Tuesday, March 24, 2015

SYAHDAN

Tiap jiwa jana yang merekah saling bersinggungan
Serupa putaran jantera yang jadi saksi akan perjalanan
Jikalau memang pilinan debu mampu menyuarakan
Syahdan,
Biar saja partikel semesta yang menyampaikan

Pilinannya menyeruak pada relung-relung
Membentuk metamorfosa terselubung
Dibalik udara, ditelan samudra
Dijunjung para perengguk yang mengaku berwibawa

Semerbak
Semarak

Mereka ramai suarakan kebersamaan
Tentang ikatan cakrawala dunia para pejalan
Tentang solidaritas yang serupa mozaik cinta
Intisari kerja yang bukan sekadar euforia

Lantas debuku bersembunyi di dasar palung
Melantunkan harap pada balik tempurung
Tanpa secercah pun pergi melupakan cita
Tanpa selangkah pun diam mengabaikan rasa

Karena persaudaraan bukan perniagaan
Bukan pula muara yang layak dipertandingkan
Solidaritas meretas makna
Melampaui kumpulan deskripsi dan untai kata

Abadi
Hingga nanti

Bahwa tiap jiwa jana yang merekah saling bersinggungan
Serupa putaran jantera yang jadi saksi akan perjalanan
Jikalau memang satuan langit berjanji demikian
Syahdan,

Perjumpaan kita bukan sekadar kiasan, kan?

Ditulis dalam partisipasi Lomba Cipta Puisi Espent 2015

Sunday, March 15, 2015

Menangis

“Kita menangis bukan karena kita lemah. Melainkan karena kita punya hati.”

Secara biologis, air mata berfungsi untuk menjaga agar mata kita tetap bersih dan jernih.  Kita bisa saja mengeluarkan air mata ketika dalam keadaan sangat mengantuk, atau ketika ada benda asing yang masuk ke mata kita. Namun air mata fisik tentu berbeda dengan air mata psikis. Bukan hanya dari penyebab, melainkan juga mekanisme yang terjadi dalam tubuh kita. Ialah menangis, proses yang biasa kita sebut-sebut ketika air mata hadir karena faktor psikologi.

Dari berbagai ekspresi rasa yang ditunjukkan manusia, menurut saya menangis adalah ekspresi yang paling unik. Ada yang mengatakan bahwa kita bisa saja tersenyum pada semua orang, tapi kita hanya bisa menangis di hadapan orang-orang tertentu. Dalam hal ini, menangis memiliki tingkat privasi yang lebih tinggi. Saya fikir, ungkapan tersebut ada benarnya. Saya menjumpai beberapa orang yang memberi pengakuan akan kesulitannya menangis meski mereka akui betapa mereka ingin melakukannya.

Menangis bukan sekadar pertanda sedih atau terharu. Menangis adalah ekspresi kejujuran. Itulah sebab mengapa menangis menjadi ekspresi yang paling sulit untuk direkayasa. Kita dapat dengan mudah memanipulasi senyum, bukan? Atau berpura-pura marah atas sesuatu hal. Tapi menangis? Tentu membutuhkan energi lebih untuk memalsukannya.

Menangis adalah ekspresi kejujuran; sebuah wujud keterbukaan. Maka kita tidak perlu bertanya-tanya mengapa anak kecil mudah sekali menangis. Mereka jujur dalam mengekspresikan setiap rasa kepada dunianya. Berbeda dengan remaja atau orang dewasa. Rumus menangis jadi tidak sesederhana itu. Ada banyak filter yang mulai bekerja. Kapan, dimana, kepada siapa, dan sederet syarat tak tertulis lain tentang menangis. Maka kita tidak perlu heran kalau sewaktu-waktu menjumpai seseorang yang terkenal begitu periang dalam keseharian, atau bahkan terkenal galak dan angkuh misalnya, tahu-tahu menangis sembari bersujud. Mungkin baginya, Tuhan adalah tempat yang tepat untuk diajak terbuka.

Karena menangis adalah ekspresi kejujuran; sebuah wujud keterbukaan
Kita bisa saja jujur pada seluruh dunia, namun tidak pada semua orang kita mampu terbuka.