Thursday, November 7, 2013

Dia (selalu) Tahu

Dia selalu tahu.
Untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi bukankah artinya kita harus menaiki anak tangga satu demi satu lagi
Bukankah untuk menjadi yang lebih baik lagi selalu ada hal yang perlu dikorbankan?
Dan terkadang yang perlu dikorbankan adalah yang berasal dari dalam diri kita sendiri
Sama halnya dengan kesulitan kita untuk menjalankan taubatan nasuha
Karena taubat pun ternyata perlu latihan
Sekali-dua kali  
Berjanjilah agar tidak bosan meminta
Bertekadlah untuk tidak mudah menyerah
Kuatkan azzam dan tegarkanlah
Saat kembali kita memasuki fase jenuh
Putar kembali
Ingatlah lagi
Untuk apa sebenarnya kita berjuang
Untuk siapa sebenarnya kita berkorban
Dan jika masih merasa lemah dan ghirah yang padam
Maka mintalah Ia untuk menghidupkan ghirah itu
Untuk menyalakan lentera kecil yang akan kita bawa
Untuk menerangi sudut-sudut bumi yang tak tersentuh sinar matahari

"Wasta'inuu bis shabri wa shalaah"
"'ud'uunii astajib lakum"
"wa man yatawakkal 'alallah yaj'al lahuu makhraja, wayarzuquhuu min haitsu laa yahtasib"
"wa man yatawakkal 'alallah fahua hasbuh
innallaha baalighu amrih, qad ja'alallahu bikulli syaiin qadraa"

dan meminta tolonglah dengan sabar dan shalat
berdoalah kepadaku niscahya aku kabulkan
dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar dan memberikannya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka
dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah maka Allah akan mencukupkan baginya keperluannya

sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya
dan Allah telah menentukan ketentuan bagi segala sesuatu
(At Thalaq 2-3)
Allah tidak pernah mengkhianati janji.

kita tidak perlu menuliskan doa kita di kertas kecil
dan melemparkannya jauh ke lautan
agar doa itu terkabul
kita tidak perlu menerbangkan layang layang ke langit yang tinggiiii
sampai tak terlihat lagi
agar impian kita dalam layangan itu sampai ke langit ke tujuh
tapi cukup dengan berbisik dalam hati
bahkan yang terlintas dalam diri
itu sudah cukup bagi-Nya untuk mengerti.

karena Ia dekat
lebih dekat dari urat nadi kita sendiri
"Wa idzaa sa alaka 'ibaadii 'annii faiinni qariib"
"Dan apabila hambaku bertanya padamu tentang Aku katakanlah bahwa sesungguhnya Aku dekat"
Al Baqarah ^ ^
Dari seorang teman, pada 3 Muharram1435 H
23.38WIB

Wednesday, November 6, 2013

Pengantar

***
Bising yang tenang


Harapan yang terbang


Padamu jua


Seperti embun yang berharap kepada samudera 


Serupa udara yang mengiba akan perjalanan


Pengantar itu telah aku sampaikan


Sudikah semesta menjawab? 


Tanya


Tanya pada kitab yang kau peluk
 ***

Tuesday, November 5, 2013

Selaksa (Rindu)

Wanita paruh baya itu duduk di tepi pelabuhan. Kedua matanya memandang teduh laut yang luas menghampar. Menerka; sedang apa gerangan hatinya merasa. Bertanya; apa rencana Tuhan yang hendak ditujukan padanya. Ia tak pernah berfikir rumit. Sederhana. Hidup ini adalah urusan pribadinya bersama Tuhan. Tidak kurang, tidak lebih. Maka ketika ia ditinggal pergi dua orang terkasihnya pun, tak ada tanya mengapa. Maka ketika menyadari dirinya sebatang kara pun, wanita itu hanya tahu bagaimana berusaha tuk menyambung hidup. Ia menarik segala harap pada manusia. Garis bijak wajahnya mengatakan bahwa menaruh harap pada selain Rabb Izzati akan berujung pada kecewa. Rumus hidupnya hanya satu: bersyukur.

Tapi ada apa gerangan senja itu? Hatinya begitu tak menentu. Ada semacam harap yang membuncah. Ada semacam rindu yang melanda. Wahai alam, ternyata rumus itu tetaplah berlaku. Hati manusia adalah media rekam hebat yang pandai memilah urut bedasarkan prioritas kesan. Ada yang tersimpan rapi, ada yang bahkan tak melalui ruang rekam. Kehilangan dua orang terkasihnya dalam satu waktu bukanlah perkara mudah. Tapi setidaknya ia jadi memahami makna dari sebuah kalimat sederhana; “jarak adalah sebuah ujian bagi perindu, namun menjadi kenikmatan tiada tara bagi seorang pendoa.”