Monday, July 21, 2014

Berharap itu Bukan Pilihan, Melainkan Keharusan

TAUBAT

Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka,
maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.
Begitulah caranya!

Jika engkau hanya mampu merangkak,
maka merangkaklah kepadaNya!

Jika engkau belum mampu berdo'a dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan do'amu
Yang kering, munafik, dan tanpa keyakinan;
Karena Tuhan, dengan rahmatNya
akan tetap menerima mata uang palsumu

Jika engkau masih mempunyai seratus keraguan mengenai Tuhan
maka kurangilah menjadi sembilan puluh sembilan saja.
Begitulah caranya,
Wahai pejalan!

Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
Ayolah datang, dan datanglah lagi!

Karena Tuhan telah berfirman :

"Ketika engkau melambung ke angkasa ataupun terpuruk kedalam jurang,
ingatlah terus kepadaKu, karena akulah jalan itu."

-Jalaluddin Rumi-

Pertama kali membaca syair di atas, tertera di buku salah satu mata pelajaran agama ketika saya bersekolah di Madrasah Aliyah. Seketika, saya amazed sekali. Mengingatkan, bahwa ada perbedaan mendasar antara Pencipta dengan yang dicipta. Ketika kita berbuat salah pada manusia, boleh jadi luka yang kita toreh akan tetap ada meski lisan bilang telah memaafkan. Maafnya terbatas. Tidak sempurna. Sementara Allah, Yang Maha Memaafkan. Yang Maha Memberi Jalan. Yang Maha Bijaksana. Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Pemilik mutlak kesempurnaan. Jika tangan kita menengadah, memohon ampun dengan segenap ketulusan, Allah akan mengampuni. Dan tidak seperti luka hati manusia yang beberkas, maafnya Allah tiada bersyarat.

“Allah Ta’ala berfirman: “Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau memohon dan mengharap kepada-Ku, niscaya Aku ampuni dosa-dosamu yang lalu dan aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu sampai ke awan langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau datang kepada-Ku dengan dosa-dosa sepenuh bumi dan kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatupun, niscaya Aku datangkan utukmu ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata: hadits ini hasan)

Benar lah, pepatah yang mengatakan, "Berharap pada selain Allah hanya akan berujung kecewa". Mana ada manusia yang memaafkan tanpa syarat. Tanpa ingat sekecilpun salah yang kita perbuat. Tanpa peduli apa yang telah kita lakukan sebelumnya. Cuma Allah yang se-sosweet itu, kan? :)

Selain itu, kita juga diingatkan, bahwa dalam kamus seorang muslim, nggak ada yang namanya berputus asa dalam meraih rahmat Allah. 

Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat” 
[Al Hijr:56]

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Az Zumar:53]

"... Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.
(QS. Yusuf: 87)

Lihat? betapa putus asa sangat dibenci oleh Allah. Jadi, sejelek apapun track record kita, seburuk apapun pola-tingkah yang telah kita perbuat, itu nggak bisa jadi alasan untuk berhenti berharap. See?


Ingat satu hal lagi,
Janji Allah itu Pasti

Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi. (QS 40:55)


Dan tentu, semua itu juga nggak bisa kita jadikan alasan untuk main-main. Allah Maha Tahu segala isi hati hamba-Nya. Dia tahu setiap niat, tahu setiap jalan fiikiran yang terlintas di kepala kita. Dia tahu mana taubat yang tulus, mana taubat yang hanya jadi penghias lisan. Semoga kita selalu dalam dekap hangatNya. Allahumma aamiin... :)

Sunday, July 13, 2014

Wahai Debu di Sisi Jendela

Wahai debu di sisi jendela.
Petang ini telapakku menatap angkasa.
Menanti belaian, -butiran syurga.
Menikmati semilir sejuk yang lembut menyapa. Menerpa.

Wahai debu, di sisi jendela.
Sejak kapankah kau lupa untuk mengiba?
Atau terlalu malu untuk sekadar meminta?
Sejak kapan, kau enggan tuk hadirkan udara?

Wahai debu di sisi jendela..
Anak itu sejak dulu menanti asa.
Menggantung tinggi segala cita. Segala cinta.
Bukan. Bukan harap tuk dikenal dunia,
Melainkan pinta yang sederhana.

Wahai debu di sisi jendela,
Mereka bilang kau tiada harga.
Tak pernah sekalipun menjadi istimewa.
Ataukah ada?
Sementara kau hanya debu di sisi jendela.

Wahai,
Sampaikan salamku pada jendela miliknya.
Yang telah lama menjadi saksi nestapa.
Yang telah menahun bisu menatap derita.
Menatap keteguhan para jiwa.
Yang pemiliknya sejak dulu berharap, mendoa.

Bawalah titik surat pesanku kesana..
Ke bumi dimana kalam Tuhan menjadi senjata.

Wahai debu, di sisi jendela.

Kota Hujan, 18 Ramadhan 1435 H

Friday, July 11, 2014

Tomato






:)

Duri

Aku dimaki

Katanya, aku ini sungguh tak tahu diri

Aku dicerca

Katanya, Aku pembual tingkat dewa

Aku ini bagaimana?

Berkata-kata namun laksana angan belaka

Aku ini maunya apa?

Sibuk bertanya namun kerap menampik makna

Saturday, July 5, 2014

Bulan

Pemandangan bulan akhir-akhir ini mengingatkan saya akan dongeng masa kecil. Dulu, ketika duduk di bangku ibtidaiyah, saya punya sebuah buku cerita bergambar yang isinya kumpulan dongeng-dongeng dari Jepang. Salah satu yang terkenal adalah kisah nelayan Urashima Taro yang diundang ke istana laut karena menolong seekor penyu.


Bukan, bukan kisah tentang si nelayan ini yang muncul ketika saya melihat bulan. Melainkan cerita tentang Si Pembohong Besar. 

Dalam cerita tersebut dikisahkan tentang Rama; anak laki-laki yang kerap berbohong dan menjahili seisi desa. Alhasil, tidak ada satu pun yang mau berkawan dengan Rama. Hingga pada suatu hari, Rama menemukan seekor ikan emas yang dapat berbicara dan membawanya menjadi sosok yang kaya raya. Rama menjadi saudagar dan memiliiki seorang istri yang cantik. Sementara si ikan emas hidup tenang dalam peliharaannya. Suatu ketika, sang istri kehabisan ide untuk memasak makanan karena Rama tidak memberikannya uang untuk berbelanja. Malang nian, ikan emas yang selama ini mejadi sumber kekayaan Rama dimasak oleh sang istri. Tanpa mengetahui fakta tersebut, Rama memakannya. Begitu menyadari bahwa yang ia makan adalah si ikan emas, Rama frustasi. Ia menangis sejadi-jadinya. Kemudian tulang belulang ikan emas ditanamnya di bawah tanah. Selang beberapa waktu, dari tulang-belulang itu muncul pohon yang tumbuh dengan cepat. Rama memegang pohon itu erat-erat hingga pohon tumbuh semakin besar dan kemudian terepas dari bumi. Terbang tinggi. Meninggalkan istrinya yang hanya bisa memanggil-manggil Rama dari kejauhan. Rama terbang tinggi hingga sampai ke bulan. (Cerita lengkapnya bisa dilihat disini)

Sejujurnya, saya tidak ingat runtutan cerita yang telah saya paparkan. Itu hanya rangkuman singkat hasil googling di dunia maya. Bagian yang melekat di kepala saya hanya bagian akhir cerita dari Si Pembohong Besar. Dalam buku dongeng masa kecil itu, disebutkan, bahwa hingga saat ini, jika kita menatap bulan baik-baik, maka akan tampak si pembohong besar bersama pohon beringinnya yang tinggi. Sejak dulu saya tahu itu cuma dongeng. Saya tidak percaya bahwa manusia bisa dibawa terbang oleh pohon kemudian nyangkut di bulan. Hei, tapi bukankah setiap anak kecil juga begitu? bilang tidak percaya, tapi akan terus mencari tahu. Maka diam-diam saya kerap menyelidik bulan. Mencari-cari sosok pembohong besar yang tengah bersandar, atau mungkin berdiri tidak jauh dari pohonnya.


Seiring meningkatnya level bacaan, saya menemukan kisah yang jauh lebih keren tentang bulan. Ajaibnya, kisah ini bukan dongeng, melainkan fakta. Pernah dengar, kisah tentang terbelahnya bulan? Sekitar empat belas abad tahun yang lalu, sekumpulan orang kafir Quraisy menghadap Rasulullah dan meminta Rasulullah untuk membelah bulan sebagai pembuktian akan kenabian beliau.
"Seandainya kamu benar-benar seorang nabi, maka belahlah bulan menjadi dua."
"Apakah kalian akan masuk Islam jika aku sanggup melakukannya?" tanya Rasulullah (saw)
"Ya" jawab mereka.
Kemudian Rasulullah berdoa kepada Allah agar bulan terbelah menjadi dua. Beliau memberikan isyarat dengan jarinya, dan terbelahlah bulan. Demikian jauh antara belahan bulan yang satu dengan belahan bulan yang lain, hingga gunung Hira pun terlihat di antara dua belahan bulan tersebut. Akan tetapi, meskipun fakta itu nyata, kaum kafir Quraisy tetap tidak mengakui dan mengklaim bahwa apa yang mereka saksikan semata-mata hanyalah sihir. Mereka mengingkari janjinya sendiri untuk bersaksi memeluk Islam. Atas kisah ini, Allah berfirman dalam surat Al-Qamar (dalam bahasa Indonesia, Qamar berarti bulan).

54:1

54:2

” Telah dekat saat itu (datangnya kiamat) dan bulan telah terbelah. Dan jika orang2 (kafir) menyaksikan suatu tanda (mukjizat), mereka mengingkarinya dan mengatakan bahwa itu adalah sihir.” (QS Al Qamar 54:1-2) 

Tentang cerita berabad tahun silam ini, terbelahnya bulan menjadi bukti akan kekuasaann-Nya. Seperti kisah api yang tidak panas ketika menyentuh Nabi Ibrahim, atau tentang tongkat Nabi Musa yang berubah jadi ular. Sama sekali bukan sihir. Kisah ini tertulis dalam Al-Qur'an. Kalamullah yang dijamin keasliannya hingga akhir zaman. (Selengkapnya bisa dilihat disini)



Adik saya yang duduk di kelas empat SD suatu ketika menulis puisi tentang bulan. Menyebutkan betapa bulan bersinar dengan indah menggantikan matahari pada malam hari. Serta merta saya tersenyum jahil. Bukan bersinar, De. Yang bersinar itu matahari. Kalau bulan memantulkan cahaya. Anak kecil mana pula yang berfikir sampai sejauh itu? saya pun kalau tidak dikabarkan di bangku formal sekolah, mungkin tidak berfikir sampai kesana. Tentang urusan mana bersinar, mana memantulkan cahaya.

Bulan dikenal sebagai satu-saunya satelit alami yang dimiliki oleh bumi. Entah mungkin karena pesona keindahannya, ia kerap disebut-sebut dalam berbagai kesempatan. Dalam bait-bait puisi penyair, dalam cerita-cerita masa kecil, dan tentu saja pelajaran di instansi-instansi pendidikan. Saya mulai berfikir jangan-jangan dongeng semisal Si Pembohong Besar dibangun dari mimpi si pembuat untuk melintas langit menuju bulan. Atau tentang imajinasinya setiap malam, melihat siluet manusia disana, ketika menatap bulan. Yah, atau mungkin karena kalau matahari jadinya akan terlalu panas. Siapa tahu?



Friday, July 4, 2014

Untuk Adik Kecil

Untuk adik kecil,
yang baru saja merasakan atmosfer bumi
yang belum lama merasakan genggaman jemari.
Mungkin tidak hari ini,
Tapi akan ada masanya,
ketika dirimu mampu mengeja kata,
masa dimana Kau mampu menelaah makna.
Maka tunggulah sampai saat itu tiba,

**

Sekian tahun yang lalu, ketika tanah itu masih terlihat lapang, ketika kota kelahiranmu belum sepadat sekarang, aku melihatnya sebagai seorang perempuan muda yang bersemangat. Menggenggam banyak mimpi, memiliki antusiasme tersendiri. Garis mukanya menunjukkan betapa ia memiliki keyakinan akan pilihan hidupnya. Hari itu ia terlihat cantik dengan busana violet-nya. Menambah semarak keceriannya yang berpadu dengan sebuah ketegasan. Dan Kau perlu tahu, Adik Kecil, perempuan muda itu adalah ibundamu.

**

VIOLETTERISM
Tentang Tapak Jejak Menuju Muara

Perjalanan itu terasa begitu melelahkan. Bagaimana tidak, kisah yang tertulis ini bukan cuma berbilang satu-dua tahun. Jemarinya sudah menulis kisah selama bertahun-tahun. Sedari dulu. Sejak harapan masih tinggi melambung, hingga harapan berada pada titik terendah yang justeru mengantarkannya pada puncak kedekatan dengan sang Ilahi. Ia hidup dengan segala dedikasi dan penuh mimpi. Satu per satu ia gapai, namun rupanya Tuhan hendak memberikan sebuah ujian tanda cinta pada hamba-Nya. Ia menempuh sebuah perjalanan panjang yang tak pernah terfikir sebelumnya. Ya, sebuah perjalanan panjang, dalam penantian.

Bagi sebagian orang, menanti adalah pekerjaan membosankan. Melelahkan. Tapi tidak dengan wanita itu. Kalau ada buku kumpulan cinta terindah di dunia, maka kisah ibundamu sungguh layak ikut serta, Adik Kecil. Berbahagialah karena Kau lahir dari rahim seorang wanita luar biasa. Ia menempuh perjalanan panjang. Meyakinkan diri bahwa sungguh tiada ikhtiar yang luput dari pandangan Sang Pencipta. Dua puluh delapan kali menerka sosok yang ternyata bukan jawaban; percayalah, hanya keyakinan yang kuat yang mampu mengantarkannya hingga titik ini. Ketika Kau hadir, menambah semarak indah kehidupannya; menjadi jawaban atas kesabarannya. Ya, sebelum menikah dengan papamu, perjalanan bundamu sungguh bukan sembarang perjalanan. Dan menanti kehadiranmu adalah momen mendebarkan bagi dirinya, Adik Kecil.

Kau pernah mendengar kisah Fathimah? Bagaimana puteri Rasulullah ini menjaga hatinya sedemikian rupa. Bagaimana ia menjaga perasaan naluriah yang hadir dalam dadanya, hingga tiada seorang pun tahu. Bagaimana Fathimah menjadi mempelai Ali melalui titah langsung Sang Ilahi Rabbi. Menjaga hati bukanlah perihal mudah, Kau perlu tahu itu. Dan tanyakan kepada ibumu tentang bagaimana caranya. Tak serupa kisah Fathimah, ibumu memiliki kisahnya sendiri. Berkali-kali proses ta’aruf; perkenalan itu berakhir begitu saja. Harapan indah berujung ucapan akad tak kunjung tiba. Tapi ibumu tetap tegar, Dik. Ia paham betul bahwa sedih dan kecewa adalah rasa yang dimiliki setiap insan. Tapi apa lantas itu menjadi sebuah alasan baginya untuk berlarut-larut? Nyatanya ia tetap tegar. Tetap melangkah. Tetap melanjutkan perjalanan. Bukan karena siapa, bukan karena apa-apa. Kukabarkan sekali lagi, itu karena keyakinannya yang luar biasa pada Sang Pencipta.

Proses itu dimulai sejak sepuluh tahun silam. Ketika belum bundamu tapaki tanah tempat perjumpaannya dengan papamu. Setiap proses memiliki kisahnya tersendiri, memiliki hikmahnya tersendiri. Rentetan peristiwa yang diberikan oleh Sang Maha Mengatur, disadari ataupun tidak, membentuk ibundamu menjadi sosok yang lebih kuat. Menjadi pribadi yang diam-diam memberi hikmah; menginspirasi.

Pada proses perdana, rupanya Tuhan hendak mengabarkan kepada ibundamu bahwa sungguh; membangun rumah tangga adalah soal menuju cinta-Nya bersama. Maka yang pertama berakhir dengan alasan ketidak-samaan pemikiran; perbedaan cara dalam mencintai-Nya. Pun yang kedua, sebuah episode yang begitu singkat. Berganti tahun memang, namun hanya terbilang beberapa hari. Yang ketiga tidak serumit diskusi-komunikasi dengan yang pertama, pun tidak secepat durasi yang kedua. Ini tentang bagaimana mempertimbangkan sebuah keputusan besar. Kau bisa membayangkan, ketika Kau berada dalam dua pilihan. Yang satu adalah impian besarmu, sementara yang lain adalah harapan yang hadir untuk mewujudkan mimpi yang lain. Pada akhirnya, pilihan adalah pilihan. Dan upaya manusia adalah upaya semata. Sementara hasil? Itu sepenuhnya hak Tuhan. Nyatanya ibumu tak meraih keduanya. Tidak mimpi besar untuk terbang menyebrangi pulau, tak pula harapan itu. Tapi sungguh, yang Tuhan berikan lebih daripada sekadar keinginan hamba-Nya.

Kalau memang berjodoh, maka selalu ada jalannya. Itu adalah nasihat lama yang mashyur hingga saat ini. Maka kalau memang tak berjodoh pun selalu ada jalannya. Seperti upaya bundamu dalam proses berikutnya, tak hanya mencoba sekali. Menerka; mungkin inilah saatnya berlabuh. Tapi ketika memang bukan jalannya, selalu saja ada persimpangan yang muncul. Berbentur jarak, menabrak jadwal, berpacu dengan waktu. Bahkan ada bagian yang memunculkan memori masa lalu.

Wanita itu, ibundamu, merupakan sosok yang begitu menjunjung sebuah ikatan persaudaraan. Ia menghargai setiap relasi yang ada. Jadi bisa kukatakan bahwa proses ini adalah salah satu yang terberat untuknya; ketika ia harus menggadaikan relasi pertemanan yang telah dibangun sekian lama. Sepuluh tahun berkawan dan proses ta’aruf itu sempat memutus komunikasi untuk sekian lama. Menghadapi kenyataan bahwa satu per satu kawan melepas kesendiriannya, menghadirkan fikir tersendiri dalam benak ibundamu. Dik, ia beristikharah sebelum akhirnya memutuskan untuk menjalani proses ta’aruf dengan kawannya itu. Dengan sosok yang sungguh ia anggap sebagai teman baik. Dan berakhir. Lagi-lagi, bukan jalannya. Menyayat ketika bundamu mendapati tiada undangan ditujukan kepadanya saat kawannya sendiri tengah melangsungkan pernikahan. Tidak diundang, dan tanpa alasan. Tapi sungguh, Tuhan selalu punya rencana. Selalu ada alasan dibalik itu semua.

Bagi sebagian orang, menanti adalah kegiatan menjenuhkan. Menunggu. Tapi bagi bundamu, menanti adalah saatnya bebenah diri. Menanti adalah memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Menanti adalah sejarah momentum romantis antara dirinya dengan Sang Kuasa. Menanti, bagi bundamu, terbayar lunas pada hari itu. Menanti, bagi bundamu, terbayar lunas dalam indahnya penantian akan hadirnya dirimu, Dik.

Muhammad Zahid Al-Zayyan. Sebuah do’a luar biasa yang disematkan kepadamu. Sarat makna. Muhammad, nama junjungan kita, nama Rasul penutup akhir zaman; ‘orang yang terpuji’. Sedang Zahid adalah cerminan Bunda-Papamu yang berharap akan dirimu, agar menjadikan dunia cukup di genggaman tangan dan tidak memperbudak hati. Al-Zayyan; indah, bercahaya, hiasan. Penuh harapan. Zayyan; Kau tahu selain merupakan kata dalam bahasa arab, ia miliki sebuah makna ‘terselubung’? aku takkan mengabarkan padamu soal itu. Bunda-papamu tentu lebih berhak. Hanya saja, Dik. Kau harus tahu kisah sederhana ini. Bagaimana sebuah perjalanan panjang menemukan muaranya. Tentang bagaimana sebuah muara menemukan hulunya.

**

Siang menjelang sore, aku melihat bundamu tengah duduk menatap laut dari pinggir pulau. Kutengok teman-temanku sejenak. Mereka sedang asyik berfoto ria. Mengabadikan momen berharga di tahun terakhir kami. Hari itu kami berkunjung ke kepulauan seribu; sebuah ajang refreshing bagi para penikmat ujian di penghujung tahun ajaran. Aku berjalan perlahan menghampiri bundamu. Menyapanya seperti biasa. Lantas duduk di sampingnya, ikut menikmati nostalgia bersama laut. Kamu akan merasakannya suatu saat, Dik. Sensasi ketika partikel angin laut menerpa wajahmu yang begitu mengasyikkan. Semoga saja manusia tidak terlalu tega untuk menghilangkan fenomena itu.

Aku tidak ingat betul bagaimana perbincanganku dengan bundamu bermula. Berbincang kesana-kemari, seperti biasa. Cerita tentang salah satu guru kami yang akan pindah dari kawah candra dimuka. Cerita tentang momen perpisahan guru-guru kami, yang bundamu bilang sungguh mengharukan. Bagaimana tidak, bertahun ukhuwah itu dibangun di atas keyakinan akan cita dan harapan untuk kebaikan masa depan. Dan tidak lama lagi mungkin akan berpisah raga oleh jarak. Adalah wajar adanya, ketika kesedihan bertengger di hati masing-masing insan. Aku pun tengah merasakan hal yang sama saat itu. Aku tahu, tak lama lagi akan meninggalkan tanah berjuta kisah itu. Aku tidak ingat betul, Dik. Tapi perbincangan kami tahu-tahu sampai pada bagian ketika bundamu berkisah tentang harapannya yang belum lagi menemukan muara. Kali ini tentang perbedaan kepentingan, pun terbatas pada wilayah. Jika bundamu berlabuh disana, ia diharuskan pergi jauh dari pulau jawa. Itu berarti harus meninggalkan sanak saudara. Terpisah jarak.

Aku mendengarkan dengan seksama. Meski sesekali suara bundamu berbaur dengan isak tawa dari belakang, dengan semilir angin yang berhembus pelan. Tidak banyak aku berkomentar. Hanya anggukan-anggukan. Atau gumaman seadanya. Agak suprised sebenarnya.  Karena tahu-tahu bundamu menceritaka hal demikian padaku. Bagian hebatnya, pada siang menjelang sore itu, aku tidak membaca ada garis-garis sedih atau apapun dari bundamu. Justru aura ketenangan, santai, dan apa adanya. Meski sesekali terlihat kaku memilih kata. Tapi harus kuakui, perbincangan siang-menjelang sore itu adalah yang menjadi favoritku selama aku mengenal bundamu. Terlepas dari isi percakapan kami, rasanya latar tempat sangat mendukung. Itu yang kukira menjadi alas an mengapa bundamu berbicara tanpa beban. Lepas. Tapi ternyata tidak, Dik. Sepertinya aku salah besar.

**

Dan tibalah pagi bersejarah itu. Pagi itu, aku bersama puluhan siswi lainnya berbaris seperti biasa. Membentuk banjar-banjar. Suasana pagi kerap menjadi saksi aneka macam ekspresi wajah kami. Menjadi wartawan sejati aktivitas awal hari kami. Ah ya, dulu aku menjadi salah satu yang senang sekali minta tolong pada bundamu untuk dibelikan sesuatu. Sepertii jeruk nipis, misalnya. Obat andalan ketika edisi suara habis tengah melandaku. Oke, Dik, kembali ke pagi bersejarah itu. Pagi itu, seperti biasa, bundamu bericara di depan kami. Awalnya kufikir hanya opening day yang memang biasa beliau lakukan. Entah pengumuman kecil, entah memberi motivasi. Tapi rupanya ada yang berbeda. Pagi itu, aku –dan puluhan siswi lainnya- dibuat kaget oleh deklarasi bundamu yang menyatakan akan menikah. Bundamu akan menikah. Siapa yang tidak berbahagia atas kabar luar biasa itu? Dan lebih tepatnya, siapa yang tidak dibuat kaget? Aku ingat sekali, banyak yang menangis terharu, termasuk aku. Selintas aku ingat perbincanganku dengan bundamu beberapa saat sebelumnya, di tepi pulau menghadap laut.

Dan yang tidak kusangka-sangka sebelumnya, adalah bagian ini. Ketika tangis haru itu seketika bermetamorfosa menjadi teriakan-teriakan kecil. Ada juga yang mencapai tingkat histeris. Adalah ketika salah satu di antara kami membacakan, siapa gerangan calon abi kami? Siapa yang akhirnya memenangkan harapan bundamu itu? Dan entah bagaimana, nama ini yang keluar, Dik.

Muhammad Zainuri

Tanpa ba-bi-bu, bundamu langsung dikelilingi belasan-mungkin puluhan siswi. Memeluk. Menangis terharu. Memaki lembut; bukan marah, melainkan semacam geregetan. Aku sempat terdiam. Kaget. Bersyukur. Jadi, obrolan di tepi laut itu apa maksudnya, Bu? Batinku dalam hati. Gemas. Tapi di atas itu semua, hari itu sungguh membahagiakan. Dan hebatnya, memang dasar bundamu itu. Ia bahkan sudah menyiapkan skenario, menyediakan kamera untuk kami. Kehedonan pagi itu terdokumentasikan dengan baik sekali.

Apa yang salah dengan Muhammad Zainuri? Tidak, bukan namanya yang kami permasalahkan. Lagipula kau juga pasti tahu, itu nama papamu, kan? Hhe J Dik, biar kuberitahu. Papamu adalah guru bahasa arab kami. Ya, bundamu juga guru bahasa arab kami. Mengetahui bundamu, orang yang kami sayangi, akan menuju bahtera yang telah lama ia rindukan –terlebih dengan orang yang juga kami kenal dan kami sayangi- sungguh merupakan kebahagiaan yang teramat istimewa.

Berita tentang bunda-papamu sukses menjadi trending topic pada hari itu. Mengalahkan topik-topik hebat lainnya. Tentang kegiatan OSIS, tentang penyambutan UN, tentang block test, tentang apapun, topic-topik itu pergi ke laut untuk sejenak. Tidak, bukan hanya ke laut, tapi tenggelam jauh sampai ke dasar. Kami menjadi orang norak sejak pagi, yang diam-diam menyembunyikan undangan pernikahan berwarna ungu di bawah meja. Lantas semakin norak ketika undangan bertuliskan bunda-papamu itu legal untuk disebar-luaskan. Lebih-lebih ketika berpapasan dengan papamu. Tiada henti mungkin, kami menggoda beliau dengan sebuah kata sederhana: ‘cie Bapak…’. Dan papamu hanya membalas dengan deret giginya. Tersenyum bahagia. Tapi kau cukup tahu, Dik, kenorakan kami adaah ekspresi nyata tentang harap dan cinta yang kami rasa.

**

Bundamu mondar-mandir. Agak bingung dengan berita yang baru saja ia dengar. Ternyata pemuda itu bukan temannya, bukan kerabatnya, bukan guru di wilayah Jakarta seperti yang ia bilang. Melainkan pemuda itu adalah dirinya sendiri. Benar lah kata Bu Dini –karib bundamu- beberapa waktu lalu. Rupanya rencana perjodohan itu adalah ‘modus’ belaka. (maaf pak Zain, hhe)

Di tengah padatnya rutinitas, bundamu mencoba untuk berfikir jernih. Menyerahkan segala sesuatunya kepada Sang Esa. Ajaib, alam terasa begitu merestui. Tidak seperti proses-proses sebelumnya, yang seringkali ibumu lah yang kerap bertindak aktif, mengikhtiarkan kepastian, kali ini semuanya terasa begitu mengalir. Ibarat proses replikasi DNA, tidak ada fragmen okazaki yang harus diberdayakan. Tidak ada aral melintang yang berarti di tengah jalan. Lancar. Bundamu, berada pada titik kepasrahan utuh. Tidak mengiyakan, tidak pula menolak. Bersandarkan keputusan orang tua seutuhnya. Toh ridha Allah ada pada ridha orangtua. Jika selama ini banyak proses yang tidak berlabuh karena tiada izin dari orangtua, maka biar kali ini bundamu menyerahkan seutuhnya. Hatinya sudah terlalu lelah untuk meminta. Sudah terlalu takut untuk menaruh harap. Meski tiada bisa dipungkiri, secercah harapan itu pasti ada.

Seumur-umur, wanita pecinta ungu itu, bundamu, tidak pernah membayangkan kejadian itu. Ketika yang menghampiri kedua orangtuanya adalah kerabat kerjanya sendiri. Yang biasa bertemu di ruang kantor, yang bahkan pada awalnya dianggap junior oleh bundamu karena tergolong guru baru di kawah candra dimuka itu. Sukses sudah wajah bundamu bertemankan bantal. Seutuhnya memasrahkan diri. Duduk. Tidak banyak berkata-kata. Membiarkan kakekmu berbincang dengan teman satu kantornya; dengan orang yang hendak melamarnya.

Allah selalu memiliki alasan untuk menghadirkan seseorang dalam hidup kita. Selalu. Rumusan itu pasti dan tidak pernah meleset sepersekian millimeter pun. Ini berlaku untuk semua orang, Dik. Jika memang tidak berjodoh, maka selalu saja ada alasan untuk tidak bertemu.  Dan tentu saja, selalu ada cara untuk dipertemukan, jika memang berjodoh. Langit hari itu menjadi saksi akan kemudahan yang dijanjikan Tuhan. Bersama kesulitan ada kemudahan. Lihatlah betapa sederhananya kalimat persetujuan itu keluar dari mulut kakekmu. Menyetujui anak bungsunya yang hendak dipinang oleh Muhammad Zainuri; dipinang oleh papamu. Dan perjalanan dua puluh delapan kali itu terbayar indah pada yang ke dua puluh sembilan. Apakah bundamu menyesal? coba tanyakan padanya. Karena kurasa, sama sekali tidak.

**

Kami perlu waktu cukup lama sampai akhirnya mendapat cerita itu langsung dari bundamu. Membayar rasa penasaran kami yang bertanya-tanya, kenapa begitu tiba-tiba? Dan ternyata prosesnya memang tidak lama. Cepat. Lagi, tidak hanya memberi kejutan pada kami, juga memberi kejutan pada guru-guru lain. Lucunya, papamu sukses mendapat ledekan dari guru lain perihal ibundamu yang tahu-tahu sudah dilamar. Tanpa ia tahu, bahwa si pelamar tak lain adalah papamu sendiri. Maka tidaklah hiperbola rasanya, kalau kukatakan berita-kisah-cerita itu menggemparkan. Meramaikan hari-hari berasrama. Di ruang kantor, di kamar, di koridor sekolah, di jalan-jalan lembaga pendidikan kami. Dan hebatnya, bundamu siap siaga mendokumentasikan kekagetan orang-orang atas hot news nya. Boleh lah sewaktu-waktu kau minta untuk diperlihatkan film dokumenter itu oleh bundamu. Semoga masih tersimpan rapi. (:

**

            Menjelang hari pengikraran akad suci, Ibundamu terlihat begitu berenergi, beraura positif. Semakin hari semakin bertambah kecantikannya. Kami berbondong-bondong menyewa bis besar, menuju Tasikmalaya demi menyaksikan kedua orangtuamu bersanding di pelaminan. Macet luar biasa, namun sungguh, sukses terbayar kelelahan yang ada ketika sampai di sana. Diam-diam kami menertawai diri sendiri. Mungkin ini rasanya jadi Bu Novi. Menelan pil pahit macet yang pada akhirnya berbuah indah menyaksikan kedua guru kami mengenakan seragam pengantin. Maka panjang perjalanan yang sungguh tak sebanding dengan lama kami berdiam di Tasik terbayar lunas. Ada getar tersendiri, bagi siapa pun yang mengetahui kisah panjang ibundamu, Adik Kecil yang baik. Begitu juga kami. Begitu juga aku.

**

Maka, Adik Kecil, berbahagialah. Karena Kau hadir melalui proses panjang yang mengandung hikmah. Aku tidak menuliskan detail urutan kejadian dengan jelas, biar bundamu yang melanjutkan kisahnya. Yang melengkapi skenarionya yang terpenggal-penggal. Tanyakan pada wanita violet itu, bagaimana debar yang ia rasa ketika hendak menanti hadirmu. Bagaimana kecemasan yang mampu ia balut dalam ketenangan bahkan ketika tengah berada di rumah sakit (Hei, bundamu ini sungguh ajaib. Bahkan masih sempat meminta doa via BBM, WA, FB, pada karib kerabat menjelang saat-saat sakral itu). Tanyakan padanya, bagaimana mengendalikan sugesti negatif yang tegah melanda diri. Orang biasa akan mudah terbawa pendapat yang mengatakan bahwa melahirkan di usia 30tahunan beresiko tinggi. Tapi bersyukurlah, wanita itu, bundamu, adalah sosok luar biasa.

Satu hal lagi
Kau perlu tahu, bahwa harapan kedua orangtuamu terhadap sosokmu adalah; seorang terpuji serta zuhud yang senantiasa menjadi perhiasan bagi mereka-bagi sesama. Amini doa mereka, Dik. Karena ridha Allah ada pada ridha orangtua. :)
Aamiin allahumma aamiin...

***

Ketika percakapan tepi laut itu berlangsung. Kepulauan seribu.


Muhammad Zahid Al-Zayyan; ini sosokmu. Masih ingat? :D

Pada suatu hari nanti,
Jasad kita tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini.
Kita tak akan pergi menghapus diri.

Pada suatu hari nanti,
Suara kita tiada akan terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini,
Peradaban akan tetap kita siasati

Pada suatu hari nanti,
Impian kita pun tiada dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Maka tidak akan ada letihnya kita mencari.

(Terinspirasi dari puisi Sapardi Djoko Damono; Pada Suatu Hari Nanti)

**


Teruntuk Bu Novi, semoga dengan ini hutang saya bisa terhitung lunas *aamiin* mungkin ibu tidak tahu, maka dari itu saya hendak mengabarkan. Ini adalah hasil coret-ganti berkali-kali demi melunasi janji. Selebihnya ada beberapa dokumen yang membeku begitu saja dimakan waktu. Menjadi sampah dalam buku-buku jurnal, dalam dokumen di laptop saya. Ini diawali pada sehari tepat setelah Adik Kecil Eza lahir, dan resmi dituntaskan pada hari ini, di bulan suci Ramadhan. Saya hampir melupakan janji saya untuk menulis tentang ibu, tapi kalimat ibu; "Kenapa pengen ke Riris? karena ibu jatuh cinta dengan kata2 dalam tulisan Riris." dalam percakapan kita sukses membuat saya tertegun. Meski jadinya begini adanya, maafkan jika diluar harapan. Karena jujur, menulis tentang seseorang yang real saya kenal, apalagi kisah hidupnya, susah sekali. Jadilah samar-samar tidak jelas seperti ini. Lagi, ini malah jadi surat buat De Eza. Hhe. Biar lah, ya, izinkan dia membaca suatu saat nanti, Bu.Jazakumullahu khairan katsiiran, Ibu Guru Kehidupan. :)

Violetterism; karena melihat violet mengingatkanku akan sosokmu

***
Bogor, 6 Ramadhan 1435 H

Thursday, July 3, 2014

Air Mail #4

Debu berputar, berpilin, menyeruak masuk. Membentuk metamorfosa terselubung. Dibalik bayang, dibawa udara, ditelan samudra. Adakah kau perhatikan bagaimana jejak pasir bersembunyi malu-malu sebelum waktunya tiba? Atau, bagaimana helai daun menaruh harap pada satuan tanah di daratan?

Assalamu’alaikum, Aster.
Seperti biasa, ini aku, Razen.

AIR MAIL 

“Razen, bukankah ini hebat sekali?” tanyamu dengan mata berbinar sambil menyodorkan sehelai kertas padaku. “Aku selalu bangga pada kalian, Razen. Ajari aku bagaimana caranya” ujarmu lagi, tanpa menghiraukan aku yang tengah sibuk memeriksa kertas apa itu. Ukurannya cukup besar. Lembarannya berisikan pengumuman. Liputan media tentang penghargaan yang belum lama kami –aku dan anak-anak panti lainnya- peroleh. Aku tersenyum demi memandang jejeran nama kami tertulis satu persatu. “Hei, Razeen,” kau tahu-tahu menarik ujung jaketku. Menyadarkanku yang sejak tadi tidak menjawab celotehanmu.

“iya? Kenapa?” tanyaku sambil tetap menatap kertas itu
“Aku bangga pada kalian. Ajari aku bagaiman caranya.” Aku menoleh ke arahmu. Intonasi suaramu datar. Mimik mukamu serius.
“Ajari apa? Bukankah ini cuma penghargaan untuk anak-anak panti? Penghargaan biasa, kan?” tanpa kuduga, kau tertawa mendengar pertanyaanku. Belakangan, aku tahu bahwa itu adalah tawa getir.
“Bukan ituu. Ajari aku untuk bersungguh-sungguh, melakukan sesuatu sepenuh hati. Seperti kalian.” Kau berkata sambil tersenyum. Tidak menatapku yang ada di sampingmu, melainkan menatap lurus ke depan.
“Hha, Aster. Bukankah hampir tiap petang kau melempari kami lumpur dengan sepenuh hati?” kalimat itu; kalimat bodoh yang aku lontarkan. Kau tahu, aku terlalu salah tingkah, Aster. Kenapa tahu-tahu kau menanyakan hal semacam itu?
 Kau mundur selangkah, bertolak pinggang, lantas cengegesan. Nyengir.
“Hhe, aku lupa. Maafkan aku.” Kita diam sesaat, disusul tawa. “Razeeen! Itu burung elang!” telunjukmu mengarah ke langit. Gelombang suaramu berpantulan di dinding-dinding bukit. Menghasilkan gaung yang saling bersahutan. Hei, Aster, kenapa kau harus memanggilku begitu kencang sementara aku jelas-jelas ada di sampingmu?

Sepasang mataku menatap angkasa. Benar sekali. Itu burung elang yang –mungkin- sama pada hampir setiap petang kita. Kau mungkin tidak menyadari, tapi saat itu ekspresimu jauh lebih menarik dibanding burung elang itu sendiri. Matamu terbelalak, mulutmu terbuka. Kau tersenyum lebar, memperlihatkan jejeran gigi yang berbaris rapi. Lalu tanganmu melambai-lambai, seakan si elang mengerti arti lambaian itu. Seakan ia tahu bahwa kau ada disini. Bahwa kita berdiri disini; memandangnya dari kejauhan. Menikmati padang ilalang seperti biasa.

Baiklah.
Itu tentang masa kecil kita.



***

Kita beranjak dewasa, seiring waktu. Sejak kecil, aku mengagumimu. Dan aku tahu, ada sesuatu yang tidak terdefinisi muncul diluar rasa kagum itu. Ada keinginan untuk melindungimu. Ada sesuatu yang mendorongku untuk menjagamu dari apapun. Pahitnya, kau seakan terlalu kuat untuk membutuhkan perlindunganku, Maka aku selalu saja merasa senang setiap kali kau memanggil namaku, meminta pertolonganku untuk hal sesederhana apapun. Kau memang kuat, tapi ada bagian terlemah yang diam-diam membuatku bersyukur. Entah bagaimana, kau takut pada cicak. Cicak, hewan kecil yang konon membawa kebaikan dari Tuhan jika kita membunuhnya. Dan hebatnya, diantara teman-teman, hanya aku yang tahu rahasia kecil itu. Hanya aku, dan hanya aku yang bisa kau mintai tolong untuk mengusir cicak yang kerap muncul di pojok-pojok panti ketika kau berlagak hebat menjadi mandor kami. Maafkan aku untuk membuka rahasia kecilmu di surat ini. Tak apa, kan? toh rahasia-rahasia milikku pun sudah tidak jadi rahasia lagi.

Aku mengagumimu sejak dulu. Semua orang tahu itu. Hanya dirimu yang tidak tahu, tidak pernah menyadari akan kekagumanku. Dan aku baru saja tahu, bukan hanya kekaguman istimewaku yang tidak kau ketahui. Melainkan Kau sama sekali tidak menyadari betapa kami teramat mengagumimu.

"Siapa yang paling menginspirasimu, Razen?" kau sering seperti itu. tahu-tahu melemparkan pertanyaan mematikan. Mempersempit pembuluh darahku dalam seketika.
"Kau." Aku tidak punya pilihan lain.
"Kau? maksudmu aku?" Kau terbelalak seakan tak yakin
"Iya, Kau, Aster menyebalkan." aku menjawab datar sembari meninggalkanmu. Pergi. Entah apa yang kau lakukan kemudian. Entah apa yang kau fikirkan.

Lagi, aku akan memberitahumu rahasia kecilku. Tidak mudah bagiku untuk melabel seseorang menjadi menyebalkan. Dan beruntung, label itu tersemat padamu. Kau sungguh-sungguh meyebalkan. Mulai dari kecemburuanku padamu atas sosok ibu yang luar biasa, hingga keberanianmu dan keteguhanmu. Aku sangat mengagumi jiwa optimismu, dan kau menjelma menjadi begitu menyebalkan, Ketika kita mulai sering berbincang. Ketika aku tahu ada sesuatu yang berubah. Ketika kau sering sekali memberiku pertanyaan mematikan yang membuatku ingin tenggelam ke laut untuk sejenak.

Membaca tumpukan suratmu dalam kotak kayu berukirkan bunga, membuatku berfikir lebih dalam. Aster, bukankah benar kata Tuan Erdas, pemilik kebun stroberi itu, bahwa Tuhan sungguh hebat sekali? kita dipertemukan dengan banyak insan, dan kita dibuat kagum pada insan-insan tertentu. Hingga tanpa disadari, sebenarnya kita saling menaruh kagum satu sama lain. Lantas apakah ada yang berganti? kehidupan tetap berjalan seperti biasa. Kita tetap mengagumi orang lain tanpa berfikir untuk mengagumi diri sendiri. Manusia dianugerahi sepasang mata yang menghadap ke depan. Menatap lingkungan. Mungkin itu sebab, mengapa kita seringkali menatap orang lain lebih bercahaya. Seperti aku yang melihatmu begitu mengagumkan. Seperti kau, yang bahkan aku baru tahu bahwa kau pun mengagumi banyak orang, termasuk aku.

Aster, Ramadhan ini aku kembali ke Madinah. Ke kota cinta. Aku tahu, suatu saat jemariku akan mulai bosan menulis surat udara untukmu. Akan mulai lelah mengingat-ingat segala macam hal tentangmu. Kau pernah membunuhku pada hari itu, Ketika segala macam hal yang pernah kuberi kau kembalikan secara sepihak. Ketika kau tertunduk dan memohon maaf; mengatakan akan pergi. Seperti ditusuk pisau bertubi, kau berlalu tanpa mempersilahkan aku bicara lebih. Kemudian kau menghilang tanpa jejak. Bahkan hingga saat-saat terakhir. Mungkin nanti jemariku mulai jenuh mengukirkan udara untukmu, Mungkin nanti, akan tiba masa ketika aku harus menyudahi kebiasaan anomaliku ini; menuliskan surat udara untukmu. Yang boleh jadi tak terkirim, tak pernah terbaca.

Tapi Aster, aku sungguh berterima kasih padamu. Kau harus tahu betapa aku belajar banyak dari sosokmu, dari pribadimu. Dari perjalanan hidupku dalam mengenalmu. Kau pernah memintaku untuk mengajarkan, bagaimana melakukan sesuatu dengan sepenuh hati. Ketahuilah, Aster. Hidup kita tidak sesempit rumusan-teori. Kau adalah contoh nyata, bahwa melakukan sesuatu dengan sepenuh hati, dengan keikhlasan yang terpatri, justru ketika diri tidak menyadari. Dan tahu-tahu memberikan kontribusi yang berarti. Seperti kau yang menginspirasi namun tak menyadari -sama sekali.

Aster, Ramadhan ini, kota cinta kita tiada banyak berubah. Terik tetap melanda. Istimewanya tetap mendunia. Tiada dua. Aster yang baik, adakah kau perhatikan bagaimana jejak pasir bersembunyi malu-malu sebelum waktunya tiba? Atau, bagaimana helai daun menaruh harap pada satuan tanah di daratan?


**

Razen menatap ke sudut-sudut kota, memerhatikan fenomena kehidupan di sekitarnya. Tidak banyak berubah, Aster yang ia cari tak juga ditemui. Langit menyuarakan panggilan syurga bagi para pengiman. Membuat para pengais rezeki merehatkan sejenak barang dagangan, menutup pertokoan. Beranjak menjawab panggilan; shalat. Razen tersenyum tipis. Pemuda itu kembali melangkahkan kaki, menuju rumah Tuhan yang siang itu menjadi pusat penjuru. Bak sumber mata air, dihampiri para insan yang beruntung berada di atas ketetapan hati pada Rabb-nya.

Madinah adalah kota cinta
Langitnya adalah atap rumah cinta
Bangunan-bangunannya adalah potret keteguhan cinta
Pun penduduknya, tercipta karena cinta
Kota ini sempurna indah karena cinta sang tercinta yang dicinta oleh Maha Pemilik Cinta

***
AkhirSya'ban-AwalRamadhan 1435 H

Menertawai Janji-janji Manis Kita pada Diri Sendiri

Setiap kita pasti pernah berjanji. Mulai dari yang sebatas ucapan dalam hati, hingga yang tertulis di atas kertas bertandakan materai. Setiap kita pernah merasakan janji. Mulai dari yang terucap sederhana di bawah pohon jambu hingga yang terikrarkan lantang di hadapan banyak orang. Entah itu diri kita yang berperan menjadi sosok utama, ataukah kita yang menjadi penonton diluar layar.

Dari sekian banyak janji yang kita buat, maka yang paling istimewa sebenarnya adalah janji pada diri sendiri. Karena baik disadari atau tidak, diri kita memiliki hak penuh atas tertunaikan atau tidaknya janji tersebut. Tidak seperti janji pada pihak lain yang bisa dituntut dan tidak terelakkan, janji pada diri sendiri lebih loyal dan bersahabat. Kemudian tentu saja, lebih sulit untuk dilunasi.

Maka sesekali tengadahkan wajah ke angkasa. Kemudian tertunduklah menatap bumi. Mungkin ada baiknya kita megevaluasi diri? Mengingat-ingat daftar janji yang telah terpatri namun tak menetap di hati. Tentang janji tuk perbaiki pribadi,  janji kesungguhan tuk gapai mimpi. Soal janji tiada lagi kata ‘nanti’, tentang janji-janji manis kita pada diri sendiri.

Maka kita boleh tersenyum, boleh menertawakan diri sendiri, 
Ketika pada suatu waktu melihat ukiran kita sendiri tentang janji;

Promises are Promises
Janji adalah Janji


Dan pada kenyataannya kini
Diri masih merindu janji agar terpatri di hati.

Berbahagialah
Sejauh kita tak lupa meyakini
Bahwa janji Tuhan adalah pasti.