The Doctor; Catatan Hati Seorang Dokter
Triharnoto
Penerbit Pustaka Anggrek
2009
Saya membaca buku ini di kota Banjarnegara. Bersama
tim Akasia, saya mengunjungi bazaar buku murah di Gedung Arsip kota
Banjarnegara yang diselenggarakan dalam rangka merayakan hari ulang tahun
kemerdekaan Republik Indonesia. Menemukan buku ini dengan harga 20.000
tentu menarik perhatian. Pasalnya, sebelum itu saya juga menemukan buku
yang sama di perpustakaan kampus. Namun sayang keinginan untuk membaca buku
tersebut belum terlunasi. Jadilah hari itu saya mengantongi dua buku baru.; The
Doctor; Catatan Hati Seorang Dokter dan sebuah buku kecil berjudul Psikologi
Konseling.
Saya banyak menemui orang yang berkeinginan menjadi
seorang dokter. Tidak sedikit kawan dekat saya yang entah bagaimana berazzam
kuat untuk menjadi dokter. Saya sendiri, sejak kecil, tidak pernah berfikiran
untuk menjadikan dokter sebagai cita-cita. Sejak dulu hingga kini cita-cita
saya tetap; guru. Pernah sih, menulis ‘insinyur’ di kolom cita-cita. Tapi itu
tidak lebih hanya karena ikut-ikutan saja tanpa pernah mengerti apa dan
bagaimana kerja seorang insinyur. Hingga saya lebih memahami bahwa cita-cita bukan sebatas profesi, saya menemukan kata yang lebih baik dari guru; pendidik. Itu akan saya jabarkan nanti.
Ketika saya duduk di bangku MAN, agak terheran-heran betapa keinginan teman-teman untuk menjadi dokter membludak sekali. Hingga suatu ketika saya pernah bertanya pada ibu saya via telepon.
Ketika saya duduk di bangku MAN, agak terheran-heran betapa keinginan teman-teman untuk menjadi dokter membludak sekali. Hingga suatu ketika saya pernah bertanya pada ibu saya via telepon.
“Mama mau, anaknya ada yang jadi dokter?” Tanya saya
polos. Saat itu diskusi tentang jurusan kuliah memang jadi topik hangat pada
giliran telepon akhir pekan kami. Mendengar pertanyaan itu, ibu saya diam
sejenak. Kemudian beliau menjawab dengan pertanyaan,
“Emangnya ade mau jadi dokter?” mendengarnya saya
tertawa kecil.
“Enggak. Hhe” jawab saya singkat. Memang hanya iseng
saja tanpa ada maksud tertentu. Hanya karena beberapa banyak karib yang
berlomba-lomba untuk lolos fakultas kedokteran, sementara saya saat itu tengah
menimbang-nimbang hendak memilih jurusan apa.
Oke kembali ke buku The Doctor. Jadi, setelah membaca
buku setebal 321 halaman ini, sepertinya fikiran saya mulai terbuka dan lebih
memahami mengapa harapan menjadi dokter layak diperjuangkan. Bukan, tentu
bukan karena materi yang biasa disebut-sebut orang kebanyakan. Lebih dari itu,
karena filosofi dan esensinya yang luar biasa. Sebagai orang yang tertarik pada
pendidikan, saya baru benar-benar menyadari bahwa dokter memiliki peran yang
sangat strategis dalam dunia pendidikan. Bahkan bukan hanya dokter, melainkan
semua profesi, semua pekerjaan, masing-masing berkontribusi dalam pendidikan
jika saja kita mau melihat lebih seksama. Terlebih bagi seorang muslim yang
dakwah ialah sebuah kewajiban, maka setiap peranan tentu penting kita
manfaatkan sebagai sarana penyampai kebaikan ajaran Islam.
Selain itu, saya juga memperoleh wawasan baru terkait
sistem di dunia farmasi dan kedokteran terutama terkait obat-obatan dari sudut
pandang seorang dokter. Ternyata urusan ini tidak semudah yang saya kira.
Dimana-mana, idealisme memang selalu saja diuji. Dimana-mana, keimanan kita
memang selalu saja diuji. Silahkan baca bukunya untuk tahu lebih lengkap, ujian
macam apa yang saya maksud. :)
Punksi, obsygn, OMI (Old Myocard Infark), KAD
(Ketoasidosis Diabetikum), ialah empat dari sekian banyak istilah yang baru
saya ketahui maknanya dari buku karangan dr. Triharnoto ini. Memang ada
banyak istilah kedokteran yang digunakan. Namun paparan penulis dengan bahasa
yang mudah dimengerti serta keterangan setiap istilah di awal buku cukup
membantu orang awam seperti saya dalam memahaminya. Ya, memperluas wawasan
sekali. :D Setidaknya saya jadi bersemangat untuk membaca buku-buku lain. –Jadi
nanti kalau anak (murid) saya ada yang bercita-cita jadi dokter atau profesi
lainnya, atau bertanya berbagai macam hal, setidaknya saya mempunyai sedikit
bekal untuk berbagi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Dalam bukunya, dr. Triharnoto menulis dengan ringan, mengalir, dan sesekali renyah. Saya tidak sedang promosi, hanya cukup terkejut juga mendapati buku ini tidak seberat yang saya sangka. Isinya lebih banyak bercerita tentang pengalaman-pengalaman beliau selama menjalani profesinya tersebut. Sesekali jadi tegang pada bagian pemeriksaan pasien, perlakuan operasi, apalagi ketika beliau cerita bagaimana jantung diangkat dan dihentikan, kemudian didetakkan lagi. Jadi kaya akan hikmah pada bagian interaksi beliau dengan pasien-pasiennya, termasuk ketika beliau menjadi pasien bagi seorang dokter gigi. Saya sangat menikmati kisah interaksi beliau dengan para pasien; tentang sisi kemanusiaan. Bahasa kerennya: silaturrahim dengan pasien tidak berhenti ketika pasien keluar dari rumah sakit.
Apapun peranan kita, humaniora memang dibutuhkan. Sisi
kemanusiaan tidak akan pernah lepas dari manusia itu sendiri, bukan? Membaca buku
ini membuat saya semakin yakin bahwa Allah memberikan setiap hambaNya pelajaran
secara spesial, dengan jalan masing-masing. Pelajaran yang Allah sampaikan boleh
jadi seragam; tentang kesabaran, kesungguhan, dan bagaimana menghargai dan
menikmati setiap proses. Namun Allah yang Maha Kaya itu selalu memiliki kekayaan
cara dalam menyampaikan kepada setiap hambaNya. Itu juga kan, yang membuat
ada begitu banyak kisah inspiratif bermunculan? Bagaimana jika kisah
pembelajaran hidup hanya disampaikan Allah dengan satu cara? Mungkin acara-acara
semacam talkshow motivasi tidak akan jadi menarik lagi.
“Meski menegangkan karena menyangkut nyawa manusia,
tapi dengan niat baik menolong pasien, lakukan saja yang terbaik yang Anda
bisa.”
“Saya menyesal terlambat melihat pasien sehingga tidak
dapat kesempatan menolongnya. Walaupun bisa saja pasien tetap tidak tertolong,
meski saya menolongnya.”
Dua pernyataan di atas adalah salah dua dari beberapa
kalimat yang dicetak besar dalam buku The Doctor ini. Ya, ada pelajaran penting
yang kembali diulang-ulang disana. Ialah tentang mengusahakan yang terbaik.
Selagi niat kita baik, cara yang kita tempuh baik, tujuan kita baik, maka
lakukan saja, usahakan yang terbaik. Ikhtiarkan seoptimal dan
se-sungguh-sungguh mungkin. Tugas kita cukup sampai sana. Manusia tidak perlu
dibuat repot dengan memikirkan hasilnya. Itu hak prerogratif Allah. Allah Maha
Tahu yang terbaik, sedang pengetahuan kita terbatas sekali. Manusia punya
bagiannya, sementara Rabb kita lah yang Maha Kuasa.
Saya jadi ingat alasan kenapa
saya ingin menjadi seorang pendidik. Pernah guru saya bertanya alasan saya
menulis ‘educator’ pada kolom cita-cita. Saat itu saya menjawab, bahwa menjadi
seorang pendidik itu bukan pilihan, melainkan keharusan. Jadi apapun kita,
profesi apapun, jabatan apapun, pada bagian manapun kita bergerak, menjadi
pendidik adalah sebuah niscaya. Banyak orang yang menilai jawaban semacam ini
tidak spesifik dan tidak fokus. Sama seperti orang yang ketika ditanya mau jadi
apa, maka jawabannya ‘ingin menjadi orang baik’. Tapi bagi saya, menjadi
seorang pendidik adalah kalimat paling pas menjawab apa yang benar-benar saya citakan.
Persoalan profesi dan lain-lain, targetan karya atau semacamnya, tidak lain
hanya turunan dan hanya cara yang saya gunakan untuk menggapai cita-cita
sungguhan saya tersebut.
Seperti kita yang merupakan seorang muslim. Cita-cita
kita adalah meraih ridha Allah. Maka perangkat-perangkat yang kita gunakan
tidak lain adalah cara kita untuk menggapai cita-cita tersebut.
Semoga kita tidak dibatasi oleh teori-teori. Tidak
terjebak dalam mimpi sendiri. Tidak pula terlalu sibuk dengan realisasi. Karena
Allah, dengan kekuasaanNya, selalu memiliki kejutan-kejutan hebat bagi semesta;
bagi setiap hambaNya -termasuk kita.
Terakhir, semangat yang mau jadi dokter, juga calon ahli farmasi! :)
Untuk teman2, kakak2, juga adik2 saya, semoga kalian menjadi pendidik super di lembaga spesial berpayung kesehatan. Tetaplah jadi manusia yang memanusiakan manusia.
Ditulis di Banjarnegara,
20 Agustus 2015
No comments:
Post a Comment