Monday, June 28, 2021

Berceritalah

Hai, apa kabar kamu yang di sana? Bersyukur ya, di tengah keramaian media sosial yang riuh dan begitu gaduh, kita masih bisa bertukar sapa di ruang sepi yang satu ini. Ya, kadang diskusi kita dalam hening terasa lebih menghangatkan, bukan?

Aku harap, semoga kamu baik-baik saja. Belakangan hidup memang terasa tak mudah bagi banyak orang, dan mungkin saja kita salah satunya. Namun, bukankah tak ada janji yang lebih indah dari kesulitan yang akan hadir beriringan dengan kemudahan-kemudahan?

Hmm.. Jadi, ada cerita apa dalam kehidupanmu? Adakah kabar yang perlu aku tahu? Atau setidaknya, yang bisa kau bagi denganku. Tak peduli sereceh apapun itu. Sepertinya akan menyenangkan jika aku bisa mendapat sedikit kabar darimu. Oh iya, ku pikir, kamu harus tahu bahwa di dunia ini akan ada seseorang yang sama sekali tak keberatan mendengar kisahmu, rapuhmu, bahagiamu, sedih dan senangmu. Tentu saja tak selalu aku. Tapi kalau kau mau cerita padaku kali ini, insyaAllah akan ku dengarkan baik-baik dengan senang hati.

Beberapa waktu lalu, aku pernah bertemu dengan seorang ibu. Ia menangis, merengek dalam panjang sujud di salah satu salat fardhu. Sebelumnya kami sempat berpapasan di tempat wudhu. Kamu boleh percaya atau tidak, tapi ibu itu membuatku tak bisa keluar dari dalam toilet. Iya, dia mengunci pintunya dari luar. Setelah beberapa kali aku ketuk, tak lama pintu itu kembali terbuka. Wajah kami berhadapan sejenak. Coba tebak, bagaimana ekspresinya?

Sepertinya kamu salah. Ibu itu menatapku tajam seperti orang yang tengah marah dan kesal. Ada badai di kedua bola matanya. Aku enggan menatap lama-lama. Kusungging senyum, lantas ia melengos masuk ke dalam toilet menggantikan aku. Aneh dan jujur saja, agak meyebalkan. Tapi ya sudah, bahkan saat itu kukira ia memiliki gangguan atau semacamnya. Ku pikir demikian. Ternyata, aku salah besar.

Ya, nyatanya aku melihat ibu itu menangis, merajuk di atas sajadah. Ia membuka Al-Qur'an lembar demi lembar, beberapa kali ku dengar isak tangisnya beriringan dengan suara parau memanggil Rabb-nya. "Yaa Allah..." begitu ujarnya. Segera saja aku menyesali praduga tak berdasarku beberapa waktu sebelumnya, yang mengira si ibu memiliki akal yang barangkali kurang sehat.  

Rasa jengkel yang  sempat hadir sebab aku dikunci dari luar toilet, ditambah menerima sikap yang jauh sekali dari kata ramah, segera ku buang jauh-jauh. Baiklah, beliau sepertinya tengah punya masalah yang jauh dari kata mudah. Dan sebaiknya aku segera membereskan masalah dengan hatiku yang sudah seenaknya berprasangka tanpa dasar jelas.

Aku masih ingat kejadian itu dengan baik. Ada pembelajaran penting yang aku dapat: setiap orang menghadapi perjuangannya masing-masing. Kadang kita terlalu serampangan dalam memberikan penilaian pada orang lain, hanya berdasarkan suatu kejadian atau bahkan hanya dalam satu kali papas. Jika ia terlihat begitu menyebalkan, boleh jadi saat itu ia tengah mengalami hari yang jauh dari menyenangkan, dan berkali-kali menguji perasaannya. Sebaliknya, jika ia terlihat begitu sempurna dan tanpa cela, bukan berarti ia tak pernah merasakan sedih atau kecewa seperti manusia lainnya. Pada akhirnya, kita sama-sama manusia.

Hei, jadi bagaimana kabarmu? Aku harap, kamu baik-baik saja. Titip salam syahdu untuk langit di kotamu yang boleh jadi sama, atau mungkin berbeda dengan kotaku. Berceritalah. Semoga kita masih diberi waktu.

Sumber Gambar

Ditulis di Bumi Pasundan,

28 Juni 2021.

Sunday, June 27, 2021

Ambulans dan Suara Hujan

Belakangan ini, bumi pasundan terasa dingin sekali. Suara mesin kulkas, rintik hujan, juga kendaraan saling sahut menyahut terdengar dari ruang kerja kami. Sayang, alih-alih syahdu, justru terdengar kelabu tiap sirine ambulans mampir ke gendang telinga. Ya, kantor kami duduk berdampingan dengan rumah sakit dan laboratorium kesehatan. Belakangan ini, Bandung memang dingin tersebab cuaca yang seringkali hujan. Namun ia juga panas oleh jumlah lonjakan kasus Covid-19. Bukan, bukan hanya di sini, melainkan juga di seluruh Indonesia barangkali.

Aku masih ingat ketika pertama kali televisi ramai membicarakan bahwa ada dua orang terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia kali pertama. Pasien 1 dan Pasien 2. Kala itu kita masih bisa dengan "gagah" memberi label nomor. Sekarang? entah, mendengar ada berapa jumlahnya saja mungkin membuat beberapa orang enggan menyimak lebih lanjut. Bukan karena tidak peduli, tapi karena terlalu membuat pilu hati. Saat itu aku di dalam perjalanan naik bis dari Bogor ke Jakarta. Aku duduk di kursi paling depan, sehingga terlihat dengan jelas lalu lalang orang dan kendaraan di jalanan. Kamu tahu? saat itu semua orang berbondong-bondong mengenakan masker. Semuanya, nyaris tanpa terkecuali. Bapak sopir, pedagang kaki lima, pengendara motor, juga orang-orang yang riuh tengah pulang usai dari tempat kerja. Ada satu yang paling kuingat saat itu: raut wajah mereka.

Meskipun mengenakan masker, aku dapat menangkap garis-garis kekhawatiran. Garis-garis takut dan cemas. Barangkali karena akan menghadapi sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Hal itu juga tampak pada ekspresi seorang bapak yang masuk ke dalam bis, dan duduk di sebelah kananku. Saat itu bis sedang penuh. Beliau duduk sembari tangannya merogoh kantong, lalu mengeluarkan selembar masker dan mengenakannya. Kami terlibat obrolan yang sangat singkat.

"Sudah ada dua, ya."

"Iya, Pak." Lalu hening.

Bahkan, tanpa menyebutkan topik pembicaraannya, kami sama-sama tahu apa yang kami bicarakan. Pikiran kami seolah sama. Tidak, bukan hanya aku dan si bapak tadi. Tapi juga barangkali seluruh isi penumpang bis.

Hari ini, setelah lebih dari satu tahun peristiwa itu terjadi, nyatanya kita telah banyak kehilangan. Kehilangan pekerjaan, kesempatan, hingga salah satu yang paling menyakitkan: kehilangan orang yang dicinta. Bangsa kita bahkan kehilangan ulama, guru, juga putra-putri terbaiknya. Rangkaian peristiwa yang harusnya lebih dari cukup untuk membuat kita merenung. Tidakkah semua kehilangan itu memberikan kita banyak pelajaran?

Semoga kita termasuk dari orang-orang yang mengambil pelajaran. Jika kita menghadapinya bersama-sama, agaknya ini akan jauh lebih mudah. Sama-sama berdo'a, dan tentu saja sama-sama menjaga protokol kesehatan demi kebaikan kita semua. Hari ini, barangkali raut khawatir dan cemas sebagian dari kita tak sekuat dulu. Semoga itu terjadi bukan karena kita abai dan tak peduli, tapi karena kita telah banyak belajar hingga bisa menghadapinya dengan baik. Bagi sebagian yang lain, boleh jadi hari-hari inilah justru hari yang paling mendebarkan. Ketika kita kembali mengingat deret pertanyaan tentang pandemi seperti waktu kemarin-kemarin: kapan ini selesai?

Baik kita yang saat ini tengah diuji dengan kesehatan, maupun diuji dengan kondisi sakit, semoga ketenangan selalu hadir dalam hati kita. Semoga keimanan tak pernah pergi dari relung jiwa. Aamiin allahumma aamiin.

Sumber Gambar

Ditulis di Bandung,
23 Juni 2021