Belakangan ini, bumi pasundan terasa dingin sekali. Suara mesin kulkas, rintik hujan, juga kendaraan saling sahut menyahut terdengar dari ruang kerja kami. Sayang, alih-alih syahdu, justru terdengar kelabu tiap sirine ambulans mampir ke gendang telinga.
Ya, kantor kami duduk berdampingan dengan rumah sakit dan laboratorium kesehatan. Belakangan ini, Bandung memang dingin tersebab cuaca yang seringkali hujan. Namun ia juga panas oleh jumlah lonjakan kasus Covid-19. Bukan, bukan hanya di sini, melainkan juga di seluruh Indonesia barangkali.
Aku masih ingat ketika pertama kali televisi ramai membicarakan bahwa ada dua orang terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia kali pertama. Pasien 1 dan Pasien 2. Kala itu kita masih bisa dengan "gagah" memberi label nomor. Sekarang? entah, mendengar ada berapa jumlahnya saja mungkin membuat beberapa orang enggan menyimak lebih lanjut. Bukan karena tidak peduli, tapi karena terlalu membuat pilu hati. Saat itu aku di dalam perjalanan naik bis dari Bogor ke Jakarta. Aku duduk di kursi paling depan, sehingga terlihat dengan jelas lalu lalang orang dan kendaraan di jalanan. Kamu tahu? saat itu semua orang berbondong-bondong mengenakan masker. Semuanya, nyaris tanpa terkecuali. Bapak sopir, pedagang kaki lima, pengendara motor, juga orang-orang yang riuh tengah pulang usai dari tempat kerja. Ada satu yang paling kuingat saat itu: raut wajah mereka.
Meskipun mengenakan masker, aku dapat menangkap garis-garis kekhawatiran. Garis-garis takut dan cemas. Barangkali karena akan menghadapi sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Hal itu juga tampak pada ekspresi seorang bapak yang masuk ke dalam bis, dan duduk di sebelah kananku. Saat itu bis sedang penuh.
Beliau duduk sembari tangannya merogoh kantong, lalu mengeluarkan selembar masker dan mengenakannya. Kami terlibat obrolan yang sangat singkat.
"Sudah ada dua, ya."
"Iya, Pak." Lalu hening.
Bahkan, tanpa menyebutkan topik pembicaraannya, kami sama-sama tahu apa yang kami bicarakan. Pikiran kami seolah sama. Tidak, bukan hanya aku dan si bapak tadi. Tapi juga barangkali seluruh isi penumpang bis.
Hari ini, setelah lebih dari satu tahun peristiwa itu terjadi, nyatanya kita telah banyak kehilangan. Kehilangan pekerjaan, kesempatan, hingga salah satu yang paling menyakitkan: kehilangan orang yang dicinta. Bangsa kita bahkan kehilangan ulama, guru, juga putra-putri terbaiknya. Rangkaian peristiwa yang harusnya lebih dari cukup untuk membuat kita merenung. Tidakkah semua kehilangan itu memberikan kita banyak pelajaran?
Semoga kita termasuk dari orang-orang yang mengambil pelajaran. Jika kita menghadapinya bersama-sama, agaknya ini akan jauh lebih mudah. Sama-sama berdo'a, dan tentu saja sama-sama menjaga protokol kesehatan demi kebaikan kita semua.
Hari ini, barangkali raut khawatir dan cemas sebagian dari kita tak sekuat dulu. Semoga itu terjadi bukan karena kita abai dan tak peduli, tapi karena kita telah banyak belajar hingga bisa menghadapinya dengan baik. Bagi sebagian yang lain, boleh jadi hari-hari inilah justru hari yang paling mendebarkan. Ketika kita kembali mengingat deret pertanyaan tentang pandemi seperti waktu kemarin-kemarin: kapan ini selesai?
Baik kita yang saat ini tengah diuji dengan kesehatan, maupun diuji dengan kondisi sakit, semoga ketenangan selalu hadir dalam hati kita. Semoga keimanan tak pernah pergi dari relung jiwa. Aamiin allahumma aamiin.
Ditulis di Bandung,
23 Juni 2021
No comments:
Post a Comment