Buku kecil berjudul ‘Agar
Bidadari Cemburu Padamu’ karya Ustadz Salim A. Fillah ini saya selesaikan di
perjalanan pulang menuju Jakarta akhir pekan lalu. Sengaja saya menandai
beberapa bagian yang menurut saya –entah mengapa- memang perlu ditandai. :D
Salah satunya adalah bagian ini.
**
Mari kita ingat dua wajah yang
kita rindukan, Ash Shiddiq dan Al Faruq. Abu Bakar dan ‘Umar adalah dua sosok
yang begitu kontras dalam singsingan fajar ummat Muhammad ini. Kontras dalam fisik
dan kontras dalam karakter. Abu Bakar begitu kurus sampai sarungnya selalu
mengulur ke bawah dalam shalat meski sudah dibetulkan. Sedang ‘Umar, ia pernah
membuat empat makmum jatuh terjengkang karena bersinnya saat memeriksa shaff
shalat… Masyaallah!
Imam Muslim meriwayatkan salah
satu episode indah tentang perbedaan karakter mereka berdua. Perbedaan yang
membuahkan penyikapan lain terhadap para tawanan perang Badar. Tetapi, Subhanallah, dengarlah komentar
Rasulullah tentang perbedaan mereka ini:
Sesungguhnya Allah melunakkan
hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih lunak dari susu dan Allah
mengeraskan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih keras dari batu.
Sesungguhnya engkau wahai Abu Bakar, bak Ibrahim yang berkata:
“Barangsiapa mengikutiku maka sesungguhnya ia termasuk golonganku, dan
barangsiapa mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Ibrahim 36)
Dan juga laksana ‘Isa yang
berkata:
“Jika Engkau menyiksa mereka maka sesungguhnya mereka adalah
hamba-hambaMu, dan jika Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkau Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Maidah
118)
Dan engkau wahai ‘Umar tak
ubahnya seperti Musa yang berkata”
“… Wahai Rabb kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah
hati mereka, karena mereka tidak beriman hingga mereka menyaksikan siksa yang
pedih.” (Yunus 88)
Dan sebagaimana Nuh yang berkata:
“Rabbi, jangan biarkan seorang pun di antara orang kafir itu tinggal
hidup di bumi!” (Nuh 26)
**
Saya jadi mengingat-ingat dialog
yang pernah terjadi antara saya dengan seorang sahabat.
“Enak ya, kalau bisa ketemu
Rasulullah. Pingin tanya banyak hal secara langsung.”
“Iyaa, pingin tanya. Dengan aku
yang begini, harusnya seperti apa?”
“Hamba macam apa yang jadi
sebaik-baik hamba dengan keadaan sekarang…”
Saat itu terbesit dalam benak saya kisah tentang para Ibunda kita, terfokus antara Siti Khadijah dan Bunda Aisyah.
Keduanya sama-sama mulia. Sama-sama dicintai oleh Rasulullah ﷺ. Sama-sama ahli
syurga. Tapi sungguh, keduanya memiliki ciri khas tersendiri dengan karakter
masing-masing. Satu yang membuatnya seragam; sama-sama mencintai Allah dan
RasulNya.
Maka karakter apapun yang kita
miliki, selagi koridor kita sama, biarlah ia menjadi penyemarak. Saling
mengisi, saling mengindahkan. Mencintai Allah dan RasulNya bukanlah sebuah
titik, melainkan proses. Berkelanjutan. Berkesinambungan. Ia membutuhkan
ketegasan, membutuhkan pengorbanan. Ia membutuhkan reminder ketika kita lupa, membutuhkan penguat ketika kita melemah.
Maka siapa yang menjamin diri kita lebih mencintai Allah dan RasulNya
dibandingkan orang lain, atau sebaliknya? Siapa juga yang menjamin bahwa
karakter yang kita –atau saudara kita- miliki adalah sebaik-baik watak seorang
hamba? Tidak ada. Karena titik kita bukan disini, melainkan di akhirat nanti.
Jadi yang terpenting adalah,
Adanya kesadaran dalam diri kita
untuk terus berusaha memperbaiki diri menjadi lebih baik sesuai dengan
pemahaman yang kita yakini kebenarannya. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ sebagai suri tauladan.
Terus meminta petunjuk, mohon dibimbing pada jalan yang lurus. Dan tentu saja;
berusaha mencintai Allah dan RasulNya dengan ketegasan. Dengan kemantapan.
Dengan kesungguhan. Dengan segala pengharapan. J
No comments:
Post a Comment