Sunday, February 23, 2020

Di Sebuah Ruang yang Selama Ini Kita Sembunyikan

Manusia adalah makhluk dengan rupa-rupa emosi yang beragam sekali. Kita bisa menjabarkan perasaan senang menjadi rasa bangga, optimis, tertarik. Kita bisa merincikan perasaan sedih menjadi kesepian, rentan, depresi, menyesal. Kita juga dengan ajaibnya, memiliki macam-macam rasa marah mulai dari cemburu, terhina, hingga frustasi.

Saking beragamnya, sampai kadang-kadang kita dibuat bingung atas apa yang sebenarnya tengah kita rasakan, emosi seperti apa yang sebenarnya sedang meliputi diri kita. Maka istilah harap-harap cemas dan mau tapi malu barangkali tak heran jadi ada. Begitu juga dengan ekspresi menangis sambil tertawa, atau tertawa sambil menangis. Kerumitan yang hadir sebab emosi dalam diri manusia.

Tapi yang pasti, manusia secara fitrah memiliki banyak sekali keinginan. Ekspektasi yang tidak hanya ada terhadap orang lain, tapi juga terhadap dirinya sendiri. Bahkan kepada macam-macam hal yang terjadi padanya sehari-hari.

Di sebuah ruang yang selama ini kita sembunyikan, ternyata ada berbagai emosi yang terkumpul. Sayang ia ibarat singa tidur. Jika terusik, aumannya mampu meretakkan sudut-sudut ruang. Amukannya bahkan bisa meluluh lantakkan berlapis benteng yang sudah susah payah kita bangun. Ironis, sebab selama ini kita menyembunyikannya bukan untuk tak terlihat orang lain, melainkan supaya tak terlihat oleh diri sendiri. Singa tidur yang malang sekali. Oh bukan, mungkin kitalah yang sebenarnya patut dikasihani.

Tapi begitulah namanya manusia. Kadang terlalu betah berlama-lama menyembunyikan campur aduk emosi yang entah ia sadari atau tidak, lantas mengganggu kesehariannya. Ini tentu bukan tentang rahasia. Sebab, hei, siapa pun berhak punya rahasia, kan? Jadi tak masalah. Tapi ini tentang manusia yang untuk membohongi dirinya sendiri, ia sedemikian tega. Ia tertatih menciptakan fakta-fakta baru, memanipulasi emosi, menyembunyikan singa tidur yang entah jumlahnya ada berapa.

Lalu tanpa disadari, singa-singa tidur itu menjelma menjadi musuh bagi dirinya sendiri. Menyerang pertahanan dirinya dari dalam. Mengerikan sekali.

Sumber Gambar
Maka kepada kita, manusia, lepaskanlah. Apa-apa yang belum termaafkan, maafkanlah. Apa-apa yang membuat sesak, rasakanlah. Sungguh tak apa. Hingga perlahan kesesakan itu menjelma jadi bukan apa-apa, sebab kita telah menerima tanpa perlu bersandiwara. Penerimaan dari diri sendiri amat berharga, dan kita lebih dari layak untuk mendapatkannya.

Kita adalah manusia, makhluk dengan rupa-rupa emosi yang beragam sekali. Jadi tak perlu khawatir. Kita memang tak sempurna, tapi kita punya As-Shamad, Penguasa yang Mahasempurna dan Segala Sesuatu Bergantung Kepada-Nya. :)


Ditulis di Bogor,
Pada 7 Februari 2020, 12.08 WIB

Karena Ibu Perempuan

"Ibu masih suka marah. Ya begitulah ibu. Tapi gak apa-apa, ibu kan perempuan, dan aku tahu perempuan itu bengkok. Jadi berbakti aja sebagai anak, pelan-pelan.."

***

Mataku tertahan di lembar responden yang satu itu. Enggan berpaling. Kuulangi lagi membacanya perlahan dari pertanyaan tertutup, mendalami kembali jawaban-jawaban si responden usia belasan tahun itu tentang pengasuhan yang dilakukan ibunya. Aku tak bisa menyembunyikan rasa kagumku. MasyaaAllah, keren!

Jawaban dari anak laki-laki itu adalah salah satu yang paling kuingat hingga hari ini. Atau mungkin nyaris satu-satunya yang kuingat. Sebagai tugas akhir kuliah, aku meneliti tentang pengasuhan spiritual, metode sosialisasi orang tua, kualitas lingkungan sekolah, serta hubungan dan pengaruhnya terhadap kecerdasan spiritual remaja di Jakarta. Sebenarnya aku melanjutkan penelitian S1 dengan topik serupa, hanya sedikit berbeda di pemilihan variabel dan perbandingan sekolah.

Di jenjang S1, aku coba mencari tahu perbandingan antara empat sekolah di Tangerang Selatan dengan karakteristik berbeda, ada yang berasrama dan tidak berasrama. Adapun ketika merampungkan tugas akhir pascasarjana kemarin, aku memilih dua sekolah, SMA dan MAN yang sama-sama berlokasi di ibu kota.

Sebenarnya, data yang aku kumpulkan berupa pertanyaan tertutup. Tapi aku sengaja memberikan pertanyaan terbuka di bagian akhir kuesioner. Tidak untuk diolah sebab penelitianku kuantitatif, melainkan sebagai informasi tambahan dan pemenuhan rasa ingin tahuku sebagai peneliti. Hanya dua pertanyaan, menanyakan secara umum bagaimana pendapat responden tentang pengasuhan dan metode sosialisasi yang ayah dan ibunya masing-masing lakukan.

Lalu aku menemukan jawaban ini dari sekian banyak jawaban. Jawaban dari seorang anak laki-laki kelas sebelas SMA ketika kuminta berpendapat tentang pengasuhan yang ibunya lakukan.

"Ibu masih suka marah. Ya begitulah ibu. Tapi gak apa-apa. Ibu kan perempuan, dan aku tahu perempuan itu bengkok. Jadi berbakti aja sebagai anak, pelan-pelan.."

Aku tidak pernah menyangka akan mendapat jawaban demikian. Saat itu, rasanya ingin sekali bertanya pada si adik responden, siapa yang mengajarinya, darimana ia mendapatkan konsep seperti itu. Tapi urung sebab keterbatasan waktu. Aku mencerna lagi jawaban-jawabannya pada kuesioner pengasuhan dan metode sosialisasi. Begitu diukur, persepsinya tentang pengasuhan dan metode sosialisasi yang sang ibu beri memang tidak bisa dikatakan baik, tapi juga tidak terlalu buruk.

Memang, dari dua ratusan responden tidak sedikit yang seolah mengeluhkan orang tuanya seperti ini atau seperti itu. Meski kabar baiknya, jauh lebih banyak lagi yang bersyukur atas perlakuan orang tua kepada mereka. Namun jawaban unik seperti yang tengah aku ceritakan disini sangat bisa dihitung jari. Terbatas sekali.

Aku tidak akan membahas tentang penjabaran salah satu hadits yang menyebutkan tentang "bengkok" nya perempuan. Itu tentu bukan kapasitasku. Silakan tanya atau cari tahu pada ahlinya. Tapi selama ini, pesan yang seringkali lalu-lalang kudapati lebih sering menyorot bengkoknya perempuan sebagai istri. Jarang sekali aku menemukan penjabaran tentang bengkoknya perempuan dengan sudut pandang perempuan itu sebagai ibu, sebagai kakak atau sebagai adik.

Jawaban respondenku sendiri lah yang berhasil menghadirkan pandangan baru ini. Oh iya, benar juga! bahkan untuk aku yang perempuan, ini memberi pemahaman lebih, bahwa diriku sendiri memang punya fitrah "bengkok" itu. Supaya sadar dan lebih mengenal diri.

Aku sama sekali tidak bertutur tentang bengkoknya perempuan yang seringkali disalahpahami membuat ia otomatis berada di bawah laki-laki secara kedudukan. Menurutku, kita tidak bisa mengatakan bahwa laki-laki lebih baik dari perempuan atau sebaliknya (kecuali kalau diperinci, misalnya dalam membaca peta laki-laki umumnya lebih baik, tapi dalam mencari benda perempuan umumnya jauh lebih unggul. Atau fakta lain yang memang menyebutkan bahwa laki-laki lebih mampu berpikir secara logis dan global, sedang perempuan umumnya lebih detail dan mengandalkan perasaan). Toh pada akhirnya, masing-masing memiliki fitrah, peran, juga ranahnya sendiri. Allahu a'lam.

Yang ingin aku tekankan, lebih pada respondenku yang menjawab demikian. Sebagai anak dan sebagai laki-laki, kukira ia memiliki pemikiran yang cukup matang dibandingkan teman-teman seusianya saat itu. Ia berhasil melewati pagar persepsi bahwa dirinya adalah anak, menuju posisi yang lebih jelas, yaitu bahwa dirinya adalah seorang anak yang tengah menghamba pada Rabb-nya.

Terima kasih yaa, Dik!

Sumber Gambar

Catatan 1: Aku tidak ingat persis satu per satu tulisannya, tapi redaksi jawaban si adik responden kurang lebih demikian.

Catatan 2: Informasi tentang fitrah dari masing-masing kita baik untuk dijadikan alat bantu dalam memahami diri sendiri dan orang lain. Tapi tentu sangat tidak apik jika dijadikan sebagai alat pembenaran pribadi.


Ditulis di Bogor, pada 6 Februari 2020, 11.42 WIB

Telepon Umum

Sebelumnya, aku ingin tanya beberapa hal. Kapan terakhir kali kamu menggunakan telepon umum? mungkin sudah lama sekali, ya? Lalu kapan terakhir kali kamu merasakan rindu? mungkin kemarin lusa, atau barangkali sekarang kamu tengah merasakannya.

Aku sedang rindu, dan tiba-tiba saja teringat akan telepon umum. Dulu, mungkin sembilan atau sepuluh tahun lalu, telepon umum adalah salah satu benda favoritku. Ia ada di sisi tembok pos satpam sekolah, dan kehadirannya membuatku sering-sering mengumpulkan recehan. Supaya begitu jam sekolah selesai, aku bisa bergegas menuju padanya dan menelepon siapa saja yang aku rindu. Jadi jangan heran, dulu aku menyimpan satu lembar kertas berisi nomor-nomor penting untuk kutelepon melalui telepon umum.

Seru, ya. Dahulu rindu membutuhkan usaha lebih, setidaknya perlu berjalan kaki menuju telepon umum. Harap-harap cemas menunggu waktu pulang sekolah hanya untuk sekadar bertukar sapa. Aku masih ingat beberapa percakapan di telepon umum, dengan orang tua, dengan saudara, juga dengan beberapa teman. Sebenarnya di sekolah berasrama kami saat itu, bisa sih mengakses telepon genggam. Tapi hanya pada akhir pekan, dan sangat terbatas sebab hanya tersedia tiga gawai untuk diakses puluhan orang. Aku terlalu tak sabar menunggu akhir pekan. Oh iya, satu lagi. Jangan kira gawai kami saat itu punya aplikasi seperti WA, Line, atau apalah yang bisa video call. Tidak. Kami masih modal SMS dan telepon.

Tapi sejak tingkat dua dan di akhir-akhir waktu sekolah saat itu, telepon umum mulai jarang digunakan. Aku juga sudah lupa kapan keduanya mulai tidak berfungsi. Perkembangan teknologi juga barangkali memengaruhi. Kalau ada keperluan mendesak, kami mulai meminta bantuan pada wali asrama untuk berkomunikasi, biasanya untuk menghubungi orang tua.

Jika pada saat itu saja rindu membutuhkan usaha lebih, apalagi dulu sekali ya, ketika orang tua kita masih di bangku sekolah. Jangankan telepon rumah apalagi gawai yang kini merajalela. Barangkali bertukar surat melalui pos adalah bentuk komunikasi termewah pada masanya.

Kadang kemudahan memang membuat kita nyaris kehilangan makna. Hari ini, di tengah mudahnya alat komunikasi, kapan terakhir kali kita melepas rindu? apakah cukup hanya dengan melihat-lihat laman sosial medianya? apakah cukup hanya dengan melihat status terbaru saudara atau keluarga kita? atau mungkin diam-diam menuliskan nama beberapa teman lama kita di mesin pencarian?

Jangan-jangan kita semua adalah orang yang tengah rindu, tapi lupa caranya bertukar sapa. Kita terlalu sok tahu untuk mengetahui kabar seseorang hanya dengan menerka-nerka. Kita terlalu takut memulai pertanyaan "apa kabar" karena terdengar basa-basi sekali sebab kita nyaris setiap hari melihat postingan media sosialnya. Kita menganggap terlalu kaku untuk menanyakan kondisi kesehatan seseorang, sebab dia baru saja ikut berkomentar di salah satu grup daring dan kita tebak bahwa dia pasti baik-baik saja.

Jangan sampai teknologi membuat hari-hari kita jadi hilang makna. Mengapa tak memulai lagi untuk saling bicara?

Iya, bahkan pada orang-orang terdekat kita. Seperti orang tua, misalnya. :)

Sumber Gambar
Ditulis di Bogor, pada 5 Februari 2020, 14.57 WIB

Saturday, February 22, 2020

Di Tangga Turun

Siang itu, aku hendak menaiki tangga untuk transit naik kereta. Mungkin ada sekitar dua puluh anak tangga yang harus kutempuh, dan setelahnya aku harus turun lagi sebab hanya hendak berpindah peron. Perjalanan masih panjang, karena nantinya aku masih perlu transit lagi. Tapi siang itu jauh dari kata melelahkan. Selain karena hendak menemui kawan yang sudah dua tahun tak bersua, aku mendapati akhir pekan Jakarta tengah gerimis manis nan romantis. Belum lagi bawaan tas yang tak seberat biasanya, seperti jika aku bolak-balik Jakarta-Bogor. Siang itu aku hanya mengenakan tas selempang kecil berisi beberapa bawaan wajib.

Ada dua sisi tangga. Tangga untuk turun dan tangga untuk naik. Aku mengantre bersama banyak orang lain yang hendak menaiki tangga. Sebagian dari mereka mungkin sama sepertiku, hendak transit. Sebagian yang lain mungkin telah sampai pada stasiun tujuannya. Tangga naik terlihat padat merayap. Sangat berkebalikan dengan tangga turun yang terlihat lengang.

Gerimis yang manis itu semakin terasa indah ketika aku mendapati kejadian di tangga turun. Kejadian sederhana yang mungkin setiap orang di jalur naik-turun siang itu turut menyaksikannya.

Seorang perempuan, mungkin usianya berkisar tiga puluhan, tengah berjalan dengan perempuan yang terlihat sudah berumur dan kuduga itu ibundanya. Keduanya hendak turun dari tangga, sambil si perempuan muda menenteng begitu banyak bawaan sampai-sampai ia terlihat agak kesulitan. Di tengah ramainya manusia siang itu, aku terlalu asyik menikmati suasana sampai-sampai lupa kalau seharusnya aku bisa turun tangan membantu, meski harus melewati barisan orang yang sedang mengantre. Ketika ide itu terbesit, langsung urung karena niatku didahului oleh seorang laki-laki yang datang, menerobos kumpulan manusia dari belakang.

Ia mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat pada si perempuan muda untuk menunggu sampai ia datang membantu. Laki-laki itu dengan sigap menaiki tangga, dan tanpa waktu lama segera mengambil alih semua bawaan si perempuan muda. Hal yang aku tak yakin bisa melakukannya. Laki-laki itu lantas mendampingi mereka turun tangga hingga melewatiku yang masih antre, kemudian mengantar keduanya hingga masuk ke salah satu gerbong kereta.

Sederhana sekali memang. Tapi sejak dulu, aku suka sekali people watching seperti ini. Menarik memperhatikan tingkah laku manusia, merekam kebaikan-kebaikan (juga mungkin keanehan) mereka.

Laki-laki itu, mungkin memang seorang petugas di stasiun. Terlihat dari gaya dan pakaiannya. Kita boleh saja berkomentar bahwa wajar saja dia membantu seperti itu karena memang itu adalah bagian dari tugasnya. Tapi kita juga bisa memilih untuk memberi apresiasi, menaruh hormat atas inisiatif dan kesigapannya menghadapi sebuah situasi.

Yang jelas, siang kami terasa jadi lebih manis. Mungkin laki-laki yang kala itu bertugas tidak pernah tahu bahwa dari sekian banyak mata yang menyaksikan, ada yang terinspirasi dan merasa terhibur dengan aksi kebaikan yang ia lakukan. Bahkan meski kejadiannya tidak lebih dari tiga menit, tapi ia mampu menambah semangat dan secercah harap.

Kita sungguh masih punya orang-orang baik.
Terima kasih, Pak! semoga berkah.


Foto pribadi, bukan saat kejadian
Ditulis di Bogor, pada 4 Februari 2020, 14.32 WIB