Thursday, December 26, 2013

Terbaik



Selagi bisa kujadikan ia sebagai energi besar, selagi ada kebaikan yang tersimpan padanya. Tak apa. Tak masalah. Selagi itu baik untukku. Namun, jika ada jalan lain yang mampu membuatku menari bersama kebaikan yang lebih, tentu aku akan memilih jalan lain itu. Kita mungkin takkan pernah mengetahui tentang kebaikan-kebaikan apa yang ada di hadapan kita. Tentang seberapa kadar kebaikan yang hendak kita rengkuh atas sebuah keputusan yang kita pilih. Tapi bukankah kita tahu, bahwa Tuhan Maha mengetahui mana yang terbaik bagi penyembah-Nya? bahkan gerak partikel pun tahu, meminta pada Tuhan selalu menjadi pilihan yang terbaik.

Friday, December 13, 2013

Kotoran Kucing



Kurang-lebih satu minggu yang lalu, lorong asrama saya disibukkan dengan hadirnya kotoran kucing di tengah koridor. Tepat berada di depan kamar saya. Mengganggu memang. Bagaimana tidak, selain baunya yang tidak sedap, letaknya yang ‘strategis’ sempurna membuat anggota lorong harus melewatinya setiap bolak-balik kamar. Bagi saya yang sudah pernah menjadi anak asrama sebelumnya, hal semacam ini jadi biasa saja. Toh dulu malah saya pernah mendapati induk kucing yang melahirkan di atas lemari saya. Jadi kalau perihal kotoran kucing sih, bukan hal luar biasa lagi.

Hari itu, saya merasa agak lelah. Fisik yang beberapa waktu belakangan sedikit bekerja ekstra. Beruntung, akhirnya saya bisa pulang siang hari dan tidur di atas kasur setelah beberapa waktu terakhir tidur di lantai. Sore hari, sayup-sayup saya terbangun oleh ocehan beberapa kawan yang (masih juga) membicarakan kotoran kucing. Awalnya saya acuh. Lagipula kepala saya rasanya tengah diisi beberapa persoalan yang belum selesai. Lalu entah darimana, ada suatu dorongan kuat untuk bergerak. Melakukan sesuatu. 

Saya ingat sebuah peristiwa ketika saya masih duduk di masa aliyah. Saat itu, kamar kami terasa tidak nyaman. Tiga hari yang dilingkupi aroma tidak sedap. Awalnya, kami berfikir mungkin aroma itu hadir dari atap genteng. Bangkai tikus, misalnya. Sampai suatu ketika, ada salah seorang dari kami yang mendapati bahwa ternyata aroma tak sedap itu berasal dari anak kucing di atas lemari yang sudah tak bernyawa. Kami sempat dibuat bingung. Bagaimana cara memindahkan bangkai kucing dari atas lemari. Ditambah umurnya yang sudah terbilang puluhan jam. Menyengat. Menusuk hidung.

Saya lupa bagaimana awalnya. Yang jelas, pada akhirnya kami bersama-sama memindahkan bangkai kucing itu, lantas membersihkan TKP. Menyemproti atas lemari kami dengan ramuan pengharum. Menghapus jejak-jejak aroma tak sedap. Yang masih saya ingat betul adalah ketika kami saling menyemangati. Ayolah, yang mau jadi dokter, masa sama ginian aja ga berani. Guru keren! Gimana nanti bisa jadi keren di hadapan murid-murid kalo Cuma perihal mindahin bangkai kucing aja nyalinya tumpul!. Dahulu, sentilan semacam itu ngena sekali. Kami sadar, cita-cita kami bukan perihal mudah. Lantas, hal sederhana seperti ngurusin bangkai kucing saja, masa kami masih juga geleng kepala. Nggak keren, kan? Disanalah awalnya, bagaimana anak kucing tak bernyawa itu akhirnya berhasil pergi dari atas lemari kami.

Maka sore itu saya mencoba bergerak. Mencoba membenahi kotoran kucing yang sudah sekian jam menjadi akar pengganggu. Menjadi sumber keluhan-keluhan insan. Hei, siapa bilang kotoran kucing itu perihal sepele? Nyatanya ia mampu membuat banyak insan alpa dari bersyukur. Disinilah hebatnya. Siapa sangka, ketika saya mulai membersihkan kotoran kucing tersebut dengan alat seadanya; sebuah kantung plastik dan beberapa lembar kertas bekas, kejaiban itu datang. Salah seorang teman saya keluar kamar dan tertegun memandangi saya –yang tengah membersihkan kotoran kucing- lantas dia berkata “wow Riris, kamu hebat sekali. Pahlawan, mamen!” saya hanya menjawab sambil tertawa. Tanpa diminta, tahu-tahu ia menjadi partner saya membersihkan kotoran kucing. Peralatan kami semakin lengkap, segayung air dan sebuah kain pel. Tak lupa sarung tangan plastik demi melindungi tangan-tangan kami dari –yang katanya- makhluk asing itu. Kemudian ada seorang kawan lagi yang keluar kamar. Melihat kami, ia pun turut bergerak. Menyempurnakan aksi dengan sebotol pengharum dan juga sekotak tissue. Diam-diam saya kagum. Takjub. Hey, isn’t it cool? I didn’t know what will i do if there was only a plastic bag and some papers.

Mission completed! Selesai. Perihal kotoran kucing itu tuntas hanya dalam hitungan beberapa menit. Beberapa anggota lorong yang melihat aksi kami bahkan memberikan titel pada kami sore itu. Mereka menyebut bahwa kami –hha, apalah itu- adalah pasukan pahlawan bangsa. Saya jadi ingat kalimat yang belum lama saya jadikan status facebook dan diamini banyak orang. Tentang sebuah teori fisika sederhana. Dalam urusan gaya gesek, . Bahwa kita tentu membutuhkan gaya yang lebih besar saat hendak menggerakkan sesuatu. Mengubah posisi kedudukan benda agar tidak statis. Ketika sedikit saja sudah terlampaui ambang batasnya, maka gaya gesekan akan semakin kecil terasa. It’s quite hard to start our first step. Second, third, fourth,... you’ll get them easier than the first one. Memulai selalu saja membutuhkan energi lebih.

Pikiran mumet saya hari itu terbayarkan. Benar, Allah selalu menunjukkan keajaiban yang seringkali diluar dugaan. Benar sekali, ada semacam kepuasan tersendiri ketika kita menemukan kebermanfaatan untuk lingkungan. Sekecil apapun nilai manfaat itu. Padahal ini hanya perihal kotoran kucing yang sering luput dari perhatian. Siapa sangka, kotoran kucing mampu mengangkat pamor kami dengan sebuah sebutan keren; pahlawan bangsa. :P