Thursday, June 25, 2020

Tiga Tahun Terakhir: Ta'aruf dengan Diri Sendiri

Mari kita cerita kilas balik, setelah sekian lama tidak melakukannya di sini. Belakangan di masa pandemi, agaknya tidak sedikit orang yang melakukan kilas balik atas perjalanan hidupnya. Yah, setidaknya saya menjumpai beberapa teman dan public figure yang tahu-tahu membagikan entah itu dokumentasi atau tulisan yang berbau memori. Barangkali memang, waktu yang biasa kita habiskan di jalan, di tengah macet, di keramaian, entah seberapa persen ada yang teralih pada kegiatan ini: kilas balik.

Tiga tahun terakhir, saya mendapat deret pelajaran yang pada hari ini saya temukan benang merahnya. Inti dari semuanya adalah tentang pentingnya mengenal diri sendiri. Klise sih ya, kayaknya anak-anak belasan tahun yang baru naik kelas kemarin pun sudah biasa mendengar kalimat ini; "kenalilah dirimu sendiri". Tapi di sini saya ingin cerita sedikit, tentang proses ta'aruf dengan diri sendiri yang ternyata sungguh tidak semudah kedengarannya.


Kata orang, semakin kita banyak tahu, semakin tahu bahwa diri kita tidak tahu banyak (nah pusing nggak? hha). Yah begitulah, dan saya pikir itu benar adanya. Ada banyak hal yang saya alami di tiga tahun terakhir. Kesemua pengalaman itu mengantarkan saya setidaknya pada tiga hal ini (dengan mengenal diri sendiri sebagai puncak utamanya):

1. Memaafkan
2. Memberi respons dan menentukan prioritas
3. Mengenali diri sendiri

Setelah saya pikir-pikir sekarang, bangku kuliah seperti sebuah ilmu pengantar. Dengannya saya jadi punya bekal tentang teori dasar, melihat fenomena secara makro, dan tahu akan risiko serta tantangan apa saja yang mungkin dialami. Oh iya, saya kuliah di IPB, departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), kemudian lanjut ke Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak (IKA) silakan cek di sini kalau mau tahu lebih dalam.

Bersyukur sekali bahwa di bangku kuliah, saya belajar tentang keluarga. Karena biar bagaimana pun, setiap kita dilahirkan dan jadi bagian dari sebuah keluarga. Siapapun, sebenarnya membutuhkan ilmu ini (minimal ilmu-ilmu yang sifatnya aplikatif). Bangku kuliah memberikan landasan keilmuan bagi saya, sehingga apa yang saya dapat di kemudian hari lebih mudah diproses, sebab ada prior knowledge dari guru-guru kami sebelumnya. Bangku kuliah secara gamblang menjadi perantara bagi saya menapaki kelas-kelas berikutnya dengan ruang lingkup yang lebih personal dan lebih privat dalam diri manusia.

Alhamdulillah Allah beri kesempatan saya mengikuti beberapa kelas lain sembari menyelesaikan studi. Sebagian gratis, sebagian lagi berbayar, dan sebagian yang lain dibayari oleh orang-orang baik (terima kasih tulus, semoga Allah balas dengan kebaikan yang berlipat). Menarik sekali, sebab ternyata apa yang saya pelajari benar-benar saya rasakan sangat bermanfaat. Pertama dan utama, khususnya untuk diri sendiri. Iya, lebih banyak disimpan sendiri atau kalau ada yang bertanya saja. Bagi saya, pelajaran ini terlalu sensitif, apalagi saya juga belum bisa mengaplikasikannya secara utuh dan sifatnya yang sangat personal. Rasanya berbeda sekali ketika harus menyampaikan ilmu eksakta dibandingkan dengan menyampaikan ilmu seperti ini. Iya, lebih banyak takutnya, hhe.

Namun beberapa waktu lalu, kuliah bersama Ust. Budi Ashari dalam reuni keluarga Akademi Qur'an Al Fatih jelas menampar saya. Beliau katakan bahwa tingkatan orang berkaitan dengan ilmu dan amalnya ada tiga. Pertama adalah naqiyyah. Ibarat tanah yang bisa menahan air, ia lantas menumbuhkan tanaman dalam jumlah banyak hingga siapa saja bisa memperoleh manfaat darinya, keilmuannya berkah hingga mengalirkan kebaikan bagi makhluk hidup yang lain. Kedua adalah ajadid. Ibarat tanah yang bisa menahan air, bermanfaat pula untuk orang lain, tapi hanya sekadarnya saja. Sebatas orang lain mengambil ilmu darinya namun tak benar-benar berkarya. Yang ketiga, yang semoga kita tak termasuk perumpaan ini, adalah qi'an. Ibarat tanah yang jangankan menumbuhkan tumbuhan, menampung air pun ia tak mampu. Ia tak punya ilmu, pun tak punya karya.

Karena saya juga takut jadi bagian dari orang-orang di nomor tiga itulah, tulisan ini dibuat. Yah, mau bagaimana lagi. Toh latar keilmuan saya memang ini, jadi tak ada pilihan lain. Daripada menyampaikan ilmu yang lebih jauh lagi dari kapasitas, kan? Jadi mari kita cerita-cerita santai tentang tiga hal utama tadi; memaafkan, memberi respons dan menentukan prioritas, serta mengenali diri sendiri (dengan sesekali disangkutpautkan dengan keilmuan keluarga, ya). InsyaaAllah akan ditulis di postingan berikutnya.

Ayo belajar sama-sama. Tentu bukan tanpa alasan Allah menggerakkan segenap inderamu hingga kamu dengan sukarela membaca tulisan ini sampai di sini. :)



Ditulis di Tangerang,
Pada 23 Juni 2020

2 comments:

  1. Alhamdulillah atas nikmatNya untuk bisa membaca tulisan ini (:

    ReplyDelete