Wednesday, July 11, 2018

Bagaimana Kabarmu?


Hei, Assalamu’alaikum. Bagaimana kabarmu?

**
Sudah lama kita tidak berbincang. Atau mungkin memang kita bukan dua orang yang sering berbincang. Yah, apapun itu, aku ingin bercerita saja. Sore ini aku duduk di sudut ruangan berdindingkan kaca. Aku berada di lantai paling atas; lantai ke-24. Dari sini, dapat kusaksikan langit ibu kota kita yang agak kelabu, entah mengapa. Mungkin karena kesibukan dan produktivitas manusianya yang di atas rata-rata, hingga pemandangan dari atas seperti tertutup kabut sedemikian rupa. Iya, kuharap itu kabut dan bukan polusi udara.

Kamu pernah berpikir, kenapa ya, dalam kehidupan kita yang berdampingan ini, dalam kehidupan setiap manusia yang kita tahu jumlahnya tak dapat dihitung jari ini, mengapa kita seringkali masih iri hati? mengapa kita menyimpan hasad-dengki? mengapa masih sulit bagi kita mensyukuri diri? padahal, kan, ada begitu banyak manusia di dunia ini, dan rasa-rasanya, kita akan selalu menemukan celah jika saja kita mau bersyukur atas kehidupan sendiri.

Ya, kan? apakah kamu berpikir hal yang sama?

Yah, bukan apa-apa sih. Aku hanya berkontemplasi; merenungi segala pahit-manis yang telah terjadi selama ini. Hei, iya, aku kan mau tanya, kamu apa kabar? ada kabar apa di kehidupanmu? bagaimana kabar tugas-tugas harianmu? adakah mereka terceklis utuh?

Belakangan, aku belajar banyak soal kehidupan. Bahwa ternyata dunia yang cuma main-main dan senda gurau belaka ini, ternyata menyimpan dinamika sedemikian rupa. Ternyata di usiaku yang memasuki dua puluhan ini, ada begitu banyak kearifan hidup yang aku masih buta terhadapnya. Ada banyak sekali kisah yang baru aku selami maknanya; sesuatu yang kukatakan pahit-manis kehidupan. Kapan-kapan aku juga mau mendengar (atau mungkin membaca) cerita pahit-manis milikmu. Kutunggu, ya.

Aku jadi ingat perkataan Ibu Neti, salah satu konselor yang pernah mengisi kelas kuliah kami. Beliau mengatakan bahwa hikmah terbesar menjadi seorang konselor adalah menjadi bijak. Iya, belajar dari kompleksitas hidup yang dialami oleh berbagai macam insan menjadikan dirinya melihat dengan sudut pandang yang lebih luas, menilai dengan lebih menyeluruh, menyaksikan segala sesuatu dengan lebih adil. Kegiatannya mendengarkan cerita dari orang lain tanpa disadari membantu pikir dan hatinya menjadi lebih bijak. Barangkali benar jika dikatakan bahwa pembeda antara kanak-kanak dan dewasa adalah soal kebijaksanaan. Bukankah memang begitu? sudah seharusnya orang dewasa berbeda dengan anak-anak yang bersifat egosentris. Bukan saatnya lagi bagi orang dewasa bersikap seperti anak-anak yang melihat segala sesuatu berputar dengan diri mereka sebagai porosnya.

Aku sudah lama tidak bercerita. Jadi maaf kalau agak banyak menulisnya. Kalau tidak mau baca, silakan berhenti saja. (Ya kalau tidak mau baca, sejak tadi kamu harusnya juga tidak memulai, kan, hhe).

Dalam perjalananku hingga hari ini, aku bersyukur sebab dipertemukan dengan orang-orang luar biasa. Entah, kadang aku tak habis pikir dengan diri sendiri, bagaimana mungkin aku tidak termotivasi menyaksikan orang-orang di sekelilingku yang sehebat itu? mungkin juga termasuk kamu. Artinya, jika aku tidak menghebatkan diriku juga, tidakkah bisa dikata bahwa aku kufur nikmat?

Hei, tunggu. Kamu juga mengerti kan, maksudku hebat disini adalah, bicara soal kesungguh-sungguhan. Aku selalu jatuh cinta melihat manusia dengan segala perjuangannya. Aku suka menyaksikan manusia yang bersungguh-sungguh dalam melakukan apa yang ia yakini kebaikan dan kebenarannya. Aku selalu kagum pada mereka yang bisa fokus pada satu hal, dengan tetap mengindahkan kehidupan kanan-kirinya. Dan betapa baiknya Dia, hingga menghadirkan orang-orang seperti itu dalam kehidupanku. Maka aku katakan, bukankah aku kufur nikmat, jika aku tak menyerap energi mereka? atau energimu, mungkin saja?

Aku mengenal seseorang yang telah melamar kerja hingga puluhan. Bukan untuk apa-apa, melainkan untuk kepentingan keluarga dan kehalalan rezeki yang ia terima. Aku mengenal seseorang yang berjuang naik-turun, mengarungi jalan-jalan, mengarungi himpitan waktu, demi kepentingan adik-adik sebab ia anak pertama. Aku juga bertukar cerita dengan seseorang yang meski begitu pahit apa yang ia alami di keluarga, namun senyumnya pada tetangga selalu saja merekah. Ada juga mereka yang berjuang dalam diam, dalam harap, dalam cemas, tapi tetap dengan prasangka baik pada Tuhannya. Ah, kalau mengingat itu, seketika aku merasa seperti remah-remah entah makanan apa.

Jauh dari itu semua, yang membuatku paling merasa hanya jadi butiran debu adalah jika mengingat kedua orang tua. Yah, membahas keduanya selalu sulit bagiku, jujur saja. Karena terlalu spesial, seringnya sulit mengungkapkan dengan kata-kata. Tuh kan, begini saja aku sudah diam. (Iya, saat menulis bagian ini lama sekali jemariku berhenti. Padahal paragraf-paragraf sebelum bagian ini, rasanya kutulis tanpa jeda. Sekarang jadi hening.) Kapan-kapan saja ya, aku bercerita soal ini. Atau jika memungkinkan, barangkali lebih baik kita bertemu saja. Siapa tahu kamu berbaik hati penasaran kan, mau mendengar ceritanya.

Sudah lama kita tidak berbincang. Atau mungkin memang kita bukan dua orang yang sering berbincang. Kita bisa saja saling kenal atau tidak saling kenal. Mungkin saja kita saling tahu tapi tak pernah kita bertukar sapa. Mungkin saja kamu tanpa sengaja menemukan laman ini dan membaca barisan kata-kata. Tapi tak apa, itu bukan poin pentingnya. Paling tidak setelah membaca ini, aku ingin mengajakmu sama-sama berdiskusi. Minimal dengan kepala kita sendiri-sendiri.

Kamu apa kabar? ada kabar apa di kehidupanmu? apa yang sedang menyita pikirmu? apa pencapaian yang tengah ingin diraihmu? kesulitan-kesulitan apa yang tengah menghadang episodemu?

Apapun itu, semoga kamu baik-baik saja, tidak kekurangan sesuatu apapun. Semoga keberimanan selalu hadir pada hatimu. Semoga keridhoan tak sungkan-sungkan menetap pada kalbumu. Semoga niat baik selalu berada pada benakmu. Apapun yang tengah kamu hadapi, bersyukurlah. Sebab Tuhan kita dalam firman-Nya mengatakan,

Semoga kamu baik-baik saja :) wassalamu'alaikum.


Jakarta, 27 Syawal 1439 H
Dari lantai ke-24 pada sore hari ibu kota.

Yang menanyakan kabarmu,
aku.

Friday, July 6, 2018

Luka


Barangkali kamu benar.
Seringnya, bukan usia yang mendewasakan manusia,
melainkan luka.

**

Setiap insan punya caranya sendiri dalam merayakan luka. Ada yang menangis sambil bersembunyi di balik bantal, mengunci pintu kamar, menangis seharian, curhat di media sosial. Ada juga yang menghindar bertemu manusia, memilih sendiri, menjejaki perjalanan luka yang dialami. Pun, ada yang mencoba untuk tetap berkarya, mengukir kata, melakukan perjalanan, menutup luka dengan tawa dan cengkrama. Segala macam perayaan yang menutup kenyataan perih atas luka.

Mungkin pada masa awal luka itu tiba, pilihan tanpa logika lah yang jadi sasarannya. Seiring waktu ia mengilhami dan menenggelamkan rasa dalam introspeksi, ia kemudian menangis dalam sujud panjangnya. Ia mencoba berdamai melalui senyumnya. Ia bercerita pada Tuhannya—sekali-dua kali pada orang2 terdekatnya.

Ia berdiri, mencoba bangkit. Meski luka itu masih menganga. Bukannya tak sadar, hanya ia tengah berupaya berpacu dengan waktu. Ia tak ingin ditinggalkan waktu. Hingga ia berdiri. Iya, berdiri di atas luka-luka yang masih menganga; mencoba mengobati perih yang ia rasa. Sampai ia menyadari, bahwa ternyata kesembuhannya hanyalah pura-pura belaka.

Bahwa ternyata ia sakit, dan ia butuh bantuan pihak lain untuk melipur luka di diri. Berbagai macam cara yang tiap insan—tiap manusia—coba jajaki. Ada yang mencari-cari bacaan berisi, ada yang mengalamatkan diri pada nasihat para bijak tuk menyentuh hati. Sebagian lain berupaya minta bantuan orang lain untuk mengobati, atau juga mencoba cicipi lingkungan baru untuk ditinggali.

Sumber

Begitulah luka. Bahwa penyembuhannya bukan perkara mudah nan instan. Membutuhkan waktu. Membutuhkan proses. Bahkan ketika sudah ia temui segala macam rupa nasihat penyentuh hati, telah ia jajaki jalan-jalan penuh hikmah, telah ia tumpahi hampar sajadah dengan tangis air mata, pun telah ia temui seseorang yang ia harap dapat bantu melipur lara, nyatanya luka itu tetap ada. Nyatanya luka itu (entah seberapa besar) masih menganga. Segala pikir dan rasa yang ada pada raganya menyerah sembari marah. Ia kecewa. Ia melempar tanya. Ia sangsi. Ia nyaris marah dan putus asa. Ia berada di ujung pengharapan pada semesta. Air matanya kering jika tak mau dikatakan habis. Sensitivitasnya sebagai manusia hampir-hampir luntur dimakan luka.

Sampai pada suatu episode, ia lelah oleh rasa lelah. Luka yang sakit nan perih menyayat lambat laun tak lagi ia indahkan. Hingga pada akhirnya ia kembali menyerah. Kali ini dengan penyerahan yang lebih jujur, lebih tulus, lebih membumi. Kali ini dengan penyerahan tanpa kamuflase, tidak main-main, apalagi sambil membercandai. Sebuah penyerahan yang hanya dirinya dan Sang Esa yang mengetahui. Kemudian begitu sadar, pada momen itulah ia temukan kesembuhan atas luka yang sesungguhnya; sebuah kesembuhan atas lara yang selama ini ia nanti-nanti.


**

Bahwa ternyata, penyembuh luka yang ia cari-cari tidak lain harus diawali dari dirinya sendiri. Kebersyukuran, keikhlasan, keberserahan. Bahwa ternyata, pelipur lara yang ia nanti ternyata tak perlu jauh-jauh dicari. Ianya bukan sebuah pencapaian, melainkan perjalanan. Bahwa segala proses yang ia lalui untuk meraih obat penyembuh luka, tidak lain adalah obat itu sendiri. Lambat laun ia menyadari bahwa luka yang menganga perlahan menutup dengan sendirinya. Tak lagi menganga, sebab ia sembuh. Sembuh seiring perjalanan waktu gigih usahanya tuk menyembuhkan.  

Setengah takjub, ia dapati dirinya baik-baik saja berdiri dan berjalan di atas luka. Setidaknya ia bertahan hingga titik ini. Setengah luka itu tersembuhkan. Perlahan-lahan. Tak ada jawab atas tanya yang selama ini ia gadang-gadang, tak ada akhir yang selama ini tak sabar rasanya ingin ia undang. Tapi nyatanya ia baik-baik saja. Lagi, setidaknya ia bertahan hingga titik ini. Ia merasa jauh lebih baik. Kemudian berusaha menerima segala apa yang terjadi. Manisnya, pahitnya, perihnya, termasuk semerbak sakit yang dicipta luka pada dirinya.

Ia menerima bahwa ia terluka, lalu bahagia.


**

Setiap insan punya caranya sendiri dalam merayakan luka. Jika ia dapat melewati dengan harap pada Yang Kuasa dalam upaya penyembuhannya, sekecil apapun harapan itu ada, saksikanlah bahwa sang luka akan menjelma senjata ampuh yang mendewasakan dirinya. Saksikanlah seiring waktu dirinya berubah. Iya, berubah menjadi lebih kuat, lebih tangguh, nan jadi lebih bahagia. Saksikanlah tatap bola matanya yang menjelma lebih tajam, pandangannya yang lebih jeli, pancar tulusnya yang lebih mendamaikan.

Ia menerima, bahagia, lalu mendewasa. Dan pada saat itulah, Tuhan menghadiahi pencarian atas tualang yang selama ini ia lakukan. Ketika ia tak lagi membunuh waktu dengan sederet teka-teki, ketika ia tak lagi mencerca dengan segunung pencarian. Pada momentum itulah barangkali Tuhan menjawab tiap tanya yang mengangkasa; ketika ia telah selesai bercengkrama dan bertukar pikir sendiri dengan dirinya. Luka itu lantas sembuh seutuhnya; mengukir keindahan cerita atas lalu-lalang hikmah dan hampar makna yang telah dijumpa.

Begitulah. Barangkali kamu benar, Master. Seringnya, bukan usia yang mendewasakan manusia, melainkan luka.

***

Syawal 1439 H

Ditulis dalam perjalanan Bogor-Jakarta,
usai berdiskusi dengan salah seorang sahabat
tentang luka-luka yang menganga :)

Monday, June 25, 2018

Air Mail #11


Aster, kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari ditinggalkan? ya, meninggalkan. Dan akan semakin sakit ketika alasan di balik meninggalkan itu adalah memenuhi permintaan untuk tak muncul di hadapan lagi. Jadi sungguh maafkan aku, Aster. Aku pilih untuk melepas dibandingkan harus pergi.

**

“Lalu kalian tidak pernah bertemu lagi?” Nyonya Val mengangkat kedua alisnya. Aku mengangguk sambil berdehem pelan.

“He em,” kuseruput cokelat panas yang baru saja ia suguhi.

“Kenapa dia, hmm.. siapa namanya?” Nyonya Val berhenti sejenak mengingat namamu, “oh Aster! ya, Aster itu, kenapa dia menyuruhmu pergi?” kali ini aku angkat bahu.

“Saat itu aku tidak benar-benar mengerti apa alasannya, Nyonya,” jelasku.

“Sampai saat ini?” agaknya perempuan berkacamata itu benar-benar tertarik mendengar cerita tentang kita, Aster.

“Belakangan, kudengar ia sakit.”

“Hanya itu?” tanyanya lagi.

“Mungkin karena dia seorang perempuan,” mendengar jawaban itu, Nyonya Val mengernyitkan dahi sambil menatapku lekat dari balik kacamatanya.

“Apa salahnya menjadi seorang perempuan?” wanita itu geleng kepala sambil mengangkat bahu. Alisnya mengerut. Aku tertawa.

**

Saat itu aku tidak habis pikir apa yang ada di dalam kepalamu ketika memintaku untuk pergi—jangan muncul di hadapanmu lagi. Aku juga tidak punya ide mengapa ayah dan ibumu tidak melarang untuk melakukan hal itu. Aku hancur, Aster. Seperti ditelan ombak seketika. Aku hancur seperti ditenggelamkan oleh samudra.

**

Mendengar pertanyaan retoris Nyonya Val, aku tertawa.

“Hei anak muda, kenapa kamu tertawa?”

“Hm, tidak apa-apa. Perempuan mungkin memang dicipta untuk membela perempuan lainnya,” ujarku sambil tersenyum. Kembali menyeruput cokelat panas.

“Yah terserah kau lah. Tapi dirimu terlihat lebih muda hari ini!” Nyonya Val tersenyum lebar. Aku tahu, ia selalu saja mengapresiasi tiap aku tertawa. Sebab menurutnya, aku adalah anak muda yang menampilkan ekspresi terlalu serius hingga terlihat sedemikian tua.

“Nyonya,” kataku seraya meletakkan cangkir di atas meja, “aku baru saja belajar bahwa melepaskan  mungkin lebih lebih mudah daripada pergi,” mataku menatap pasangan sepatu yang melekat di kedua kakiku.

“Syukurlah, anak muda!” wanita itu menyilangkan kedua tangannya, “kamu benar. Meski, dalam banyak hal, mencintai atau membenci seseorang jauh lebih mudah daripada menjadikannya bukan apa-apa.”

“Maksudnya?” aku membetulkan posisi duduk.

“Butuh kekuatan besar ketika kamu hendak menjadikan seseorang yang hidupnya pernah bersinggungan erat denganmu supaya berada di tengah—pada titik seimbang, bukan?” aku masih mencerna kata-kata Nyonya Val hingga ia melanjutkan, “kamu akan lebih mudah untuk tetap mencintai, atau pilihan kedua adalah membenci. Hanya sedikit orang yang berhasil menjadikannya bukan apa-apa, menjadikannya bukan siapa-siapa, Nak.” mendengar itu, aku mengangguk.

“Benar, Nyonya. Lalu apakah keputusanku untuk melepaskan adalah tepat?”

“Tentu. Melepaskan adalah salah satu wujud kedewasaan laki-laki,” Nyonya Val melempar senyum. Aku tertawa lagi.

“Melepaskan berarti mencintai dengan kesadaran utuh. Yah, bagiku itu adalah salah satu cara membijaksanakan cinta, Nak,” ia membetulkan posisi kacamata yang kerap turun. Menunjukkan garis-garis keriput pada wajahnya, tanda usia yang tak lagi muda.

**

Melepaskan barangkali membutuhkan energi lebih sedikit daripada pergi. Aku memutuskan untuk melepaskan saja, Aster. Bagiku, setidaknya itu lebih menghadirkan kelapangan hati. Dan agaknya ia juga lebih membuat bahagia, kan?

**

“Nyonya, apakah melepaskan juga salah satu wujud kedewasaan perempuan?” tanyaku lagi.

“Menurutmu, anak muda?”

“Melihat reaksi Nyonya, sepertinya iya,” kami kemudian tertawa.

Sudah lama sekali aku tidak berbicara santai dengan orang lain, Aster.

Syawwal 1439 H

***

Sumber

Sunday, May 27, 2018

Tulisanmu, Harimaumu


Kemarin, salah seorang sahabat mengirimkan pesan kepada saya.

“Aku lagi baca blog Riris. Kangen Riris.”

Saya menyadari bahwa lama sekali agaknya laman ini tidak diisi. Padahal, kalau boleh jujur, bahan mentah yang siap dimasak jadi tulisan ada begitu banyak, terlebih dalam satu-dua tahun belakangan. Tapi mungkin memang tekad saya yang melemah, atau mungkin saja memang saya butuh waktu lebih untuk mengoreksi ulang segala sesuatu. Belakangan, ada banyak kejutan yang membuat saya memperkecil saringan dalam menulis. Takut kalau-kalau lebih banyak unfaedah-nya daripada yang berfaedah.

Semakin kesini, saya semakin percaya bahwa tulisan memiliki power yang kuat. Melalui tulisan, kita bisa belajar mengenali orang lain. Tulisan sedikit-banyak menggambarkan pola pikir, latar belakang, hingga keadaan emosional seseorang. Belum lagi jika tulisan itu dalam bentuk tulisan tangan. Bahkan ada ilmu tersendiri yang mempelajari analisis tulisan tangan seseorang; grafologi. Melalui tulisan juga, kita bisa terpengaruh. Sebagaimana apa-apa yang kita baca akan masuk ke dalam pikiran kita dan mempengaruhi cara berpikir kita. Jadi tidak salah-salah amat kalau orang bilang, kenali seseorang melalui buku-buku yang dibacanya. Tidak salah juga kalau ada yang bilang, kenali seseorang melalui tulisannya.

Uniknya, kadang tulisan seseorang yang kita jumpai seolah tidak menggambarkan keadaan dirinya di dunia nyata. Jangan buru-buru menjuri bahwa apa yang dilakukannya adalah pencitraan. Jangan pula tergesa menilai bahwa dirinya di kehidupan nyata yang kita temui sehari-hari ternyata merupakan kamuflase dari perwujudan aslinya yang tergambar melalui tulisannya. Kepribadian manusia sungguh tidak sedangkal itu. Boleh jadi kesemuanya itulah satu kesatuan dirinya. Ramuan antara idealisme, kenyataan, harapan, ketakutan, pengalaman, dan seperangkat turunan lain yang membentuk kepribadiannya. Jadi jika memang kita dituntut untuk menilai seseorang, nilailah secara utuh dari berbagai macam aspek, bukan hanya dari satu sisi saja. Agaknya itu akan jauh lebih adil.

Menulis punya power yang kuat. Apalagi di era sosial media seperti saat ini. Tidak perlu jauh-jauh bicarakan soal deret manusia yang terjerat kasus ‘hanya’ bermodalkan tulisannya di dunia maya. Bagi saya sendiri, menulis menjadi jalan untuk bertemu banyak orang. Padahal ya masih sakieu ayana tulisan saya mah. Tapi begitu saja, rasanya seperti menemukan teman-teman yang kenalnya bukan dari kesamaan lembaga sekolah, lingkaran pertemanan, melainkan dari kesamaan ide dan gagasan. Menyenangkan, bukan? ketika kita mengenal seseorang berawal dari ide-ide dan pemikirannya. Yah, salah satu contohnya saja pertemuan saya dengan Dede, partner saya dalam menulis buku TEMU (oh ya, saya belum pernah cerita tentang TEMU disini. Mungkin kapan-kapan. Atau yang mau tahu bisa langsung mampir ke akun instagram @selariktemu).

Buku TEMU
Saya jadi ingat, ketika masih duduk di bangku kelas 10 Aliyah, waktu itu kelas kami mengadakan perjalanan ke Monumen Nasional bersama Wali Kelas. Di atas menara Monas, kami membuat lingkaran, lalu masing-masing menjiplak tangan di atas kertas untuk kemudian di gambar. Pak Away, wali kelas kami, lantas meminta untuk kami menuliskan cita-cita kami di atas kertas itu. Saya masih ingat jelas salah satu kalimat yang saya tuliskan; “i wanna change the world; with my own way!” Bukan tanpa alasan saya menuliskannya, dan kalimat itu jelas bukan hal yang utopis.

I wanna change the world with my own way. Saya yakin, setiap orang memiliki potensi untuk berkiprah dan memberikan kebermanfaatan bagi orang lain dalam kehidupannya. Sebab telah dikatakan juga, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Bagi saya, mengubah dunia adalah dari diri sendiri, kemudian orang-orang sekitar. Tidak perlu menunggu nanti untuk “change the world”. Sebab saya telah merasakannya sendiri. Bahwa hidup saya berubah oleh kasih sayang, oleh kebaikan, oleh motivasi, oleh senyum, yang saya dapatkan dari orang lain. Sebab saya tahu rasanya hidup saya berubah yang tadinya tengah terpuruk, berubah karena ada seseorang yang mau mendengarkan, memberi nasihat, membimbing, dan mendoakan kebaikan-kebaikan untuk saya. Saya juga merasakannya sendiri, bagaimana tulisan dapat menjadi agen perubahan dalam hidup saya. Manakala saya membaca tulisan orang lain tanpa mengenal sosok penulisnya, namun pesan-pesan kearifan hidup dapat saya maknai dan memberikan hikmah. Sebab saya juga mendapati sendiri, bagaimana ulama-ulama terdahulu mengubah dunia melalui pena nya. Mereka hidup dalam karya-karya. Hei, betapa indah jika karya itu menjadi jembatan menuju syurga, kan? tidak hanya mengubah dunia, tapi juga “mengubah” akhirat!

Mengingat kiprah para ulama yang menulis, semakin kesini saya semakin sadar, kefakiran ilmu dan kurangnya adab lah yang menjadikan tulisan tak ubahnya seperti pepesan kosong. Iya kosong, nggak ada isinya L atau yang lebih mengerikan lagi, jikalau tulisan-tulisan itu justru menjadi bumerang dan ternyata membuat pembacanya ibarat menenggak racun; buang-buang waktu, memahami hidup dari sudut pandang keliru, atau yang paling mengerikan, membuat si pembaca jauh dengan Rabb yang Mahatau.

Agaknya kalimat “i wanna change the world with my own way” harus sedikit direvisi, barangkali menjadi “i wanna change the world (to be better) with my own way” atau “i wanna create the better world with my own way”  atau “i wanna make the world better with my own way” atau terserah lah apa yang bagus. :’D da intinya begitu.

Ada banyak kebaikan-kebaikan kecil yang bisa kita lakukan. Saya ingat pesan salah satu guru terbaik saya, Ibunda Evi, beliau berpesan pada saya; “jangan pernah lelah berbuat kebaikan sekecil apapun, Rizky. Sebab kita tidak pernah tahu amal kebaikan yang mana yang akan mengantarkan kita ke syurga!” jazaakillahu khaiir Bu Evi :’)

Intinya tulisan ini ingin mengatakan bahwa bukan hanya mulutmu yang harimaumu, tapi juga tulisanmu harimaumu. Perhatikan apa-apa yang kita ungkap, baik melalui lisan maupun tulisan, sekecil apapun itu. Sebab, terlebih di era seperti saat ini, kita tidak pernah tahu ada berapa banyak orang yang mendengar ucapan kita, yang membaca tulisan kita. Kita tidak pernah tahu, dampak sebesar apa yang kita perbuat dengan harimau kita itu. Watch (y)our words. Tulisan memiliki power yang kuat (power yang kuat teh maksudnya gimana sih? ya begitu lah. Kekuatan yang kuat. Kuat kuadrat (?)). Mungkin bisa melengkapi nasihat Ibunda Evi; hati-hati melakukan keburukan sekecil apapun, karena kita tidak tahu amal keburukan yang mana yang akan mengantarkan kita ke neraka! :''(

Saya juga mau minta maaf jikalau ada tulisan-tulisan saya yang tidak berkenan. Saya sangat menerima masukan. Jika memang ada yang keliru, tolong sampaikan saja dan nasihati saya. Semoga Allah memberikan kemudahan bagi saya untuk menerima nasihat, aamiin... Terakhir, terimakasih ya, sahabat yang laporan habis baca blog. Saya nyaris lupa masih punya blog. Barangkali harus ada postingan-postingan yang diterka ulang dan difilter, khawatir unfaedah. Hatur nuhun J

Selepas hujan di Jakarta,
11 Ramadhan 1439 H

Wednesday, February 7, 2018

Menyukai Hujan dengan Bijak

Perjalanan Jakarta-Bogor kali ini terasa lebih panjang dari biasanya. Meski dengan senyap kantuk sisa perbincangan tadi malam dengan seorang teman, namun cuaca yang sedang agak ‘genit’ bulan ini rupanya jadi warna tersendiri. Cerah, kemudian hujan. Cerah lagi, kemudian hujan lagi. Aku baru saja kemarin mendapat kabar ada longsor di daerah Puncak. Grup keluarga besar kami sempat dibuat ramai oleh sebab salah satu sepupuku yang tengah PKL di Cipanas. Juga baru kemarin, berita soal banjir di Katulampa. Tentang aliran sungai di Bogor yang siaga 1 dan dikabarkan agar warga Jakarta bersiaga akan kemungkinan banjir kiriman. Lalu pagi tadi Pasar Parung digenangi air mengalir. Pertama kali aku kembali ke Bogor dengan disambut hujan yang sedemikian deras.

Aku adalah penyuka hujan. Barangkali orang-orang terdekatku tahu akan hal itu. Tapi beberapa waktu belakangan, entah kenapa, mendengar hujan seringkali membuatku takut. Yah, mungkin aku hanya sedikit paranoid akibat gempa yang pernah menyapa tiga hari berturut-turut. Lalu suara hujan menjelma jadi agak berbeda dari biasanya. Selain karena bunyi seng di dekat rumah yang membuat aksen badai tiap hujan turun, rupanya ada ketakutan yang muncul dari dalam diriku sendiri. Bagaimana kalau suatu waktu aku diuji dengan apa yang aku sukai?

Kamu suka hujan. Meminta supaya turun hujan. Tapi sampai kapan kamu membabi buta? bahwa pada kenyataannya, tidak pada semua kondisi manusia mengidam-idamkan hujan.

Aku seperti takut pada keputusanku sendiri untuk menyukai hujan. Aku takut menyukainya dengan tidak bijak.  Meski alasan-alasanku bicara bahwa kesukaan padanya berangkat atas kabar gembira bahwa waktunya adalah waktu yang mustajab untuk berdoa. Juga alasan bahwa suara rintik dan bau petrichornya yang memenangkan. Tapi barangkali aku harus sering-sering mengoreksi ulang. Kesukaanku pada hujan, apakah alasannya masih berada pada tempat yang tepat? ataukah jangan-jangan sudah melenceng sedemikian rupa tanpa aku sadar? Sebab bukankah seseorang akan senantiasa diuji dengan sesuatu yang ia cintai?

Mungkin aku memang harus belajar untuk menyukai hujan secara bijak; menyukai sesuatu sesuai dengan porsinya. Agaknya aku setuju pada mereka yang mengatakan bahwa pembeda antara kanak-kanak dengan orang dewasa adalah tentang kebijaksanaan menyikapi segala sesuatu. Dan, boleh jadi termasuk urusan sepele seperti ini.

Belajar mencintai dengan bijak. Bukan cinta yang buta, tapi cinta yang cerdas penuh rasa dan logika. Cinta yang membawa maslahat. Cinta yang jernih, tidak ditutup bumbu-bumbu noda. Lalu hari ini, aku menemukan kembali rasa tenang memandang hujan, setelah sekian lama terlampau lupa dan ketakutan.

Alhamdulillah.

Sumber

06/02/2018
Pada perjalanan menuju Bogor untuk bimbingan tugas akhir.