Thursday, May 14, 2015

Air Mail #6


Pada kotak berbunga, aku menemukan tulisanmu yang satu ini. 


Hari itu kau bilang, aku menginspirasi. Kau curang, Razen. Kau selalu saja baik pada semua orang. Selalu menghibur orang lain. Maaf, tapi aku menyangsikan kejujuranmu. Maaf, Razen.

Hari itu, aku sungguh cemburu padamu. Kau selalu saja merendah. Aku tahu itu usahamu dan teman-teman. Aku tahu itu kinerjamu. Aku mandor kalian, Razen. Aku mengamati kalian. Aku mengamatimu. Kau tidak banyak bicara, tapi tanganmu lincah bergerak. Kau tidak banyak berkomentar. Seakan berbicara lebih akan menghilangkan kekerenanmu dalam sekejap. Dan aku cemburu.

Aku fikir, kita akan hidup dalam persaingan keren. Selaras. Tapi semakin kesini aku semakin sadar, kau tumbuh begitu pesat. Kesombonganku yang merasa hebat, buru-buru runtuh mendapatimu yang diam-diam melesat. Cepat. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan tinggimu jauh melampauiku. Sejak kapan tanganmu jauh lebih kuat, lebih kokoh daripada milikku. Padahal dulu aku selalu mampu menggenggam lebih banyak satuan lumpur daripada kau.

Kemarin, ketika kita pergi ke pasar bawah bukit, aku sedikit-banyak menyadari perubahan itu.

“Asteer, ada anak menangis!” Kaia menghampiriku cepat. Menarik lenganku.

“Dimana?”

“Disana, ayo ikut!” aku dan Kaia berlari di tengah kerumunan orang. Anak itu menangis. Tangan kanannya menggenggam tali balon udara yang melambai-lambai ditiup angin. Tempat itu, ialah pasar A sampai Z yang dahulu kau kenalkan padaku. Tempat dimana begitu banyak manusia berkerumun.

“Adik, ada apa?” aku melontarkan sebuah pertanyaan singkat. Yang ditanya tidak menjawab. Justru tangisnya semakin mejadi. Kaia garuk-garuk kepala. Aku mengangkat bahu.

“HUAAA MAMA DIMANAA” mata bocah laki-laki itu menyipit. Dahinya mengkerut. Bibirnya tertekuk. Suaranya menyapu udara. Seketika kerumunan orang di pasar memerhatikan kami bertiga. Ya, kami bertiga: aku, Kaia, dan bocah kecil itu. Lalu tahu-tahu kau datang. Melangkah tenang kemudian mengangkat tubuh anak itu ke atas bahumu.

“Ayo kita cari mama.” Ujarmu datar sambil tersenyum tipis. Bocah itu berhenti menangis. Ia terkesima mendapati tubuhnya bermain di udara, lebih tinggi dari biasanya. Balon yang sedari tadi ia pegang semakin lincah bergerak kesana-kemari tertiup angin. Aku meremas tanganku. Menyesali mengapa bukan aku yang menggendong bocah kecil itu. Kenapa juga harus kau?

“Syukur ada Razen ya,” Kaia menoleh padaku. Aku mengangguk pelan.

Lagi, kau memaksaku cemburu padamu. Kau curang, Razen.

**

AIR MAIL

Ada, kata tak beraksara
Ada, cerita tak bermakna
Ada, rupa tiada jiwa

Pada setiap keruh yang jadi candu
Pada setiap rumput yang tak beribu

Namun bagi perasa
Ada tersebut jadi tiada

Adalah mereka;
yang membaca.

Kampung halamanku ini adalah tempat istimewa. Aku pernah mengabarkan padamu, kan? Ketika awal-awal menjumpaimu di atas bukit dengan eskrim meleleh. Dengan logat bahasa lokalmu yang aneh, kau menanyakan banyak hal. Tidak berhenti bertanya meski responku jauh dari baik. Aku tidak pandai berkata-kata. Tidak banyak melisankan fikiran. Aku tidak sepandai dirimu dalam hal itu. Aku dibesarkan oleh seorang ayah yang mungkin tidak seperti ibumu –atau mungkin juga ayahmu. Ayahku tidak dapat berbicara, Aster. Tapi aku tidak pernah menyesalinya. Aku tahu ayahku berbicara lebih dari siapapun. Ia berbicara dengan hatinya, dengan segenap jiwanya. Ia bicara dengan gerak tubuhnya, dengan sorot matanya.

Tidak. Aku tidak sedang bicara tentang ayah biologisku. Kau juga tahu, kan, aku sama sekali tidak tahu darimana aku berasal, siapa dan dimana kedua orangtuaku. Aku bicara tentang Ayah di panti asuhan. Beliau yang dengan senyum tulusnya merangkul kami semua.

Jadi, Aster yang baik, untuk apa kau mencemburuiku pada hal remeh-temeh semacam itu? Besok-besok kau juga bisa kan megajak bocah kecil itu bermain, bahkan mungkin mengangkat tubuhnya ke atas bahumu juga. Selagi tubuhnya masih sekecil itu. Lalu soal tinggi kita yang tidak lagi selaras seperti dulu, atau tanganku yang tahu-tahu jadi mampu menggenggam satuan lumpur lebih banyak darimu, Aster, kau memang seringkali lupa –atau tidak menyadari. Aku kan anak laki-laki. Bukankah pertumbuhan semacam itu memang naluriah sekali?

Menuliskan surat udara semacam ini seringkali membuatku merasa bodoh, Aster. Membalasi suratmu yang bertumpuk dalam kotak berbunga satu persatu. Kau mungkin tidak akan pernah membacanya lagi, tapi aku fikir tidak apa-apa. Seperti kata Tuan Erdas: akan ada yang mengambil pelajaran dari setiap cerita.

25 Rajab 1436 H
Semoga kau baik-baik saja.

2 comments: