Tuesday, May 14, 2019

Karena Pak Guru Baru


Saya masih ingat. Malam itu, ketika Ayah sudah mulai terlelap, Mama keluar dari kamarnya dan menghampiri saya yang masih asyik terjaga. Belakangan ada banyak hal yang memang sering kami perbincangkan bersama. Malam itu pula, tanpa diminta, beliau mulai bercerita.

“Ade, di sekolah mama ada guru baru…” begitu Mama membuka kisahnya.

**

Mama adalah seorang guru. Berjodoh dengan ayah yang juga seorang guru. Keduanya telah menjalani profesi sebagai guru lebih dari separuh hidup. Ayah baru saja purna tugas satu setengah bulan yang lalu. Adapun Mama, baru dua tahun ditempatkan di sekolah yang baru, tak jauh dari rumah tempat kami tinggal.

Malam itu, berceritalah Mama kepada saya mengenai seorang guru baru. Ia datang ke sekolah dengan pakaian rapi, dengan tutur kata yang santun. Masih terbilang muda, usianya barangkali menginjak 30-an. Awalnya, laki-laki itu dikira sales oleh Mama dan para rekan kerja. Bukan tanpa alasan, sebab memang tak jarang ada sales mampir untuk jualan ke sekolah.

“Kepala sekolahnya lagi gak ada tapi Pak,” ujar salah seorang rekan kerja Mama sesama guru. Tak ada yang berani menerima sales, sebab biasanya berkaitan dengan jualan buku atau hal-hal seputar alat bantu untuk kegiatan belajar-mengajar. Wewenang semacam itu, di sekolah tempat Mama mengajar, ada pada kepala sekolah.

“Oh begitu, Bu… ini, sebetulnya saya ingin lapor diri,” yang dikira sales lantas menyampaikan niatnya. Ternyata dirinya bukan seorang sales, melainkan seorang guru yang baru saja mendapat tugas untuk mengajar di sekolah tersebut. Alhasil, identitas dan laporannya diterima, dengan catatan ia akan kembali keesokan hari untuk menemui kepala sekolah.

Cerita berawal disini. Diam-diam Mama memerhatikan guru baru itu dengan seksama.  Agaknya, sosok itu teramat tidak asing. Mama merasa begitu mengenali wajah si guru baru. Jangan-jangan…

“Maaf, Pak. Kalau boleh tau asalnya darimana?” tanya Mama demi memastikan praduganya. Sampai pada pertanyaan-pertanyaa lain seperti kelahiran tahun berapa dan punya anak berapa. Mama kemudian berinisiatif meminjam data diri si guru baru demi bisa melihat nama lengkap laki-laki berumur 30-an itu. Betapa tidak terkesima, nama yang tertera betul-betul tidak asing di telinga Mama.

“Bapak kayaknya murid saya deh. Dulu TK-nya dimana?” tanya Mama.

“Eh?” yang disapa dengan panggilan “bapak” sedikit kaget.

**

Benar sekali. Guru baru itu ternyata adalah murid Mama di TK, puluhan tahun yang lalu. Sampai pada bagian ini, saya dapat menyaksikan mata Mama yang mulai berkaca-kaca ketika menceritakan kisah itu pada saya.

“De, Mama terharu banget. Ternyata Mama sudah tua, ya. Anak murid Mama sudah sebesar itu, udah jadi teman kerja Mama,” begitu ujar beliau. Aku mengangguk-angguk. Benar juga. Bahkan semua anak-anak Mama mulai dari Abang, Kakak, aku, hingga si bungsu, semuanya bersekolah di TK dengan mama sebagai guru dan kepala sekolahnya. Perjalanan Mama menekuni profesi yang memang adalah cita-citanya sejak kecil itu ternyata sudah terbilang puluhan tahun. Sudah melintasi berbagai generasi.

**

 “Gimana Ma, anak muridnya Mama udah mulai ngajar di sekolah?” tanyaku pada seminggu berselang usai Mama bercerita soal anak muridnya yang kini jadi guru baru di sekolah.

“Iya udah, sehari setelah lapor, dia langsung ngajar. Jum’at lalu dia telepon ibunya, ngasih tahu suara Mama. Ibunya masih ingat De, sama Mama,” jawab Mama. Aku tersenyum saja.

“Waktu minggu lalu ade ke IC, Ma, seneng banget ketika guru-guru masih ingat nama ade. Itu belum puluhan tahun. Segitu aja ade udah terharu. Mesti rasanya haru banget kalau udah puluhan tahun terus namanya masih diingat sama gurunya.”

“Iya, di sekolah, guru-guru yang senior bilang begini, ‘yah gabisa dibully dah ini guru baru. Ada emaknya sih!’” kata Mama sambil tertawa, kemudian melanjutkan, “Dia juga haru banget, De. Katanya ‘Yaa Allah ibu… Malah ibu duluan yang ingat sama saya’.”

**

Begitulah.

Saya jadi ingat momen dimana saya menangis sambil berbaring di atas kasur pasien, beberapa bulan lalu, ketika dibesuk oleh salah seorang guru kesayangan saya ketika masih duduk di bangku madrasah. Beliau ada wali kelas saya di bangku kelas 4B. Saya mungkin lebih banyak melupakan berbagai materi pelajaran di kelas yang beliau ajarkan. Tapi pelajaran hidup, semangat, dan motivasi darinya masih teringat jelas di kepala. Bahkan saya masih ingat kisah perjalanan beliau menentukan sekolah, kisah istikharah dan bertemu dengan pasangan hidup, hingga sesi pengambilan rapot yang beliau katakan di hadapan Ayah bahwa saya punya potensi. Mungkin beliau tak pernah tahu betapa cerita-cerita itu bercokol di kepala saya selama bertahun-tahun. Juga, betapa motivasi darinya menjadi salah satu catatan penting yang saya pegang hingga hari ini.

Maka ketika melihat kehadirannya ketika saya tengah sakit dan dirawat di rumah sakit, saya sungguh-sungguh menangis. Haru.

Saya juga ingat beberapa waktu lalu, ketika takziyah, menemui salah seorang guru semasa di aliyah yang baru saja kehilangan anak tercintanya. Alhamdulillah, Allah berikan saya kesempatan menjadi salah satu yang tiba paling awal menemui beliau, masih di kamar pasien. Sedikit terkejut beliau melihat kehadiran saya. Kemudian tanpa dikomando, beliau memeluk saya dan tumpahlah tangisnya. Saya dapat merasakan betul keikhlasan dan keridhoan seorang ibu. Tangisnya bukan tangis menyesal, apalagi marah tak ridho atas takdir. Tangisnya adalah tangis yang pecah karena cinta dan kasih sayang. Bahkan senyum merekah dengan indahnya, yang saya yakin hadir dari kesadaran utuh bahwa anaknya telah pulang pada pemilik sesungguhnya.

Beliau mungkin tidak ingat, betapa banyak pembelajaran hidup yang saya catat baik-baik dari sosoknya. Bahkan di bangku kuliah, beberapa kali saya masih mengirimi beliau pesan demi meminta doa untuk ujian yang akan saya hadapi. Saya masih ingat betul nasihat-nasihat beliau, juga keramah-tamahan beliau yang tak pernah menolak bahkan jika malam-malam saya mengetuk pintu rumahnya.

Bagi saya, setiap guru punya tempat spesial yang membuat saya sebagai seorang murid acapkali berkaca jika mengingat mereka, atau jadi salah tingkah jika kembali bersua. Semoga kebaikan senantiasa melingkupi ayah-bunda ibu guru sekalian dimanapun berada..


**

Dari cerita Mama, saya belajar tentang waktu kehidupan. Betapa cepatnya waktu di dunia. Mungkin karena memang sifat sementara dan kefanaannya. Juga, betapa mudahnya waktu tertinggal di belakang. Hingga satu detik saja yang terlewat takkan pernah bisa sampai kapanpun diulang perjalanannya.

Saya juga belajar tentang menjadi orang baik. Bahwa ternyata, kebaikan itu indah sekali. Mengutip nasihat guru asuh saya semasa di Aliyah, beliau berpesan bahwa berbuat baiklah sekecil apapun perbuatan baik itu. Sebab kita tidak pernah tahu, kebaikan mana yang akan menjadi tiket kita menuju syurga. Setelah mendengar cerita Mama dan berkontemplasi, saya jadi berpikir betapa indahnya kebaikan-kebaikan. Sebagaimana guru-guru saya yang berbuat baik, meski terkesan “sederhana”, dan mungkin saja beliau-beliau tidak ingat lagi perbuatan baik itu. Tapi dalam benak saya, kesederhanaan itu sungguh-sungguh membekas dan jadi kenangan manis tersendiri. Kebaikan-kebaikan yang terbungkus dalam nasihat, motivasi, dan sapa ringan ‘apa kabar’ di sela-sela hari. Bahkan kebaikan-kebaikan di balik teguran ketika saya berbuat keliru, percikan air wudhu, juga pukulan kecil disertai canda yang menghibur. Saya membungkus semuanya, menyimpannya baik-baik, dan menjadikannya bahan bakar pada jalan-jalan hidup yang saya tempuh kemudian hari. Hebatnya, boleh jadi beliau-beliau tidak menyadari sama sekali. Dan saya hanya salah satu dari sekian banyak murid yang mereka “punya”. Bayangkan betapa indahnya jika semua murid merasakan apa yang saya rasa. Betapa kebermanfaatan guru-guru kami mengalir sedemikian derasnya.

**

Tulisan ini saya mulai dua hari yang lalu, dan sempat mengendap begitu saja. Saya kembali teringat untuk menyelesaikan karena hari ini melihat foto Mama bersama dengan murid TK-nya itu. Iya, murid TK Mama yang kini jadi partner kerja di sekolah. Baarakallah, Mama. Semoga apa yang Mama jalani hingga hari ini bernilai ibadah. Mungkin karena paduan antara jiwa keibuan dan keguruan, Mama punya semacam energi jadikan teman-teman saya pun seolah jadi “muridnya” juga. Mama bisa lancar mengabsen nama teman-teman saya, dari madrasah, tsanawiyah, aliyah, hingga kuliah. Menanyakan bagaimana kabar satu per satu dari mereka. Baarakallah, Ma.

Juga kepada Ayah, Baarakallah. Terima kasih sudah menafkahi kami dengan rezeki yang selalu Ayah usahakan semaksimal mungkin kehalalannya. Terima kasih karena sampai hari ini, Ayah sudah menjadi guru. Bukan hanya di sekolah, tapi juga di rumah tentunya. Sudah memberikan teladan akan apa itu kesabaran dan ketulusan. Kami tahu purna tugas Ayah hanya secara formal, tapi tugas sesungguhnya barangkali takkan pernah usai di dunia. Semoga kami senantiasa menjadi murid yang siap dididik. Baarakallah, Ayah.

Kemudian kepada Pak Guru Baru, karena melalui washilah Bapak yang ternyata adalah murid TK dari ibunda saya, saya jadi banyak belajar. Hatur nuhun.. Mama saya berkata pada saya, beliau banyak berharap bahwa kehadiran Bapak akan membawa kebaikan-kebaikan. Aamiin.

**
Rasulullah ﷺ adalah sebaik-baik guru.
(sumber gambar klik disini)
Terima kasih telah membaca. Sudah lama saya tidak menulis seperti ini. Dan setelah sekian lama, kali ini, rasanya menyenangkan sekali. Alhamdulillah. 😊


Selasa, 9 Ramadhan 1440 H