Sunday, September 7, 2014

Kalau ada yang baik, kenapa harus yang buruk?

Masih hangat dalam benak saya, tentang pemilihan presiden 9 Juli 2014 lalu yang menggoreskan warna tersendiri dalam sejarah per-politikan Indonesia. Saya tidak habis fikir, bagaimana kelak buku pelajaran sejarah akan jadi begitu menakjubkannya di masa depan. Seiring berjalannya waktu, tentu manusia akan semakin banyak mengukir sejarah. Bukan begitu? tapi kali ini saya tidak hendak membahas tentang pemilu atau persoalan pemerintahan yang bahkan Ummi saya sudah komentar melulu tentang ini. "Capek deh nonton berita. Negara kok jadi main-mainan," begitu ujar Ummi sambil mengganti channel TV siang tadi.

Ummi bilang, pemberitaan sudah tidak tertata rapi. Kriminalias diberitakan lengkap  dengan tutorial pembunuhan, atau tata cara penyelundupan barang terlarang. Kekerasan pada anak digembar-gemborkan media. Diusut terus-terusan. Padahal kalau kita berfikir jernih, ada banyak hal yang harus masyarakat ketahui. Bukankah lebih baik meletakkan proporsi yang berimbang, sesuai, dan mengedukasi? 

Di penghujung tahun 2014, atmosfer AFTA (Asean Free Trade Area) semakin terasa. Apalagi di kalangan mahasiswa atau pekerja, yang diprediksi akan lebih terkena dampaknya. Saya jadi menerka, bagaimana jika transaksi antar negara kelak dapat dilakukan dengan begitu mudahnya di kawasan Asean? Bagaimana jika wilayah-wilayah perbatasan Indonesia semakin bebas pergi ke negara sebelah? atau bahkan tenaga kerja asing kelak menguasai wilayah mereka. Lalu bagaimana dengan perilaku konsumtif remaja sekarang? yang bukannya mencari manfaat, tapi justru membeli produk berdasarkan brand semata. Bagaimana jika produk dalam negeri kalah bersaing bahkan di tanahnya sendiri?

Sejak duduk di bangku kuliah, saya semakin menyadari betapa Indonesia sebenarnya sangat potensial. Tidak hanya itu, semakin kesini, perhatian akan negeri di kalangan kaum muda semakin terlihat. (Atau mungkin karena memang usia saya yang sekarang termasuk 'kaum muda' jadi lebih dekat dengan isu-isu seperti ini?) Dalam hal produksi barang maupun jasa, tidak sedikit inovasi pemuda indonesia yang mampu berkecimpung hingga ranah internasional. Sebut saja AgrisocioIndonesia Medika, hingga PT Kelola Mina Laut yang diakui negara asing, namun sayang masih banyak yang belum mengetahuinya di negara sendiri. Kebanyakan hanya dikenal oleh kalangan menengah ke atas atau akademisi.

Menurut saya, disinilah peran media seharusnya. Jika media-media khususnya televisi kerap memberitakan hal-hal yang negatif, tidak heran jika yang hadir dalam benak masyarakat bukanlah kecintaan pada negeri, melainkan kejenuhan hati. Maka tidak aneh jika produk dalam negeri masih kalah bersaing meski di tanah sendiri. Padahal menurut saya, banyak dari produk dalam negeri yang mengungguli produk asing, Hanya saja keterbatasan pengetahuan masyarakat akan produk tersebut yang menjadi kendala. Jangan katakan antara berita kriminal -misalnya- tidak berkaitan dengan penjualan produk. loh, ya :) sadar atau tidak, setiap informasi yang masuk akan tercerna dalam kepala kita.

Jadi ada baiknya jika media-media kita juga memberitakan tentang hal-hal positif. Tentang PIMNas yang diadakan dalam jangka tahunan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), tentang pelajar-pelajar Indonesia yang meraih prestasi baik dalam maupun luar negeri seperti medali perunggu IGeo tahun ini yang diraih seorang siswi tanah air, tentang upaya kaum muda yang bertujuan mulia demi kemaslahatan ibu pertiwi; Sahabat Pulau misalnya. Banyak pula produk inovasi-kreatif karya anak bangsa yang tidak sedikit lahir dari program PIMNas tersebut.

Kepercayaan bukanlah produk yang instant. Tidak serta-merta bisa hadir dalam waktu tiga puluh menit penyuluhan, apalagi sekian detik nasihat numpang lewat. Jika hubungan antara dua insan saja membutuhkan kepercayaan, terlebih dalam suatu negara yang mengikat berjuta-juta manusia. Jika kabar-kabar positif lebih tinggi lagi frekuensinya, saya yakin kepercayaan masyarakat akan lebih terpupuk. Tapi bukan berarti pencitraan loh, ya. :)

Seribu sayang, kata orang, seiring bertambahnya nominal usia, semakin menua kita, idealisme akan semakin langka. Mungkin itu sebab, media kini hanya jadi sarana komersial demi meraup untung sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan esensi-filosofi kehadiran media itu sendiri. Tapi tidak apa, itu kan hanya katanya. Jika memang media televisi sana belum mampu kita jamah, biar jari-jari ini yang bicara, Biar tekun kita yang menjadi responnya. Biar kita tularkan semangat positif seluas-luasnya. Semoga.

Selamat menyambut AFTA. Selamat menjadi produsen-konsumen yang cerdas! :)

Penugasan Mata Kuliah Perilaku Konsumen, 1436 H
Rizky Sahla Tasqiya