Aster. Belum lama aku berbincang denganmu soal ibu. Dahulu,
aku ingin sekali menanyakan padamu, tentang wanita. Aku selalu heran bagaimana
mereka mampu tertawa meski aku tahu, ada badai kecewa disana. Maklumlah, dahulu
aku tidak melihatmu sebagai seorang wanita. Kau hanyalah bocah tengil yang
gemar menghantam tubuhku dengan lumpur. Tapi aku sungguh-sungguh ingin tahu.
Bahkan hingga saat ini, aku tak juga mengerti. Bagaimana mereka mampu berdiri
tegak, meski aku tahu, yang ada di pundaknya tidaklah seringan kapas. Hei,
tunggu. Apa mungkin aku yang sok tahu?
Lambat laun, aku juga menemukan sinar semacam itu darimu.
Kau menjelma menjadi makhluk yang tak kukenal. Kau tersenyum sambil menegakkan
kepala. Kau tertawa. Bukan sok kuat, tapi kau jadi benar-benar terlihat kuat.
Justru aku, yang jadi terlihat sangat lemah. Sore itu mataku sembab oleh air
mata. Sementara kau, tertawa gembira. Bagaimana kau bisa melakukannya, Aster?
Padahal dunia mengabarkanmu berita buruk itu. Malapetaka. Hidupmu takkan lama
lagi. Tapi kau, justru yang menghiburku. Menghibur kami.
Aku pernah menyebut kaummu adalah pembohong besar.
Mengatakan hal yang bukan fakta. Mengabarkan dalam keadaan baik meski nyatanya
tengah dihantam puluhan pisau. Bagiku, itu sebuah tindakan bodoh. Bukankah
berkata tidak jujur selalu membawa pada keburukan? Dahulu aku berfikir
demikian. Meski pada akhirnya, kuakui aku keliru. Jujur bagi kaummu adalah
tindakan ajaib itu. Tindakan pengutaraan harapan bahwa diri baik-baik saja, dan
tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Begitukah?
Daftar wanita yang hadir dalam hidupku tidaklah banyak,
Aster. Tapi itu lebih dari cukup bagiku untuk mempertanyakan banyak hal. Aku
hanya mengenal nenek panti, ibumu, dan tentu saja, aku mengenal Kau. Setidaknya
aku merasa demikian. Meski tahun-tahun belakangan Kau mendadak menjadi entah
siapa- seakan aku tak pernah jadi bagian dari hidupmu. Tapi ternyata aku
sungguh-sungguh keliru. Kau kembali mengejutkanku.
Hari itu ibumu menyadari kehadiranku di taman belakang.
Beliau lantas tertawa dan mengajakku untuk ikut serta. Aku hanya menggeleng
pelan; memberi isyarat tentang diriku yang tidak membawa pakaian ganti. Hari
itu, untuk pertama kalinya aku merasakan betapa meyenangkannya ketika belasan
anak kecil menghampiri. Kau mungkin bisa membayangkan, momen ketika mereka
menarik-narik kedua lenganmu, menarik bajumu, mendorong demi melihatmu terendam
lumpur. Dan aku mengalah. Aku terlalu lemah untuk menolak mereka.
Aster, Kau selalu saja membuatku heran bercampur kagum.
Petang itu usai bermain lumpur bersama anak-anak di taman belakang, ibumu
meminjamiku satu stel pakaian; milik mendiang ayahmu, kurasa. Aku
mengenakannya, meski agak kebesaran.
Kemeja cokelat muda dengan celana panjang berwarna hitam. Selaras dengan warna dinding rumahmu. Matahari semakin hilang ditelan
langit Barat. Padang bunga ibumu terlihat semakin cantik diterpa temaram cahaya
petang. Aku hendak pamit. Kusampaikan salam takzim pada beliau, mengucapkan
banyak terimakasih termasuk pada pasukan bocah penggenggam lumpur; dirimu yang tahu-tahu menjelma menjadi belasan. Usai berpamitan, tiba-tiba ibumu memintaku untuk
menunggu. Beliau melupakan sesuatu di dalam rumah. Tak berapa lama, ibundamu
keluar dengan sebuah kotak kayu berukirkan bunga.
Aster, Kau selalu saja membuatku heran bercampur kagum.
Petang itu usai bermain lumpur bersama anak-anak di taman belakang, aku
dikejutkan oleh sebuah kotak kayu berukirkan bunga. Kotak milikmu dengan
tumpukan kertas surat di dalamnya. Bukan. Itu bukan surat-surat yang kau dapatkan; tapi tumpukan surat yang Kau tulis untuk orang lain, dan tak pernah Kau kirimkan.
Aku menangis, Aster.
Bagaimana bisa Kau menyimpan semua surat itu selama
bertahun-tahun?
Banyak nama yang tertera disana, sebagai tujuan dari
suratmu.
Tapi aku menemukan satu nama yang paling banyak Kau
tuliskan; R a z e n
R a z e n - dan itu adalah namaku.
Diawali pada pertengahan Rabiul Awal 1435 H,
dirampungkan pada 5 Rabiul Akhir 1435 H.
No comments:
Post a Comment