Wednesday, August 26, 2015

Siang Kita

Siang kita tidak pernah terik. Selalu begini. Hangat ditemani embusan udara menerpa wajah. Kamu ingat?

"Ini tempat kita biasa bermain, bukan?"

"Ya, lapangan roket!"

"Kamu pernah diseruduk kerbau disini. Aku ingat betul, haha."

"Setelah itu giliran kamu."

"Ya, habis menertawaimu aku jatuh tersandung batu."

"Lalu kita menangis bersama."

"Disusul tawa bodoh setelahnya." jawabku sambil terkekeh.

"Terimakasih, ya."

"Untuk?"

"Untuk menjadi sahabat, saudara, bahkan keluarga bagiku" jawabmu sambil tersenyum tipis.

"Tidak perlu terimakasih. Manusia memang diciptakan untuk itu." Aku merangkul pundakmu. Membiarkan memori masa kecil kita terbawa lagi.

"Ya, kamu benar." kau tertawa kecil. Tidak berubah sejak bertahun-tahun aku mengenalmu.

Siang kita tidak pernah terik. Selalu begini. Hangat ditemani embusan udara menerpa wajah.

Kamu ingat? :)


Foto diambil di lapangan desa #glempang #banjarnegara #indonesia#igtf #2015 #tree

Kepastian



"Katanya, perempuan itu makhluk kepastian." ujarku seraya menyeruput teh panas pagi ini.

"Kata siapa?" sosok disampingku menoleh.

"Ya, paling tidak itu yang suka aku dengar. Memangnya salah?"

"Tidak juga. Tapi kau lupa, mereka juga makhluk yang sulit untuk percaya."

"Maksud Ayah?"

"Bukankah kamu tahu sendiri, adik perempuanmu selalu sibuk bertanya berkali-kali, kan? Bukan mengoreksi kebenaran, tapi ia butuh diyakinkan."

"Ayah bicara soal pakaian? dia memang begitu kalau membeli baju."

"Hha, bukan itu maksudku. Tapi kalaupun demikian, hal remeh semacam itu saja perempuan butuh diyakinkan. Apalagi persoalan semacam ini."

"Termasuk orang itu?"

"Ya, bisa jadi."

"Apa aku kurang membuatnya yakin?"

"Menurutmu?"

"Entahlah. Kurasa perempuan juga makhluk yang membutuhkan waktu lebih untuk percaya." Mendengar ucapanku, Ayah mengangguk-angguk sambil tersenyum.

"Kau benar. Seperti ibumu itu, yang meski anaknya sudah sebesar kau, dia masih juga menganggapmu anak kecil." Lelaki setengah abad itu terkekeh.

"Mungkin itu juga yang membuat ibu melihatmu sebagai pemuda hingga hari ini, Yah." ujarku sambil memandangi beliau takzim.

#dieng #java #indonesia

Istighfar

"Beri aku satu kalimat."
"Kalimat macam apa?"
"Yang mampu melembutkan hati, mengindahkan lisan, menyejukkan jiwa-raga."
"Ah, aku pernah dengar tentang itu!"
"Sungguh?"
"Lafadzkan istighfar, dan rasakan semesta bergetar."

Istighfar.
اَسْتَغْفِرُ اَللّهَ الْعَظِیْمَ - اَسْتَغْفِرُ اَللّهَ الْعَظِیْمَ - اَسْتَغْفِرُ اَللّهَ الْعَظِیْمَ - اَسْتَغْفِرُ اَللّهَ الْعَظِیْمَ

Ada orang yang merasa dirinya terlalu hina untuk memohon kepada Allah. Merasa enggan untuk mengucap kalmat thayyibah karena merasa diri terlalu kotor, biasa-biasa saja, dan sebagainya. Padahal, semakin kita merasa demikian, harusnya semakin kita menyadari betapa diri sangat butuh untuk memohon padaNya. Semakin kita tahu bahwa diri kita bukan apa-apa, dan sangat membutuhkan pertolongan serta belas-kasih dariNya.
Bukan karena pemahaman agama kita telah baik, bukan karena kita merasa telah begitu dekat denganNya. Melainkan, karena kita tahu betapa hinanya diri kita, karena kita tahu bahwa kita membutuhkan Dia dalam setiap hela nafas yang ada. Juga karena dengan mengingatNya, akan menjadi jembatan penghubung agar kita dekat dengan Dia; Raja dari Segala Raja.
Tidak ada ingatan yang lebih baik dari mengingat Allah. Tidak ada permohonan yang lebih baik dari memohon ampunan pada Allah.
Jika ada kalimat yang menyembuhkan luka sekaligus menumbuhkan cinta, ialah itu -istighfar.. :')

Sunday, August 23, 2015

The Doctor



The Doctor; Catatan Hati Seorang Dokter
Triharnoto
Penerbit Pustaka Anggrek
2009

Saya membaca buku ini di kota Banjarnegara. Bersama tim Akasia, saya mengunjungi bazaar buku murah di Gedung Arsip kota Banjarnegara yang diselenggarakan dalam rangka merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Menemukan buku ini dengan harga 20.000 tentu menarik perhatian. Pasalnya, sebelum itu saya juga menemukan buku yang sama di perpustakaan kampus. Namun sayang keinginan untuk membaca buku tersebut belum terlunasi. Jadilah hari itu saya mengantongi dua buku baru.; The Doctor; Catatan Hati Seorang Dokter dan sebuah buku kecil berjudul Psikologi Konseling.

Saya banyak menemui orang yang berkeinginan menjadi seorang dokter. Tidak sedikit kawan dekat saya yang entah bagaimana berazzam kuat untuk menjadi dokter. Saya sendiri, sejak kecil, tidak pernah berfikiran untuk menjadikan dokter sebagai cita-cita. Sejak dulu hingga kini cita-cita saya tetap; guru. Pernah sih, menulis ‘insinyur’ di kolom cita-cita. Tapi itu tidak lebih hanya karena ikut-ikutan saja tanpa pernah mengerti apa dan bagaimana kerja seorang insinyur. Hingga saya lebih memahami bahwa cita-cita bukan sebatas profesi, saya menemukan kata yang lebih baik dari guru; pendidik. Itu akan saya jabarkan nanti.

Ketika saya duduk di bangku MAN, agak terheran-heran betapa keinginan teman-teman untuk menjadi dokter membludak sekali. Hingga suatu ketika saya pernah bertanya pada ibu saya via telepon.

“Mama mau, anaknya ada yang jadi dokter?” Tanya saya polos. Saat itu diskusi tentang jurusan kuliah memang jadi topik hangat pada giliran telepon akhir pekan kami. Mendengar pertanyaan itu, ibu saya diam sejenak. Kemudian beliau menjawab dengan pertanyaan,

“Emangnya ade mau jadi dokter?” mendengarnya saya tertawa kecil.

“Enggak. Hhe” jawab saya singkat. Memang hanya iseng saja tanpa ada maksud tertentu. Hanya karena beberapa banyak karib yang berlomba-lomba untuk lolos fakultas kedokteran, sementara saya saat itu tengah menimbang-nimbang hendak memilih jurusan apa.

Oke kembali ke buku The Doctor. Jadi, setelah membaca buku setebal 321 halaman ini, sepertinya fikiran saya mulai terbuka dan lebih memahami mengapa harapan menjadi dokter layak diperjuangkan. Bukan, tentu bukan karena materi yang biasa disebut-sebut orang kebanyakan. Lebih dari itu, karena filosofi dan esensinya yang luar biasa. Sebagai orang yang tertarik pada pendidikan, saya baru benar-benar menyadari bahwa dokter memiliki peran yang sangat strategis dalam dunia pendidikan. Bahkan bukan hanya dokter, melainkan semua profesi, semua pekerjaan, masing-masing berkontribusi dalam pendidikan jika saja kita mau melihat lebih seksama. Terlebih bagi seorang muslim yang dakwah ialah sebuah kewajiban, maka setiap peranan tentu penting kita manfaatkan sebagai sarana penyampai kebaikan ajaran Islam.

Selain itu, saya juga memperoleh wawasan baru terkait sistem di dunia farmasi dan kedokteran terutama terkait obat-obatan dari sudut pandang seorang dokter. Ternyata urusan ini tidak semudah yang saya kira. Dimana-mana, idealisme memang selalu saja diuji. Dimana-mana, keimanan kita memang selalu saja diuji. Silahkan baca bukunya untuk tahu lebih lengkap, ujian macam apa yang saya maksud. :)

Punksi, obsygn, OMI (Old Myocard Infark), KAD (Ketoasidosis Diabetikum), ialah empat dari sekian banyak istilah yang baru saya ketahui maknanya dari buku karangan dr. Triharnoto ini. Memang ada banyak istilah kedokteran yang digunakan. Namun paparan penulis dengan bahasa yang mudah dimengerti serta keterangan setiap istilah di awal buku cukup membantu orang awam seperti saya dalam memahaminya. Ya, memperluas wawasan sekali. :D Setidaknya saya jadi bersemangat untuk membaca buku-buku lain. –Jadi nanti kalau anak (murid) saya ada yang bercita-cita jadi dokter atau profesi lainnya, atau bertanya berbagai macam hal, setidaknya saya mempunyai sedikit bekal untuk berbagi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. 

Dalam bukunya, dr. Triharnoto menulis dengan ringan, mengalir, dan sesekali renyah. Saya tidak sedang promosi, hanya cukup terkejut juga mendapati buku ini tidak seberat yang saya sangka. Isinya lebih banyak bercerita tentang pengalaman-pengalaman beliau selama menjalani profesinya tersebut. Sesekali jadi tegang pada bagian pemeriksaan pasien, perlakuan operasi, apalagi ketika beliau cerita bagaimana jantung diangkat dan dihentikan, kemudian didetakkan lagi. Jadi kaya akan hikmah pada bagian interaksi beliau dengan pasien-pasiennya, termasuk ketika beliau menjadi pasien bagi seorang dokter gigi. Saya sangat menikmati kisah interaksi beliau dengan para pasien; tentang sisi kemanusiaan. Bahasa kerennya: silaturrahim dengan pasien tidak berhenti ketika pasien keluar dari rumah sakit.

Apapun peranan kita, humaniora memang dibutuhkan. Sisi kemanusiaan tidak akan pernah lepas dari manusia itu sendiri, bukan? Membaca buku ini membuat saya semakin yakin bahwa Allah memberikan setiap hambaNya pelajaran secara spesial, dengan jalan masing-masing. Pelajaran yang Allah sampaikan boleh jadi seragam; tentang kesabaran, kesungguhan, dan bagaimana menghargai dan menikmati setiap proses. Namun Allah yang Maha Kaya itu selalu memiliki kekayaan cara dalam menyampaikan kepada setiap hambaNya. Itu juga kan, yang membuat ada begitu banyak kisah inspiratif bermunculan? Bagaimana jika kisah pembelajaran hidup hanya disampaikan Allah dengan satu cara? Mungkin acara-acara semacam talkshow motivasi tidak akan jadi menarik lagi.

“Meski menegangkan karena menyangkut nyawa manusia, tapi dengan niat baik menolong pasien, lakukan saja yang terbaik yang Anda bisa.”

“Saya menyesal terlambat melihat pasien sehingga tidak dapat kesempatan menolongnya. Walaupun bisa saja pasien tetap tidak tertolong, meski saya menolongnya.”

Dua pernyataan di atas adalah salah dua dari beberapa kalimat yang dicetak besar dalam buku The Doctor ini. Ya, ada pelajaran penting yang kembali diulang-ulang disana. Ialah tentang mengusahakan yang terbaik. Selagi niat kita baik, cara yang kita tempuh baik, tujuan kita baik, maka lakukan saja, usahakan yang terbaik. Ikhtiarkan seoptimal dan se-sungguh-sungguh mungkin. Tugas kita cukup sampai sana. Manusia tidak perlu dibuat repot dengan memikirkan hasilnya. Itu hak prerogratif Allah. Allah Maha Tahu yang terbaik, sedang pengetahuan kita terbatas sekali. Manusia punya bagiannya, sementara Rabb kita lah yang Maha Kuasa.

Saya jadi ingat alasan kenapa saya ingin menjadi seorang pendidik. Pernah guru saya bertanya alasan saya menulis ‘educator’ pada kolom cita-cita. Saat itu saya menjawab, bahwa menjadi seorang pendidik itu bukan pilihan, melainkan keharusan. Jadi apapun kita, profesi apapun, jabatan apapun, pada bagian manapun kita bergerak, menjadi pendidik adalah sebuah niscaya. Banyak orang yang menilai jawaban semacam ini tidak spesifik dan tidak fokus. Sama seperti orang yang ketika ditanya mau jadi apa, maka jawabannya ‘ingin menjadi orang baik’. Tapi bagi saya, menjadi seorang pendidik adalah kalimat paling pas menjawab apa yang benar-benar saya citakan. Persoalan profesi dan lain-lain, targetan karya atau semacamnya, tidak lain hanya turunan dan hanya cara yang saya gunakan untuk menggapai cita-cita sungguhan saya tersebut.

Seperti kita yang merupakan seorang muslim. Cita-cita kita adalah meraih ridha Allah. Maka perangkat-perangkat yang kita gunakan tidak lain adalah cara kita untuk menggapai cita-cita tersebut.

Semoga kita tidak dibatasi oleh teori-teori. Tidak terjebak dalam mimpi sendiri. Tidak pula terlalu sibuk dengan realisasi. Karena Allah, dengan kekuasaanNya, selalu memiliki kejutan-kejutan hebat bagi semesta; bagi setiap hambaNya -termasuk kita.

Terakhir, semangat yang mau jadi dokter, juga calon ahli farmasi! :)
Untuk teman2, kakak2, juga adik2 saya, semoga kalian menjadi pendidik super di lembaga spesial berpayung kesehatan. Tetaplah jadi manusia yang memanusiakan manusia.


Ditulis di Banjarnegara,
20 Agustus 2015