, sungguh. Kapan aku berani berbohong?" kali ini aku yang terkekeh. Dia kembali tertawa.

**

Taman Monumen Perdamaian Hiroshima

Siapa yang tidak kenal Kota Hiroshima? Terletak di Prefektur Hiroshima, Pulau Honshu, Jepang, kota ini menjadi sorotan dunia ketika bom atom pertama meledak di tanahnya pada 6 Agustus 1945 silam. Setelah perang usai, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk membangun kembali kota tersebut. Monumen-monumen yang hancur direkonstruksi, dan dibangunlah sebuah taman besar di pusat Kota Hiroshima. Adalah Taman Monumen Perdamaian Hiroshima (Hiroshima Peace Memorial Park/平和記念公園, Heiwa Kinen Kōen); sebuah taman berisi monumen serta museum yang sengaja dibangun untuk mengingatkan manusia akan pentingnya perdamaian. Setiap tahun pada tanggal 6 Agustus pukul 8.15, tempat ini menjadi lokasi diselenggarakannya upacara mengheningkan cipta yang menghadirkan anak-anak sekolah di Hiroshima untuk paduan suara.

Ada beberapa monumen dan museum yang dapat dikunjungi di Taman Monumen Perdamaian Hiroshima. Salah satunya adalah Monumen Perdamaian Hiroshima. Merupakan sisa-sisa gedung Promosi Industri Prefektur Hiroshima yang selamat dari ledakan bom atom, monumen ini lantas ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1996.

Monumen Perdamaian Hiroshima (dalam perbaikan)
(Foto oleh Gianluigi Grimaldi Maliyar)
Monumen Perdamaian Hiroshima
(Foto oleh Resha Nuzul Safitri)
Selain Monumen Perdamaian Hiroshima, di Taman Monumen Perdamaian Hiroshima ini terdapat pula Monumen Anak Korban Bom Atom, Monumen Orang Korea Korban Bom Atom, Plakat Peringatan, Monumen Api Perdamaian, Genta Perdamian, Gerbang Perdamaian, Lonceng Perdamaian, Menara Peringatan untuk Pelajaran, dll. Di samping itu, terdapat juga Aula Peringatan Korban Bom Atom dan Gedung Pertemuan Internasional Hiroshima.


Monumen Anak Korban Bom Atom
(Foto oleh Gianluigi Grimaldi Maliyar)
Plakat Perdamaian
(Foto oleh Gianluigi Grimaldi Maliyar)
Monumen Api Perdamaian
(Klik disini untuk melihat sumber)
Gerbang Perdamaian (dipenuhi kata 'damai' dari berbagai bahasa dunia)
(Klik disini untuk melihat sumber)
The Hall of Remembrance (berada di dalam Aula Peringatan Korban Bom Atom)
(Klik disini untuk melihat sumber)



Museum Peringatan Perdamaian Hiroshima

Masih di lingkungan Taman Peringatan Perdamaian Hiroshima, terdapat sebuah bangunan bercat putih yang merupakan sebuah museum. Adalah ia, Museum Peringatan Perdamaian Hiroshima. Museum ini adalah museum utama di taman yang didedikasikan untuk memberikan pendidikan tentang peristiwa pemboman Hiroshima.

Museum Peringatan Perdamaian Hiroshima
(Klik disini untuk melihat sumber)
Ada banyak hal menarik yang bisa didapatkan ketika memasuki Museum Peringatan Perdamaian Hiroshima karya arsitek Kenzo Tange ini. Bagi Anda yang menyukai sejarah. museum ini sangat tepat dijadikan destinasi wisata untuk mengisi liburan yang berkualitas. Ia mengabadikan salah satu peristiwa penting napak tilas peradaban dunia serta memberikan wawasan akan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terdapat pameran barang-barang peninggalan korban bom atom, serta gedung-gedung lawas yang tampak seolah meleleh akibat ledakan pun sengaja dipertahankan.

Pameran foto-foto ledakan bom
(
Foto oleh Gianluigi Grimaldi Maliyar)
Pameran arloji yang membeku tepat pada 8.15
(
Foto oleh Gianluigi Grimaldi Maliyar)
Museum ini banyak dikunjungi baik oleh pelajar Jepang maupun pengunjung asing. Lebih dari satu juta wisatawan setiap tahunnya berkunjung ke tempat ini. Tertarik menjadi salah satunya?


Gambaran bola api bom sekitar satu detik setelah ledakan
(
Foto oleh Gianluigi Grimaldi Maliyar)


Taman Shukkeien

Berjarak sekitar satu setengah kilometer dari Taman Monumen Perdamaian Hiroshima (Hiroshima Peace Memorial Park), taman Shukkeien dibangun sejak zaman Edo pada tahun 1620 atas perintah Asano Nagaakira Daimyo (tuan tanah yang pada saat itu memerintah Hiroshima). Untuk merancang taman yang indah ini, seorang konstruksi taman sengaja didatangkan dari Kyoto. Awalnya, taman ini digunakan oleh keluarga Asano secara pribadi. Ketika kantor pemerintahan negara direlokasi ke Hiroshima, sang raja sempat tinggal di tempat ini. Kemudian pada tahun 1940, keturunan Asano menyerahkan kepemilikan taman ini kepada negara secara sukarela.

Kini, Anda dapat berkunjung ke Taman Shukkeien ketika berwisata di Kota Hiroshima. Letaknya yang tidak jauh dari pusat kota menjadi tepat bagi Anda yang ingin beristirahat setelah menyelami sejarah dan ilmu pengetahuan di Taman Monumen Perdamaian Hiroshima. Anda dapat menikmati keindahan kolam yang berada di tengah Taman Shukkeien sambil minum teh di kedai-kedai yang telah tersedia. Banyak pengunjung yang datang ke taman ini ketika musim semi dan bunga sakura bermekaran. Dalam satu tahun, terhitung sekitar 30.000 orang datang untuk menikmati keindahan Taman Shukkeien.


Taman Shukkeien
(Klik disini untuk melihat sumber)
Hanami di Taman Shukkeien
(Klik disini untuk melihat sumber)

Miyajima

Hiroshima tidak hanya memikat dari sejarah yang disuguhkan oleh Taman Monumen Perdamaian atau kenyamanan yang disuguhkan Taman Shukkeien. Kota ini juga menyimpan berbagai pemandangan yang menarik. Salah satu yang juga terdaftar dalam situs Warisan Dunia UNESCO sejak 1996 adalah Kuil Itsukushima yang terletak di Miyajima, Hiroshima. Kuil ini adalah salah satu yang paling terkenal di Jepang dan memiliki gaya arsitektur unik. Bangunan torii akan terlihat mengambang di tengah laut ketika air pasang. Adapun ketika air surut, pantai di sekitar bangunan torii biasa menjadi lokasi untuk mengambil kerang yang bisa dimakan. 

Kuil Itsukushima
(Klik disini untuk melihat sumber)
Pada zaman dulu, pulau Itsukushima merupakan pulau terlarang bagi orang biasa. Kini menurut budaya masyarakat setempat, Kuil Itsukushima perlu dijaga kemurniannya. Oleh karena itu, pemakaman dianggap sebagai perbuatan terlarang di pulau Itsukushima. Mengunjungi tempat ini berarti Anda akan menyaksikan pemandangan bangunan torii dengan latar belakang Gunung Misen yang merupakan salah satu dari Tiga Pemandangan Terindah di Jepang (bersama dengan jalur pasir pantai di Amanohashidate dan pemandangan Teluk Matsushima). :)

Torii Kuil Itsukushima
(Klik disini untuk melihat sumber)
Dari pusat kota Hiroshima, Anda dapat menuju Miyajima dengan menaiki kereta api sekitar 25 menit dan melanjutkan perjalanan melalui laut dengan menggunakan kapal feri. Pulai Miyajima hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari daratan pulau Hiroshima. Setiap jamnya, kapal feri hilir-mudik mengantarkan para wisatawan yang hendak berkunjung melihat Kuil Itsukushima atau menyaksikan keindahan pemandangan pulaunya. Selain ke kuil Itsukushima, di pulau ini Anda juga dapat mengunjungi kuil Daisho-in, Senjokaku, Museum Sejarah, serta Miyajima Aquarium.


Tomonoura

Hiroshima memang terkenal akan panorama sejarahnya yang mendunia. Tapi tahukah Anda, bahwa kota perdamaian ini juga memiliki objek wisata alam yang tidak kalah menarik untuk dikunjungi? ialah Tomonoura, kota nelayan yang berada di selatan Perfektur Hiroshima, yaitu di wilayah Fukuyama.
Pantai Tomonoura
(Klik disini untuk melihat sumber)
Anda dapat menikmati suasana pedesaan Jepang di tempat ini. Tomonoura dengan suasana tradisionalnya yang masih kental memiliki magnet tersendiri bagi para wisatawan. Tidak hanya menyajikan cantiknya pemandangan pantai tempat ini juga menawarkan suasana yang tenang dan ramah, serta rumah-rumah kayu yang tidak tergerus waktu. Tempat ini bahkan menjadi inspirasi  seorang sutradara untuk latar setting salah satu film terkenal di Jepang.

Perumahan di Tomonoura
(Klik disini untuk melihat sumber)
Bangunan bersejarah di Tomonoura
(Klik disini untuk melihat sumber)
Untuk sampai ke tempat ini, Anda memang membutuhkan perjuangan lebih. Pasalnya, Tomonoura tidak mudah untuk diakses menggunakan kereta, bus, ataupun kapal. Akan tetapi, hal tersebut sama sekali terbayarkan. Anda dapat menyicipi berbagai macam sajian seafood Jepang sambil menikmati sensasi bangunan bersejarah dan museum yang ada di sekitar pantai. Tidak hanya itu. Di Tomonoura, Anda juga dapat menjumpai workshop pembuatan garam serta menikmati Edo bath.

Pemandangan pantai Tomonoura
(Klik disini untuk melihat sumber)
Sajian Seafood
(Klik disini untuk melihat sumber)

Makanan Khas di Hiroshima

Menikmati travel di Hiroshima semakin menyenangkan dengan suguhan makanan khasnya. Tentu bukan hanya seafood Tomonoura yang dapat anda cicipi. Anda dapat menikmati makanan lokal berupa okonomiyaki dan tiram yang merupakan nomor satu Jepang di kota perdamaian ini.

Okonomiyaki ialah makanan khas Hiroshima yang paling terkenal. Dari seluruh perfektur Jepang yang memproduksi okonomiyaki, Hiroshima menduduki urutan pertama. Okonomiyaki dimasak dengan komposisi sayuran, kubis, tauge, daging, telur dan mie, udon, serta adonan tepung. Makanan ini telah ada lebih dari 70 tahun yang lalu. Okonomiyaki sedikit banyak berontribusi dalam menghidup penduduk saat krisis usai meledaknya bom atom di kota ini pada Perang Dunia II. Kini, ada lebih dari 2000 restoran Okonomiyaki di sekitar Kota Hiroshima.

Sajian okonomiyaki di Hiroshima
(Klik disini untuk melihat sumber)
Selain okonomiyaki, ada pula tiram Hiroshima yang terkenal akan ukurannya yang besar dan rasanya yang lezat. Makanan lokal ini biasa disajikan dalam panci yang tersebar miso pada tepinya. Warga Hiroshima sering memasak tiram goreng dan tiram beras ketika musim dingin tiba. Terdapat beberapa toko tiram yang menyajiikan sajian tiram untuk pengunjung di Pulau Miyajima (tempat Kuil Itsukushima).

Tiram Hiroshima
(Klik disini untuk melihat sumber)
Bagi Anda yang muslim, tidak perlu khawatir tidak mendapatkan makanan yang terjamin kehalalan serta ke-thoyyib-annya. Hiroshima memiliki beberapa daftar restoran yang telah memiliki sertifikasi halal dan tejamin dari segi kualitas. Untuk mengetahui informasi tentang restoran halal di Hiroshima, silahkan klik disini.


Kebudayaan di Hiroshima

Bukan hanya pengkayaan ilmu sejarah. Mengunjungi Hiroshima juga mengkayakan pengetahuan sosial dan budaya Anda. Jepang terkenal akan budaya festivalnya. Jika Anda mengunjungi Hirosima pada tanggal 3-5 Mei, Anda akan menjumpai Festival Bunga Hiroshima yang telah dilaksanakan sejak tahun 1977 setiap tahunnya dan merupakan salah satu budaya di Hiroshima yang paling mahsyur. Lebih dari satu juta orang berpatisipasi dalam festival ini.

Festival Bunga Hiroshima
(Klik disini untuk melihat sumber)

Parade Festival Bunga Hiroshima
(Klik disini untuk melihat sumber)
**

Hiroshima memberikan pelajaran
tentang makna perdamaian,
tentang bangkit untuk kembali menatap peradaban.
Bukannya diam lantas terpuruk dalam keberpasrahan.

**

"Jadi, karena kamu suka bunga?" karibku itu terkekeh. Aku hanya mengangkat bahu

"Menurutmu?" aku bertanya balik


"Hei, kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa memilih Jepang?" ini kali ke sepuluh ia menanyakan hal yang sama

"...." kali ini aku malas menjawab. Kembali serius dengan berkas-berkas keberangkatanku.

"Kenapa mau ke Hiroshima?" ia kembali melemparkan pertanyaan

"Kenapa? Memangnya kamu punya usul yang lebih baik?" aku mengerutkan alis. Mulai bosan dengan pertanyaannya.

"Hmm, kenapa kamu tidak tertarik mengajakku pergi?" ujanya seraya memamerkan gigi

"Kenapa tidak bilang saja dari tadi kalau kamu mau ikut, Heh?" aku garuk-garuk kepala sambil tertawa mengejek

"Haha, berangkatlah. Aku akan menyusul," ia kemudian berdiri, lantas bertolak pinggang -kemudian melanjutkan, "Siapa juga yang tidak tertarik melihat Kota Perdamaian di Negeri Sakura itu? curang kalau kamu menikmatinya sendirian," mendengar cibirannya, aku lantas tertawa.

**

Jika Anda tertarik mengunjungi Hiroshima dan menikmati sajian sejarah, kenyamanan taman, ataupun panorama indah pulau dan pantainya...

H.I.S. menyediakan layanan individual maupun group tour dengan tujuan perjalanan domestik maupun internasional serta berbagai produk guna memudahkan wisata Anda.

HAnavi adalah kolaborasi antara H.I.S. dengan ANA (All Nippon Airways yang dirancang khusus untuk wisatawan asing yang datang ke Jepang. HAnavi menyediakan paket Tiket Penerbangan Domestik + Hotel dengan harga yang MURAH MERIAH berangkat dari Tokyo atau dari Osaka.

https://www.facebook.com/HISTravelIndonesia
Ikuti Present Campaign HIS Winter Tour Blogging Competition