Tuesday, September 8, 2015

Karakter Seperti Apa



Buku kecil berjudul ‘Agar Bidadari Cemburu Padamu’ karya Ustadz Salim A. Fillah ini saya selesaikan di perjalanan pulang menuju Jakarta akhir pekan lalu. Sengaja saya menandai beberapa bagian yang menurut saya –entah mengapa- memang perlu ditandai. :D

Salah satunya adalah bagian ini.

**

Mari kita ingat dua wajah yang kita rindukan, Ash Shiddiq dan Al Faruq. Abu Bakar dan ‘Umar adalah dua sosok yang begitu kontras dalam singsingan fajar ummat Muhammad ini. Kontras dalam fisik dan kontras dalam karakter. Abu Bakar begitu kurus sampai sarungnya selalu mengulur ke bawah dalam shalat meski sudah dibetulkan. Sedang ‘Umar, ia pernah membuat empat makmum jatuh terjengkang karena bersinnya saat memeriksa shaff shalat… Masyaallah!

Imam Muslim meriwayatkan salah satu episode indah tentang perbedaan karakter mereka berdua. Perbedaan yang membuahkan penyikapan lain terhadap para tawanan perang Badar. Tetapi, Subhanallah, dengarlah komentar Rasulullah tentang perbedaan mereka ini:

Sesungguhnya Allah melunakkan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih lunak dari susu dan Allah mengeraskan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih keras dari batu. Sesungguhnya engkau wahai Abu Bakar, bak Ibrahim yang berkata:

“Barangsiapa mengikutiku maka sesungguhnya ia termasuk golonganku, dan barangsiapa mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ibrahim 36)

Dan juga laksana ‘Isa yang berkata:

“Jika Engkau menyiksa mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hambaMu, dan jika Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Maidah 118)

Dan engkau wahai ‘Umar tak ubahnya seperti Musa yang berkata”

“… Wahai Rabb kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka, karena mereka tidak beriman hingga mereka menyaksikan siksa yang pedih.” (Yunus 88)

Dan sebagaimana Nuh yang berkata:     

“Rabbi, jangan biarkan seorang pun di antara orang kafir itu tinggal hidup di bumi!” (Nuh 26)

**

Saya jadi mengingat-ingat dialog yang pernah terjadi antara saya dengan seorang sahabat.

“Enak ya, kalau bisa ketemu Rasulullah. Pingin tanya banyak hal secara langsung.”

“Iyaa, pingin tanya. Dengan aku yang begini, harusnya seperti apa?”

“Hamba macam apa yang jadi sebaik-baik hamba dengan keadaan sekarang…”

Saat itu terbesit dalam benak saya kisah tentang para Ibunda kita, terfokus antara Siti Khadijah dan Bunda Aisyah. Keduanya sama-sama mulia. Sama-sama dicintai oleh Rasulullah . Sama-sama ahli syurga. Tapi sungguh, keduanya memiliki ciri khas tersendiri dengan karakter masing-masing. Satu yang membuatnya seragam; sama-sama mencintai Allah dan RasulNya.

Maka karakter apapun yang kita miliki, selagi koridor kita sama, biarlah ia menjadi penyemarak. Saling mengisi, saling mengindahkan. Mencintai Allah dan RasulNya bukanlah sebuah titik, melainkan proses. Berkelanjutan. Berkesinambungan. Ia membutuhkan ketegasan, membutuhkan pengorbanan. Ia membutuhkan reminder ketika kita lupa, membutuhkan penguat ketika kita melemah. Maka siapa yang menjamin diri kita lebih mencintai Allah dan RasulNya dibandingkan orang lain, atau sebaliknya? Siapa juga yang menjamin bahwa karakter yang kita –atau saudara kita- miliki adalah sebaik-baik watak seorang hamba? Tidak ada. Karena titik kita bukan disini, melainkan di akhirat nanti.

Jadi yang terpenting adalah,


Adanya kesadaran dalam diri kita untuk terus berusaha memperbaiki diri menjadi lebih baik sesuai dengan pemahaman yang kita yakini kebenarannya. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah sebagai suri tauladan. Terus meminta petunjuk, mohon dibimbing pada jalan yang lurus. Dan tentu saja; berusaha mencintai Allah dan RasulNya dengan ketegasan. Dengan kemantapan. Dengan kesungguhan. Dengan segala pengharapan. J

No comments:

Post a Comment