Wednesday, May 13, 2015

Mbah Mukhtar: Mimpimu itu terlalu loyo, Le!

Aku bergidik mendengar Mbah Mukhtar tertawa

“Kenapa alismu mengangkat begitu, heh?” matanya menyipit.

“Mbah ketawanya begitu, sih. Serem.” Aku memalingkan pandangan dari wajah Mbah Mukhtar

“Haha, kamu ini, Le. Jadi pemuda kok ya loyo begitu,” lelaki tua itu mengacak-acak rambutku.

“Apanya sih Mbah, yang lucu dari cita-citaku?” Aku merasa direndahkan. Baru saja kuutarakan perihal impianku pada beliau; meminta doa restu agar Gusti Allah mempermudah setiap urusanku. Tapi Mbah Mukhtar malah tertawa terbahak-bahak.

“Mimpimu itu terlalu loyo, Le.” Kali ini Mbah Mukhtar menatapku teduh sambil tersenyum. Matanya seakan hendak berbicara banyak.

“Loyo kenapa?” aku masih tidak terima. Mbah Mukhtar meghela nafas.

“Padi itu memberi, lantas ia dicari. Bukan karena ingin dicari lantas ia memberi. Pikirkan itu baik-baik, Le. Niat dalam hati berarti sudah setengah perjalanan. Jangan sampai kau buat setengah jalan itu menyimpang.” Mbah Mukhtar menyelesaikan kalimatnya kemudian pergi meninggalkanku di warung singkong favorit kami.

**

Aku mematung di depan cermin. Bagian mananya sih, yang loyo?

“Apa yang loyo dari cita-cita ingin dapat gelar pendidikan tinggi-jadi orang kaya-menang dalam berbagai perlombaan, supaya bisa memberi manfaat bagi orang lain? Bukannya itu sudah mulia sekali?” ujarku pada diri sendiri. Aku geleng-geleng kepala. Tidak mengerti maksud Mbah Mukhtar.

**

Siang itu Mbah Muktar terkekeh seraya menyeruput kopi hitamnya. Aku duduk diam sambil memerhatikan gerak-gerik pemilik suara serak itu. Menunggu jawaban macam apa yang akan dilontarkannya.

“Lee, Kau tanya apa maksudku tempo hari?”

“Nggak ngerti aku Mbah”

“Sini, duduk dulu disitu. Tunggu sebentar” Mbah Mukhtar masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian beliau keluar membawa sebuah buku kecil bersampul cokelat tua.

“Mbah punya diari juga?” tanyaku iseng

“Diari apa tho Le, ini buku catatan mendiang Mbah Putri” ujar Mbah Mukhtar pelan. Kali ini suaranya agak bergetar.

“Oh…” aku tidak tahu harus berkata apa. Mbah Putri memang sudah lama meninggal dunia karena penyakit yang menggerogoti tubuhnya.

“Sini, baca baik-baik” Mbah Mukhtar menyodoriku salah satu halaman buku. Tinta bolpointnya sudah menguning, selaras dengan kertasnya.

Hari ini aku berdjumpa denganja. Sederhana dan banjak tawa. Murah senjum. Bukan menyungging senjum padaku, tentu sadja. Tapi pada anak didiknja di surau tua itu. Kali pertama aku mendjumpai pemuda jang belakangan dibicarakan warga kampong. Dia pendatang dari kampong sebelah. Murid dari guru besar di ibu kota. Tapi bukan itu yang membuatku djadi begitu penasaran akan sosoknja. Melainkan tjerita dari paman Soedarsono, katanja ia punya budi jang baik. Berbudi dan bertjita-tjita luhur. Ia mengabdikan dirinja untuk pendidikan anak-anak. Beberapa kali pula mengirimkan tulisan ke surat kabar agar didengar oleh para petinggi negeri, oleh khalajak luas betapa ada begitu banjak anak negeri jang membutuhkan pendidikan lajak serta guru jang berkualitas. Awalnja aku tidak terlalu pertjaya. Tapi melihat sosoknja tadi sore di surau, aku jadi tahu. Ketulusan itu memancar dari setiap sudut geraknja. Aku ingat nasihat paman Soedarsono. Ketika memiliki kemauan untuk djadi bermanfaat bagi sesama, maka segaa djalan djadi djembatannja selagi halal dan baik tjaranya. Bukan mentjari djembatan dahulu lalu mentjari-tjari manfaat apa jang bisa dipersembahkan. Padi itu memberi, lantas ia ditjari. Bukan karena ingin ditjari lantas ia memberi.

Aku mengernyitkan dahi. Tidak benar-benar mengerti maksud Mbah Mukhtar menunjukkn tulisan ini padaku.

“Ini Mbah Putri ngomongin tentang Mbah?”

“Haha, sepertinya begitu, Le. Kau tahu lah, orangtua macam Mbah ini ndak banyak yang bisa diomongin selain cerita-cerita masa lalu macam ni.” Mendengar perkataan Mbah Mukhtar, aku memutar otak. Berfikir keras maksud kode-kode yang sedari kemarin Mbah Mukhtar lontarkan padaku. Padi itu memberi, lantas ia dicari. Bukan karena ingin dicari lantas ia memberi.

“Mbah…” aku menolehkan muka ke hadapan Mbah Mukhtar

“Ya?” kakek nyentrik itu mengangkat kedua alisnya.

“Aku ngerti maksud Mbah sekarang.” Senyum simpulku mengembang diiringi dengan anggukan kepala. Mba Mukhtar menyambutnya dengan tawa. Membahana seperti biasa. Refleks kucium takzim tangan beliau.

***

Kalau pendahulu kita diuji dengan medan juangnya yang berliku, maka generasi kita diuji dengan hal mendasar yang seringkali terlupa: niat. Banyak pemuda yang sibuk menulis proposal, sibuk turun ke desa, sibuk rapat, sibuk mendirikan komunitas sosial, sibuk berdiri di podium-podium kehormatan, sibuk menulis, sibuk membaca, sibuk mengikuti berbagai perlombaan, sibuk ikut konferensi-konferensi, sibuk berbagi –atas nama pengabdian. Sayangnya, banyak pula yang melupakan esensi mendasar dari semua kegiatan sibuk tersebut.

Pengabdian menjema jadi sebatas gengsi. Ajang perlombaan perlahan bermetamorfosis menjadi sarana unjuk gigi. Bukan lagi ingin bermanfaat lantas disalurkan dengan pencapaian dan prestasi. Justru pola fikirnya jadi terbalik: mau berprestasi, maka harus cari cara bagaimana jadi ‘bermanfaat’ agar prestasinya tercapai. Agar dipandang tinggi sosialnya; agar ada kepuasan atas semacam gelar dan penghargaan.

Ikut perlombaan supaya masuk tingkat nasional -hingga internasional- dan harus punya ide yang cemerlang. Padahal idealnya, memiliki ide yang cemerlang, kemudian cari cara bagaimana merealisasikannya, dan harus ikut perlombaan sebagai salah satu upayanya. Kemudian niat ikut berbagai organisasi serta komunitas sosial supaya turut mengabdi di masyarakat. Sekilas tidak ada yang salah dari niatan macam itu. Tapi idealnya, ialah niat ingin mengabdi di masyarakat, dan salah satu cara terbaiknya adalah dengan ikut berkontribusi dalam organisasi serta bergabung dalam komunitas sosial.

Sederhana. Sekilas hanya terlihat seperti pemutar-balikan struktur kata dalam kalimat. Tapi tanpa disadari, ketidak-idealan yang sederhana macam itulah yang dengan mudah membuat gerak menjadi lemah. Jadi sebelum jauh-jauh, cek lagi niatan dalam benak kita. Buat apa? Mengapa? Dan, apa tujuan kita sebenarnya?

#cekniatsebelumjauh

No comments:

Post a Comment