Sunday, September 20, 2015

Temu

"Dari sekian banyak manusia yang hidup di bumi, kita lantas bertemu. Tidakkah itu ajaib?" katamu.

"Bukankah itu justru biasa-biasa saja? adalah hal yang sangat masuk akal, jika bumi yang disesaki manusia ini membuat dua diantaranya bertemu," kataku.

Mendengarnya, kamu tertawa.

"Kamu," ujarmu padaku, "kapan berhenti menggunakan logika secara berlebihan?"

"Aku serius. Ajaib itu milik kisah Adam dan Hawa. Bumi tanpa manusia -lalu mereka bertemu. Adapun kita, kalau aku tidak menjumpaimu ataupun sebaliknya, masing-masing kita akan tetap berpapasan dengan manusia lain." mendengarku, kamu geleng-geleng kepala.

"Bukan. Mereka bukan bertemu."

"Tapi?"

"Tapi dipertemukan. Dan kita juga begitu," kali ini senyum simpul menghiasi wajahmu.


Ah, sebenarnya aku tahu isi kepalamu -kadang-kadang. Dari sekian banyak manusia yang ada di bumi, kenapa Tuhan menjadikan kisah kita saling bersinggungan? kenapa kamu dipertemukan denganku, dan juga sebaliknya? Kenapa kamu atau aku tidak bertemu -dalam artian yang lebih sakral- dengan orang lain saja? kenapa akhirnya adalah kita? bukankah Tuhan memiliki skenario? Tidakkah itu ajaib?

Begitu, kan? kamu sejak dulu selalu mampu membuatku kagum. Kalau nanti putri kecil kita lahir, ajarkanlah padanya tentang itu. Bagaimana menjadi perempuan yang pandai mengatur kata-katanya, pandai menjaga lisannya, pandai menggunakan perasaannya, pandai membaca pembelajaran dari Tuhannya. Tenang saja, aku takkan membiarkanmu sendiri. Tentu aku turut serta dalam mendidik ia yang kita cinta. Hanya saja aku tahu, belai tanganmu tentu tak sebanding dengan sentuh kasar milikku.

Ah, sebenarnya aku tahu isi kepalamu -kadang-kadang. Tapi entah bagaimana lisanku memang tidak selihai lisanmu dalam mengungkapkan.

**

Foto diambil dari puncak Sikunir, Dieng, pada Agustus 2015. Tulisan ini terinspirasi dari kisah Bapak di Banjarnegara. Kisah yang kaya akan hikmah dan pelajaran hidup yang menghidupkan. Kami berjumpa dengan beliau tanpa ada unsur kesengajaan pribadi (namun boleh kau katakan ialah kesengajaan Tuhan -skenario Allah Azza wa Jalla- mempertemukan kami dengannya). Mungkin sewaktu-waktu, kisah pelajaran yang dibagikan oleh Bapak akan kami tulis di ruang berbeda. :)

Thursday, September 10, 2015

Manusia

Seutas udara dipilin

dibawa terbang

ditaruh harap.


Seraya redup terang lilin

kembali pulang

terkesiap.


Berkedip.

Gemericik.


Pada hari kutilang bernyanyi-

tatapku bisa jadi tiada lagi,

jemariku bisa jadi tak menari lagi.

Tapi kata dari jiwa-

tumpahan hati berupa aksara-

akan hidup menjelma nyata.


Ada.

Tiada.

Manusia.


Kota Hujan, 4 September 2015

Tuesday, September 8, 2015

Karakter Seperti Apa



Buku kecil berjudul ‘Agar Bidadari Cemburu Padamu’ karya Ustadz Salim A. Fillah ini saya selesaikan di perjalanan pulang menuju Jakarta akhir pekan lalu. Sengaja saya menandai beberapa bagian yang menurut saya –entah mengapa- memang perlu ditandai. :D

Salah satunya adalah bagian ini.

**

Mari kita ingat dua wajah yang kita rindukan, Ash Shiddiq dan Al Faruq. Abu Bakar dan ‘Umar adalah dua sosok yang begitu kontras dalam singsingan fajar ummat Muhammad ini. Kontras dalam fisik dan kontras dalam karakter. Abu Bakar begitu kurus sampai sarungnya selalu mengulur ke bawah dalam shalat meski sudah dibetulkan. Sedang ‘Umar, ia pernah membuat empat makmum jatuh terjengkang karena bersinnya saat memeriksa shaff shalat… Masyaallah!

Imam Muslim meriwayatkan salah satu episode indah tentang perbedaan karakter mereka berdua. Perbedaan yang membuahkan penyikapan lain terhadap para tawanan perang Badar. Tetapi, Subhanallah, dengarlah komentar Rasulullah tentang perbedaan mereka ini:

Sesungguhnya Allah melunakkan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih lunak dari susu dan Allah mengeraskan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih keras dari batu. Sesungguhnya engkau wahai Abu Bakar, bak Ibrahim yang berkata:

“Barangsiapa mengikutiku maka sesungguhnya ia termasuk golonganku, dan barangsiapa mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ibrahim 36)

Dan juga laksana ‘Isa yang berkata:

“Jika Engkau menyiksa mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hambaMu, dan jika Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Maidah 118)

Dan engkau wahai ‘Umar tak ubahnya seperti Musa yang berkata”

“… Wahai Rabb kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka, karena mereka tidak beriman hingga mereka menyaksikan siksa yang pedih.” (Yunus 88)

Dan sebagaimana Nuh yang berkata:     

“Rabbi, jangan biarkan seorang pun di antara orang kafir itu tinggal hidup di bumi!” (Nuh 26)

**

Saya jadi mengingat-ingat dialog yang pernah terjadi antara saya dengan seorang sahabat.

“Enak ya, kalau bisa ketemu Rasulullah. Pingin tanya banyak hal secara langsung.”

“Iyaa, pingin tanya. Dengan aku yang begini, harusnya seperti apa?”

“Hamba macam apa yang jadi sebaik-baik hamba dengan keadaan sekarang…”

Saat itu terbesit dalam benak saya kisah tentang para Ibunda kita, terfokus antara Siti Khadijah dan Bunda Aisyah. Keduanya sama-sama mulia. Sama-sama dicintai oleh Rasulullah . Sama-sama ahli syurga. Tapi sungguh, keduanya memiliki ciri khas tersendiri dengan karakter masing-masing. Satu yang membuatnya seragam; sama-sama mencintai Allah dan RasulNya.

Maka karakter apapun yang kita miliki, selagi koridor kita sama, biarlah ia menjadi penyemarak. Saling mengisi, saling mengindahkan. Mencintai Allah dan RasulNya bukanlah sebuah titik, melainkan proses. Berkelanjutan. Berkesinambungan. Ia membutuhkan ketegasan, membutuhkan pengorbanan. Ia membutuhkan reminder ketika kita lupa, membutuhkan penguat ketika kita melemah. Maka siapa yang menjamin diri kita lebih mencintai Allah dan RasulNya dibandingkan orang lain, atau sebaliknya? Siapa juga yang menjamin bahwa karakter yang kita –atau saudara kita- miliki adalah sebaik-baik watak seorang hamba? Tidak ada. Karena titik kita bukan disini, melainkan di akhirat nanti.

Jadi yang terpenting adalah,


Adanya kesadaran dalam diri kita untuk terus berusaha memperbaiki diri menjadi lebih baik sesuai dengan pemahaman yang kita yakini kebenarannya. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah sebagai suri tauladan. Terus meminta petunjuk, mohon dibimbing pada jalan yang lurus. Dan tentu saja; berusaha mencintai Allah dan RasulNya dengan ketegasan. Dengan kemantapan. Dengan kesungguhan. Dengan segala pengharapan. J

Sunday, September 6, 2015

Kebetulan

Kebetulan.
"Ummi tahu nggak?"
"Tahu apa?"
"Hehe.. Berarti Ummi belum tahu." bocah kecil itu memamerkan gigi. Perempuan yang disapa 'ummi' tertawa.
"Memang Amira mau bilang apa?"
"Ternyata umminya Nasya sama Ridho itu temannya Tante Zahra dan adiknya Ustadzah Firdha."
"Oh, iya? MasyaaAllah. Tahu darimana Amira sayang?" ujar perempuan itu seraya membungkuk, menyejajarkan tinggi dengan anak perempuannya.
"Amira main ke rumah Nasya sama Ridho Mi kemarin, bareng Ibu Guru. Disana ada tante Zahra sama ustadzah Firdha. Terus Amira diceritain deh. Kebetulan sekali ya, Mi." gadis kerudung cokelat itu tersenyum lebar.
"Hihi, Amira tahu tidak?"
"Tahu apa, Mi?" matanya membulat.
"Tidak ada yang kebetulan." yang berujar tersenyum simpul.
"Maksud Ummi?" kali ini dahinya mengkerut.
"Segala sesuatu yang kita jumpai, tempat yang kita kunjungi, kejadian yang kita alami, bahkan sampai hal 'sederhana' seperti kenapa Amira punya gigi, tidak ada yang kebetulan. Semuanya diatur sama Allah." mendengar perkataan perempuan itu, si gadis kecil geleng-geleng kepala tanda tidak paham.
"Kan nggak sengaja, Mi. Amira juga kalau nggak diajak bu guru ke rumah Nasya sama Ridho, ya nggak akan kesana. Kalau gigi kan semua orang juga punya, Ummi."
"Amira ingat waktu kita tanam cabai bareng sama Abi?"
"Ingat, Mi. Memangnya kenapa?"
"Waktu Amira tanya kenapa benih tumbuhan itu beda2, Abi jawab apa?"
"Kata Abi, hasilnya nanti juga akan beda2. Ada benih yang butuh air banyaak, ada yang tidak. Kan benih cabai nanti jadi pohon cabai. Berbeda bentuknya sama benih pepaya yang akan jadi pohon pepaya." tangan kecil itu bermain di udara. Menggambarkan perkataan sambil menatap ibundanya.
"Benar. Terus waktu itu ada berapa benih cabai yang mau Amira benihkan supaya tumbuh?"
"Hmm... Ada banyaaak, Mi. Dua puluh!"
"Tiga puluh, Amira sayang."
"Hhe iya Mi Amira lupa. Terus maksudnya apa, Mi?"
"Coba Amira bayangkan. Kalau satu saja pohon cabai yang sudah mulai tumbuh itu bisa bicara, ia akan berkata, 'wah kebetulan sekali! Ternyata aku tumbuh diantara 29 pohon cabai lain. Kebetulan sekali, tanahku punya nutrisi baik, sehingga buahku bagus dan banyak!'"
"Hmm..." mata almond itu memandang langit-langit. Berfikir.
"Padahal selama ini, Ummi, Amira, dan Abi yang sudah merawat pohon cabai itu dengan baik. Padahal, memang sudah diatur supaya pohon cabainya jadi 30 buah. Tapi si pohon cabai yang bicara tadi sama sekali tidak tahu tentang itu." ujarnya sambil memandang teduh Amira yang mulai mengangguk-angguk.
"Tidak ada yang kebetulan ya, Mi. Berarti Amira punya gigi juga sudah diatur sama Allah?"
"Kalau menurut Amira, bagaimana?" yang ditanya bertanya balik.
"Ah Ummi. Amira sayaang deh sama Ummi." lagi, perempuan yang disapa 'ummi' itu tertawa kecil mendapati tubuh kecil Amira memeluknya,
"Ummi juga, sayaang sekali sama Amira."
Sama sekali-
Sama sekali tak ada yang kebetulan. smile emoticon
Menuju Jakarta, September 2015