Thursday, September 17, 2020

Jika Kita adalah Langit dan Laut Menjadi Cerminnya

Jika kita adalah langit dan laut menjadi cerminnya

Kadang kita merona jingga

Kadang kita pilu membiru

Kadang kita merah membara

Kadang kita sendu kelabu

Dan laut menjadi cerminnya. :)



Ditulis di Tangerang,
pada 16 Juni 2020

Wednesday, September 16, 2020

Memaafkan Lebih dari Titik Nol

Jika kita disakiti atau dikecewakan oleh seseorang, apakah kita bisa sungguh-sungguh bersikap netral kepadanya? Secara manusiawi, tentu tak mudah. Kita terlalu sulit untuk tidak peduli atas segala sesuatu yang mengusik diri. Bersikap netral berarti ada di tengah-tengah, dan kita tahu bahwa menjaga keseimbangan tidak lebih mudah daripada condong ke salah satunya.

Sadar atau tidak, kita punya kecenderungan untuk lebih condong pada perasaan negatif terhadap orang yang telah menyakiti. Sebagian diri kita boleh jadi sebenarnya sadar, hanya mungkin terlalu enggan untuk mengakui. Lalu dengan manisnya, kita berkata pada diri sendiri dan orang lain, “Aku sudah maafin dia, kok. Sudah gak apa-apa, biasa aja.”

Hei, yakinkah kita, bahwa ketika mengatakan kalimat semacam itu, kita benar-benar telah memaafkannya?

Yah, sebenarnya (berusaha) mengambil posisi di tengah-tengah seperti itu tidak ada salahnya, sih. Tapi bersikap netral sama sekali tidak mudah bagi manusia yang secara fitrah memiliki rasa. Lalu apa akibatnya jika dipaksa? Bisa dipastikan, pada akhirnya kita akan merasa lelah. Apalagi kalau kita berusaha mati-matian untuk membohongi diri sendiri, mencekoki nurani dengan dusta yang halus sekali.

Pernah main jungkat-jungkit? Saya pernah, dulu ketika masih kecil. Saya biasa bermain jungkat-jungkit berdua dengan sepupu. Kami main di halaman belakang masjid, atau di TK tempat Mama mengajar. Saya ingat betapa sulitnya jika kami berdua sama-sama ingin berada di atas udara. Tentu tidak mudah, kalau tak mau dikatakan sama sekali tidak bisa. Pernah sesekali saya coba berdiri sendirian di tengah-tengah titik tumpu, mengandalkan kedua kaki kanan dan kiri sebagai kontrol. Rasanya penasaran ingin coba untuk menyeimbangkan mainan legendaris itu. Memang ternyata bisa, sih. Tapi lama-lama capek juga.

“Tapi lama-lama capek juga.” Nah, inilah analoginya ketika kita memaksakan diri berada di tengah-tengah pada titik nol. Mungkin kita bisa melakukannya beberapa saat, namun pada akhirnya kita akan merasa lelah. Sebab secara nurani, boleh jadi sebenarnya kita memang tidak bisa netral. Akan ada kecenderungan ke salah satu sisi, entah positif atau negatif. Meski entah seberapa besar persentasenya. Hei, lalu apa kaitannya dengan memaafkan?

Yah, ternyata memaafkan melampaui kondisi hati yang netral. Ia tidak berada di titik nol. Mari sedikit mengingat-ingat cerita tentang sosok yang merupakan kecintaan kita semua, Rasulullah . Beliau adalah kekasih Allah, dan hidupnya di dunia telah dijamin berujung syurga. Tapi apakah itu berarti Nabi Muhammad tidak pernah dizalimi? Apakah itu berarti beliau tidak pernah merasa sedih dan dibuat kecewa? Ternyata jawabannya tidak.

Kesedihan beliau tergambar jelas saat terjadinya peristiwa di Thaif.

Saat itu tahun ke-10 kenabian. Rasulullah ﷺ pergi dari Makkah menuju Thaif dengan berjalan kaki, ditemani oleh anak angkatnya, Zaid bin Haritsah. beliau hendak menyampaikan keindahan ajaran Islam di daerah yang terkenal subur tersebut. Tahu apa yang terjadi selanjutnya? Penduduk Thaif tidak memercayai sama sekali. Bahkan selama tinggal di sana sepuluh hari, Rasulullah tak memperoleh penerimaan yang baik. Beliau diusir dan ditumpahi caci-maki.

Hei, siapa yang sampai hati berbuat seperti itu pada manusia paling mulia? Orang macam apa yang tega melakukannya? Ingatkah kita, ternyata mereka melakukannya beramai-ramai. Benar, bukan hanya satu atau dua orang. Penduduk Thaif beserta budak-budak mereka berkumpul, dan mengusir Nabi bersama-sama, sambil melempari beliau dengan batu. Bahkan kedua sandal laki-laki mulia itu pun sampai tampak bersimbah darah.

Coba sejenak bayangkan. Betapa menyakitkannya ketika kita menyayangi seseorang, menginginkan kebaikan untuknya, namun upaya yang kita lakukan justru ditolak dengan cara yang sangat kasar? Bahkan bukannya menerima, ia justru menuduh kita berbohong dan hendak melakukan hal buruk padanya. Tidakkah itu cukup menjadi alasan bagi kita untuk mengubah cinta dan harap yang semula ada, menjadi pupus dan menghadirkan rasa benci saja?

Nah, sekarang coba kembali ingat kisah Nabi Muhammad . Kita semua tahu betapa Rasulullah sangat mencintai umatnya. Beliau begitu ingin supaya keindahan ajaran Islam meluas ke penjuru bumi, termasuk sampai pada penduduk Thaif. Tapi apa yang beliau terima? Tak lebih dari umpatan dan cacian. Lantas apakah itu menjadikan Rasulullah menaruh dendam dan benci? Apakah Rasulullah mengamini tawaran malaikat penjaga gunung yang dikirim Allah untuk menyanggupi jika beliau ingin supaya penduduk Thaif dihukum? Apakah Rasulullah menghendaki azab diturunkan kepada mereka? Ternyata tidak.

Beliau tidak melakukannya. Duh, sampai di sini saja saya dibuat haru akan indahnya akhlak beliau. Padahal beliau adalah kekasih Allah. Toh mengaminkan tawaran malaikat penjaga gunung untuk meratakan penduduk Thaif dengan gunung al-Akhasyabain juga bukan merupakan dosa bagi beliau. Tapi Nabi Muhammad sama sekali tidak melakukannya. Jangankan dendam atau benci, mengacuhkannya saja beliau tidak. Laki-laki mulia itu memaafkan penduduk Thaif, memaafkan dengan melampaui titik nol. Mari kita simak jawaban beliau pada malaikat penjaga gunung.

“Bahkan aku berharap kelak Allah memunculkan dari tulang punggung mereka suatu kaum yang menyembah Allah semata, dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun.”

See? Jawaban macam apakah yang keluar dari Nabiyullah kita tercinta? Sesuatu yang boleh jadi terdengar asing di telinga kita hari ini. Beliau justru mendoakan penduduk Thaif, supaya anak keturunan mereka menjadi penyembah Allah yang taat. Bayangkan ketika kita dikecewakan, dikhianati, dizalimi, tapi kita memilih untuk tidak membenci, tidak pula mengacuhkannya seolah-olah tak pernah hadir. Sebaliknya, kita memilih untuk mendoakannya dengan penuh kasih, “Ya Allah, mudahkanlah segala urusannya, jadikan keturunannya kelak menjadi hamba yang taat seutuhnya kepada Engkau.” Ya, itulah memaafkan yang dicontohkan oleh Rasul . Tidak hanya sampai “let it go,” tapi sampai pada level “wish them all the best”.

Maka, jika hari ini masih ada dari kita yang terbesit dalam kepala, “Gak apa-apa, aku sudah maafin dia. Nanti juga dia akan dapat balasannya, kok.” atau “Tuh kan dia jadi begitu, habisnya dulu ngezalimin orang sih.” Dear, semoga kita lekas sadar dan terselamatkan. Sadar bahwa kita adalah bagian dari umat Nabi Muhammad , yang sudah selayaknya meneladani beliau. Kita bisa memilih untuk mendoakan kebaikan-kebaikan sebagaimana Rasul telah mencontohkan. Kemudian, semoga kita selamat dari ujian memaafkan. Tidakkah cinta selalu membutuhkan pembuktian? Ketika kita mengaku cinta pada Dia, bukankah sudah selayaknya kita memberi bukti dengan meniru perangai kekasih-Nya supaya kita juga ikut dicinta?

Yuk, memaafkan lebih dari titik nol. Bukan apa-apa, sebab ia jauh lebih menenteramkan hati dan menghadirkan bahagia. Sebab itulah yang dicontohkan oleh suri tauladan kita tercinta.



Catatan

Memaafkan bukan berarti melupakan. Memaafkan adalah ketika kita ingat, dan kita baik-baik saja ketika mengingatnya, bahkan kita bisa mengambil hikmah darinya. Rasulullah pernah ditanya oleh Ibunda Aisyah, “Apakah engkau pernah menghadapi suatu hari yang lebih berat daripada perang Uhud?” kemudian beliau pun menjawab, bahwa peristiwa di Thaif dan perlakuan penduduknya adalah yang paling berat yang pernah beliau alami. Begitulah, Nabi Muhammad tidak lupa, tapi beliau tulus memaafkan.

“Wahai Zaid, sesungguhnya Allah akan memberi kemudahan dan jalan keluar…” begitu ucap beliau kepada Zaid, ketika keduanya hendak pulang dari Thaif menuju Makkah.

Keimanan yang paling indah, adalah yang dimiliki oleh dirinya, laki-laki paling keren yang pernah ada—Nabi Muhammad ﷺ.

 

Ditulis di Tangerang,

Pada 16 September 2020

2.12 am