Sunday, February 10, 2019

Totto Chan's Children

Judul: Anak-anak Totto Chan: Perjalanan Kemanusiaan untuk Anak-anak Dunia
Penulis: Tetsuko Kuroyanagi
Alih Bahasa: Ribkah Sukito
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Kedelapan: Januari 2016
Jumlah Halaman: 328 halaman
Buku ini sukses membuat saya menangis. Tetsuko Kuroyanagi—Totto Chan—apik sekali memilih penggal kejadian untuk dibagi-bagikan pengalamannya kepada orang banyak. Buku fenomenal karyanya yang berjudul "Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela" merupakan buku yang kemudian mengantarkan saya untuk menikmati buku ini; "Totto Chan’s Children". Berbeda dengan "Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela" yang merupakan sebuah novel terinspirasi kisah nyata Nyonya Kuroyanagi semasa kanak-kanak, "Totto Chan’s Children" merupakan catatan perjalanan Ny. Kuroyanagi selama berkunjung ke beberapa negara pada tugas kemanusiannya bersama UNICEF.

Peta Kunjungan Duta Kemanusiaan UNICEF
Banyak sekali cerita fakta mengenai anak-anak di dunia yang membuat hati meringis. Mulai dari kelaparan, ketidaktersediaan air bersih yang memaksa mereka minum air kotor hingga sebabkan diare bahkan kematian, kejutan ranjau darat di dalam mainan dan makanan, anak-anak yang terlibat pelacuran untuk bisa makan, sampai luka psikologis yang menyayat mental mereka. Bagi saya pribadi, buku ini begitu sukses membuat saya sadar betapa recehnya ujian kesusahan yang mungkin pernah terbesit dalam kepala untuk mengeluhkannya. Saya rasa Ny. Kuroyanagi, pemilik nama kecil Totto Chan itu, barangkali sangat menyayangi anak-anak.

Anak perempuan di Vietnam (1988)
Sekolah dasar di Vietnam (1988)
Rumah di Irak yang penuh kotoran (1991)
Melalui buku ini, Ny. Kuroyanagi menceritakan betapa kesehatan mahal sekali harganya. Di Baghdad, Irak, pada tahun 1991 tidak ada listrik, tidak ada air bersih, bahkan tidak ada saluran pembuangan hingga kotoran masuk ke rumah-rumah penduduk. Rumah sakit Qadissiya Central Hospital di kota itu, tidak memiliki apa-apa. Tidak ada susu, tidak ada obat, dan tidak ada obat bius untuk operasi. Perkataan salah seorang dokter disana terdengar begitu menyedihkan, "Tidak ada yang membuat dokter lebih frustasi daripada mendiagnosis penyakit dan tak bisa mengobatinya. Dokter mungkin ingin mengoperasi, tapi ia tak bisa melakukannya karena tak ada listrik. Bisakah Anda mengerti, betapa sulitnya bagi saya untuk tetap diam dan hanya memandang saat seorang anak meninggal?"

Bayi perempuan usia 2 bulan di Irak
Anak kurang gizi di Etiopia (1992)
Bayi yang tidak mendapat inkubator di Haiti (1995)
Salah satu cerita yang paling berkesan usai saya membaca ini adalah bagian ketika Ny. Kuroyanagi mengunjungi Rwanda pada tahun 1994—satu tahun sebelum saya lahir. Bagaimana perasaan kita ketika menjumpai dua ribu mayat tanpa kepala bertumpukan? Dibiarkan begitu saja sebab tak ada anggota keluarga yang tersisa untuk menguburkan. Saya sampai bergidik ketika membaca cerita tentang seorang anak laki-laki di Rwanda yang suatu saat ditanya oleh tim UNICEF, “Apakah benar orang tuamu dibunuh?” dan ia hanya menjawab, “Aku tidak tahu”.

Awalnya dikira bocah laki-laki itu masih terlalu kecil untuk mengingat kejadian. Namun tak lama, ia berlari menghampiri tim UNICEF yang sebelumnya bertanya. “Sebenarnya aku tahu,” ujarnya, “Well, begini. Penerjemah yang tadi bersamamu adalah orang yang membunuh orang tuaku.” Maksudnya, jika ia memberitahu bahwa orang tuanya dibunuh, ia akan menjadi korban selanjutnya. Di Rwanda pula, kebon kopi mengeluarkan aroma busuk. Bukan karena kopi yang membusuk, melainkan karena bau ratusan mayat yang dikuburkan disana. Bahkan hotel pun bau busuk. Orang-orang dipaksa masuk berdesakan ke kamar hotel seperti ikan sardine lalu dibantai. Pilu sekali. 

Ada terlalu banyak cerita menarik yang saya bahkan bingung untuk memilih penggalan mana yang hendak dituliskan disini. Ketika membaca tentang ranjau dan bom yang bertebaran dimana-mana di wilayah Bosnia-Herzegovina, pada kunjungan Ny. Kuroyanagi tahun 1996, saya tak habis pikir hal macam apa yang ada dalam pikiran para pelaku. Ranjau darat diletakkan di tanah dalam bentuk es cone, dan akan meledak ketika anak-anak mulai memakannya. Bom sengaja dibentuk seeperti cokelat, dan akan meledak ketika kertas perak pembungkusnya dibuka. Bom bahkan juga disembunyikan di dalam boneka. Dalam buku ini, Ny. Kuroyanagi menuliskan, “Betapa mengerikannya orang-orang yang sengaja mempelajari psikologi anak hanya untuk membunuh anak-anak!”

Anak laki-laki di Sarajevo (1996)
Ny. Kuroyanagi dan anak-anak Bosnia (1996)
Tidak banyak yang saya ceritakan disini. Sebagian gambar di atas barangkali cukup mengabarkan isi bukunya. Begitu semerbak pelajaran yang saya dapatkan dari ragam cerita yang dituturkan Ny. Kuroyanagi mengenai perjalanannya. Anak-anak seringkali memberikan pelajaran penting bagi orang-orang yang dikatakan sudah dewasa.

Terakhir, berbahagialah mereka yang berbagi cerita bermanfaat melalui tulisannya. Bagi siapapun, saya pikir buku ini sangat recommended. Serius! :)


2 comments: