Sunday, June 28, 2020

Tiga Tahun Terakhir: Tentang Memaafkan

Cerita santai yang pertama adalah tentang memaafkan. Yup, memaafkan. Sesuatu yang terdengar mudah dan tak asing di telinga, sebab setidaknya setahun sekali masyarakat kita terbiasa saling mengirim pesan permohonan maaf; mohon maaf lahir dan batin. Saya percaya memaafkan itu sangat penting, lagipula toh Allah yang kita sembah Maha Pemaaf. Apalah diri yang jauh dari sempurna, tempatnya salah dan dosa pula, tentu tak punya tempat untuk sombong nan angkuh. Apalagi kalau kita telah memegang prinsip bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik, al-khair khairutullah, tentu persoalan memaafkan akan jauh lebih mudah.

Ya, saling memaafkan telah jadi nasihat lama dari orang tua kita. Tapi kadang kita luput dari memaafkan dua hal. Pertama, memaafkan keadaan. Kedua, memaafkan diri sendiri. Memaafkan keadaan sebenarnya dekat sekali dengan konsep ridho atas apa yang telah Allah takdirkan. Kita tidak akan pernah tenang jika terus-menerus mengutuk keadaan yang berada di luar kendali kita. Di sisi lain, beberapa manusia terjebak pada masa lalu atas kesalahan yang ia perbuat. Taubat tentu membutuhkan penyesalan, sebab saat itu kita tengah memohon maaf pada Rabb yang paling tahu segala sesuatu. Tapi di sisi lain, jiwa kita juga butuh untuk dimaafkan oleh sosok yang paling dekat selain Rabb-Nya; diri kita sendiri.

Memaafkan akan memberi kita kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, dan tidak berhenti di satu titik. Dengan memaafkan, kita bukan hanya meringankan orang lain, tapi juga menyelamatkan diri sendiri. Pelajaran di tiga tahun terakhir memberi saya pandangan baru yang lebih komprehensif tentang memaafkan.

Istilah Forgiveness Therapy saya dapatkan dari Pak Asep yang seorang psikolog. Saya pertama kali berjumpa dengan beliau di sebuah workshop bertajuk Family Therapy. Hal yang paling saya ingat dari Pak Asep adalah tentang konsep memaafkan ini. Beliau pernah mengatakan, bahwa tubuh kita tidak akan pernah bisa berbohong. Reaksi yang muncul tidak lain menggambarkan kondisi kita yang sebenarnya. Jika saja dada kita masih terasa sesak, pundak kita masih terasa berat ketika mengingat sesuatu/seseorang, boleh jadi sebenarnya kita belum memaafkan sesuatu/seseorang tersebut.

Saya jadi mengilhami bahwa ternyata memaafkan butuh perjuangan. Sebab tak cukup hanya dari lisan saja, tapi membutuhkan usaha ekstra hingga hati benar-benar lapang. Ada banyak tipuan yang kita lakukan pada diri sendiri, mendoktrin diri bahwa "aku sudah memaafkan, kok". Tapi pada kenyataannya ternyata belum. Sebab kita masih menggebu, sebab intonasi suara kita masih sedemikian keras, sebab hati kita masih panas, dada kita masih terasa sesak, sebab air mata kita masih mendesak keluar. Memaafkan butuh perjuangan, dan sungguh itu tak apa-apa.

"Sepertinya aku belum berhasil memaafkan, tapi aku sedang berusaha melakukannya," ini terdengar jauh lebih baik.


Mengapa memaafkan menjadi penting? tidak lain adalah untuk diri sendiri. Jiwa yang tidak memafkan, baik sadar atau tidak, hanya akan menjadi motor dengan kekecewaan dan amarah sebagai bahan bakarnya. Kita mungkin akan mendapat apa yang kita targetkan, segala macam rencana yang kita canangkan, tapi ketenangan dan kebahagiaan hati takkan pernah bisa dimanipulasi. Setidaknya di hadapan diri kita sendiri.

Saya pernah mendapat cerita tentang seorang perempuan yang terjebak dalam hal ini. Ia marah pada ayahnya, belum bisa memaafkan apa yang sang ayah lakukan di masa lalu. Ayahnya suka memukul dan membentak, bahkan menyakiti si ibu di hadapannya. Ia kecewa dan marah. Hingga pada saatnya ia menikah dengan seseorang yang ia cintai. Aneh, tapi dia seringkali menangis tiap menghadapi sang suami, padahal ia aku bahwa suaminya baik luar biasa. Hingga si perempuan ini merasa heran, sebab entah bagaimana ia kerap takut dan marah pada suaminya sendiri. Ternyata, ada bayang-bayang sang ayah pada diri suaminya. Ada semacam gerak tangan suaminya yang mirip sekali dengan si ayah, yang membuat ia menangis tanpa terkendali. Ia sungguh masih menyimpan marah pada ayahnya, dan tanpa sadar hal itu menjadi bahaya bagi kehidupan rumah tangganya sendiri. Jadi bagaimana akhir ceritanya? bisa ditebak, ia belajar memaafkan masa lalu, belajar memaafkan ayahnya. Mudah? tentu saja tidak. Tapi perlahan bayang-bayang itu berkurang seiring waktu.

Allah Mahabaik. Dalam tiga tahun terakhir, selain ilmu dan teori yang saya dapat dari kelas, Allah berikan pula sarana untuk mengaplikasikan ini di beberapa kesempatan. Setelah trial and error serta proses jatuh-bangun hhe, ternyata ada rumus mudah untuk memaafkan orang lain. Apa itu? mendoakannya.

Ya, mendoakannya. Ini berlaku untuk siapapun, bahkan untuk seseorang yang telah tiada di dunia (sebab tidak sedikit orang yang belum memaafkan orang yang telah berpulang). Saya percaya bahwa doa adalah ekspresi paling tulus, sebab hanya diri dan Tuhan saja yang tahu. Ketika kita mendoakan seseorang yang kita rasa menyakiti atau mungkin menzalimi kita, saat itu pula kita mengangkat urusan kita pada Allah, menyerahkannya pada yang Mahakuasa. Bukankah baik diri kita maupun dirinya adalah makhluk ciptaan Allah yang masing-masing hatinya dibolak-balik oleh Allah?

Kalau kamu adalah pejuang memaafkan, cobalah mendoakannya. Doakan apa saja, doakan kebaikan-kebaikan untuknya. Doakan hatinya, doakan semoga dirimu dan dirinya mendapat hidayah. Doakan segala sesuatu, anggap saja di hadapan Allah kamu sedang merayu. "Yaa Allah, padanya yang kurasa menyakitiku, aku mendoakannya. Sungguh aku tidak mengharapkan apa-apa selain kasih sayang-Mu saja."

Sama halnya ketika kita berjuang memaafkan diri sendiri. Kadang ini justru sulit sekali dilakukan, sebab mata kita memang tercipta untuk melihat segala sesuatu di luar, bukan melihat diri sendiri. Di sisi lain, mata hati kita yang harusnya bisa memaknai lebih baik, jutsru seringnya lupa kita berdayakan untuk melihat diri sendiri.

Maka lihatlah, sampai hari ini, ada berapa banyak kebohongan kita pada diri sendiri? ada berapa banyak kesia-siaan yang kita lakukan hingga merugikan diri sendiri? apa kabar pula ragam penyakit hati yang kita cekoki hingga tanpa sadar menggerogoti diri kita sebagai pribadi? seberapa sering kata-kata cemooh tanpa sadar kita layangkan pada diri kita sendiri?

Sayang, cobalah sekali-sekali bercengkrama dengan diri sendiri. Izinkan ia punya sahabat baik, yaitu dirimu sendiri. Berterima kasihlah, maafkanlah, ajaklah ia berjuang sama-sama.


***

Pelajaran tentang memaafkan ini sungguh skill luar biasa. Sebenarnya, kalau saja kita mau belajar dari sejarah, sosok Nabi Muhammad Saw. telah menjadi sebaik-baik teladan dalam hal apapun termasuk dalam hal memaafkan. Jiwa beliau begitu besar, prioritas hidupnya jelas, sampai-sampai tak ada ruang dalam hatinya untuk menyimpan marah apalagi dendam. Serius. Coba tengok kisah beliau dengan penduduk Thaif yang melemparinya dengan batu tapi dibalas dengan doa. Tengok pula kisah beliau menghadapi petinggi kaum kafir Quraisy yang menyiksanya, bahkan hendak membunuhnya, tapi Rasul tetap berbuat baik. Apa yang menggerakkan dirinya sungguh bukan amarah, melainkan bentuk tanggung jawab atas tugas kenabian yang diembankan pada beliau. Lihat betapa Nabi Muhammad Saw. memuliakan orang-orang itu, provokator penyikasanya itu, ketika mereka pada akhirnya masuk Islam. Tak tanggung-tanggung, beberapa di antaranya bahkan diberi posisi terbaik. Harusnya jika kita mau, kita bisa meneladani beliau dengan memaknai bahwa tugas kita di dunia tidak lain adalah sebagai seorang hamba. Kita terlalu sibuk belajar menjadi hamba yang senantiasa bersabar dan bersyukur, sampai-sampai tak ada ruang bagi kita untuk tak memaafkan. Semoga kita bisa, ya. Semangat!

Begitulah memaafkan. Sekilas seperti upaya berbuat baik pada orang lain sebab kita telah memaafkannya. Padahal faktanya, memaafkan adalah perbuatan baik pada diri sendiri. Izinkan saya meminjam tagline buku Forgiveness Therapy karya Pak Asep, "Maafkanlah, niscaya dadamu lapang."


Buku Forgiveness Therapy

Daftar Isi Buku FT

Baik, cerita santainya sampai di sini dulu. Panjang sekali jika kita mau menjabarkan semua hal tentang memaafkan. Kalau kamu mau versi lengkap, bisa baca buku Forgiveness Therapy yang membahas tentang seluk-beluk memaafkan. 
Bagi kamu yang sedang berjuang memaafkan, percayalah, tidak ada sesuatu pun yang sia-sia. Semoga setiap inci usaha nan ikhtiarmu itu berbuah pahala di sisi Allah. Semoga Allah menghadiahkan kebaikan-kebaikan atas kesabaran dan jerih payahmu.

Salam hangat dari jauh, siapapun kamu. :)


Ditulis di Tangerang,
28 Juni 2020

No comments:

Post a Comment