Saya
masih ingat. Malam itu, ketika Ayah sudah mulai terlelap, Mama keluar dari
kamarnya dan menghampiri saya yang masih asyik terjaga. Belakangan ada banyak
hal yang memang sering kami perbincangkan bersama. Malam itu pula, tanpa
diminta, beliau mulai bercerita.
“Ade,
di sekolah mama ada guru baru…” begitu Mama membuka kisahnya.
**
Mama
adalah seorang guru. Berjodoh dengan ayah yang juga seorang guru. Keduanya
telah menjalani profesi sebagai guru lebih dari separuh hidup. Ayah baru saja
purna tugas satu setengah bulan yang lalu. Adapun Mama, baru dua tahun
ditempatkan di sekolah yang baru, tak jauh dari rumah tempat kami tinggal.
Malam
itu, berceritalah Mama kepada saya mengenai seorang guru baru. Ia datang ke
sekolah dengan pakaian rapi, dengan tutur kata yang santun. Masih terbilang
muda, usianya barangkali menginjak 30-an. Awalnya, laki-laki itu dikira sales
oleh Mama dan para rekan kerja. Bukan tanpa alasan, sebab memang tak jarang ada
sales mampir untuk jualan ke sekolah.
“Kepala
sekolahnya lagi gak ada tapi Pak,” ujar salah seorang rekan kerja Mama sesama
guru. Tak ada yang berani menerima sales, sebab biasanya berkaitan dengan
jualan buku atau hal-hal seputar alat bantu untuk kegiatan belajar-mengajar.
Wewenang semacam itu, di sekolah tempat Mama mengajar, ada pada kepala sekolah.
“Oh
begitu, Bu… ini, sebetulnya saya ingin lapor diri,” yang dikira sales lantas
menyampaikan niatnya. Ternyata dirinya bukan seorang sales, melainkan seorang
guru yang baru saja mendapat tugas untuk mengajar di sekolah tersebut. Alhasil,
identitas dan laporannya diterima, dengan catatan ia akan kembali keesokan hari
untuk menemui kepala sekolah.
Cerita
berawal disini. Diam-diam Mama memerhatikan guru baru itu dengan seksama. Agaknya, sosok itu teramat tidak asing. Mama
merasa begitu mengenali wajah si guru baru. Jangan-jangan…
“Maaf,
Pak. Kalau boleh tau asalnya darimana?” tanya Mama demi memastikan praduganya. Sampai
pada pertanyaan-pertanyaa lain seperti kelahiran tahun berapa dan punya anak
berapa. Mama kemudian berinisiatif meminjam data diri si guru baru demi bisa
melihat nama lengkap laki-laki berumur 30-an itu. Betapa tidak terkesima, nama
yang tertera betul-betul tidak asing di telinga Mama.
“Bapak
kayaknya murid saya deh. Dulu TK-nya dimana?” tanya Mama.
“Eh?”
yang disapa dengan panggilan “bapak” sedikit kaget.
**
Benar
sekali. Guru baru itu ternyata adalah murid Mama di TK, puluhan tahun yang
lalu. Sampai pada bagian ini, saya dapat menyaksikan mata Mama yang mulai
berkaca-kaca ketika menceritakan kisah itu pada saya.
“De,
Mama terharu banget. Ternyata Mama sudah tua, ya. Anak murid Mama sudah sebesar
itu, udah jadi teman kerja Mama,” begitu ujar beliau. Aku mengangguk-angguk.
Benar juga. Bahkan semua anak-anak Mama mulai dari Abang, Kakak, aku, hingga si
bungsu, semuanya bersekolah di TK dengan mama sebagai guru dan kepala
sekolahnya. Perjalanan Mama menekuni profesi yang memang adalah cita-citanya
sejak kecil itu ternyata sudah terbilang puluhan tahun. Sudah melintasi
berbagai generasi.
**
“Gimana Ma, anak muridnya Mama udah mulai
ngajar di sekolah?” tanyaku pada seminggu berselang usai Mama bercerita soal
anak muridnya yang kini jadi guru baru di sekolah.
“Iya
udah, sehari setelah lapor, dia langsung ngajar. Jum’at lalu dia telepon ibunya,
ngasih tahu suara Mama. Ibunya masih ingat De, sama Mama,” jawab Mama. Aku tersenyum
saja.
“Waktu
minggu lalu ade ke IC, Ma, seneng banget ketika guru-guru masih ingat nama ade.
Itu belum puluhan tahun. Segitu aja ade udah terharu. Mesti rasanya haru banget
kalau udah puluhan tahun terus namanya masih diingat sama gurunya.”
“Iya,
di sekolah, guru-guru yang senior bilang begini, ‘yah gabisa dibully dah ini
guru baru. Ada emaknya sih!’” kata Mama sambil tertawa, kemudian melanjutkan,
“Dia juga haru banget, De. Katanya ‘Yaa Allah ibu… Malah ibu duluan yang ingat
sama saya’.”
**
Begitulah.
Saya
jadi ingat momen dimana saya menangis sambil berbaring di atas kasur pasien,
beberapa bulan lalu, ketika dibesuk oleh salah seorang guru kesayangan saya
ketika masih duduk di bangku madrasah. Beliau ada wali kelas saya di bangku
kelas 4B. Saya mungkin lebih banyak melupakan berbagai materi pelajaran di
kelas yang beliau ajarkan. Tapi pelajaran hidup, semangat, dan motivasi darinya
masih teringat jelas di kepala. Bahkan saya masih ingat kisah perjalanan beliau
menentukan sekolah, kisah istikharah dan bertemu dengan pasangan hidup, hingga
sesi pengambilan rapot yang beliau katakan di hadapan Ayah bahwa saya punya
potensi. Mungkin beliau tak pernah tahu betapa cerita-cerita itu bercokol di
kepala saya selama bertahun-tahun. Juga, betapa motivasi darinya menjadi salah
satu catatan penting yang saya pegang hingga hari ini.
Maka
ketika melihat kehadirannya ketika saya tengah sakit dan dirawat di rumah sakit, saya sungguh-sungguh menangis. Haru.
Saya
juga ingat beberapa waktu lalu, ketika takziyah, menemui salah seorang guru
semasa di aliyah yang baru saja kehilangan anak tercintanya. Alhamdulillah, Allah
berikan saya kesempatan menjadi salah satu yang tiba paling awal menemui
beliau, masih di kamar pasien. Sedikit terkejut beliau melihat kehadiran saya.
Kemudian tanpa dikomando, beliau memeluk saya dan tumpahlah tangisnya. Saya
dapat merasakan betul keikhlasan dan keridhoan seorang ibu. Tangisnya bukan
tangis menyesal, apalagi marah tak ridho atas takdir. Tangisnya adalah tangis
yang pecah karena cinta dan kasih sayang. Bahkan senyum merekah dengan indahnya,
yang saya yakin hadir dari kesadaran utuh bahwa anaknya telah pulang pada
pemilik sesungguhnya.
Beliau
mungkin tidak ingat, betapa banyak pembelajaran hidup yang saya catat baik-baik
dari sosoknya. Bahkan di bangku kuliah, beberapa kali saya masih mengirimi
beliau pesan demi meminta doa untuk ujian yang akan saya hadapi. Saya masih
ingat betul nasihat-nasihat beliau, juga keramah-tamahan beliau yang tak pernah
menolak bahkan jika malam-malam saya mengetuk pintu rumahnya.
Bagi
saya, setiap guru punya tempat spesial yang membuat saya sebagai seorang murid
acapkali berkaca jika mengingat mereka, atau jadi salah tingkah jika kembali
bersua. Semoga kebaikan senantiasa melingkupi ayah-bunda ibu guru sekalian dimanapun
berada..
**
Dari
cerita Mama, saya belajar tentang waktu kehidupan. Betapa cepatnya waktu di
dunia. Mungkin karena memang sifat sementara dan kefanaannya. Juga, betapa
mudahnya waktu tertinggal di belakang. Hingga satu detik saja yang terlewat takkan
pernah bisa sampai kapanpun diulang perjalanannya.
Saya
juga belajar tentang menjadi orang baik. Bahwa ternyata, kebaikan itu indah
sekali. Mengutip nasihat guru asuh saya semasa di Aliyah, beliau berpesan bahwa
berbuat baiklah sekecil apapun perbuatan baik itu. Sebab kita tidak pernah
tahu, kebaikan mana yang akan menjadi tiket kita menuju syurga. Setelah
mendengar cerita Mama dan berkontemplasi, saya jadi berpikir betapa indahnya kebaikan-kebaikan.
Sebagaimana guru-guru saya yang berbuat baik, meski terkesan “sederhana”, dan
mungkin saja beliau-beliau tidak ingat lagi perbuatan baik itu. Tapi dalam
benak saya, kesederhanaan itu sungguh-sungguh membekas dan jadi kenangan manis
tersendiri. Kebaikan-kebaikan yang terbungkus dalam nasihat, motivasi, dan sapa
ringan ‘apa kabar’ di sela-sela hari. Bahkan kebaikan-kebaikan di balik teguran
ketika saya berbuat keliru, percikan air wudhu, juga pukulan kecil disertai
canda yang menghibur. Saya membungkus semuanya, menyimpannya baik-baik, dan menjadikannya
bahan bakar pada jalan-jalan hidup yang saya tempuh kemudian hari. Hebatnya,
boleh jadi beliau-beliau tidak menyadari sama sekali. Dan saya hanya salah satu
dari sekian banyak murid yang mereka “punya”. Bayangkan betapa indahnya jika
semua murid merasakan apa yang saya rasa. Betapa kebermanfaatan guru-guru kami
mengalir sedemikian derasnya.
**
Tulisan
ini saya mulai dua hari yang lalu, dan sempat mengendap begitu saja. Saya
kembali teringat untuk menyelesaikan karena hari ini melihat foto Mama bersama
dengan murid TK-nya itu. Iya, murid TK Mama yang kini jadi partner kerja di
sekolah. Baarakallah, Mama. Semoga apa yang Mama jalani hingga hari ini
bernilai ibadah. Mungkin karena paduan antara jiwa keibuan dan keguruan, Mama
punya semacam energi jadikan teman-teman saya pun seolah jadi “muridnya” juga. Mama
bisa lancar mengabsen nama teman-teman saya, dari madrasah, tsanawiyah, aliyah,
hingga kuliah. Menanyakan bagaimana kabar satu per satu dari mereka.
Baarakallah, Ma.
Juga
kepada Ayah, Baarakallah. Terima kasih sudah menafkahi kami dengan rezeki yang
selalu Ayah usahakan semaksimal mungkin kehalalannya. Terima kasih karena
sampai hari ini, Ayah sudah menjadi guru. Bukan hanya di sekolah, tapi juga di
rumah tentunya. Sudah memberikan teladan akan apa itu kesabaran dan ketulusan. Kami
tahu purna tugas Ayah hanya secara formal, tapi tugas sesungguhnya barangkali
takkan pernah usai di dunia. Semoga kami senantiasa menjadi murid yang siap dididik.
Baarakallah, Ayah.
Kemudian kepada Pak Guru Baru, karena melalui washilah Bapak yang ternyata adalah murid TK dari ibunda saya, saya jadi banyak belajar. Hatur nuhun.. Mama saya berkata pada saya, beliau banyak berharap bahwa kehadiran Bapak akan membawa kebaikan-kebaikan. Aamiin.
**
Rasulullah ﷺ adalah sebaik-baik guru. (sumber gambar klik disini) |
Terima
kasih telah membaca. Sudah lama saya tidak menulis seperti ini. Dan
setelah sekian lama, kali ini, rasanya menyenangkan sekali. Alhamdulillah. 😊
Selasa,
9 Ramadhan 1440 H
No comments:
Post a Comment