Wednesday, November 6, 2019

Dokter yang Dirindukan


Halo, sudah lama tidak berbagi cerita ya, kita. Kali ini aku ingin menceritakan padamu tentang buku yang beberapa bulan lalu aku baca. Sebetulnya, tak pernah ada rencana untuk membaca buku ini sebelumnya. Pertemuan kami pun agaknya bisa dibilang tak disengaja. Beberapa bulan lalu, penerbit Republika tengah bagi-bagi hadiah; menjual buku-buku best seller dengan harga super murah (16.000 untuk setiap buku terpilih). Tentu saja aku antusias. Yah, meski tidak benar-benar berharap juga. Tapi melihat buku biografi Pak Habibie dan Buya Hamka juga tersedia, rasanya jadi sungguh-sungguh ingin ikutan (harganya anjlok dari ratus ribuan jadi 16k saja. Hehe). Pembelian buku dimulai dini hari dan harus melalui laman resmi.

Singat cerita, alhamdulillah aku berhasil memasukkan buku biografi Pak Habibie yang berjudul “Mr. Crack dari Parepare” ke dalam keranjang belanjaan. Niat hati ingin membeli buku biografi Buya Hamka juga, qodarullah sudah habis stoknya. Belakangan aku memang sedang baca-baca tentang Buya Hamka, usai menemukan kembali novel lama pemberian ayah; “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk” di lemari buku rumah kami. Tapi sayang, kehabisan. Ku lihat daftar buku yang masih tersedia untuk bisa diadopsi. Hanya ada dua, dan satu di antaranya adalah ini: “Dokter yang Dirindukan” karya Asma Nadia, dkk.




Judul: Dokter yang Dirindukan
Penulis: Asma Nadia, dr. Anwar Fazal, dkk.
Penerbit: Republika
Penerjemah: Nabieh Rahmat, dr. Elfina Rachmi
Editor: Indriani Grantika
Jumlah Halaman: 300 halaman

Aku tidak ingat kapan terakhir kali membaca buku dengan perasaan yang sedemikian emosional, sampai aku menemukan buku ini. Di luar dugaan, cerita-cerita di dalamnya menguras emosi. Campur aduk; deg-degan, haru, sedih, bahagia. Tapi hingga hari ini, buku ini menjadi salah satu buku pemecah rekor yang paling banyak menguras air mata. Mungkin selain karena memang ceritanya yang menggugah, label “nonfiksi” sedikit banyak juga memengaruhi. “Hei, beneran ini kejadian di dunia nyata?”

Salah satu cerita yang menjadi favoritku adalah tulisan karya dr. Beni yang berjudul “Meet dr. Roy”. Cerita itu ku baca ketika di dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bogor. Yang menjadikannya spesial adalah ceritanya yang mengangkat hubungan antara seorang ayah dengan anak laki-lakinya. Dua orang dokter—senior dan junior—yang terjebak dalam sebuah keadaan genting. Tidak hanya genting secara profesional, tapi juga genting secara emosional. Perseteruan terjadi mempertaruhkan bukan hanya profesi keduanya, tapi juga hubungan antara ayah dan anak. Two thumbs up. Pokoknya ini bagus sekali menurutku. Iya, aku sesenggukan di jalan. Untung pakai masker.


Cerita lainnya tidak kalah menguras emosi dan mengaduk-aduk perasaan. Tentang bakti anak pada ibundanya, sampai ia berjuang mati-matian untuk mengejar profesi impiannya meski dalam keadaan gegar otak. Tentang seorang ibu yang sakit, yang merindukan kasih sayang dari anak-anaknya. Juga cerita mengenai sepasang suami-istri yang berprofesi sama; dokter. Mereka mendambakan buah hati, namun ternyata cita itu kandas oleh sebab gugurnya janin manakala sang istri membantu persalinan orang lain yang terjebak di dalam lift. Hmm… pokoknya bagian ini benar-benar membuatku tarik napas panjang. Ternyata setiap orang memang diuji sesuai dengan kapasitasnya.

Selain cerita-cerita yang mengaduk perasaan, sebenarnya ada juga cerita yang agak horor dan juga menyisakan pertanyaan. Aku sampai mengirimkan pesan ke penulisnya segera setelah selesai membaca, berharap mendapat penjelasan tentang salah satu cerita. Tapi sayangnya belum berbalas.

Kamu tahu? Aku sempat berpikir, jangan-jangan memang akunya saja yang lebay, berlebihan reaksinya ketika membaca buku ini. Sampai-sampai aku katakan bahwa buku ini mengandung bawang (iya, karena bikin nangis). Tapi ternyata bukan aku saja, toh beberapa orang juga merasakan hal yang sama. Tak heran buku ini menyandang peghargaan sebagai Buku Terbaik MPH 2014-2015 kategori Nonfiksi.

Aku merekomendasikan buku ini untuk siapa saja yang ingin belajar tentang kehidupan, yang ingin melihat dengan perspektif lebih luas. Kalau kamu sedang merindukan kebersyukuran atas hidup yang sedang dijalani, kamu boleh baca buku ini. Kalau kamu sedang merasa bahwa hidupmu berantakan, banyak pencapaian yang dirasa tak kunjung diraih, kamu boleh baca buku ini. Kalau kamu mahasiswa kedokteran yang sedang lelah, boleh banget baca buku ini. Supaya kamu tahu bahwa apa yang kamu perjuangkan jauh lebih berharga dari kelelahanmu. Juga supaya kamu tahu, bahwa kamu tidak lelah sendirian. You are not alone! 😊

PS: Aku juga jadi lebih banyak belajar tentang istilah-istilah di dunia medis melalui buku ini.

Ini ya spoiler daftar isinya.



Well, selamat membaca, Netz!

Bogor, 6 November 2019
9 Rabi'ul Awal 1441

2 comments:

  1. terima kasih kak riris sudah me-review buku ini...:D udah lama banget pngn teraduk-aduk kembali emosinya karena baca buku (ada yg pernah ngrasa gtu juga ga sih, pengen rasanya kembali mudah tersentuh hatinya hehe) Sudah terlalu lama main medsos, ternyata lumayan mendangkalkan perasaan juga ya:(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, entah kenapa senang sekali lihat ada yang komen di blog. Kukira orang-orang sudah meninggalkan nulis di blog. HHe <3 ternyata Arih masih rajin nulis. Baarakallah..

      Makasi juga ya Ariih... selamat membaca! aku juga suka kangen sama hati yang mudah tersentuh. :)

      Delete