Sunday, June 28, 2020

Apakah Memaafkan berarti Melupakan?

Suatu sore, dua orang saudara tengah berbincang di bawah rindang pohon kantin sekolah. Iya, ini cerita fiksi jadi tidak ada physical distancing. Sebut saja namanya Raza dan Azhar. Bukan, mereka berdua bukan pelajar melainkan seorang pelatih basket dan saudara kembarnya.

"Bang Az ngapain ke sini?" ujar Raza sambil menyodorkan segelas teh manis pada Azhar.

"Mama nyuruh ngecek kamu, abis gak pulang-pulang terus susah dihubungin," jawab Azhar, menyambut sodoran teh dari tangan adik kembarnya.

"Yaa Allah, bener-bener ya. Padahal anaknya udah segede ini," Raza geleng kepala, Azhar tertawa, "Malu sama murid-murid gua ini," lanjut Raza lagi.

"Haha, kayak nggak tau Mama aja. Kenapa gak bisa dihubungin, Za?"

"Gua belom sempet ngisi baterai, tuh mati," dikeluarkan olehnya gawai dari dalam tas, menunjukkan layarnya yang hitam tak menyala.

"Yaudah jangan lama-lama lah, kok tumben sampai sesore ini?"

"Tadi emang sengaja gua mundurin sih, Bang. Soalnya pas siang panas banget asli! walaupun latihan indoor, tapi ga kuat juga. Kasian anak-anak."

"Ooh, ini tapi udah mau selesai?"

"Iye, dikit lagi selesai, udah gak perlu diawasin lagi. Nanti jam setengah enam bubar mereka. Kenapa sih lu? tumben," Raza meneilsik kakak kembarnya. Tidak biasanya Azhar sedetail ini bertanya soal kegiatannya.

"Kangen lah, haha," goda Azhar sambil tertawa kecil.

"Halah bilang aja Bang, ada apaan? susah lu mau boong sama gua," Raza menepuk pelan pundak Azhar.

"Hmm," Azhar bergumam kecil, lantas melanjutkan, "Za, masih ingat sama Om Andre gak?"

"Hah, siapa?"

"Om Andre, yang dulu pernah ke rumah," Azhar bergumam pelan.

"Ooh, mantan calon bapak tiri kita yang ngedeketin Mama cuma gara-gara ngincer harta itu? ya inget lah Bang, gila aja, masa gua lupa," jawab Raza santai.

"Kamu ya Za, masih aja begini. Blak-blakan banget," Azhar menahan tawa.

"Haha ya tapi bener kan? kenapa emangnya?"

"Ternyata Om Andre yang itu, ayahnya Rasinta, Za."

"Hah? Rasinta calon lu Bang?"

"Iya," Azhar menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Yaa Allah Baang, terus emangnya kenapa? kan elu mau nikahin anaknya bukan bapaknya. Lagian itu kejadian udah lama banget, udah belasan tahun. Emangnya belum tobat juga itu om-om?"

"Nggak, Za, bukan gitu. Malah kemarin pas ketemu, Om Andre masih inget banget sama Abang. Beliau bahkan minta maaf berkali-kali. Katanya habis kejadian waktu itu, Om Andre pelan-pelan berubah, belajar agama, sampai akhirnya dijodohin sama istrinya yang sekarang, ibunya Ras. Rasinta juga kaget ternyata Abang sama Om Andre udah kenal. Heran, padahal dulu kita masih kecil ya Za, tapi Abang kebayang-bayang terus mukanya Om Andre. Walaupun tau itu udah masa lalu dan Om Andre udah berubah, kayanya susah deh, Za..."

"Bang, lu belom maafin Om Andre?"

"Udah, Za. Abang udah maafin kok beneran. Malah sebenarnya udah berusaha banget ngelupain kejadian yang dulu-dulu. Tapi minggu lalu pas ketemu lagi, mendadak pusing. Tiba-tiba ingat gimana dulu Mama dimaki-maki seenaknya di depan kita," kali ini Azhar mengusap mukanya pelan.

"Ah elu, Bang. Itu namanya belum maafin. Kalo kata guru agama di sini nih, kata Pak Hasan, itu namanya elu belum ridho. Belum bener-bener maafin kejadian yang udah lewat, belum bener-bener ngelepas masa lalu. Capek lu nanti kalau terus-terusan begitu, apalagi kalau bener jadi bapak mertua," Raza berujar sambil bangkit dari duduk sembari merapikan bajunya yang agak berantakan.

"Tumben Za, ngomongnya bener," Azhar terkekeh demi mendengar petuah adiknya, berusaha menyembunyikan badai pikiran dalam kepala.

"Serius gua. Itu namanya lu belum maafin. Maafin lah, Bang. Udah yang lalu udah berlalu."

"Hm," Azhar hanya menjawab dengan gumaman kecil.

"Lu tapi udah cerita belom ke Mama?"

"Udah."

"Terus?"

"Mama malah ternyata udah tau dari lama. Soalnya istrinya Om Andre ini juga kenalan mama di komunitas. Tapi Mama sengaja ga bilang ke Abang pas Abang ngajuin nama Rasinta."

"Nah kan cakeep. Yaudah itu mah masalahnya tinggal di elu. Dah ah, orang mo nikah ujiannya banyak, Bang. Jangan lu tambah-tambahin sendiri," lagi, Raza menepuk pundak Azhar pelan, "Gua pamit dulu ya sama anak-anak. Lu pulang duluan aja gapapa. Ntar kalo mau ngobrol lagi lanjut dah di rumah."

"Ya," timpal Azhar singkat.

***

Petang itu, Azhar terjebak dalam renungannya sendiri. Teh manis dari Raza masih utuh, belum tersentuh sama sekali. Memang benar apa kata Raza. Memaafkan sungguh tidak selalu berarti melupakan. Memaafkan adalah ketika kita bisa teringat akan suatu hal, kejadian, atau seseorang, dengan kondisi hati yang baik-baik saja. Memaafkan adalah ketika kita bisa mengingatnya dengan segenap ketenangan sebab ia tak lagi menyisakan luka, melainkan sebuah pelajaran yang berharga.


Lagipula ini bukan hanya soal Om Andre, tapi ini juga soal Rasinta-nya, kan?




Ditulis di Tangerang,
pada 28 Juni 2020 pukul 19.10 WIB

Tiga Tahun Terakhir: Tentang Memaafkan

Cerita santai yang pertama adalah tentang memaafkan. Yup, memaafkan. Sesuatu yang terdengar mudah dan tak asing di telinga, sebab setidaknya setahun sekali masyarakat kita terbiasa saling mengirim pesan permohonan maaf; mohon maaf lahir dan batin. Saya percaya memaafkan itu sangat penting, lagipula toh Allah yang kita sembah Maha Pemaaf. Apalah diri yang jauh dari sempurna, tempatnya salah dan dosa pula, tentu tak punya tempat untuk sombong nan angkuh. Apalagi kalau kita telah memegang prinsip bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik, al-khair khairutullah, tentu persoalan memaafkan akan jauh lebih mudah.

Ya, saling memaafkan telah jadi nasihat lama dari orang tua kita. Tapi kadang kita luput dari memaafkan dua hal. Pertama, memaafkan keadaan. Kedua, memaafkan diri sendiri. Memaafkan keadaan sebenarnya dekat sekali dengan konsep ridho atas apa yang telah Allah takdirkan. Kita tidak akan pernah tenang jika terus-menerus mengutuk keadaan yang berada di luar kendali kita. Di sisi lain, beberapa manusia terjebak pada masa lalu atas kesalahan yang ia perbuat. Taubat tentu membutuhkan penyesalan, sebab saat itu kita tengah memohon maaf pada Rabb yang paling tahu segala sesuatu. Tapi di sisi lain, jiwa kita juga butuh untuk dimaafkan oleh sosok yang paling dekat selain Rabb-Nya; diri kita sendiri.

Memaafkan akan memberi kita kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, dan tidak berhenti di satu titik. Dengan memaafkan, kita bukan hanya meringankan orang lain, tapi juga menyelamatkan diri sendiri. Pelajaran di tiga tahun terakhir memberi saya pandangan baru yang lebih komprehensif tentang memaafkan.

Istilah Forgiveness Therapy saya dapatkan dari Pak Asep yang seorang psikolog. Saya pertama kali berjumpa dengan beliau di sebuah workshop bertajuk Family Therapy. Hal yang paling saya ingat dari Pak Asep adalah tentang konsep memaafkan ini. Beliau pernah mengatakan, bahwa tubuh kita tidak akan pernah bisa berbohong. Reaksi yang muncul tidak lain menggambarkan kondisi kita yang sebenarnya. Jika saja dada kita masih terasa sesak, pundak kita masih terasa berat ketika mengingat sesuatu/seseorang, boleh jadi sebenarnya kita belum memaafkan sesuatu/seseorang tersebut.

Saya jadi mengilhami bahwa ternyata memaafkan butuh perjuangan. Sebab tak cukup hanya dari lisan saja, tapi membutuhkan usaha ekstra hingga hati benar-benar lapang. Ada banyak tipuan yang kita lakukan pada diri sendiri, mendoktrin diri bahwa "aku sudah memaafkan, kok". Tapi pada kenyataannya ternyata belum. Sebab kita masih menggebu, sebab intonasi suara kita masih sedemikian keras, sebab hati kita masih panas, dada kita masih terasa sesak, sebab air mata kita masih mendesak keluar. Memaafkan butuh perjuangan, dan sungguh itu tak apa-apa.

"Sepertinya aku belum berhasil memaafkan, tapi aku sedang berusaha melakukannya," ini terdengar jauh lebih baik.


Mengapa memaafkan menjadi penting? tidak lain adalah untuk diri sendiri. Jiwa yang tidak memafkan, baik sadar atau tidak, hanya akan menjadi motor dengan kekecewaan dan amarah sebagai bahan bakarnya. Kita mungkin akan mendapat apa yang kita targetkan, segala macam rencana yang kita canangkan, tapi ketenangan dan kebahagiaan hati takkan pernah bisa dimanipulasi. Setidaknya di hadapan diri kita sendiri.

Saya pernah mendapat cerita tentang seorang perempuan yang terjebak dalam hal ini. Ia marah pada ayahnya, belum bisa memaafkan apa yang sang ayah lakukan di masa lalu. Ayahnya suka memukul dan membentak, bahkan menyakiti si ibu di hadapannya. Ia kecewa dan marah. Hingga pada saatnya ia menikah dengan seseorang yang ia cintai. Aneh, tapi dia seringkali menangis tiap menghadapi sang suami, padahal ia aku bahwa suaminya baik luar biasa. Hingga si perempuan ini merasa heran, sebab entah bagaimana ia kerap takut dan marah pada suaminya sendiri. Ternyata, ada bayang-bayang sang ayah pada diri suaminya. Ada semacam gerak tangan suaminya yang mirip sekali dengan si ayah, yang membuat ia menangis tanpa terkendali. Ia sungguh masih menyimpan marah pada ayahnya, dan tanpa sadar hal itu menjadi bahaya bagi kehidupan rumah tangganya sendiri. Jadi bagaimana akhir ceritanya? bisa ditebak, ia belajar memaafkan masa lalu, belajar memaafkan ayahnya. Mudah? tentu saja tidak. Tapi perlahan bayang-bayang itu berkurang seiring waktu.

Allah Mahabaik. Dalam tiga tahun terakhir, selain ilmu dan teori yang saya dapat dari kelas, Allah berikan pula sarana untuk mengaplikasikan ini di beberapa kesempatan. Setelah trial and error serta proses jatuh-bangun hhe, ternyata ada rumus mudah untuk memaafkan orang lain. Apa itu? mendoakannya.

Ya, mendoakannya. Ini berlaku untuk siapapun, bahkan untuk seseorang yang telah tiada di dunia (sebab tidak sedikit orang yang belum memaafkan orang yang telah berpulang). Saya percaya bahwa doa adalah ekspresi paling tulus, sebab hanya diri dan Tuhan saja yang tahu. Ketika kita mendoakan seseorang yang kita rasa menyakiti atau mungkin menzalimi kita, saat itu pula kita mengangkat urusan kita pada Allah, menyerahkannya pada yang Mahakuasa. Bukankah baik diri kita maupun dirinya adalah makhluk ciptaan Allah yang masing-masing hatinya dibolak-balik oleh Allah?

Kalau kamu adalah pejuang memaafkan, cobalah mendoakannya. Doakan apa saja, doakan kebaikan-kebaikan untuknya. Doakan hatinya, doakan semoga dirimu dan dirinya mendapat hidayah. Doakan segala sesuatu, anggap saja di hadapan Allah kamu sedang merayu. "Yaa Allah, padanya yang kurasa menyakitiku, aku mendoakannya. Sungguh aku tidak mengharapkan apa-apa selain kasih sayang-Mu saja."

Sama halnya ketika kita berjuang memaafkan diri sendiri. Kadang ini justru sulit sekali dilakukan, sebab mata kita memang tercipta untuk melihat segala sesuatu di luar, bukan melihat diri sendiri. Di sisi lain, mata hati kita yang harusnya bisa memaknai lebih baik, jutsru seringnya lupa kita berdayakan untuk melihat diri sendiri.

Maka lihatlah, sampai hari ini, ada berapa banyak kebohongan kita pada diri sendiri? ada berapa banyak kesia-siaan yang kita lakukan hingga merugikan diri sendiri? apa kabar pula ragam penyakit hati yang kita cekoki hingga tanpa sadar menggerogoti diri kita sebagai pribadi? seberapa sering kata-kata cemooh tanpa sadar kita layangkan pada diri kita sendiri?

Sayang, cobalah sekali-sekali bercengkrama dengan diri sendiri. Izinkan ia punya sahabat baik, yaitu dirimu sendiri. Berterima kasihlah, maafkanlah, ajaklah ia berjuang sama-sama.


***

Pelajaran tentang memaafkan ini sungguh skill luar biasa. Sebenarnya, kalau saja kita mau belajar dari sejarah, sosok Nabi Muhammad Saw. telah menjadi sebaik-baik teladan dalam hal apapun termasuk dalam hal memaafkan. Jiwa beliau begitu besar, prioritas hidupnya jelas, sampai-sampai tak ada ruang dalam hatinya untuk menyimpan marah apalagi dendam. Serius. Coba tengok kisah beliau dengan penduduk Thaif yang melemparinya dengan batu tapi dibalas dengan doa. Tengok pula kisah beliau menghadapi petinggi kaum kafir Quraisy yang menyiksanya, bahkan hendak membunuhnya, tapi Rasul tetap berbuat baik. Apa yang menggerakkan dirinya sungguh bukan amarah, melainkan bentuk tanggung jawab atas tugas kenabian yang diembankan pada beliau. Lihat betapa Nabi Muhammad Saw. memuliakan orang-orang itu, provokator penyikasanya itu, ketika mereka pada akhirnya masuk Islam. Tak tanggung-tanggung, beberapa di antaranya bahkan diberi posisi terbaik. Harusnya jika kita mau, kita bisa meneladani beliau dengan memaknai bahwa tugas kita di dunia tidak lain adalah sebagai seorang hamba. Kita terlalu sibuk belajar menjadi hamba yang senantiasa bersabar dan bersyukur, sampai-sampai tak ada ruang bagi kita untuk tak memaafkan. Semoga kita bisa, ya. Semangat!

Begitulah memaafkan. Sekilas seperti upaya berbuat baik pada orang lain sebab kita telah memaafkannya. Padahal faktanya, memaafkan adalah perbuatan baik pada diri sendiri. Izinkan saya meminjam tagline buku Forgiveness Therapy karya Pak Asep, "Maafkanlah, niscaya dadamu lapang."


Buku Forgiveness Therapy

Daftar Isi Buku FT

Baik, cerita santainya sampai di sini dulu. Panjang sekali jika kita mau menjabarkan semua hal tentang memaafkan. Kalau kamu mau versi lengkap, bisa baca buku Forgiveness Therapy yang membahas tentang seluk-beluk memaafkan. 
Bagi kamu yang sedang berjuang memaafkan, percayalah, tidak ada sesuatu pun yang sia-sia. Semoga setiap inci usaha nan ikhtiarmu itu berbuah pahala di sisi Allah. Semoga Allah menghadiahkan kebaikan-kebaikan atas kesabaran dan jerih payahmu.

Salam hangat dari jauh, siapapun kamu. :)


Ditulis di Tangerang,
28 Juni 2020

Thursday, June 25, 2020

Tiga Tahun Terakhir: Ta'aruf dengan Diri Sendiri

Mari kita cerita kilas balik, setelah sekian lama tidak melakukannya di sini. Belakangan di masa pandemi, agaknya tidak sedikit orang yang melakukan kilas balik atas perjalanan hidupnya. Yah, setidaknya saya menjumpai beberapa teman dan public figure yang tahu-tahu membagikan entah itu dokumentasi atau tulisan yang berbau memori. Barangkali memang, waktu yang biasa kita habiskan di jalan, di tengah macet, di keramaian, entah seberapa persen ada yang teralih pada kegiatan ini: kilas balik.

Tiga tahun terakhir, saya mendapat deret pelajaran yang pada hari ini saya temukan benang merahnya. Inti dari semuanya adalah tentang pentingnya mengenal diri sendiri. Klise sih ya, kayaknya anak-anak belasan tahun yang baru naik kelas kemarin pun sudah biasa mendengar kalimat ini; "kenalilah dirimu sendiri". Tapi di sini saya ingin cerita sedikit, tentang proses ta'aruf dengan diri sendiri yang ternyata sungguh tidak semudah kedengarannya.


Kata orang, semakin kita banyak tahu, semakin tahu bahwa diri kita tidak tahu banyak (nah pusing nggak? hha). Yah begitulah, dan saya pikir itu benar adanya. Ada banyak hal yang saya alami di tiga tahun terakhir. Kesemua pengalaman itu mengantarkan saya setidaknya pada tiga hal ini (dengan mengenal diri sendiri sebagai puncak utamanya):

1. Memaafkan
2. Memberi respons dan menentukan prioritas
3. Mengenali diri sendiri

Setelah saya pikir-pikir sekarang, bangku kuliah seperti sebuah ilmu pengantar. Dengannya saya jadi punya bekal tentang teori dasar, melihat fenomena secara makro, dan tahu akan risiko serta tantangan apa saja yang mungkin dialami. Oh iya, saya kuliah di IPB, departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), kemudian lanjut ke Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak (IKA) silakan cek di sini kalau mau tahu lebih dalam.

Bersyukur sekali bahwa di bangku kuliah, saya belajar tentang keluarga. Karena biar bagaimana pun, setiap kita dilahirkan dan jadi bagian dari sebuah keluarga. Siapapun, sebenarnya membutuhkan ilmu ini (minimal ilmu-ilmu yang sifatnya aplikatif). Bangku kuliah memberikan landasan keilmuan bagi saya, sehingga apa yang saya dapat di kemudian hari lebih mudah diproses, sebab ada prior knowledge dari guru-guru kami sebelumnya. Bangku kuliah secara gamblang menjadi perantara bagi saya menapaki kelas-kelas berikutnya dengan ruang lingkup yang lebih personal dan lebih privat dalam diri manusia.

Alhamdulillah Allah beri kesempatan saya mengikuti beberapa kelas lain sembari menyelesaikan studi. Sebagian gratis, sebagian lagi berbayar, dan sebagian yang lain dibayari oleh orang-orang baik (terima kasih tulus, semoga Allah balas dengan kebaikan yang berlipat). Menarik sekali, sebab ternyata apa yang saya pelajari benar-benar saya rasakan sangat bermanfaat. Pertama dan utama, khususnya untuk diri sendiri. Iya, lebih banyak disimpan sendiri atau kalau ada yang bertanya saja. Bagi saya, pelajaran ini terlalu sensitif, apalagi saya juga belum bisa mengaplikasikannya secara utuh dan sifatnya yang sangat personal. Rasanya berbeda sekali ketika harus menyampaikan ilmu eksakta dibandingkan dengan menyampaikan ilmu seperti ini. Iya, lebih banyak takutnya, hhe.

Namun beberapa waktu lalu, kuliah bersama Ust. Budi Ashari dalam reuni keluarga Akademi Qur'an Al Fatih jelas menampar saya. Beliau katakan bahwa tingkatan orang berkaitan dengan ilmu dan amalnya ada tiga. Pertama adalah naqiyyah. Ibarat tanah yang bisa menahan air, ia lantas menumbuhkan tanaman dalam jumlah banyak hingga siapa saja bisa memperoleh manfaat darinya, keilmuannya berkah hingga mengalirkan kebaikan bagi makhluk hidup yang lain. Kedua adalah ajadid. Ibarat tanah yang bisa menahan air, bermanfaat pula untuk orang lain, tapi hanya sekadarnya saja. Sebatas orang lain mengambil ilmu darinya namun tak benar-benar berkarya. Yang ketiga, yang semoga kita tak termasuk perumpaan ini, adalah qi'an. Ibarat tanah yang jangankan menumbuhkan tumbuhan, menampung air pun ia tak mampu. Ia tak punya ilmu, pun tak punya karya.

Karena saya juga takut jadi bagian dari orang-orang di nomor tiga itulah, tulisan ini dibuat. Yah, mau bagaimana lagi. Toh latar keilmuan saya memang ini, jadi tak ada pilihan lain. Daripada menyampaikan ilmu yang lebih jauh lagi dari kapasitas, kan? Jadi mari kita cerita-cerita santai tentang tiga hal utama tadi; memaafkan, memberi respons dan menentukan prioritas, serta mengenali diri sendiri (dengan sesekali disangkutpautkan dengan keilmuan keluarga, ya). InsyaaAllah akan ditulis di postingan berikutnya.

Ayo belajar sama-sama. Tentu bukan tanpa alasan Allah menggerakkan segenap inderamu hingga kamu dengan sukarela membaca tulisan ini sampai di sini. :)



Ditulis di Tangerang,
Pada 23 Juni 2020

Saturday, June 13, 2020

Hati yang Dirindukan

Pernah ada cerita tentang seorang anak perempuan, ia baru saja mendapat sederet nasihat mengandung hikmah dari orang tua yang mengasuhnya. Dengan percaya diri, anak perempuan itu berjalan tegap seolah takkan lagi menemui kesulitan atas segala problematika hidup. Pada sebait nasihat yang disampaikan di petang sehari sebelumnya, ia sungguh merasa cukup.

"Lakukan yang terbaik, bersyukur, dan sabar," begitu bunyi nasihatnya. Hari-hari berlalu dengan sangat mudah. Ia tak gentar dihantam berbagai ujian, seolah tiada hal berarti yang bisa membuatnya goyah. Keyakinannya pada nasihat itu, ibarat bahan bakar yang terus menjadikan mesin dalam dirinya menyala. Ia tak tumbang meski keadaan begitu sulit lagi menghimpit. "Lakukan yang terbaik, bersyukur dan sabar," pesan itu terus bergema dalam kepalanya.

Hingga pada suatu hari, perempuan kecil itu mendapati bahwa ternyata keyakinan pun kadang berubah-ubah. Persoalan hidup seiring waktu semakin bertambah, dan ada begitu banyak hal baru yang tidak ia ketahui sebelumnya. Kalimat saktinya goyah. Bukan karena tak lagi relevan, namun ia hanya mendapati bahwa dirinya tak lagi cukup dikuatkan.

"Aku kira aku sudah punya semua rumusnya, tapi ternyata ada terlalu banyak hal yang belum kutahu," gumamnya dalam hati. Relungnya sempat berantakan, namun setelah melalui proses panjang, ia kembali mengingat resep terbaik itu. Lakukan yang terbaik, bersyukur, dan sabar.

Anak perempuan itu mengilhami, bahwa pengetahuan saja sungguh tak cukup. Ternyata ia memang harus terus melangitkan doa. Sebab pada segala hal yang ia telah lalui dengan baik, sungguh bukan karena ia mampu. Semua itu, semata karena ia dimampukan nan dikuatkan. Semata hanya karena kebaikan Tuhannya lah, ia disanggupkan.

Barangkali memang begitulah proses bertumbuh mengajarkan kita. Ya, bukan hanya si anak perempuan itu, tapi kita semua. Ujian-ujian yang kita hadapi, meski membuat kita terseok dan barangkali sempat berantakan, pada akhirnya akan mampu menjadikan kita sosok yang berbeda. Menjadi lebih tangguh, lebih kuat, lebih baik dari diri kita sebelumnya. Namun semua itu hanya jika kita benar-benar menjalankan nasihat lama tersebut, yakni melakukan yang terbaik dan diiringi dengan syukur serta sabar.

Hingga nanti, pada saat terbaiknya, yang kita lihat ketika menoleh ke belakang bukan lagi hal lain melainkan sebuah perjalanan berharga. Ialah itu perjalanan yang membuat syukur kita bertambah-tambah sebab pernah melalui dan mengambil ibrah darinya.

"Lakukan yang terbaik, bersyukur, dan sabar," nasihat itu masih menjadi pegangan si anak perempuan tadi, setelah perjalanan panjang yang ia lalui. Kali ini dengan pemahaman yang berbeda, yakni pemahaman yang lebih menyeluruh, mendalam, dan barangkali akan terus berubah lagi seiring waktu. Sebab dalam perjalanan hidupnya, ia tak tahu kejutan macam apalagi yang telah menunggu.


Sumber Gambar

Ditulis pertama kali di Tangerang,
pada 16 Mei 2020.